Rabu, 23 Januari 2008

esay sura

Suran, Ritual Menyambut Tahun Baru Hijriyah
Oleh : Fatkhul Anas*)


Bulan muharram merupakan awal tahun baru hijriyah bagi umat islam. Dalam tradisi Jawa bulan muharram terkenal dengan sebutan bulan sura (baca:suro). Bulan sura sebenarnya merupakan serapan dari bahasa arab yaitu ‘asyuro yang berarti tanggal 10 muharram. Karena orang Jawa sulit melafalkannya maka jadilah sura. Hal ini juga dialami oleh bulan-bulan Jawa lain yang merupakan serapan dari bahasa Arab seperti mulud, jumadil, sawal juga berasal dari bahasa arab yaitu maulid, jumadil, dan syawal. Bulan sura ini memang selalu identik dengan bulan muharram. Namun sesungguhnya memiliki waktu yang berlainan. Hal ini disebabkan karena berlainan sumber. Bulan muharram diambil dari kalender islam sedang bulan sura diambil dari kalender Çaka (baca: Syaka). Karena keduanya sama-sama didasarkan pada peredaran bulan, maka terkadang sering terjadi kesamaan tanggal.
Pada bulan sura ini masyarakat Jawa biasanya mengadakan perayaan-perayaan. Salah satu perayaan dalam bulan sura tersebut adalah suran. Suran merupakan upacara selamatan yang diadakan oleh sebuah keluarga -biasanya orang tua yang anaknya sudah berkeluarga- untuk memohon keselamatan kepada Allah. Dalam suran ini orang tua akan menyembelih ayam yang kemudian di masak atau diingkung. Kemudian mereka akan mengundang tetangga-tetangga dekat serta tokoh agama islam setempat untuk berdoa bersama (biasanya tahlil). Setelah berdoa bersama, orang yang diundang diberi hidangan berupa snack maupun nasi untuk dimakan. Nasi tersebut ada pula yang dibawa pulang untuk keluarga masing-masing yang disebut dengan berkat. Selain itu, keluarga yang mengadakan suran akan membagi-bagikan nasi berkat tersebut kepada sanak famili baik jauh maupun dekat yang masih bisa dijangkau.
Itulah tradisi suran yang saat ini masih dapat kita temukan di daerah-daerah terpencil maupun desa-desa di pulau Jawa yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani. Kalau di daerah kota sangat jarang tradisi ini kita temukan. Sebab masyarakat kota hidupnya lebih modern dari pada masyarakat desa. Selain itu, hubungan kekerabatan masyarakat desa dengan famili maupun dengan tetangga masih sangat erat. Sehingga sangat memungkinkan untuk melaksanakan suran. Ditambah dengan banyaknya bahan pangan terutama beras karena mata pencaharian mereka adalah petani.
Suran bagi masyarakat Jawa begitu penting mengingat bulan sura ini dalam kepercayaan mereka merupakan bulan yang banyak mendatangkan bilahi (mara bahaya). Untuk menghilangkan mara bahaya tersebut orang Jawa mengadakan selamatan berupa suran. Selain itu, suran juga dilakukan demi mempererat kembali tali persaudaraan antar famili maupun dengan tetangga. Ini erat kaitannya dengan konsep gotong-royong yang telah mengakar dalam tradisi masyrakat Jawa. Agar gotong-royong tetap melekat di sendi-sendi kehidupan maka pertemuan seperti suran ini merupakan langkah yang jitu untuk mewujudkan hal tersebut. Pada akhirnya masyarakat akan hidup dalam suasana guyub rukun, saling menghormati serta menjaga persatuan.

Kesatuan Numinus dan Dunia

Tradisi suran pada intinya adalah merupakan kesatuan antara alam numinus dengan alam dunia (alam ndoya). Alam numinus merupakan konsep kesadaran ilahi masyarakat. Sedang alam dunia yaitu alam dunia ini yang dapat dilihat secara empiris. Masyarakat Jawa tidak dapat melepaskan pandangannya terhadap alam lahir yang merupakan cakupan dari alam batin. Ketika masyarakat Jawa memandang alam dunia yang empiris mereka beranggapan bahwa alam empiris ini merupakan wilayah alam metempiris (ghaib). Sehingga segala gerak-gerik masyarakat selalu memiliki kaitan dengan sesuatu yang adikodrati yaitu Tuhan. Karena mereka percaya bahwa Tuhanlah yang berkuasa atas segala hal.
Dari itulah mengapa masyarakat Jawa (dalam hal ini Jawa islam) sering mengadakan selamatan. Bahkan hampir dalam segala peristiwa seperti panen, mempunyai anak, pernikahan, kehamilan, khitan, terkena musibah, bahkan kenaikan pangkat, selalu diadakan selametan. Hal ini karena mereka percaya bahwa segala sesuatu berasal dari zat yang adikodrati yaitu Tuhan. Karena itu demi rasa terimakasih kepada Tuhan atau demi memohon pertolongan, mereka mengadakan selamatan. Selain itu, selametan menurut mereka akan menghindarkan dari gangguan roh-roh halus. Hal itu juga diungkapkan Geertz (1981:17) ketika mengutip perkataan seorang tukang batu bahwa, “bila anda mengadakan selametan, tak seorang pun merasa dirinya dibedakan dari orang lain dan dengan demikian mereka tidak mau berpisah. Lagi pula slametan menjaga anda dari roh-roh halus sehingga tidak akan mengganggu anda” (Geertz dalam Soeseno, 1999: 89).
Kasatuan numinus dengan alam dunia ini berimbas pada pandangan bahwa masyarakat, alam, dan alam adikodrati adalah satu kesatuan (Murder, 1987:30). Hal ini terungkap dalam kepercayaan bahwa segala peristiwa yang terjadi di alam empiris berkaitan erat dengan alam metempiris. Karenanya masyarakat Jawa begitu menghargai terhadap alam metempiris. Mereka sama-sama hormat sebagaimana hormat terhadap manusia lainnya. karenanya tidak jarang masyarakat Jawa menyediakan sesajen sebagai betuk penghormatan terhadap makhluk di alam metempiris. Ada pula yang memandikan keris maupun benda-benda pusaka lainnya serta memelihara jimat. Hal itu dilakukan sebagai usaha menjaga keseimbangan kosmos antara alam manusia dan alam metempiris. Dalam hal menjaga etika dengan lingkungan, biasanya masyarakat Jawa menyediakan sedekah bumi saat panenan serta mengolah tanah sekedarnya. Ini bertujuan agar tanah tetap subur dan mendatangkan berkah.
Tradisi suran ini sesungguhnya merupakan usaha masyarakat untuk mewujudkan keseimbangan kosmos tersebut yaitu antara manusia, alam dan alam adikodrati. Adanya pembagian makanan (sedekah) merupakan sebuah usaha agar Tuhan selalu menjadikan bumi subur sehingga bahan makanan yang dihasilkan berkah. Bila bahan makanan berkah, masyarakat pun akan hidup sehat. Jangan sampai Tuhan murka dan mendatangkan mara bahaya lewat makanan karena manusia tidak mau bersedekah. Adapun permohonan do’a adalah untuk memohonkan keselamatan manusia serta sebagai ujud rasa syukur kepada Tuhan atas kenikmatan yang berlimpah. Dari serangkaian ritual suran ini lengkaplah formulasi antara alam, manusia dan alam adikodrati yang merupakan konsep keseimbangan.
Itulah ritual suran yang dilaksanakan masyarakat islam Jawa setiap datang bulan sura. Meski sekarang ritual ini hanya bertahan di daerah pedesaan dan pelosok, namun ritual ini memiliki makna yang adhiluhung. Adanya pelestarian terhadap ritual tersebut sesungguhnya merupakan usaha yang arif. Meski saat ini ritual tersebut banyak ditentang oleh umat islam modern. Namun sesungguhnya ritual ini tetap mempunyai makna dan tetap mampu memberikan pencerahan di abad postmodern ini.


*) Penulis adalah pengamat agama dan kebudayaan pada Pusat Studi agama dan Kebudayaan (Pusaka) Yogyakarta

Tidak ada komentar: