Rabu, 27 Februari 2008

opini

Kekeliruan Pandangan Mengenai Slogan "Gaul"
Oleh : Fatkhul Anas*)
Bagi anda para kaum muda atau siapapun yang cinta dengan hal-hal gaul, mendengar kata-kata gaul pasti bukanlah hal yang aneh. Malah anda akan merasa malu jika tak disebut gaul. Karenanya anda selalu berusaha menjadi orang gaul. Caranya bermacam-macam. Ada yang berpakaian necis bermerek dan harganya mahal, rambut disemir, memakai lipstik tebal, memakai minyak wangi made in luar negri, bersepeda motor Harley, memakai anting bagi laki-laki, atau apapun yang penting bisa tampil cool, funky, top, beken, sehingga orang yang melihat anda akan kagum.
Ketika orang kagum melihat diri anda maka secara otomatis anda akan percaya diri. Karenanya, anda selalu berusaha tampil gaul setiap saat. Namun, apakah anda tahu kalau apa yang anda lakukan sebenarnya merugikan diri anda sendiri? Memang anda maupun kita sendiri kurang begitu respek dengan persoalan kerugian. Karena bagi kita berpenampilan "top" merupakan bagian dari hidup. Sehingga efek negatif dari penampilan kurang kita perhatikan. "Asal kita bisa berpenampilan gaul, itu yang tebaik", begitu kira-kira yang ada dalam pikiran kita.
Memang saat ini "gaul" telah menjadi realitas yang sedang bergulir di negri kita. Meski sebenarnya hal ini sudah sejak lama terjadi. Namun tampaknya kita tak begitu menyadarinya. Kita tak begitu peduli dengan hal seperti itu. Dan mungkin bagi sebagian masyarakat, tak ada yang istimewa membicarakan kata "gaul". Toh, itu sudah hal yang lazim di negri ini. Boleh-boleh saja kita berbicara seperti itu. Karena masing-masing diri kita mempunyai hak berbicara. Tetapi ada hal penting yang perlu dibicarakan dibalik slogan "gaul". Ini karena dibalik slogan "gaul" ternyata menyimpan narasi besar kaum kapitalis, yaitu keuntungan.
Bagaimana tidak keuntungan, kalau semua simbol-simbol gaul adalah produk-produk industri. Orang dikatakan gaul ketika mampu berpakaian mahal, memakai make up made in luar negri, memakai semir rambut, belanja di Mall, memiliki HP bermerek, dan memiliki berbagai macam asesoris lainnya. Sampai urusan makan sekalipun harus diberi lebel "gaul". Karenanya, orang akan berbondong-bondong membeli produk-produk tersebut agar bisa meraih predikat "gaul". Apalagi para kaum muda yang sedang jatuh cinta, segala macam produk apapun akan dibeli agar mereka mampu tampil gaul di depan orang yang dicintainya. Tak heran ketika ada pesta ulang tahun, hari valentine, atau pesta-pesta lain, mereka berlomba-lomba pamer gaya agar dikatakan gaul.
Ini tentu saja merupakan keuntungan besar bagi para kaum kapitalis. Sebab produk mereka laku keras dipasaran. Karenanya mereka selalu memakai slogan "gaul" pada setiap penawaran produkya. Para kaum kapitalis tak mau ambil pusing apakah akan menimbulkan efek negatif atau tidak. Bagi mereka logika pasarlah yang dipakai dimana keuntungan menjadi prioritas utama. Kalau produk-produk mereka laku, tentu mereka sangat senang.
Namun, bagi kita yang selalu menjadi konsumen, kerugian jelas menimpa. Pertama, kita rugi karena dihipnotis menjadi kaum konsumtif. Kita yang hidup di Indonesia dimana Indonesia masuk kedalam kategori negara dunia ketiga, merupakan lahan pemasaran besar bagi negara-negara industri. Karenanya, mereka berlindung dibawah slogan "gaul" sebagai senjata untuk menawarkan produk-produknya. Negara kita yang masih lemah dalam hal pengetahuan, mengamini saja apa yang ditawarkan kaum industri dan selalu menganggap bahwa produk mereka lebih berkualitas dari pada produk dalam negri. Karenanya, dengan sendirinya tiba-tiba kita dibuat merasa butuh akan produk-produk tersebut. Kalau tidak membeli produk itu kita akan dicap oleh publik sebagai orang yang tidak gaul.
Kerugian kedua, moral bangsa kita semakin jauh dari nilai-nilai kepribadian bangsa. Kita saat ini tergiring hidup hedonis dan materialis. Semua yang serba kesenangan dan keuntungan pribadi itu yang kita cari. Hidup glamor, mewah, serba enak, menjadi gaya hidup saat ini. Kesederhanaan lambat laun kita jauhi karena sederhana dikatakan tidak "gaul". Akibatnya, kita saling berlomba-lomba menumpuk harta untuk mencari kesenangan. Berbagai macam cara dilakukan, tak peduli halal haram yang penting kita untung. Tak peduli orang lain sengsara yang penting kita bahagia. Tak peduli pula orang miskin disekitar kita yang setiap hari kelaparan. Kita hanya peduli jika orang lain mampu mendatangkan keuntungan dan kesenangan bagi diri kita. Itulah realitas terjadi saat ini. Karenanya moral keluhuran bangsa yang selama ini kita banggakan telah hilang.
Rubah Paradigma
Memang sangatlah sulit bagi kita untuk merubah kondisi yang ada. Karena mau tidak mau kita harus melawan arus kapitalisme global. Tentu saja dibutuhkan perangkat kuat untuk melawan musuh terbesar itu. Namun, bukan berarti kita menyerah dan pasrah. Kita masih mampu berusaha melawan itu semua. Salah satu cara yang mampu kita lakukan adalah merubah paradigma (mind set) berpikir kita. Bukankah manusia diciptakan untuk berpikir? Filsuf Rene Descartes berkata "aku berpikir maka aku ada". Ini adalah sebuah ketegasan otoritas manusia agar menggunakan akal pikirannya untuk selalu berpikir dan berpikir. Manusia tidak semestinya menjadi robot yang bisa dikontrol oleh manusia lain. Tetapi memiliki kebebasan untuk menetukan sikap karena manusia mampu berpikir.
Kita saat ini yang telah dijadikan robot kaum kapitalis meski tidak kita sadari, harus melakuan pembenahan dengan merubah pola pikir. Kita bersama-sama meluruskan pandangan publik yang selama ini bergulir tentang "gaul". Sesungguhnya gaul yang selama ini kita persepsikan dengan orang yang bergaya funky, top, beken, mewah, serba mahal, sering nongkrong di Mall, atau apapun lainnya adalah pandangan yang keliru. Gaul sesungguhnya adalah mereka yang mampu mendatangkan kemanfaatan dan kemaslahatan bagi orang lain, bagi bangsa dan negara. Bukan bagi dirinya maupun golongannya.
Jadi, mereka para intelektual, cendekiawan, budayawan, ulama, pahlawan, para petani sekalipun atau siapapun orangnya yang mampu mendatangkan kemanfaatan bagi bangsa dan negara adalah "orang-orang yang gaul". Merekalah yang patut dijadikan figur dalam kehidupan kita. Merekalah yang patut disenandungkan namanya dalam setiap pembicaraan kita. Segala gerak-gerik positif mereka perlu dan harus kita tiru. Jasa-jasa mereka harus kita hargai dan kita teruskan. Karenanya jika ingin jadi "orang gaul" jadilah seperti mereka. Jangan menjadi orang-orang yang tidak memiliki idealisme, orang-orang yang hanya menjadi robot kapitalisme dan kaum penindas.
Merekalah yang semestinya kita jadikan pijakan dalam mengarungi kehidupan di abad postmodern ini. Karena itu, sudah saatnya kita bersama-sama mengekspresikan "gaul kita". Caranya yaitu dengan meniru pola atau tingkah laku atau bahkan menjadi seperti mereka-mereka para pengabdi bangsa yang setia membela kepentingan bangsa dan negara. Kita tunjukkan kepada khalayak ramai bahwa kita mampu orang-orang gaul seperti mereka-mereka. Meski kita melakukan semua itu secara sedikit demi sedikit dan perlahan-lahan. Namun, asalkan kita mau mengapa tidak kita lakukan. Toh, saat ini belum terlambat kita melakukannya.
*)Penulis adalah pengamat budaya pada Hasyim Asy’ari Istitute, Yogyakarta
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas
Email : anas_jogja@yahoo.co.id

resensi buku filafat pendidikan

Pendidikan Indonesia Diambang Mindlessness
Judul buku : Filsafat Pendidikan; Manusia, Filsafat, dan Pendidikan
Penulis : Prof. Dr. Jalaluddin dan Prof. Dr. Abdullah Idi, M. Ed.
Penerbit : Ar-Ruzz Media, Yogyakarta
Cetakan : I, November 2007
Tebal : 214 halaman
Peresensi : Fatkhul Anas*)
Pendidikan Indonesia seringkali mengalami keterjebakan. Keterjebakan tersebut terlihat ketika pendidikan lebih menitikberatkan pada hal teknis, tetapi mengesampingkan aspek evaluasi. Baik evaluasi dalam hal tujuan, sasaran, kebutuhan-kebutuhan nyata, maupun hasil pendidikan. Akibatnya pendidikan selalu mengarah pada hal yang karikatif, instrumental, dan teknis-administratif belaka. Charles Silberman menyebut fenomena seperti ini sebagai mindlessness. Ini disebabkan pendidikan telah menderita terlalu lama karena banyaknya jawaban-jawaban dan sedikitnya pertanyaan-pertanyaan. Hampir dalam segala kurikulum pendidikan kita, jawaban telah terlebih dahulu disediakan sebelum mengetahui persoalan. Ibaratnya kita diberi resep dahulu sebelum tahu penyakitnya. Sebagai contoh, dibangku perkuliahan kita belajar mengenai strategi pendidikan. Padahal kita belum pernah terjun langsung dalam hal pendidikan.
Akibatnya dilapangan seringkali kita gagap karena banyak hal yang tidak kita temukan dalam perkuliahan tetapi terjadi dilapangan. Atau dalam istilah filsafatnya apa yang seharusnya ada dalam teori (das sollen) berbeda dengan kenyataan (das sain). Hal seperti ini kalau dipelihara terus menerus bisa mengakibatkan pendidikan kita akan "tamat riwayat". Saat ini saja pendidikan Indonesia belum mampu mencapai hasil yang maksimal. Kita selalu ketinggalan dengan negara lain. Salah satu penyebabnya selain terbatasnya dana, adalah karena pendidikan Indonesia terserang virus mindlessness. Karenanya, untuk mencegah hal tersebut diperlukan perenungan mendalam untuk mengetahui persoalan-persoalan sekaligus solusi. Dalam hal inilah filsafat pendidikan sangat dibutuhkan. Sebab filsafat akan mengantarkan manusia ke alam perenungan yang mendalam dan menembus batas pengetahuan.
Filsafat pendidikan, sebagaimana yang dibahas dalam buku Filsafat Pendidikan; Manusia, Filsafat, dan Pendidikan karya Prof. Dr. Jalaluddin dan Prof. Dr. Abdullah Idi, M. Ed. ini mencoba menelaah masalah pendidikan melalui alam kontemplasi untuk memperoleh kejernihan berfikir agar memperoleh hasil maksimal. Sebab, dalam mengatasi persoalan-persoalan pendidikan kalau tidak menggunakan perenungan yang mendalam bisa jadi hasilnya setengah-setengah. Karenanya seorang filosof pendidikan setidaknya harus memiliki 4 aktifitas yaitu menyintesis, berspekulasi (merenung), preskripsi (menetukan), dan menganalisis (hal 140). Dalam hal menyintesis, seorang filsuf berupaya menyatukan dan memadukan pengetahuan-pengetahuan umat manusia yang terspesialisasi kedalam pandangan dunia yang terunivikasi. Kalau dalam kaitannya dengan pendidikan, maka penyatuan pandangannya adalah terkait masalah pendidikan. Ini untuk menyatukan persepsi agar tujuan pendidikan tidak buyar kemana-mana.
Dimensi spekulatif (perenungan) ditujukan untuk menyusun tindakan yang seharusnya dilakukan manusia. Dalam hal pendidikan, spekulasi terkait untuk merumuskan kebijakan-kebijakan pendidikan. Akan dibawa kemana pendidikan, tergantung seberapa jauh seorang filsuf melakukan spekulasinya. Semakin jernih ia melakukan spekulasi semakin baik pula pikiran-pikiran yang dihasilkan. Kalau pikiran tersebut kemudian dituangkan dalam bentuk kebijakan pendidikan, setidaknya kebijakan yang dibuat mampu memberikan solusi yang tepat bagi pendidikan. Adapun dimensi preskripsi (penentuan) berusaha menetapkan patokan-patokan dalam hal pendidikan. Apa indikasi kemajuan pendidikan, apa urgensinya sebuah kebijakan pendidikan, apa yang seharusnya dilakukan oleh pendidikan, dan sebagainya merupakan wilayah preskripsi (penentuan). Seorang filsuf dalam hal ini dituntut mampu merumuskan langkah-langkah pendidikan secara tepat. Ini tentunya agar tujuan pendidikan mampu diraih secara maksimal.
Adapun aspek analisis terkait penyelesaian persoalan-persoalan yang ada dalam hal pendidikan. Segala persoalan yang muncul dalam hal pendidikan mulai dari hal kecil sampai besar mencoba dianalisis. Tujuannya adalah untuk mengetahui pokok persoalan yang dihadapi sehingga cepat mencari solusinya. Aktifitas ini memang membutuhkan ketelitian yang luar biasa. Karena jika analisisnya lemah, kesimpulan yang dihasilkan juga kurang valid. Akibatnya solusi yang diberikan kurang tepat.
Melihat aktifitas para filsuf yang begitu njlimet, maka tak heran jika banyak orang menganggap filasafat itu sulit. Akan tetapi sesungguhnya tidak demikian. Filsafat sesungguhnya menawarkan dunia yang asyik dan menarik. Memang tidak semua orang mampu menjadi filsuf. Karena seorang filsuf harus benar-benar mampu berfikir filosofis. Namun, bukan berarti aktifitas berfilsafat kemudian kita tinggalkan. Apalagi dalam hal pendidikan. Filsafat pendidikan begitu urgen disaat kondisi pendidikan bangsa yang masih terpuruk. Urgensi filsafat pendidikan diantaranya: Pertama, mengajak agar pendidikan lebih bersifat meaningfull (bermakna) dan komprehensif. Pendidikan tidak lagi terjebak pada hal-hal yang karikatif, instrumental, dan teknis-administratif alias tidak mindlessness.
Kedua, filsafat mengajak pendidikan merenungi sisi problematisasi sekaligus sisi solusi bagi problem-problem pendidikan. Kalau selama ini kita kesulitan mengidentifikasi problem-problem dalam pendidikan, melalui filsafatlah kita akan diantarkan untuk merenung menemukan problem pendidikan kita. Selain itu, kita juga akan dipacu terus-menerus untuk menemukan solusi bagi pendidikan. Sehingga segala problematisasi pendidikan mampu kita atasi dengan cermat, tepat, dan menghasilkan penyelesaian. Ketiga, filsafat memuat aspek yang dibutuhkan pendidikan yaitu aktivitas (bernalar), serangkaian sikap (lifestyle), serta keterpaduan ini (teroritis). Filsafat akan mencoba mengantarkan anak didik menjadi manusia yang mampu berfikir kritis, cerdas, serta tajam. Filsafat juga mencoba menjadikan pendidikan menjadi lifestyle (gaya hidup). Jadi pendidikan bukan sekedar memenuhi kewajiban, tapi mampu dijiwai.
Setelah mengetahui manfaat dari filsafat pendidikan, maka jangan takut berfilsafat. Apalagi bagi para pelajar Indonesia dimana masa depan pendidikan ada ditangan mereka, filsafat semestinya tidak sekedar menjadi bahan pelajaran tetapi dilaksanakan. Mengingat tantangan zaman yang begitu keras, ditempa dengan arus globalisasi yang terus bergulir seiring bergulirnya lorong waktu, mau tidak mau pendidikan harus direkonstruksi. Melalui filsafat inilah salah satu jalannya. Dengan filsafat kita akan mengetahui dimana kelemahan pendidikan kita selama ini. Kita juga akan mengetahui penyebab ketertinggalan pendidikan. Setelah itu, tentu kita akan mencari solusinya. Dan yang penting saat ini harus dilaksanakan adalah menjaga agar pendidikan kita tidak "tamat riwayat".
*) Penulis adalah pecinta filsafat pada Hasyim Asy'ari Institute
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

Sabtu, 16 Februari 2008

opini pesantren

Pesantren dan Fenomena Dikotomi Pendidikan
Oleh : Fatkhul Anas*)

16 November 2008 kemarin, baru saja Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta (LKKY) menyelenggarakan Seminar dalam rangka menyambut seabad Kebangkitan Nasional Indonesia (1908-1998). Seminar yang bertemakan “Pesantren dan Masa Depan Pendidikan Nasional” itu bertempat di Ndalem Joyokusuma, Yogyakarta. Seminar ini memang ditujukan dalam rangka mengangkat dunia pesantren dalam ranah perjuangan bangsa selama seabad, yang selama ini mendapat perhatian minim dari kalangan publik. Pesantren selalu mendapat titik marginal ketika dibenturkan dalam konteks kebangsaan. Apalagi di ranah pendidikan nasional, pesantren menempati posisi sebagai anak tiri. Dalam rangka inilah LKKY mengengkat tema pesantren dan pendidikan nasional sebagai sebuah upaya mencari benang merah diantara keduanya.
Secara kapasitas, tempat seminar memang sederhana karena seminar tidak ditempatkan di Hotel. Namun, karena kesederhanaan tempat inilah menurut pengamatan penulis, mampu mencuatkan beragam ide, solusi, serta mampu membeberkan berbagai persoalan seputar pesantren dan pendidikan nasional. Apalagi pembicara yang dihadirkan cukup kompeten dibidangnya. Ada Gus Nasrudin (pemilik Pesan Trend Ilmu Giri), perwakilan DPD RI, RMI Yogyakarta, Kakanwil Depag DIY, serta perwakilan dari Kanwil Diknas DIY. Dalam seminar ini berbagai persoalan seputar pesantren serta pendidikan nasional banyak dikupas. Diantara persoalan yang saling bertumpang tindih, yang menurut penulis penting ditanggapi adalah persoalan dikotomi antara pendidikan pesantren dan pendidikan nasional. Persoalan ini kemarin sempat mencuat namun belum begitu banyak mendapat sorotan. Padahal secara fakta hal ini terus terjadi dalam sistem pendidikan Indonesia.
Memang secara keberpihakan baik pemerintah maupun publik, pesantren ridak banyak dilirik. Pesantren masih dianggap lembaga kuno yang hanya mampu melahirkan generasi kolot. Karenanya, banyak generasi pesantren yang tidak bisa mendapat tempat yang layak dalam ranah publik. Padahal peran serta pesantren dalam lingkup kebangsaan sudah tak terhitung jasanya. Mulai dari pra kemerdekaan RI sampai kemerdekaan, bahkan sampai saat ini. Lihat saja aksi para kyai seperti K.H. Hasyim Asy’ari yang menelorkan “resolusi jihad” untuk melawan para penjajah. Mereka rela bertempur mewakafkan harta benda serta nyawa demi kemerdekaan RI. Mereka juga tak hanya sekedar berkoar-koar menyuarakan komando perang, namun ikut terjun memimpin peperangan di medan perang.
Pasca kemerdekaan RI, para tokoh-tokoh pesantren baik kyai maupun santri juga tetap berkiprah dalam ranah kebangsaan baik dalam lingkup sosial, intelektual, kemanusiaan, apalagi keagamaan. Bahkan sampai saat ini baik diwilayah Nusantara maupun Yogyakarta khususnya, masih banyak para intelektual, budayawan, maupun cendekiawan yang lahir dari rahim pesantren. Nama-nama seperti KH. Zainal Arifin Thoha (alm), Gus Nasrudin, dan KH Abdul Muhaimin, adalah sebagian kecil dari para intelektual serta budayawan Yogyakarta yang lahir dari rahim pesantren. Ini adalah bukti bahwa pesantren masih menancapkan kuku-kuku keilmuan yang kokoh serta masih mampu berpacu di era globalisasi ini. Meski pesantren terus bergelut dengan alam tradisionalnya, namun terbukti pesantren tetap “manjur” melahirkan tokoh-tokoh besar bangsa.
Sampai disinilah pesantren begitu getol memercikkan peranannya bagi kemajuan bangsa. Namun lagi-lagi pesantren masih dimarginalkan. Baik dalam segi finansial, perhatian, maupun keraguan terhadap lulusannya, masih menyelimuti dunia pesantren. Memang menurut penulis ada baiknya jika pesantren diasuh oleh Diknas. Ini selain akan memudahkan perolehan dana, lulusannya juga akan mampu memasuki ranah nasional. Selain itu, generasi-generasi pesantren juga akan terlatih tata administrasi modern agar mereka tidak gagap dan profesional dalam mengelola administrasi. Ini sebagai bekal ketika masuk dalam tata keorganisasian seperti Depag maupun lembaga keislaman lain, para generasi pesantren mampu bekerja secara profesional dalam menata keorganisasiannya. Sebab pengalaman selama ini, organisasi maupun lembaga keislaman seperti Depag secara keorganisasian terutama administrasi (dalam arti luas) masih sangat kacau.
Atas dasar inilah penulis menilai pengelolaan pesantren sebaiknya di berikan kepada Diknas. Kalau memang Depag nantinya tidak memiliki lahan garapan, bisa dibagi antara Depag dan Diknas. Misalnya wilayah pesantren maupun lembaga pendidikan milik pesantren (madrasah dan sebagainya) biarlah dikelola Diknas. Sedangkan pendidikan madrasah yang bukan milik pesantren (MIN, MTsN, MAN, atau sederajat) biarlah dikelola oleh Depag. Atau sebaliknya, pesantren dan lembaga pendidikan yang dimiliki pesantren (madrasah dan sebagainya) biarlah dikelola Depag, sedang lembaga pendidikan (madrasah) yang bukan milik pesantren biarlah dikelola Diknas. Atau bisa dicarikan alternatif lain yang pada intinya untuk meringankan beban Depag dalam hal pendidikan baik formal seperti madrasah maupun nonformal seperti pesantren. Selain itu, kucuran dana dari pemerintah kepada Diknas yang begitu banyak juga bisa dinikmati oleh lembaga pendidikan islam seperti pesantren.
Kalau Depag masih perpegang teguh dengan sistim yang ada saat ini, dikhawatirkan pesantren kedepan tidak lagi eksis. Padahal pesantren adalah lumbung generasi-generasi handal yang siap mewarnai dan berkiprah bagi bangsa ini. Apalagi menghadapi tantangan zaman yang terus berkelindan, bangsa ini butuh orang-orang pesantren untuk terus menjaga bangsa dari keterpurukan. Bekal yang dimiliki oleh orang-orang pesantren baik mental yang kuat, kepribadian yang luhur, jiwa kemadirian, serta daya intelektual yang tinggi, harus terus mewarnai bangsa ini. Walaupun dalam beberapa segi pesantren dikenal kolot, itu hanyalah sebagian kelemahan pesantren yang tidak perlu dibesar-besarkan. Apalagi saat ini pesantren telah diwarnai dengan berbagai sistim modern demi mengejar ketertinggalan zaman. Itu artinya kesan kolot pesantren hanyalah idiom masa lalu yang tak perlu lagi dicuatkan ke dalam ranah publik.
Karenanya, saat ini harus betul-betul dipikirkan matang-matang mengenai dikotomi antara pendidikan pesantren dan pendidikan nasional. Kapankah hal ini akan berakhir? Jawaban itulah yang harus kita cari mulai saat ini. Dan harapan penulis semoga seminar kemarin betul-betul mampu memberikan titik pencerahan publik terhadap pesantren agar pesantren tidak lagi dimarginalkan.

*) Penulis adalah Pengamat Pendidikan Pesantren serta staf pada Pusat Studi Agama dan Kebudayaan (Pusaka) Yogyakarta
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI cabang UGM Yogyakarta a/n Fatkhul Anas

Kamis, 07 Februari 2008

opini hari pers ke-62

Catatan Hari Pers ke-62
Pers dan Telikungan Kapitalisme
Oleh : Fatkhul Anas*)
Tanggal 9 Februari 2008 ini diperingati Hari Pers Nasional ke-62. Momen ini sudah selayaknya kita jadikan momentum untuk melihat kembali atau mengevaluasi pejalanan pers Indonesia. Sejak terbentuknya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Solo tahun 9 Februari 1946, sejak saat itu pula Hari Pers Nasional ditetapkan. Berarti usia pers kita sudah cukup tua karena hanya selisih satu tahun dari kemerdekaan Indonesia. Sejauh ini bagaimana lika-liku perjalanan pers Indonesia serta bagaimana sesungguhnya posisi pers kita saat ini? Hal itulah yang akan penulis ungkap dalam artikel ini. Penulis akan menggunakan terminologi Quester (1990) sebagai pisau analisis, meski sesungguhnya terminologi tersebut dipakai untuk menganalisis pertelevisian.
Dalam terminologi Quester sebagaimana dituliskan Ade Armando dalam pengantar buku matinya media, perjalanan televisi Indonesia berkembang dari negara yang semula menganut sistem pertelevisian “limited programming” kearah sistem yang percaya kepada kewenangan konsumen untuk memilih (relying on choice) dan bahkan kearah sistem yang menawarkan pilihan berlimpah (plentitude). Begitu pula dengan pers kita. Kalau kita teliti lebih dalam, masa-masa awal pers kita adalah masa pers tertutup, persis seperti limited programming dalam petelevisian. Masa ini terjadi mulai pemerintahan Soekarno. Hal ini terlihat jelas ketika diberlakukan keadaan perang dan darurat perang (SOB) 14 Maret 1957. Tahun ini merupakan tahun tindakan keras terhadap pers yang menghasilkan 125 tindakan anti pers berupa penahanan, sanksi ekonomi, pemenjaraan, sanksi perizinan, kertas koran, dan berbagai tindakan lainnya. Banyak para Pemred mendapatkan hukuman penjara akibat berita-berita yang dianggap menentang Soekarno. Salah satunya Mochtar lubis, Pemred Indonesia Raya yang ditangkap pada 10 Januari 1958 kemudian dipenjarakan.
Tahun 1964, tepatnya 17 Desember 1964 Soekarno melarang keberadaan Badan Pendukung Soekarno (BPS) yang anti komunis. Beliau juga kemudian memberangus sejumlah surat kabar dan majalah yang dinilai pro BPS. Soekarno kemudian mewajibkan semua media massa di negeri ini setiap hari menerbitkan tulisan-tulisannya. Bahkan pada ulang tahun ke-19 PWI Soekarno menyatakan dengan tegas bahwa dalam revolusi tidak boleh ada kebebasan pers. Hanya pers yang mendukung revolusi yang dibolehkan hidup. Setelah Soekarno turun dari jabatan Presidennya, kebebasan pers ternyata belum juga terwujud. Apalagi saat-saat itu adalah masa rezim orde baru. Tentu kita tahu bagaimana Suharto menyetir pers sedemikian rupa. Segala berita yang muncul adalah untuk membesarkan namanya. Tayangan-tayangan media elektronik seperti televisi juga disettyng agar membawa misi kepemimpinanya. Saat itulah kebebasan pers benar-benar tidak menemukan ruang. Dan barang siapa yang menentang maka akan ditindak tegas.
Untungnya, Suharto dapat diturunkan dari jabatan kepresidenannya tahun 1998 setelah 32 tahun berkuasa penuh atas Indonesia. Saat itulah pers mulai memasuki era kebebasan atau sebagaimana terminologi Quester “relying on choice”. Koran-koran baru mulai banyak bermunculan, media elektronik mulai banyak tayang. Tidak ada pembredelan, penangkapan, maupun pemenjaraan terhadap pekerja pers bahkan mereka dilindungi. Rakyat bebas mengeluarkan pendapat, pikiran, bahkan ktitik terhadap pemerintah. Rakyat pun bebas menyaksikan tayangan televisi mana yang mereka suka. Stasiun televisi juga tidak lagi memihak pada TVRI sebagai saluran tunggal. Karena begitu luasnya kebebasan terhadap pers, maka muncullah masa-masa dimana pers semakin beragam dan menyajikan berbagai pilihan kepada rakyat, atau masa plentitude dalam terminologi Quester. Rakyat bebas memilih koran mana yang ia suka, radio mana yang akan didengar, atau televisi mana yang akan ditonton. Semua bebas memilih yang mereka suka, tanpa ada paksaan karena pilhan pers berlimpah. Itulah masa-masa yang terjadi pada pers Indonesia saat ini.
Melihat liku-liku perjalanan pers yang begitu banyak pergolakan, kita mungkin menilai bahwa saat-saat inilah pers menemukan kedamaian karena tidak lagi ada pengekangan. Memang hal itu tidak keliru. Akan tetapi dibalik kedamaian itu, tersimpan berbagai “pengekangan” yang tersembunyi. Lalu siapa yang mengekang pers? Jawabannya adalah para kaum kapitalis. Fase ini dimulai sejak adanya kebebasan pers yang memunculkan swastanisasi. Pers tidak lagi menjadi milik pemerintah, tetapi menjadi milik segelintir orang. Akibat swastanisasi inilah pers bebas didirikan oleh orang yang berduit. Maka tidak bisa dipungkiri kalau pers akhinya menjadi lahan bisnis yang bermuara pada keuntungan (profit oriented). Lihatlah berapa banyak iklan yang ditempelkan di koran-koran mulai dari produk elektronik, kecantikan, industri, obat kuat, bahkan jimat. Tayangan televisi juga banyak menyuguhkan tayangan yang irasional, porno, berbau seksual, serta tidak memberikan pendidikan bagi para penonton, yang terpenting tayangan tersebut laku jual. Belum lagi iklan yang begitu banyak. Itu semua adalah lahan keuntungan para pemilik kaum kapitalis.
Itulah kondisi pers Indonesia saat ini yang semakin kehilangan jati diti. Karena itu, sudah saatnya pers direvitalisasi kembali agar menemukan jati diri dan mampu memberikan pencerahan bagi bangsa. Pers tidak hanya sekedar lahan bisnis, tetapi ada nilai-nilai positif yang diperjuangankan. Ini tentunya membutuhkan kredibilitas dari orang-orang yang terlibat dalam pers untuk kembali meneguhkan idealisme. Hal itu memang sulit. Karena mau tidak mau pers juga harus didukung oleh materi agar tetap eksis. Apalagi di era globalisasi ini. Sehingga hal-hal seperti iklan dan sejenisnya harus ada.
Kalau memang demikian keadaannya, setidaknya pers mau melakukan semacam gebrakan untuk menghindarkan diri dari profit oriented semata. Seperti telah dicontohkan oleh koran Kompas dan Tempo yang menjual korannya seharga Rp 1000 di sore hari. Ini adalah sebuah wujud kepedulian terhadap rakyat agar mereka mampu membeli koran karena harganya murah. Tentu saja agar rakyat semakin cerdas. Disinilah ada nilai-nilai positif dari pers yang terus diusung. Pers tidak hanya beorientasi mencari keuntungan semata. Hal semacam inilah sesungguhnya yang perlu dilakukan oleh pers Indonesia secara umum dimana ada nilai-nilai positif yang mereka perjuangkan, bukan hanya sebagai lahan bisnis. Semoga melalui momentum Hari Pers ke-62 ini, pers Indonesia kembali menemukan jati dirinya.

*)Penulis adalah Peneliti pada Pusat Studi Agama dan Kebudayaan (Pusaka) Yogyakarta
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

Rabu, 06 Februari 2008

opini HMI

Catatan Hari Lahir HMI ke-61

HMI, Antara Hidup dan Mati

Oleh : Fatkhul Anas*)


Pada 5 Februari 1947 sebuah organisasi mahasiswa berbasis keislaman lahir di Yogyakarta, tepatnya di Sekolah Tinggi Islam atau yang sekarang dikenal dengan Universitas Islam Indonesia (UII). Lafran Pane adalah orang yang mencetuskan gerakan kemahasiswaan tersebut. Dalam catatan sejarah, sebagaimana tercatat dalam Harian Pelita Jakarta, 30 Mei 1986, organisasi ini lahir di ruangan kuliah ditengah semangat kebangsaan yang tinggi. Konfigurasi politik, sosial, ekonomi, pendidikan, agama, dan kebudayaan masa itu turut mematangkan kelahiran dan keberadaannya ditengah-tengah bangsa. Organisasi itulah yang dari masa ke masa telah mampu melahirkan nafas perjuangan mahasiswa baik dari gerakan kritisnya maupun para intelektual yang dilahirkan dari sana. Itulah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang namanya masih terkenang hingga saat ini.

Dari rahim organisasi ini banyak para intelektual bangsa lahir. Tak terhitung berapa jumlahnya, tetapi yang pasti para intelektual yang dicetak dari organisasi ini adalah manusia handal yang turut mewarnai negri ini. Sebut saja Nurcholis Madjid, Delier Noer, Akbar Tanjung, Amin Rais, Dawam Raharjo, dan masih banyak para intelektual bangsa terlahir dari rahim HMI. Memang semangat zaman saat itu dimana kondisi bangsa Indonesia belum menentu dan masih terus bergejolak, mampu membakar api kesadaran para mahasiswa untuk terus berjuang, berdiskusi, melakukan aksi, mengkritik ketidakadilan, dan memerangi ketimpangan. Drs Agus Sitompul, salah seorang aktivis HMI mencatat bahwa kondisi obyektif yang mendorong berdirinya HMI dan terus mengobarkan api semangat setidaknya ada tiga hal. Pertama, adanya kebutuhan penghayatan keagamaan dikalangan mahasiswa islam yang sedang menunutut ilmu di perguruan tinggi, yang selama itu belum mereka nikmati sebagaimana mestinya. Karena pada umumnya para mahasiswa belum memahami dan kurang mengamalkan ajaran agamanya, sebagai akibat dari sistem pendidikan dan kondisi masyarakat saat itu.

Kedua, tuntutan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, yang ingin melepaskan diri sebebas-bebasnya dari belenggu penjajahan. Ketiga, adanya Sekolah Tinggi Islam (sekarang UII) sebagai ajang dan basis yang dijadikan wahana mewujudkan cita-cita untuk merubah kondisi umat islam dan bangsa Indonesia. Apalagi secara sosiologis bangsa Indonesia mayoritas berpenduduk islam. Sehingga pemikiran-pemikiran pembaruan itu akan memperoleh sambutan positif dari kalangan Perguruan Tinggi dan mahasiswa sebagai pusat kebudayaan. Ketiga hal inilah yang terus memberikan percikan semangat dan bara perubahan yang luar biasa. Tak heran jika saat-saat itu semangat untuk berdiskusi, melakukan aksi, mengkritik ketidakadilan, masih menjadi menu utama dalam perjuangan HMI.

Dari waktu ke waktu semangat tersebut terus diwariskan dari genarasi ke generasi. Sehingga menjadi sebuah tradisi yang memiliki mata rantai yang tak terputus. Selain itu, pembenahan terhadap keorganisasian maupun penyelesaian terhadap persoalan intern juga terus digalakkan. Itu semua sebagai upaya agar HMI mampu berdiri kokoh dan tetap memberikan mata air pencerahan bagi bangsa Indonesia.

Namun sangat disayangkan ditengah-tengah perjalanan pengembaraanya, HMI harus mengalami keruntuhan puing-puing keorganisasian. Pasca terpecahnya HMI menjadi dua kubu antara HMI Dipo dan HMI MPO, organisasi ini harus mengalami keterpecahan pandangan. Satu pihak bersikukuh menciptakan HMI yang independen, yang tidak memiliki keterkaitan dengan organisasi manapun, sementara satu pihak beralih menjadi anderbouw partai politik meski tanpa disadarinya. Keterpecahan inilah yang menyebabkan HMI tidak lagi memiliki gaung dan tidak menyalakkan suara-suara kritisnya. Mereka hanya bisa diam karena terjebak dalam pertikaian pandangan. Selain itu, adanya kevakuman generasi membuat HMI tidak lagi memilki loyalitas tinggi dalam pergerakan. Kevakuman generasi yang saya maksud bukan berarti tidak memiliki generasi, akan tetapi generasi HMI tidak lagi sekritis generasi dahulu. Mereka gagap dalam membaca momentum zaman. Sehingga tidak mampu melahirkan suara yang kritis lagi.

Ini bisa dilihat pasca keruntuhan rezim orde baru tahun 1998 sampai saat ini. Generasi-generasi HMI dalam periode ini tidak lagi terdengar suara-suara kritisnya. Mereka tak mampu memberikan apresiasi atas perkembangan zaman yang terus bergulir. Mereka telah terjebak kedalam ganasnya arus kapitalisme global tanpa disadari. Hedonisme, meterialisme, dan pragmatisme telah lebih dahulu menguasai generasi-generasi HMI sebelum mereka menyalakkan suara-suara kritisnya. Budaya berdiskusi, melakukan aksi, rela menderita demi perjuangan, ketepatan membaca momentum, saat ini jarang atau bahkan hampir tidak dimiliki oleh generasi HMI. Alhasil, mereka gagap membaca momentum zaman serta tak mampu memberikan suata kritis. Kalau toh mereka masih berkoar-koar misalnya lewat aksi demonstrasi, tampaknya suara mereka tidak lagi diperhitungkan.

Selain itu, generasi HMI saat ini telah terjebak dalam evoria sejarah. Mereka bangga dengan nama besar HMI, bangga dengan para intelektual yang lahir dari sana, serta bangga akan prestasi yang dihasilkan HMI. Hal ini tanpa disadari membuat para generasi HMI manja. Mereka seolah merasa masih berada dalam situasi HMI tempo dulu yang telah melakukan banyak perubahan. Mereka juga merasa masih dinaungi oleh sejarah. Ini membuat generasi HMI tidak mampu membaca dirinya tetapi mereka hanya membanggakan sejarah. Maka jangan heran jika HMI saat ini tidak mampu melahirkan generasi handal kembali. Soalnya mereka tak mampu menciptakan sejarahnya sendiri, tetapi bangga dengan sejarah pendahulunya. Inilah masa dimana generasi-generasi saat ini telah mencapai taraf kemandekan kreatifitas atau bahkan kiamat sughro. Apakah hal ini akan terjadi selamanya kepada HMI sehingga membuat riwayatnya berakhir? Hal ini mungkin sulit ditebak. Tetapi jika melihat kondisi HMI saat ini, hal ini kemugkinan besar akan terjadi.

Karena itu diperukan upaya serius dari para generasi HMI baik yang muda, maupun yang tua yang terkumpul dalam KAHMI. Generasi muda harus serius dalam membangun komitmen terhadap perjuangan HMI. Selain itu, ia juga harus merumuskan kembali mainstream perjuangan agar mampu menemukan semangat zaman. Sementara generasi tua setidaknya jangan memanjakan HMI terus-menerus. Biarkan mereka bergejolak dengan zaman agar mencapai kedewasaan. Selain itu, generasi tua semestinya memberikan sentuhan-sentuhan yang mampu mengobarkan semangat generasi muda. Bukan malah memberikan iming-iming jabatan atau lainnya yang bersifat materialis. Tanpa ada upaya-upaya tersebut sangat sulit menciptakan sejarah HMI kembali. Atau bisa jadi HMI tamat riwayat.

*) Penulis adalah pengamat pergerakan dan staf pada Pusat Studi Agama dan Kebudayaan (Pusaka) Yogyakarta

Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

opini kebumen I

Kebumen Kota Genteng

Oleh : Fatkhul Anas*)


Jika anda jalan ke Jawa Tengah, jangan lupa mampir ke kota Kebumen. Disana anda akan disuguhi banyak hal mulai dari tempat pariwisata, makanan khas, kehidupan petani, para nelayan kampung, serta masih banyak kearifan kota Kebumen lainnya. Anda dapat jalan-jalan menyaksikan Panorama Pantai Karangbolong, Pantai Petanahan, Pantai Suwuk, Gua Jatijajar, Gua Petruk, Benteng Vanderwick, dan berbagai tempat wisata lainnya. Anda juga dapat mengadakan penelitian bebatuan di LIPI Karangsambung. Atau sekedar menikmati lanting, makanan khas Kebumen. Dapat pula anda berkunjung ke perusahaan genteng di daerah Sokka, Kebumen. Disinilah tempat yang sangat bermakna bagi Kebumen. Sebab, genteng kota Kebumen telah didistribusikan ke berbagai daerah mulai Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Yogyakarta, dan masih banyak daerah lainnya.

Kalau rumah anda beratapkan genteng dan pada genteng tersebut tertulis Sokka Asli, itulah genteng dari Kebumen. Menurut para pembeli, genteng Kebumen berbeda dari genteng-genteng lainnya. Genteng Kebumen keras dan tidak mudah pecah. Selain itu, genteng Kebumen tahan lama dan tahan dari serangan hujan serta panas. Ini menandakan bahwa genteng Kebumen berkualitas. Hal ini jelas tidak diragukan lagi. Sebab sebagaimana pengalaman penulis selaku orang Kebumen, genteng Kebumen tercipta dari tanah liat yang benar-benar bermutu. Tanahnya sebagian besar diambil dari persawahan. Tanah ini selain subur, juga bagus untuk genteng karena kenyal dan tidak pecah-pecah. Selain tanahnya bagus, genteng Kebumen juga diolah secara sempurna. Mulai dari pengambilan tanah, pengolahan dengan mesin, penjemuran, sampai pembakaran, semuanya dilakukan dengan prosedur yang terencana matang.

Terutama saat penjemuran dan pembakaran. Kalau penjemurannya kurang sempurnya alias kurang kering, maka fatal akibatnya. Bisa-bisa genteng tersebut pecah saat dibakar. Begitu pula kalau pembakarannya kurang sempurnya, bisa jadi terlalu matang atau kurang matang. Kalau terlalu matang, genteng biasanya berwarna hitam pekat dan sangat keras. Selain itu, bentuknya tidak rata karena memuai. Tentu saja genteng ini tidak dapat digunakan. Adapun kalau kurang matang gentengnya mudah pecah. Karena itu, perlu kehati-hatian dalam menjemur maupun membakar genteng. Sebab selain berpengaruh pada mutu genteng, juga berpengaruh pada penjualannya. Genteng yang diproses secara sempurna akan menghasilkan genteng bermutu. Genteng inilah yang banyak dicari pembeli. Berbeda dengan genteng yang mutunya kurang. Selain penjualannya sulit, harganya juga murah dibanding genteng yang bermutu.

Soal menyoal genteng, untuk lebih jelasnya anda dapat datang sendiri ke kota Kebumen. Disana anda dapat memilih genteng mana yang anda suka. Anda mau memilih genteng pres atau plentong? Semua ada di Kebumen. Maka jangan tanggung-tanggung kalau ke Kebumen. Sekalian saja belajar pembuatan genteng. Anda dapat bertanya kesalahsatu perusahaan disana. Disitulah anda akan memperoleh banyak informasi mengenai genteng maupun seputar bisnis genteng. Jadi selain anda berwisata, anda juga akan memperoleh ilmu. Bukankah pariwisata anda akan lebih bermanfaat?


Genteng Sebagai Ikon Kebanggaan

Memang sudah lama Kebumen terkenal sebagai kota genteng. Hanya saja mungkin jarang orang mengetahuinya. Ini bisa jadi karena kurangnya publikasi dari perusahaan genteng. Mereka jarang mengakses media baik radio, televisi, maupun surat kabar. Mereka lebih sering memasang papan nama di depan perusahaannya. Memang disinlah salah satu kelemahan perusahaan genteng Kebumen yang harus dibenahi bersama. Semestinya mereka mampu mempublikasikan lebih luas lewat media massa. Ini sebagai penunjang agar genteng Kebumen lebih dikenal lagi. Toh, saat ini sudah banyak yang mengenal. Apalagi kalau dipublikasikan lewat media massa, tentu akan lebih terkenal lagi.

Namun dibalik kelemahan tersebut, genteng Kebumen menyimpan kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Kebumen. Ini karena genteng Kebumen mampu menembus pasaran luas. Terbukti genteng Kebumen bisa merambah luas ke luar wilayah. Apalagi di pulau Jawa, genteng Kebumen merupakan salah satu genteng yang bermutu tinggi. Dari sinilah Kebumen sesungguhnya memiliki ikon kebanggaan kota tanpa harus mencari identitas karena genteng Kebumen telah dikenal luas. Jadi tak perlu susah-susah mencari kebanggaan karena kebanggaan tersebut telah nampak di depan mata.

Karena itu untuk dapat mempertahankan kebanggaan tersebut, tentu diperlukan upaya serius untuk melestarian perusahaan genteng. Setidaknya dalam hal ini Pemerintah setempat mau menyalurkan bantuannya. Ini mengingat betapa kuatnya lindasan globalisasi yang terus menggerogoti perusahaan lokal. Hal ini menjadikan perusahaan genteng lokal jatuh bangun karena sulitnya pemasaran genteng. Bagaimana tidak sulit kalau ongkos produksi maupun pemasaran saat ini sangat mahal? Belum lagi persaingan yang keras antar perusahaan genteng baik di Kebumen sendiri maupun dengan perusahaan genteng luar Kebumen. Ini menjadikan perusahaan genteng harus banting tulang agar perusahaannya tetap eksis. Disinilah Pemerintah setidaknya mampu mengucurkan dana bantuannya untuk perusahaan genteng agar tetap bertahan.

Usaha semacam inilah, dimana ada peran serta pemerintah dengan perusahaan genteng, sesungguhnya merupakan hal yang tepat. Ini Karena keduanya sama-sama diuntungkan. Bagi Pemerintah setidaknya mampu meraih keuntungan dua hal. Pertama, untung karena perusahaan akan menyetorkan pajaknya. Sedang yang kedua, pemerintah memiliki ikon kebanggaan tersendiri bagi Kebumen bila perusahaan genteng tetap jaya. Adapun bagi perusahaan, tentu agar perusahaan genteng tetap eksis. Jadi mereka tetap mampu berproduksi dan melakukan sirkulasi ekonomi dalam kesehariannya. Dari hal ini Kebumen tetap akan mampu dikenal sebagai kota genteng yang mencetak genteng-genteng bermutu.



*) Penulis adalah alumnus Pesantren Al-Hikmah Asy-Syafi’iyah Kebumen sekaligus pengamat ekonomi pada Lembaga Kajian Sosial dan Ekonomi (LeKSosKom) Kebumen

resensi buku matinya media

Selamatkan Media dari Kematian


Judul Buku : Matinya Media; Perjuangan Menyelamatkan Demokrasi

Judul Asli : The Death of Media and The Fight to Save Democracy

Penulis : Danny Schechter

Penerbit : Yayasan Obor Indonesia

Cetakan : I, 2007

Tebal : xiv + 117 halaman

Peresensi : Fatkhul Anas*)


“Demokrasi Amerika sedang rapuh. Kebebasan kita kini terancam. Proses politik kita sedang dalam bahaya. Bunyikan lonceng peringatan, sekarang juga!”


Itulah kalimat awal Danny Schechter yang tertulis dalam buku ini. Ia begitu menggerutu menghadapi realitas media Amerika yang cenderung menafikan demokrasi. Media Amerika tidak lagi memberikan ruang-ruang kebebasan publik untuk menyuarakan aspirasinya. Media Amerika juga tidak memberikan ruang keragaman informasi. Tetapi media Amerika telah ditumpangi oleh segelintir orang demi kepentingan sesaat yaitu keuntungan. Mereka telah termakan oleh logika pasar yang selalu mencari keuntungan dalam segala hal. Sehingga media Amerika menjadi robot kepentingan para kapitalis untuk menawarkan produk-produknya. Dan ujung dari semua itu adalah keuntungan alias bisnis.

Dalam hal inilah Schechter menulis buku ini. Schechter mempunyai narasi besar (grand naracy) untuk menyelamatkan media Amerika, bahkan dunia. Schechter hendak mempertahankan media sebagai lahan demokrasi. Bukan sebagai lahan kepentingan pasars. Schechter mencoba melawan realitas yang terus bergulir di kalangan media Amerika, dimana saat ini penuh dengan kepentingan para kapitalis. Ia dengan idealismenya mencoba menawarkan beragam solusi guna menyelamatkan media Amerika. Dalam buku inilah langkah-langkah Schechter akan dikupas secara mendalam. Mulai dari masa-masa media mengalami pergeseran fungsi dimana media sebagai lahan kepentingan, kemudian disaat media telah mengalami kematian karena menafikan demokrasi, sampai tawaran Schechter sebagai solusi terhadap kematian media.

Dalam buku ini dijelaskan bahwa awal mula media Amerika modern tercipta adalah untuk mengekspresikan suara-suara rakyat, kreatifitas mereka, serta terutama demokrasi mereka. Media diserahi wewenang untuk memegang amanah konstitusi dengan diberikan jaminan atas hak-hak pers yang bebas. Mulai saat inilah media berperan sebagai pemegang demokrasi karena info-infonya adalah seputar hal-hal demokrasi. Media saat itu merupakan wahana ekspresi masyarakat, dimana setiap orang bebas mengemukakan pendapat maupun mengekspresikan kreatifitasnya. Media juga berfungsi sebagai lembaga kontrol atas kebijakan pemerintah atau the watchdog of the goverment. Karenanya tayangan-tayangan seputar pemilu Amerika menjadi suguhan yang pokok. Dari hal inilah nalar demokrasi di Amerika terbentuk. Ini karena setiap proses demokrasi ditayangkan di media. Sehingga setiap orang atau konsumen berhak menilai sejauhmana demokrasi mereka berlangsung.

Disaat-saat itulah media Amerika benar-benar efektif menjadi lahan demokrasi. Namun, seiring perkembangan waktu media Amerika kehilangan jati dirinya. Media Amerika telah terperangkap ke dalam jurang kematiannya. Hal ini karena media Amerika telah ditunggangi oleh segelintir orang kapitalis yang mementingkan media sebagai sarana bisnis. Mereka memanfaatkan media untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Hal ini tak bisa lepas dari adanya swastanisasi media Amerika dimana media merupakan hak masyarakat, bukan negara. Hal inilah yang dijadikan oleh para pemilik modal untuk menawarkan produk-produknya.

Dampaknya, tayangan-tayangan media adalah tayangan yang merupakan rencana dari pemilik modal. Ini karena merekalah para penentu agenda (agenda setting) media. Sebagian besar para pemilik modal tentu menayangkan tentang seputar produk-produk mereka. Dari sinilah demokrasi mengalami kematian karena isu-isu aktual seputar demokrasi tidak diangkat. Masyarakat cenderung dilupakan dari demokrasinya lewat tayangan-tayangan yang sifatnya sesaat seperti seks maupun kehidupan glamor. Masyarakat juga dihipnotis agar tidak memikirkan bagaimana proses pemilu sebagai ajang demokrasi berlangsung, tetapi disibukkan dengan tayangan-tayangan lainnya. Akibatnya tentu masyarakat banyak yang tidak peduli terhadap pemilu. Padahal pemilu sendiri adalah ajang berdemokrasi.

Dari hal inilah Schechter begitu geram. Ia sangat menderita dengan bergulirnya media yang semakin menjauh dari demokrasi. Bahkan ia mengatakan The More You Watch, The Less You Know. Bahwa semakin banyak kita menonton media, maka semakin sedikit pengetahuan kita (hal 35). Ini berarti bahwa tayangan media Amerika tidak lagi bermutu, apalagi mendukung proses demokrasi. Namun, Schechter tidak begitu saja menggerutu tanpa memberikan solusi. Schechter justru menawarkan sejumlah jalan keluar untuk menyelamatkan demokrasi Amerika. Diantaranya, Schechter memberikan tawaran agar masyarakat membuat media sendiri sebagai media tandingan (hal 95). Media ini sifatnya independen, dibiayai bersama dan dikelola bersama. Program-programnya juga disusun bersama. Jadi, masyarakat mampu menentukan sendiri program-programnya yang mampu mendorong demokrasi mereka.

Schechter juga menawarkan agar ada sebagian orang berkampanye untuk memasukkan pendidikan melek media di sekolah-sekolah dan program pendidikan di masyarakat. Didik anak-anak muda agar menjadi penonton dan pembaca yang kritis. Jangan biarkan mereka terhipnotis oleh media sehingga melupakan persoalan demokrasi. Selain itu, dukungan terhadap media-media yang independen, yang jauh dari kepentingan kapitalis juga harus dilakukan. Dukungan bisa berupa apapun mulai dari dana, menjadi penonton setia, cinta terhadap media itu, maupun bentuk-bentuk dukungan lain yang sifatnya baik. Saran dan masukan dari masyarakat terhadap media juga perlu dilakukan. Apalagi jika ada acara yang bertentangan dengan demokrasi, jelas harus dikritik. Lalu yang terakhir, bergabung dengan gerakan Reformasi Media untuk melobi pemerintah dan perusahaan media demi mengurangi konsentrasi kepemilikan media. Sehingga masyarakat bisa berperan serta dalam kebijakan media.

Langkah-langkah inilah yang oleh Schechter ditawarkan dalam buku ini. Ia mengharap dari langkah-langkah tersebut demokrasi kembali ditegakkan dan media tidak lagi mengalami kematian. Media juga tidak lagi menghipnotis penonton dengan tayangan-tayangan kurang bermutu serta terhadap tayangan yang tidak mendukung demokrasi. Tawaran Schechter ini memang dirasa cemerlang. Apalagi menghadapi tekanan kapitalisme yang terus menggerogoti dunia, termasuk juga Indonesia. Semoga lahirnya buku ini mampu memberikan hawa segar bagi masyarakat agar kritis terhadap media. Tak terkecuali pula dengan masyarakat Indonesia karena akhir-akhir ini media atau pers secara umum di Indonesia seakan jatuh ke tangan kapitalis. Sudah saatnya media diselamatkan dan demokrasi kembali ditegakkan.


*) Penulis adalah peneliti Pusaka Yogyakarta

Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas