Rabu, 06 Februari 2008

resensi buku matinya media

Selamatkan Media dari Kematian


Judul Buku : Matinya Media; Perjuangan Menyelamatkan Demokrasi

Judul Asli : The Death of Media and The Fight to Save Democracy

Penulis : Danny Schechter

Penerbit : Yayasan Obor Indonesia

Cetakan : I, 2007

Tebal : xiv + 117 halaman

Peresensi : Fatkhul Anas*)


“Demokrasi Amerika sedang rapuh. Kebebasan kita kini terancam. Proses politik kita sedang dalam bahaya. Bunyikan lonceng peringatan, sekarang juga!”


Itulah kalimat awal Danny Schechter yang tertulis dalam buku ini. Ia begitu menggerutu menghadapi realitas media Amerika yang cenderung menafikan demokrasi. Media Amerika tidak lagi memberikan ruang-ruang kebebasan publik untuk menyuarakan aspirasinya. Media Amerika juga tidak memberikan ruang keragaman informasi. Tetapi media Amerika telah ditumpangi oleh segelintir orang demi kepentingan sesaat yaitu keuntungan. Mereka telah termakan oleh logika pasar yang selalu mencari keuntungan dalam segala hal. Sehingga media Amerika menjadi robot kepentingan para kapitalis untuk menawarkan produk-produknya. Dan ujung dari semua itu adalah keuntungan alias bisnis.

Dalam hal inilah Schechter menulis buku ini. Schechter mempunyai narasi besar (grand naracy) untuk menyelamatkan media Amerika, bahkan dunia. Schechter hendak mempertahankan media sebagai lahan demokrasi. Bukan sebagai lahan kepentingan pasars. Schechter mencoba melawan realitas yang terus bergulir di kalangan media Amerika, dimana saat ini penuh dengan kepentingan para kapitalis. Ia dengan idealismenya mencoba menawarkan beragam solusi guna menyelamatkan media Amerika. Dalam buku inilah langkah-langkah Schechter akan dikupas secara mendalam. Mulai dari masa-masa media mengalami pergeseran fungsi dimana media sebagai lahan kepentingan, kemudian disaat media telah mengalami kematian karena menafikan demokrasi, sampai tawaran Schechter sebagai solusi terhadap kematian media.

Dalam buku ini dijelaskan bahwa awal mula media Amerika modern tercipta adalah untuk mengekspresikan suara-suara rakyat, kreatifitas mereka, serta terutama demokrasi mereka. Media diserahi wewenang untuk memegang amanah konstitusi dengan diberikan jaminan atas hak-hak pers yang bebas. Mulai saat inilah media berperan sebagai pemegang demokrasi karena info-infonya adalah seputar hal-hal demokrasi. Media saat itu merupakan wahana ekspresi masyarakat, dimana setiap orang bebas mengemukakan pendapat maupun mengekspresikan kreatifitasnya. Media juga berfungsi sebagai lembaga kontrol atas kebijakan pemerintah atau the watchdog of the goverment. Karenanya tayangan-tayangan seputar pemilu Amerika menjadi suguhan yang pokok. Dari hal inilah nalar demokrasi di Amerika terbentuk. Ini karena setiap proses demokrasi ditayangkan di media. Sehingga setiap orang atau konsumen berhak menilai sejauhmana demokrasi mereka berlangsung.

Disaat-saat itulah media Amerika benar-benar efektif menjadi lahan demokrasi. Namun, seiring perkembangan waktu media Amerika kehilangan jati dirinya. Media Amerika telah terperangkap ke dalam jurang kematiannya. Hal ini karena media Amerika telah ditunggangi oleh segelintir orang kapitalis yang mementingkan media sebagai sarana bisnis. Mereka memanfaatkan media untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Hal ini tak bisa lepas dari adanya swastanisasi media Amerika dimana media merupakan hak masyarakat, bukan negara. Hal inilah yang dijadikan oleh para pemilik modal untuk menawarkan produk-produknya.

Dampaknya, tayangan-tayangan media adalah tayangan yang merupakan rencana dari pemilik modal. Ini karena merekalah para penentu agenda (agenda setting) media. Sebagian besar para pemilik modal tentu menayangkan tentang seputar produk-produk mereka. Dari sinilah demokrasi mengalami kematian karena isu-isu aktual seputar demokrasi tidak diangkat. Masyarakat cenderung dilupakan dari demokrasinya lewat tayangan-tayangan yang sifatnya sesaat seperti seks maupun kehidupan glamor. Masyarakat juga dihipnotis agar tidak memikirkan bagaimana proses pemilu sebagai ajang demokrasi berlangsung, tetapi disibukkan dengan tayangan-tayangan lainnya. Akibatnya tentu masyarakat banyak yang tidak peduli terhadap pemilu. Padahal pemilu sendiri adalah ajang berdemokrasi.

Dari hal inilah Schechter begitu geram. Ia sangat menderita dengan bergulirnya media yang semakin menjauh dari demokrasi. Bahkan ia mengatakan The More You Watch, The Less You Know. Bahwa semakin banyak kita menonton media, maka semakin sedikit pengetahuan kita (hal 35). Ini berarti bahwa tayangan media Amerika tidak lagi bermutu, apalagi mendukung proses demokrasi. Namun, Schechter tidak begitu saja menggerutu tanpa memberikan solusi. Schechter justru menawarkan sejumlah jalan keluar untuk menyelamatkan demokrasi Amerika. Diantaranya, Schechter memberikan tawaran agar masyarakat membuat media sendiri sebagai media tandingan (hal 95). Media ini sifatnya independen, dibiayai bersama dan dikelola bersama. Program-programnya juga disusun bersama. Jadi, masyarakat mampu menentukan sendiri program-programnya yang mampu mendorong demokrasi mereka.

Schechter juga menawarkan agar ada sebagian orang berkampanye untuk memasukkan pendidikan melek media di sekolah-sekolah dan program pendidikan di masyarakat. Didik anak-anak muda agar menjadi penonton dan pembaca yang kritis. Jangan biarkan mereka terhipnotis oleh media sehingga melupakan persoalan demokrasi. Selain itu, dukungan terhadap media-media yang independen, yang jauh dari kepentingan kapitalis juga harus dilakukan. Dukungan bisa berupa apapun mulai dari dana, menjadi penonton setia, cinta terhadap media itu, maupun bentuk-bentuk dukungan lain yang sifatnya baik. Saran dan masukan dari masyarakat terhadap media juga perlu dilakukan. Apalagi jika ada acara yang bertentangan dengan demokrasi, jelas harus dikritik. Lalu yang terakhir, bergabung dengan gerakan Reformasi Media untuk melobi pemerintah dan perusahaan media demi mengurangi konsentrasi kepemilikan media. Sehingga masyarakat bisa berperan serta dalam kebijakan media.

Langkah-langkah inilah yang oleh Schechter ditawarkan dalam buku ini. Ia mengharap dari langkah-langkah tersebut demokrasi kembali ditegakkan dan media tidak lagi mengalami kematian. Media juga tidak lagi menghipnotis penonton dengan tayangan-tayangan kurang bermutu serta terhadap tayangan yang tidak mendukung demokrasi. Tawaran Schechter ini memang dirasa cemerlang. Apalagi menghadapi tekanan kapitalisme yang terus menggerogoti dunia, termasuk juga Indonesia. Semoga lahirnya buku ini mampu memberikan hawa segar bagi masyarakat agar kritis terhadap media. Tak terkecuali pula dengan masyarakat Indonesia karena akhir-akhir ini media atau pers secara umum di Indonesia seakan jatuh ke tangan kapitalis. Sudah saatnya media diselamatkan dan demokrasi kembali ditegakkan.


*) Penulis adalah peneliti Pusaka Yogyakarta

Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas


Tidak ada komentar: