Rabu, 19 Maret 2008

Esei Kompangan

Kompangan dan Spirit Dakwah Kaum Santri
Oleh : Fatkhul Anas*)

Kita tentu masih ingat bagaimana Clifford Geertz memberikan kategorisasi terhadap keagamaan masyarakat Jawa. Geertz mengkategorikan masyarakat Jawa kedalam tiga golongan, yaitu kaum abangan, santri, dan priyayi. Penggolongan ini memang efektif untuk memberikan kategorisasi masyarakat Jawa yang beraneka warna baik pemahaman agama, tradisi, tingkah laku, upacara adat, serta simbol-simbol yang nampak. Dari segi tradisi, masing-masing golongan ini memiliki corak perbedaan yang sangat menonjol. Kaum abangan lebih dekat kepada mistisisme Jawa yang memiliki corak kental hindu-budha. Kaum santri memiliki tradisi keislaman kuat yang berbasis pada keislaman Timur Tengah sebagaimana yang diajarkan oleh pembawa islam ke pulau Jawa. Sedang kaum priyayi lebih condong pada tradisi sistim feodalisme yang mengunggulkan derajat dan pangkat.
Khusus kaum santri yang memiliki ketaatan kuat terhadap islam, upaya penghidupan tradisi islam telah menjadi bagian dari hidup mereka. Semaraknya kaum santri ketika memperingati maulid misalnya, merupakan sebuah fenomena yang hampir selalu kita jumpai setiap momen maulid nabi tiba. Cara mereka menyemarakkan maulid beraneka macam. Ada yang menyelenggarakan pengajian akbar, pembacaan kitab Albarjanji, Maulid Dziba’, serta kegiatan keagamaan lainnya yang mendukung semarak maulid nabi. Masing-masing daerah juga berbeda-beda. Di daerah Jawa Tengah, khususnya Kabupaten Kebumen cara penyambutan maulid dengan memukul kompang untuk mengiringi solawat nabi yang selanjutnya disebut kompangan. Kompangan merupakan kegiatan kaum santri klasik ( santri dalam kategorisasi Geertz).
Dalam kegiatan ini alat yang dipukul berupa kompang yaitu sejenis rebana namun lebih besar dan lebih kuat. Rangka serta kulitnya lebih besar dari rebana biasa. Suaranya juga lebih nyaring. Adapun mengenai kapan dimulainya tradisi ini, sampai saat ini penulis belum menemukannya. Tetapi yang jelas kompangan adalah tradisi masyarakat santri Jawa Tengah (masyarakat kuno). Kompang ditabuh bersamaan dengan solawat, biasanya solawat Albarjanji. Pada saat srakal (suasana jamaah berdiri) kompang ini ditabuh secara nyaring. Selain untuk mengiringi solawat Albarjanji, kompang juga ditabuh pada saat iring-iringan kuda dalam rangka Khotmil Al-qur’an baik di mushola maupun masjid-masjid kampung. Kompang ditabuh sepanjang jalan sampai iring-iringan selesai.
Terkadang kompang juga ditabuh untuk menyambut kedatangan seorang kyai yang akan mengisi pengajian maulid nabi atau isra’ mi’raj. Perbedaan antara kompang dengan rebana selain dari segi ukuran alatnya, jumlah alat kompang juga sedikit. Kompang untuk satu grup biasanya hanya empat buah ditambah satu jidur. Terkadang malah tidak memakai jidur. Jidur dipakai hanya saat iring-iringan Khotmil Qur’an. Lagu-lagu yang dibawakan adalah lagu-lagu sholawat dengan lirik klasik. Karenanya, kompang biasanya hanya dimainkan oleh orang-orang tua.

Spirit Dakwah Kaum Santri

Kompangan selain sebagai ritual klasik untuk menyambut maulid nabi, sesungguhnya memiliki dimensi luas bagi kehidupan para kaum santri di daerah pedesaan. Kompangan adalah bukti spirit dakwah kaum santri pada masyarakat Jawa untuk senantiasa menghidupkan tradisi keislaman. Ditengah kompleksitas kehidupan duniawi, masyarakat santri masih memiliki etos tinggi untuk menjunjung nilai keislaman. Meski keberadaan mereka di alam pedesaan yang banyak bersinggungan dengan kaum abangan, kaum santri tetap dengan semaraknya menghidupkan ukhuwah islamiyah. Diterpa pula oleh keterbatasan ekonomi, wawasan, pendidikan, serta informasi, namun hal tersebut tidak menjadikan kaum santri menyerah begitu saja.
Hal ini merupakan tindakan yang boleh dikatakan luar biasa. Apalagi secara sosio-historis masyarakat Jawa Tengah lebih banyak berhaluan abangan serta memiliki paham sinkretisme islam yang kuat. Ini bisa dimaklumi karena penyebaran islam ke pulau Jawa adalah melalui daerah pantai terutama pantai utara. Karenanya daerah Jawa Tengah kurang tersentuh. Koentjaraningrat dalam bukunya Kebudayaan Jawa (1984) menyebut bahwa islam masuk pulau Jawa mula-mula mempengaruhi kota-kota pelabuhan pantai utara pulau Jawa. Kota-kota tersebut selang beberapa waktu membentuk “peradaban pesisir” yang tumbuh subur bersamaan dengan kekuatan politik yang mampu menumbangkan kerajaan Hindu-Budha Majapahit yang berpusat di daerah Delta sungai Brantas. Kemudian agama islam menyebar sepanjang pantai timur-laut pulau Jawa sampai abad 16 Kerajaan Panarukan di Jawa Timur menghalangi penyebaran ke arah timur lebih lanjut.
Sementara daerah pedalaman Jawa Tengah serta Jawa Timur masih memiliki tradisi hindu-budha yang kuat. Hal ini menghalangi penyebaran islam selama kurang lebih dua abad. Didukung pula oleh melemahnya kekuatan kota-kota pantai utara serta berkurangnya kemakmuran karena kekuasaan orang-orang Eropa, maka perkembangan islam sangat lamban di daerah Jawa Tengah. Tak heran jika Jawa Tengah memiliki perbedaan menonjol dengan daerah pesisir utara pulau Jawa. Daerah Jawa Tengah masih banyak terdapat kaum abangan terutama di daerah pelosok serta memiliki mistisisme kuat, bahkan sampai sekarang. Sedang daerah pesisir pantai utara islamnya lumayan kuat.
Dari sosio-historis ini semakin jelas bahwa islam masuk Jawa Tengah dalam posisi belakangan. Karenanya, bisa dimaklumi jika posisi kaum santri di Jawa Tengah sangatlah rentan dengan berbagai persoalan. Selain dengan kaum abangan, kaum santri juga harus berhadapan dengan paham mistisisme Jawa yang masih kental. Ilmu-ilmu seperti santet, pelet, kekebalan ala Jawa, dan lainnya masih banyak terdapat di Jawa Tengah. Kehadiran kaum santri dalam hal ini benar-benar menjadi lokomotif utama bagi penyebaran umat islam disana. Setidaknya melalui kompangan inilah para kaum santri mampu menunjukkan kegigihanya dalam rangka memperluas ajaran keislaman. Sedikit demi sedikit masyarakat dibangun baik dalam hal ilmu keislaman maupun paham keagamaanya. Dan hasilnya sampai saat ini bisa kita lihat, islam di Jawa Tengah berkembang begitu pesat. Kalau masih ada paham-paham mistisisme Jawa, hal itu merupakan dinamika kehidupan yang memang sulit dihilangkan.
Prestasi kaum santri lewat kompangan ini sudah semestinya dihargai dan sedapat mungkin dilanjutkan. Sayangnya, tradisi kompangan saat ini sudah hampir sirna dan sulit ditemukan lagi. Ini tentu saja karena serangan globalisasi yang semakin deras. Serangan globalisasi telah meruntuhkan sendi-sendi kearifan lokal (local wisdom). Tradisi-tradisi lokal tidak lagi mempunyai tempat dalam masyarakat. Mereka telah terbiasa dengan kebudayaan baru yang dianggap lebih menarik. Hanya disayangkan budaya baru tersebut adalah budaya Barat yang dalam beberapa hal bertentangan dengan kebudayaan bangsa. Budaya Barat yang lahir dari spirit kebebasan (freedom) telah melahirkan individualisme personal. Sistim persaudaraan ataupun sistim kekerabatan telah hilang dan berubah menjadi egoisme. Dari sinilah kemudian melahirkan materialisme, hedonisme, pragmatisme, serta varian lain dari budaya Barat yang kita sebut sebagai kebudayaan modern.
Saat ini budaya-budaya tersebut begitu kuat merongrong kebudayaan adiluhung bangsa. Karena itu, usaha pelestarian kebudayaan bangsa termasuk juga pelestarian terhadap kompangan merupakan hal yang tidak bisa tidak untuk dilakukan. Mulai dari masyarakat kemudian merambah kepada pemerintah, usaha pelestarian terhadap kebudayaan bangsa tersebut harus segera dipikirkan dan dilaksanakan betul-betul. Sebelum globalisasi menggerus total kebudayaan bangsa, segeralah kita selamatkan warisan para nenek moyang bangsa ini. Jangan sampai kekayaan bangsa yang tinggi nilainya sirna ditelan zaman sehingga para generasi pewaris bangsa tidak mampu mengetahui apalagi menikmati khazanah kebudayaan bangsa. Semoga ditengah ramainya hiruk-pikuk kehidupan, kompangan masih mampu dilestarikan oleh masyarakat Jawa Tengah lebih-lebih dalam rangka menyambut maulid nabi ini.


*) Penulis adalah pangamat budaya pada Hasyim Asy’ari Institute
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

Senin, 10 Maret 2008

Mengenang Gus Zainal

Catatan Satu Tahun Kematian KH Zainal Arifin Thaha
Gus Zainal dan Revitalisasi Kaum Santri
Oleh : Fatkhul Anas*)
14 Maret 2007 jagad Yogyakarta kehilangan seorang cendekiawan dan budayawan muda kharismatik. Dialah KH Zainal Arifin Thaha, cendekiawan kelahiran kediri, 5 Agustus 1972. Dalam usianya yang ke-35 KH Zainal Arifin Thaha mangkat menuju kehadirat Ilahi dengan meninggalkan istri tercinta, 5 orang putra serta para santri Pondok Pesantren Mahasiswa (PPM) Hasyim Asy’ari. Gus Zainal panggilan akrab bagi KH Zainal Arifih Thaha, adalah sosok manusia istimewa. Beliau selain dikenal sebagai cendekiawan juga merangkum budayawan, penyair, dosen, seniman, bahkan Kyai. Disinilah kepribadian yang luar biasa terangkum dalam diri Gus Zainal. Hanya saja belum sempat melanjutkan cita-cita luhurnya, beliau harus pulang kehadiran Ilahi dalam usia muda.
Gus Zainal selama ini dikenal sebagai orang yang selalu enerjik. Hal ini mendorong beliau menjadi motivator ulung. Dimanapun dan kapanpun beliau mampu memberikan motivasi. Dalam seminar-seminar beliau selalu tampil semangat dan mampu menghipnotis peserta. Terhadap perbedaan paham beliau bersikap hormat. Tidak mempergujingkan paham tertentu, apalagi fanatik. Rumah beliau terbuka lebar untuk siapapun. Mulai dari intelektual, penyair, budayawan, doktor, mahasiswa, masyarakat desa, bahkan pengemis pun beliau layani dengan ramah. Beliau juga tidak pernah merasa lelah menghadapi berbagai persoalan hidup. Malah segala persoalan beliau jadikan hikmah. Dimanapun dan kapanpun beliau selalu membawa mata air pencerahan ditengah tandusnya jagad kehidupan. Tak ayal, pasca kepergian Gus Zainal, jagad Yogyakarta benar-benar merasa kehilangan.
Kiprah maupun pemikiran Gus Zainal banyak difokuskan untuk menggodok kalangan generasi islam terutama para santri. Gus Zainal menginginkan para santri mampu mewarnai jagad Indonesia melalui tulisan-tulisan di berbagai media massa. Karenanya beliau mendirikan Pesantren Mahasiswa (PPM) Hasyim Asy’ari sekitar tahun 2004 sebagai implikasi dari pemikirannya. Disana para mahasiswa yang nyantri digodok menjadi penulis berbagai bidang. Mulai dari kolom, artikel poluler (opini), puisi, esay, cerpen, maupun novel, dijadikan kurikulum. Para santri juga digodok menjadi santri mandiri. Keinginan Gus Zainal sederhana, yaitu ingin agar pemikiran para santri mampu dipandang positif diranah publik. Selain itu, budaya tulis menulis dikalangan para santri sebagaimana dilakukan oleh para Funding Father pesantren juga tidak mandeg.
Fokus Gus Zainal tidak hanya terpusat pada PPM Hasyim Asy’ari. Beliau juga banyak memberikan pelatihan tulis-menulis di berbagai pesantren maupun lembaga pendidikan. Selain di Yogyakarta sendiri, mulai wilayah Jawa Timur, Madura, serta Jawa Tengah, juga telah dirambah. Beliau sangat antusias dalam memberikan ilmu tulis-menulis tersebut. Beliau juga sering diminta menjadi pembicara dalam berbagai seminar. Disanalah Gus Zainal menuangkan berbagai ide dan gagasan-gagasan cemerlangnya. Selain juga ditulis dalam berbagai buku mulai dari Kenyelenehan Gus Dur: Gugatan Kaum Muda NU dan Tantangan Kebudayaan; Runtuhnya Singgasana Kyai: NU, Pesantren dan Kekuasaan, Pencarian Tak Kunjung Usai; Eksotisme Seni Budaya Isam: Khazanah dari Serambi Pesantren, Membangun Biudaya Kerakyatan; serta berbagai antologi puisi dan buku-buku yang lain.
Pandangan Gus Zainal
Pandangan tajam Gus Zainal terfokus pada keadaan kemandegan kreatifitas dikalangan umat islam terutama para santri. Gus Zainal melihat para santri masih sering gagap dalam mengahadapi modernitas. Kiprah mereka tidak banyak terekam dalam ranah publik. Mereka juga masih dipandang sebelah mata. Ini bisa dikatakan wajar karena selama ini santri sering mengisolasi diri di alam pesantrennya tanpa mau berdialektika dengan lingkungan luar. Mereka tidak mau tanggap terhadap realitas sekitar. Agama bagi mereka masih sering dimaknai “agama untuk agama”, bukan agama demi kemaslahatan sosial. Karenanya kiprah para kaum santri kurang terlihat dalam ranah publik.
Dari hal ini, Gus Zainal menginginkan para santri bangkit. Sebagaimana dalam bukunya Eksotisme Seni Budaya Isam, Gus Zainal banyak mengekspos masa kejayaan islam dahulu. Gus Zainal berbicara panjang lebar seputar kejayaan islam. Mulai dari kemajuan ilmu pengetahuan, seni, sastra, serta kemajuan peradaban, banyak diperbincangkan. Bagi Gus Zainal hal ini bukanlah untuk evoria sejarah, tetapi digunakan sebagai motivasi bagi para generasi muda islam terutama santri. Diharapkan para santri tergugah kesadarannya untuk kembali merebut kejayaan islam. Para santri digugah agar mencari ilmu secara holistik-komprehensif, bukan sekedar paradigmatik. Gus Zainal juga menginginkan para santri mampu menjadi intelektual-ensiklopedik yang menguasai berbagai keilmuan. Sebagaimana dahulu para intelektual islam lahir, saat ini ditengah modernitas diharapkan intelektual islam lahir kembali.
Meski tetap mempertahankan tradisinya, diharapkan santri tetap mampu memberikan kontribusi positif terutama di ranah publik. Santri jangan hanya sekedar berperan di tingkat desa. Apalagi sekedar dalam dunia politik. Santri menurut Gus Zainal, semestinya mampu mewarnai berbagai sudut kehidupan. Ini paralel dengan gagasan Nur Cholis Majdid yang juga menginginkan umat islam mampu mewarnai kehidupan. Selain itu, santri juga semestinya mampu berjalan dibarisan paling depan sebagai panutan. Bukan seperti saat ini, mayoritas santri masih tertatih-tatih menghadapi modernitas. Malah sebagian ada yang masih terbelakang.
Gagasan Gus Zainal sebagian telah mampu terealisasi. Terbukti Gus Zainal mampu membimbing para generasi muda terutama para santri untuk menjadi penulis handal yang mewarnai berbagai media. Tercatat nama-nama seperti Muhammadun AS, Gugun El-guyanie, Salman Rusydi Anwar, BJ Sujipto, Mahwi Air Tawar, M Yunus BS, dan masih banyak nama yang lain mampu mewarnai media dengan tulisan-tulisan mereka. Mulai dari kolom, puisi, cerpen, esai, telah mereka kuasai dan mampu dituangkan di berbagai media. Namun, lagi-lagi kita prihatin. Sebab belum sempat gagasan Gus Zainal terlaksana sepenuhnya, beliau harus berpulang ke Rahmatullah. Tetapi mau bagaimana lagi. Hal ini tidak bisa dipungkiri karena telah menjadi suratan takdir Allah. Saat ini kita hanya bisa berharap kepada para santri yang ditinggalkan, putra-putri beliau serta istri tercinta beliau, agar mampu meneruskan risalah Gus Zainal. Apa yang selama ini digagas Gus Zainal semoga terus berlanjut serta tidak terputus ditengah jalan. Dan bagi Gus Zainal semoga Allah senantiasa memaafkan dosa-dosanya dan menempatkan beliau ditaman surganya, allahummaghfirlahu warkhamhu wa‘aafihi wa’ fu’anhu, amin.
*) Penulis adalah Staf pada Pusat Studi Agama Dan Kebudayaan (Pusaka) Yogyakarta
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

Mengenang Gus Zainal

Catatan Satu Tahun Kematian KH Zainal Arifin Thaha
Mengenang Guru Spiritual Yogyakarta
Oleh : Fatkhul Anas*)
Satu tahun yang lalu Yogyakarta kehilangan sosok kharismatik yang selalu memancarkan mata air pencerahan. Dialah KH Zainal Arifin Thoha yang wafat pada 14 maret 2007. Gus Zainal panggilan akrab beliau, merupakan sosok yang tidak lagi asing di Yogyakarta. Melalui rubrik Serambi Jum’at di koran Merapi yang dahulu diasuh beliau, Gus Zainal banyak memberikan pencerahan baik lahir maupun batin kepada masyarakat Yogyakarta. Kharismanya mampu menyelusup alam kesadaran masyarakat. Apalagi beliau juga seorang sufi yang selalu mendendangkan nada-nada cinta kepada Sang Pencipta. Beliaulah guru spiritual Yogyakarta yang namanya dikenal dimana-mana. Mulai dari cendekiawan, intelektual, penyair, akademisi, rakyat jelata, bahkan pengemis sekalipun, tidaklah asing dengan Gus Zainal.
Sepeninggal Gus Zainal jagad Yogyakarta sangatlah kehilangan. Sosok muda kharismatik ini begitu cepat mangkat meninggalkan istri tercinta, 5 orang putra, serta para santri Pondok Pesantren Mahasiswa (PPM) Hasyim Asy’ari. Beliau juga meninggalkan jamaah-jamaah pengajian di desa-desa maupun perkotaan Yogyakarta. Selain tentu saja meninggalkan kawan-kawan akrabnya baik kawan-kawan penyair, budayawan, akademisi, cendekiawan, Ansor, NU, Kyai maupun para mahasiswa di UIN Sunan Kalijaga serta UNY. Gus Zainal memang sosok istimewa. Beliau tak sekedar seorang kyai, tapi juga cendekiawan, penyair, budayawan, bahkan seniman. Beliau juga sosok pengayom yang merakyat. Kehidupan beliau sangat sederhana. Kecintaannya terhadap keluarga maupun para santri tidak pernah putus.
Dahulu beliau selalu aktif mengisi rubrik Serambi Jum’at di koran Merapi. Disanalah beliau banyak memberikan pencerahan seputar kehidupan beragama. Cara penyampaian beliau sederhana. Beliau mengambil hal ihwal kehidupan sehari-hari lalu diberikan makna keislaman. Disinilah kemampuan beliau yang jarang dimiliki dai-dai lain. Gus Zainal mampu menghadirkan teks agama ditengah konteks kehidupan. Beliau juga mampu memberikan contoh nyata yang sering kita alami dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini memang tak bisa dipungkiri. Apalagi mengingat kehidupan Gus Zainal yang begitu sederhana tetapi penuh makna. Karenanya pemikiran beliau selalu relevan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Ditambah, beliau adalah seorang sufi. Pancaran cahaya kecintaanya kepada Allah itulah yang mampu menghadirkan aura kesejukan bagi siapapun. Tidak pandang ia seseorang yang berpangkat atau seorang pengemis, semuanya mampu mendapat embun pencerahan ketika bertemu Gus zainal.
Itulah kelebihan Gus Zainal yang jarang dimiliki orang lain. Karenanya saya menyebut beliau sebagai guru spiritual Yogyakarta, selain penyair, budayawan, serta cendekiawan. Kehadirannya ditengah-tengah masyarakat Yogyakarta benar-benar mampu memberikan hawa segar bagi kehidupan. Meski beliau terlahir di Kediri, namun jiwa ke-Jogja-annya begitu melekat. Karenanya tak heran jika beliau mempunyai jamaah berlimpah mulai dari wilayah Bantul sampai wilayah Kota Yogyakarta. Beliau juga menjadi penceramah tetap di radio RRI serta pengasuh rubrik Serambi Jum’at di koran Merapi. Melimpahnya jamaah Gus Zainal tidak lepas dari kepiawaian beliau dalam memberikan materi. Selain itu, kehadiran beliau sebagai seorang sufi yang menawarkan jalan menuju Tuhan begitu relevan dengan zaman. Ditengah-tengah masyarakat yang telah jumud dengan modernitas dan kering akan spiritual, Gus Zainal hadir membawa embun pencerahan.
Melalui ceramah-ceramahnya yang beraroma sufi, Gus Zainal mampu memberikan solusi ditengah kekeringan masyarakat akan spiritualitas. Beliau juga pandai membaca situasi dan kondisi kehidupan. Apa yang terjadi saat ini, beliau tanggap. Sehingga selalu ada pencerahan baru yang diberikan Gus Zainal. Beliau banyak menganjurkan hidup secara sederhana, eling (ingat) kepada Allah, rajin bersodakoh, serta tidak lupa darat dengan kehidupan dunia. Gus Zainal meski dikenal sebagai akademisi, tetap mampu merambah rakyat kecil. Berbeda dengan akademisi lain yang terkadang kurang menyentuh rakyat kecil karena terlalu terlena dengan gaya akademisinya. Tampilannya yang merakyat serta memiliki mental kuat selalu menjadi percontohan orang. Tak jarang Gus Zainal didapati menjual buku-bukunya sendiri dalam sebuah seminar. Padahal beliau menjadi pembicara dalam seminar itu.
Kepada para santri, Gus Zainal selalu menekankan agar bisa hidup mandiri. Sebagai bekal kemandirian, beliau mengajari para santri menulis mulai dari kolom, cerpen, puisi, esai, maupun novel. Dari sinilah Gus Zainal mendidik santrinya baik secara intelektual maupun mental. Santri selain ngaji, juga diberlakukan diskusi. Diskusi rutin yang diilakukan di Pesantrennya selama ini adalah kajian editorial, kajian ilmiah, serta kajian sastra. Dari sini satri diharapkan mampu menjadi penulis handal yang siap terjun dimanapun. Melalui tiga jargon yaitu intelektualitas, spiritualitas, serta profesionalitas, Gus Zainal mencoba mencetak generasi muda yang bemutu baik secara intelektual maupun spiritual yang pada akhirnya melahirkan profesional.
Itulah sosok kharismatik Gus Zainal yang namanya selama ini kita kenal. Semangat beliau dalam mengemban masyarakat maupun para santri patut kita jadikan contoh. Meski saat ini Gus Zainal secara fisik telah tiada, namun semangatnya semoga selalu hidup ditengah hiruk pikuk masyarakat. Pancaran-pancaran kharismanya semoga menjadi kenangan yang tak terlupakan yang pada akhirnya mampu kita tiru, bukan untuk diratapi. Ceramah-ceramahnya yang telah disampaikan beliau baik kepada masyarakat maupun melalui rubrik Serambi Jum’at di koran Merapi semoga selalu membawa embun pencerahan dimanapun dan kapanpun.
Kepada segenap keluarga semoga selalu tabah dan diberikan ketegaran. Sebab kepergian Gus Zainal bukanlah sebuah kepedihan, melainkan rahmat dari Sang Maha Penyayang. Begitu juga kepada segenap santri, semoga tidak pernah lelah meneruskan risalah Gus Zainal. Masih banyak perjalanan panjang dari ide maupun gagasan yang belum ditempuh Gus Zainal. Semoga hal itu mampu diteruskan oleh para santri. Dan kepada guru spiritual, KH Zainal Arifin Thaha semoga Allah senantiasa memaafkan dosa-dosa beliau serta menempatkan beliau fi raudhotil jannah, amin.
*) Penulis adalah Staf pada Pusat Studi Agama Dan Kebudayaan (Pusaka) Yogyakarta
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

Sabtu, 08 Maret 2008

Opini Pendidikan Lingkungan

Pendidikan Lingkungan Untuk Masa Depan
Oleh : Fatkhul Anas*)
Beberapa bulan lalu seluruh dunia geger dengan persoalan global warming. Dari hal ini berbagai negara kemudian mengadakan konferensi di Bali terkait persoalan tersebut. Mereka bersama-sama bermusyawarah untuk melakukan tindakan prefentiv guna mencegah global warming. Pasalnya, kalau global warming dibiarkan begitu saja, bisa-bisa dunia akan kiamat. Bayangkan saja, jika setiap tahun es di kutub utara dan selatan mencair terus-menerus. Tentu dunia ini akan tenggelam karena sebagian besar alam raya terdiri dari peraiaran. Karenanya kita cukup apresiet terhadap usaha berbagai negara dunia terkait isu global warming.
Namun, setelah global warming selesai dibahas dan tidak lagi diisukan, bukan berarti persoalan global warming selesai begitu saja. Global warming akan terus terjadi sebab masih banyaknya faktor-faktor penyebab global warming yang terus menyebar. Contoh kecil pemakaian BBM pada kendaraan bermotor. Sampai saat ini BBM masih terus berjalan pemakaiannya sementara usaha pencegahan belum sepenuhnya dilakukan. Karenanya mulai detik ini pula semestinya sudah dipikirkan cara pencegahan efektif terhadap global warming. Pencegahan tersebut sifatnya sebisa mungkin bukan pencegahan sementara, tetapi jangka panjang. Ini terkait persoalan global warming bukanlah hal sepele, ini menyangkut keselamatan dunia.
Terkait dengan usaha jangka panjang tersebut, artinya kita harus melibatkan generasi-generasi muda dan anak-anak kita. Tidak bisa kita hanya berpangku pada generasi saat ini yang memang bersinggungan langsung dengan isu global warming. Kita harus menyiapkan rencana panjang secara matang. Dan hal ini tentu saja akan melibatkan anak-anak kita yang saat ini masih alpa dengan global warming. Kelak jika dewasa, mereka sadar bahwa ada persoalan lingkungan yang harus mereka hadapi yaitu global warming. Sehingga dengan sendirinya mereka tanggap terhadap lingkungan tanpa harus digembar-gemborkan terlebih dahulu.
Jika kita sudah berbicara rencana (plan) tentu saja ada hal yang akan dilakukan. Dari ini kita bisa mencoba memasuki ranah pendidikan untuk mendukung rencana kita. Artinya, didalam kita menyiapkan generasi mendatang yaitu generasi yang tanggap dengan lingkungan adalah melalui pendidikan. Ini bisa diperkirakan akan efektif mengingat pendidikan adalah sesuatu yang esensial pada manusia. Pendidikan juga menjadi kebutuhan pokok setiap manusia. Aksesnya pun mudah didapat karena masing-masing negara mewajibkan pendidikan. Tidak mungkin negara akan mengabaikan pendidikan. Sebab dengan pendidikan manusia akan menjadi insan bermutu.
Akan tetapi tentu saja bukan sembarang pendidikan dalam hal ini. Karena yang akan dihadapi adalah persoalan lingkungan, maka yang dibutuhkan saat ini adalah pendidikan lingkungan. Jadi tak sekedar pendidikan seperti yang lazim saat ini dilakukan. Dari itu, pendidikan harus mulai ditambahkan dengan persoalan lingkungan agar kedepan manusia yang terdidik khususnya manusia Indonesia mampu memelihara lingkungan. Pendidikan lingkungan ini bukan sekedar pendidikan yang bersifat formal. Tetapi juga menyangkut pendidikan informal seperti keluarga maupun non-formal.
Mulai dari ranah keluarga, pendidikan lingkungan harus mulai dibangun. Orang tua sebagai figur sekaligus panutan bagi anak-anaknya, sejak dini sudah mencontohkan bagaimana memelihara lingkungan yang baik. Anak-anak dididik secara serius dalam melestarikan lingkungan. Orang tua juga harus mampu menjadi aktor penggerak bagi anak-anaknya supaya mereka memiliki semangat tinggi untuk memelihara lingkungan. Bukan malah sebaliknya, orang tua menjadi penghambat bagi anak-anaknya untuk melestarikan lingkungan. Apalagi mereka malah menjadi aktor dalam pengrusakan terhadap lingkungan. Hal ini tidak boleh terjadi pada orang tua. Sebab keberhasilan pendidikan kalau merunut pada teori empirik ditentukan oleh faktor ekstern. Dalam hal ini adalah orang tua.
Pendidikan lingkungan juga sedini mungkin mulai merambah wilayah pendidikan formal seperti sekolah. Disekolah semestinya diberikan kurikulum khusus mengenai lingkungan. Bukan sekedar kurikulum seperti lazimnya saat ini seperti biologi misalnya yang membahas lingkungan. Namun ditambah alokasi materi khusus mengenai lingkungan. Lebih bagus lagi jika sekolah memiliki perkebunan, taman, atau area lingkungan luas yang banyak ditamani pohon-pohon. Hal ini supaya para siswa bisa belajar langsung, bukan sekedar dari buku. Mereka bisa bereksperimen mengenai alam dengan berbagai kreasi. Sehingga ketika selesai sekolah, mereka tidak gagap mengahadapi persoalan lingkungan. Atau malah mampu mengembangkan pengetahuannya seperti menciptakan perkebunan, budi daya tanaman, atau sejenisnya.
Pendidikan lingkungan ini tujuannya sebenarnya sederhana yaitu agar tercipta kesadaran akan lingkungan (ecological awareness) pada anak didik. Kesadaran ini yang diharapkan akan mampu melahirkan manusia-manusia bermutu yang mampu mengaplikasikan keilmuannya dalam kehidupan sehari-hari. Mereka dengan sendirinya peka terhadap realita yang ada disekitarnya sehingga siap berperan di dalam realita tersebut. Tanpa perlu dikomando, mereka siap bergerak demi keselamatan lingkungan dan masa depan manusia. Karena kepekannya itu, diharapkan mereka mampu menjadi magnet yang menarik orang-orang sekitarnya untuk bersama-sama memelihara lingkungan.
Namun tentu saja hal ini tidak mudah dilakukan. Untuk menciptakan manusia-manusia seperti ini perlu pendidikan lingkungan yang benar-benar berkualitas. Ini tentu membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Mulai dari ranah keluarga; ayah, ibu, anak, dan semua anggota keluarga sama-sama mendukung satu sama lain. Jangan ada pihak yang menjadi oposisi. Dalam lingkungan sekolah; mulai dari guru, karyawan, Kepala Sekolah, dan para siswa juga saling bekerja sama. Mereka saling bahu-membahu melestarikan lingkungan dengan tujuan sama yaitu menyelamatkan dunia. Jangan sampai antara siswa dengan pihak sekolah terjadi perbedaan kehendak. Mereka harus saling bekerja sama menciptakan lingkungan yang baik. Selain itu, pemerintah juga dimintai peran sertanya. Mulai dari pendanaan untuk pendidikan, pengarahan, serta pengayoman, sedini mungkin dilakukan pemerintah. Semua hal tersebut bukanlah untuk apa-apa melainkan demi keselamatan dunia dan masa depan kehidupan manusia.
*) Penulis adalah pengamat lingkungan pada Hasyim Asy’ari Institute
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

Opini Pendidikan

Pendidikan dan Tanggung Jawab Dunia
Oleh : Fatkhul Anas*)

Tanggal 10 Maret 2008 para Menteri Pendidikan dari sembilan negara berpenduduk besar di dunia mengadakan pertemuan E-9 Ministerial Review Meeting on Education for All di Bali. Pertemuan ini akan berlangsung mulai 10 Maret sampai 12 Maret 2008. Negara-negara yang akan hadir dalam pertemuan ini adalah Banglades, Brasil, China, India, Indonesia, Meksiko, Mesir, Nigeria, dan Pakistan. Para menteri Negara-negara tersebut hendak membahas berbagai persoalan krusial pendidikan. Diantaranya persoalan buta aksara pada orang dewasa yang ditargetkan tuntas 50 persen pada 2015, akses pendidikan anak usia dini, penuntasan wajib belajar, kesetaraan jender dalam pendidikan, serta pendidikan kecakapan hidup (Kompas, 6 Maret 2008).
Mereka juga akan membahas mengenai kerjasama 9 negara peserta dalam hal identifikasi isu-isu prioritas, tantangan dan keberhasilan serta kerjasama tindakan di masa yang akan datang; berbagi pengalaman berkenaan dengan kebijakan dalam menjadikan guru sebagai profesi yang menarik, persiapan menjadi guru dan penyebarannya, kondisi kerja, retensi, pelatihan dan pengembangan karir guru, penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan pelatihan pendidikan jarak jauh bagi guru. Selain itu, pembahasan mengenai peningkatan peranan UNESCO dan kerjasama Selatan-Selatan berkaitan dengan pelatihan guru dan potensinya juga akan dibahas. Serta memperkuat komitmen Negara-negara donor untuk mencapai tujuan pendidikan nasional (Kabar Indonesia, 6 Maret 2008).
Pertemuan E-9 Ministerial Review Meeting on Education for All di Nusa Dua, Bali ini merupakan pertemuan kali ketujuh sejak didirikanya yaitu tahun 1993. Pertemuan ini mengambil tema "Peningkatan Pendidikan dan Pelatihan Bagi Guru Sebagai Bagian Penting Dalam Sistem Reformasi Pendidikan" (Improvement Of Teacher Education and Tranning as a Focus of Educational System Reform). Sebelumnya, pertemuan sebanyak 6 kali telah berlangsung secara antusias. Tercatat sejak 12-16 Desember 1993, adalah merupakan sejarah awal pertemuan E-9 Ministerial Review Meeting on Education for All ini. Saat itu namanya masih EFA (Education For All) Summit of Nine Hight-Population Countries dan diselenggarakan di New Delhi, India.
Dari sinilah kemudian pertemuan E-9 Ministerial Review Meeting on Education for All ini dimulai. Saat itu pertemuan diselenggarakan di Bali, sebagaimana pertemuan ketujuh ini. Pertemuan pertama ini tercatat mulai 14 September dan berakhir 15 September 1995 dengan dibuka oleh Presiden RI. Kemudian pertemuan kedua diselenggarakan di Islamabad, Pakistan pada 14-16 September 1997 dengan mengambil tema Mobilizing for progress. Ketiga, diselenggarakan di Recife, Brazil, tanggal 31 Januari sampai 2 Februari 2000. Keempat, diselenggarakan di Beijing, China, pada 21-23 Agustus 2001. Pertemuan kelima diselenggarakan di Kairo, Mesir, tanggal 19-21 Desember 2003. Sedang pertemuan keenam diselenggarakan di Monterey, Meksiko, pada 13-15 Februari 2006.
Dari pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan selama ini, jelas sudah bisa ditebak. Ini adalah pertemuan yang penuh makna bagi kehidupan dunia. Sebab persoalan yang dibahas adalah persoalan pendidikan krusial yang memang harus segera ditangani. Apalagi ini adalah persoalan dunia, bukan sekedar persoalan satu Negara atau satu wilayah. Karenanya pertemuan ini membawa misi penting bagi penentuan arah dan tujuan pendidikan dunia kedepan. Pertemuan ini juga telah mengisyaratkan bahwa sesungguhnya pendidikan merupakan tanggung jawab dunia, bukan sekedar tanggung jawab Negara tertentu atau golongan tertentu. Selain itu, pendidikan juga merupakan mata air pencerahan yang memang sudah semestinya dipikirkan bersama-sama.
Bagi Indonesia sendiri pertemuan ini mempunyai arti penting. Ini karena tingkat pendidikan Indonesia masih rendah. Ini bisa terlihat dalam laporan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk bidang pendidikan, United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), yang dirilis pada Kamis (29/11/07). Laporan ini menunjukkan, peringkat Indonesia dalam hal pendidikan turun dari 58 menjadi 62 di antara 130 negara di dunia. Education development index (EDI) Indonesia adalah 0.935, di bawah Malaysia (0.945) dan Brunei Darussalam (0.965). Ini menujukkan betapa kualitas pendidikan Indonesia masih jauh dari harapan. Apalagi angka tersebut menurun dari tahun sebelumnya. Karenanya dari pertemuan ini Indonesia diharapkan mampu menggali ilmu dari Negara-negara yang mutu pendidikannya tinggi.
Selain itu, angka buta huruf di Indonesia juga masih cukup besar. Data BPS menunjukkan angka buta huruf masyarakat Indonesia pada 2007 terbilang 12,2 juta orang. Angka ini tergolong cukup besar meski telah mengalami penurunan dibanding tahun 2005 yang mencapai 14,6 juta dan 12,8 juta tahun 2006. Dari pertemuan inilah diharapkan persoalan buta huruf di Indonesia akan segera dituntaskan. Apalagi pertemuan ini juga akan membicarakan persoalan buta huruf dunia yang ditargetkan tuntas 50 persen pada 2015. Hal ini jelas akan membantu pihak Indonesia. Setidaknya Indonesia mampu menimba pengalaman Negara-negara tetangga terutama Cina yang dikatakan paling berhasil dalam penuntasan buta huruf.

Bukan Lahan Penghamburan

Namun sepenting apapun pertemuan itu, jangan sampai hanya menjadi lahan penghamburan dana, terutama dana pendidikan. Pertemuan tersebut harus benar-benar mampu membawa dampak yang nyata bagi Indonesia. Mengingat Indonesia masih memiliki berjubel-jubel persoalan pendidikan yang belum tuntas. Mulai dari persoalan dana pendidikan 20 persen yang belum terealisasi sampai saat ini, banyaknya gedung-gedung serta sarana dan prasarana pendidikan yang rusak, persoalan sertifikasi guru, dan masih banyak persoalan lain yang belum tuntas sampai saat ini. Semua itu tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit. Karenanya jika pertemuan E-9 Ministerial Review Meeting on Education for All di Bali ini tidak membawa dampak apa-apa, Indonesia mengalami rugi besar.
Dari itu diharapkan pertemuan ini mampu membawa angin segar bagi masa depan pendidikan Indonesia. Setidaknya cita-cita Education For All benar-benar mampu terealisasi di bumi Indonesia ini yang hakikatnya masih Negara berkembang. Dan yang lebih penting pertemuan ini diharapkan mampu memberikan jalan keluar efektif bagi persoalan pendidikan Indonesia maupun dunia dan mampu membuka cakrawala kesadaran seluruh manusia bahwa pendidikan adalah tanggung jawab dunia.
*) Penulis adalah pengamat pendidikan pada Hasyim Asy’ari Institute
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

Jumat, 07 Maret 2008

ritual rebo wekasan

Upacara Rebo Wekasan dan Sejarahnya
Oleh : Fatkhul Anas*)
Tanggal 3 Maret 2008 kemarin di Yogyakarta, tepatnya di Desa Wonokromo, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Yogyakarta telah dilaksanakan upacara rebo wekasan. Bagi masyarakat Yogyakarta, ritual ini bukanlah hal yang asing karena dilaksanakan tiap tahunnya. Adapun harinya jatuh pada hari rabu tepatnya malam rabu terakhir bulan sapar. Padatnya pengunjung merupakan fenomena yang lazim disana. Ini karena sebelum upacara dilaksanakan, telah dibuka pasar malam. Apalagi ketika upacara yang berupa kirab lemper berlangsung, para pegunjung berjejal-jejalan berebut lemper. Setelah itu, upacara biasanya dututup dengan doa bersama dan pengajian akbar sebagaimana dalam upacara kemarin (3 Maret 2008).
Itulah sekilas tentang ritual rebo wekasan yang dilaksanakan di desa Wonokromo, Yogyakarta. Ritual ini merupakan bagian penting dari masyarakat Yogyakarta dan telah mendarah daging. Entah darimana asal muasalnya, yang jelas ritual ini telah menjadi hal yang wajib dilaksanakan tiap tahunnya. Memang ada berbagai mitos yang konon merupakan cikal bakal upacara rebo wekasan tersebut. Gatut Murniatno (1977) menyebut upacara rebo wekasan tersebut berasal dari kisah pertemuan antara Sri Sultan Hamengku Buwana I dengan Kyai Faqih Usman. Kisah ini mempunyai dua versi yang berbeda. Salah satunya menyebutkan sebagai berikut :
Rebo wekasan telah ada sejak tahun 1784. Konon zaman itu hidup seorang Kyai bernama Faqih Usman atau Mbah Faqih Usman. Beliau tinggal di desa Wonokromo. Kyai Faqih atau dikenal juga Kyai Welir adalah seorang Kyai yang pandai dalam hal ilmu agama sekaligus ketabiban atau penyembuhan penyakit. Karena kepandaiannya itu, beliau terkenal dimata semua orang terutama masyarakat Wonokromo dan sekitarnya. Mereka sangat yakin bahwa Kyai Faqih mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit.
Masa itu di daerah Wonokromo dan sekitarnya sedang terjadi pageblug (wabah penyakit) yang mengancam keselamatan banyak orang. Masyarakat kebingungan mencari obat apa yang mampu menyembuhkan penyakit tersebut. Akhirnya mereka berbondong-bondong mendatangi Kyai Faqih karena mereka tahu bahwa Kyai Faqih orang yang sakti. Kyai Faqih dengan penuh kesabaran melayani masyarakat yang datang untuk meminta obat. Cara Kyai Faqih mengobati sederhana. Beliau hanya memakai air putih lalu disuwuk (dibacakan ayat-ayat Al-qur’an). Kemudian air tersebut diminumkan kepada pasien. Terbukti para pasien Kyai Faqih sembuh dari penyakitnya.
Dari hal ini, ketenaran Kyai Faqih semakin tersebar ke pelosok daerah. Tak heran jika yang datang berobat semakin banyak. Lama kelamaan pelataran masjid Kyai Faqih dipenuhi oleh para pedagang yang menjajakan dagangannya kepada para pasien Kyai Faqih. Suasana seperti itu ternyata mengganggu kesucian masjid dan merepotkan jamaah yang akan melaksanakan shalat. Mengetahui hal tersebut, Kyai Faqih mencoba membuat ide baru agar pengobatan berjalan efektif tanpa mengganggu kegiatan masjid. Akhirnya beliau menemukan ide kreatif yaitu menyuwuk telaga di pertempuran Kali Opak dan Kali Gajahwong yang berada disebelah timur desa Wonokromo. Disanalah para pasien Kyai Faqih dapat mengambil air maupun mandi untuk menghilangkan penyakitnya.
Berkat ketenaran Kyai Faqih, lama kelamaan sampai pula ke telinga Sri Sultan Hamengku Buwana I. Untuk membuktikan berita tersebut, Sri Sultan mengutus empat orang prajuritnya supaya membawa Kyai Faqih menghadap ke Kraton dan memperagakan ilmunya. Sampai di Kraton ternyata Kyai Faqih memang benar-benar mampu memperagakan ilmunya. Terbukti banyak masyarakat sembuh. Kyai Faqih bahkan mendapat sanjungan dari Sri Sultan.
Sepeninggal Kyai Faqih masyarakat lalu meyakini bahwa mandi di pertempuran Kali Opak dan Kali Gajahwong dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan mendatangkan ketentraman. Sehingga setiap hari rabu wekasan masyarakat berbondong-bondong mencari berkah dengan mandi dipertempuran itu yang dimaksudkan untuk bersuci atau "wisuh" untuk menghilangkan kotoran yang melekat pada tubuh. Namun sebagian masyarakat ada yang mengartikan lain. Bahwa "wisuh" atau mandi diartikan "misuh" atau berkata kotor. Ini adalah kepercayaan yang datang masyarakat luar desa Wonokromo. Sedangkan masyarakat Wonokromo sendiri tidak menganggap demikian karena orang-orangnya memegang kuat agama islam dan menghindari syirik.
Itulah salah satu cerita sejarah yang melatarbelakangi upacara rebo wekasan di desa Wonokromo Yogyakarta. Sampai saat ini upacara tersebut tetap lestari karena tingginya kesadaran masyarakat di sana untuk melestarikan budaya peninggalan nenek moyang. Apalagi sejak tahun 1990 upacara rebo wekasan mulai dikoordinir oleh aparat desa dan sebagai ketua panitia adalah Kepala Desanya. Kemudian seksi-seksi dibantu aparat dan tokoh masyarakat. Mengenai pembiayaan dahulu hanya pribadi-pribadi dan hanya untuk sekedar jualan lemper dan membeli bunga tabur. Namun, setelah upacara ini dikelola oleh pemerintah desa, maka pendanaan juga dimintakan dari Dinas Pariwisata dan swadaya masyarakat.
Makna Transedental dan Humanis
Upacara rebo wekasan selain sebagai sebuah ritual rutin, sesungguhnya memiliki dimensi luas. Selain tentu saja makna transedental sebagai wujud rasa syukur atas berkah Tuhan. Masyarakat Yogyakarta yang melaksanakan ritual rebo wekasan bukan sekedar hura-hura, namun ada ungkapan syukur kepada Allah atau tasyakuran. Meski dalam beberapa hal terkesan hura-hura seperti pasar malam, namun sesungguhnya hal itu hanya sebagai penyemarak saja. Adapun secara substansi upacara tersebut berada pada kirab lemper dengan diakhiri doa bersama sekaligus pengajian akbar. Ini merupakan bukti dari implikasi keislaman masyarakat wonokromo khususnya dan Yogyakarta secara umum. Meski masyarakat Yogyakarta masih kental dengan ciri khas "kejawaannya", namun mereka tidak meniggalkan keislaman karena keislaman juga merupakan bagian dari kejawaan mereka.
Selain itu, sisi humanis dalam upacara tersebut banyak kita temukan. Adanya gotong royong dari masyarakat untuk bersama-sama nyengkuyung (bekerjasama) melaksanakan upacara akan menciptakan kerukunan masyarakat. Ditengah-tengah arus globlalisasi yang terus mengikis nilai-nilai kemanusiaan, masyarakat wonokromo Yogyakarta masih bertahan dengan tradisi sosialnya. Gotong royong yang selama ini banyak diinggalkan masyarakat, tetap mampu dijaga dengan lestari. Pagar-pagar individualisme benar-benar mampu dirobohkan dan diganti dengan pagar sosial. Ini tentu saja merupakan hal yang patut dibanggakan karena telah melestarikan kepribadian bangsa yang "adilihung".
Namun apakah tradisi ini akan terus mampu bertahan? Tampaknya itulah pertanyaan yang selalu menjadi titik tegang. Apalagi tekanan arus globalisasi dengan serangan monokuturalismenya semakin menerobos lapisan-lapisan terkecil masyarakat dunia. Bisa jadi dan kemungkinan akan menerobos pula pada masyarakat Wonokromo. Karenanya sedari saat ini harus mulai dipikirkan bersama-sama bagaimana agar upacara rebo wekasan tidak sirna ditelan zaman sebagaimana tradisi-tradisi Jawa lainnya. Sehingga generasi-generasi mendatang mampu mengetahui dan menikmati upacara rebo wekasan.
*) Penulis adalah pengamat kebudayaan pada Hasyim Asy'ari Institute
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

opini menyoal sikap abstain Indonesia

Menyoal Sikap Abstain Indonesia
Oleh : Fatkhul Anas*)
Beberapa waktu lalu tepatnya Selasa, 4 Maret 2008 (Waktu Indonesia Barat), negara-negara anggota Dewan Keamanan PBB (DK PBB) mengadakan sidang di Markas Besar PBB terkait resolusi DK PBB teradap program nuklir Iran. Kali ini mereka sepakat mengeluarkan resolusi No. 1803 terhadap pengembangan program nuklir Iran. Ini adalah resolusi paruh ke tiga yang diberikan DK PB terhadap Iran. Dalam resolusi No. 1803 tersebut tertera berbagai sanksi terhadap Iran yang diantaranya pembatasan perjalanan dan transaksi keuangan terhadap beberapa individu dan perusahaan di Iran, serta memperluas pelarangan perdagangan sipil dan militer yang akan mendukung perkembangan nuklir Iran. Di dalam sanksi tersebut juga telah tercatat nama dari 13 orang dan 12 perusahaan yang dinyatakan terlibat pengambangan nuklir Iran (Kompas, 5 Maret 2008).
Satu hal menarik dalam sidang DK PBB ini, yaitu terkait sikap abstain Indonesia saat pemungutan suara. Dari 15 anggota hanya Indonesialah yang menyatakan abstain alias tidak setuju terhadap resolusi DK PBB No. 1803. Indonesia yang diwakili Duta Besar/Perwakilan Tetap RI, Marty Natalegawa dengan percaya diri mengacungkan jari saat Duta Besar Rusia untuk PBB Vitaly Churkin sebagai pimpinan sidang menanyakan adakah anggota yang abstains. Ini berarti Indonesia secara terang-terangan menolak resolusi tersebut. Alasan yang dikemukakan Marty pun sederhana, bahwa ia menilai resolusi tersebut bukan jalan terbaik. Sebab Iran sudah mau bekerja sama badan pengawas atom PBB, IAEA. Ini berarti Iran tidak lagi menutup diri.
Terkait dengan sikap abstain tersebut, kalau benar-benar dicermati dapat dinilai merupakan langkah bijak dari Indonesia. Pasalnya, Iran yang selama ini getol dengan program nuklirnya sudah semestinya mendapat dukungan. Apalagi Iran merupakan negara yang memiliki kesamaan dengan Indonesia. Selain sama-sama negara yang sedang berkembang (meski saat ini Iran sudah tergolong maju), Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya beragama islam. Begitu juga Iran yang merupakan negara islam. Kita juga tahu bahwa Iranlah satu-satunya negara islam yang getol mengecam Amerika. Karenanya langkah Indonesia dalam resolusi tersebut merupakan langkah yang bijak dan patut diberikan dukungan. Meski akhirnya resolusi No.1803 tersebut disetujui, setidaknya Indonesia sudah memberikan dukungan maksimal kepada negara muslim tersebut.
Langkah Indonesia ini juga semakin nyata ketika Presiden SBY merencanakan akan berkunjung ke Iran pada 10-11 Maret 2008 mendatang. Meski langkah SBY ini menjadi sorotan dunia sebagaimana dikatakan Juru Bicara Kepresidenan Dino Patti Djalal (Jawa Pos, 7 Maret 2008), namun hal ini bukanlah penghambat. Sebagai warga negara Indonesia kita semestinya juga ikut mendukung rencana SBY tersebut. Apalagi kunjungan tersebut merupakan kunjungan balasan atas kedatangan Presiden Iran pada Mei 2006 lalu. Sekuat apapun PBB mengecam Iran, kita jangan hanya diam saja, apalagi menyetujui resolusi tersebut. Kita berhak membela negara tetangga kita yang sama-sama memiliki backgruond keislaman. Karena bagaimanapun juga negara islam boleh mengembangkan nuklir demi perdamaian. Israel saja yang selama ini jelas-jelas mengembangkan nuklir untuk peperangan tidak dilarang, mengapa Iran yang belum jelas dampaknya harus dilarang?
Pelarangan terhadap Iran jelas ada maunya. Apalagi pihak yang melarang adalah Israel sebagaimana dalam sidang DK PBB kemarin. Kita tahu bahwa Israel adalah sekutu Amerika yang tidak menginginkan negara-negara berkembang berubah menjadi negara maju. Lebih-lebih negara islam. Mereka ingin tetap menguasai peradaban dunia. Mereka takut kalau ada negara yang hendak menjadi pesaing. Karenanya jangan heran jika berbagai cara ditempuh guna melumpuhkan negara yang siap maju melawan Amerika dan sekutunya. Boleh jadi resolusi DK PBB adalah salah satu bentuk teror Amerika terhadap negara-negara yang mau menyainginya agar gagal ditengah jalan. Dan hal ini nampaknya sudah tidak diragukan lagi karena seringkali PBB hanyalah menjadi perpanjangan tangan dari kebijakan-kebijakan Amerika alias telah menjadi tangan kanannya.
Karenanya, sikap Indonesia ini perlu dan semestinya untuk didukung oleh warga negara Indonesia. Namun demikian, Indonesia perlu "hati-hati" karena pasti akan menjadi sorotan dunia sebagaimana dikatakan Djalal. Selain itu, Indonesia bisa-bisa mendapat kecaman dari Amerika dan sekutu-sekutunya. Jelas mereka tidak bisa terima begitu saja akan sikap Indonesia ini. Minimal mereka sakit hati karena Indonesia menolak resolusi tersebut. Untuk itu, Indonesia perlu siap siaga menghadapi berbagai kemungkinan yang akan terjadi. Sebab boleh saja kecaman terhadap Indonesia tidak diberikan secara terang-terangan. Misalnya, tidak adanya bantuan kemanusiaan kepada Indonesia atau kebijakan lainnya yang merugikan Indonesia. Bisa saja hal ini terjadi. Toh, Indonesia masih negara berkembang yang belum mempunyai kekuatan besar baik ekonomi, SDM, maupun teknologi.
Meski demikian, Indonesia tak perlu khawatir. Indonesia masih memiliki kawan yang sama-sama tidak mendukung resolusi DK PBB tersebut. Diantaranya dari pihak Aljazair. Kemudian dari Cina, meski dalam rapat mendukung, namun secara sikap tidak. Terbukti mereka akan tetap melakukan hubungan perdagangan terhadap Iran (Kompas, 5 Maret 2008). Ini artinya, Indonesia tetap berada dalam rel yang aman karena tidak satu-satunya negara yang menolak resolusi tersebut. Sehingga kalau sewaktu-waktu Indonesia dikecam, ada pihak yang mendukung Indonesia.
Tetapi dari pihak Indonesia sendiri juga harus mawas diri. Jangan sampai sikap penolakan terhadap resolusi DK PBB ini menjadikan Indonesia negara penganut Blok. Bukankah selama ini Indonesia masih berpegang teguh pada GNB-nya? Jangan sampai pasca runtuhnya Blok Timur Indonesia kemudian kehilangan arah dan mendukung salah satu Blok. Dalam hal ini Blok Iran (dikatakan Blok karena kekuatan Iran cukup besar). Indonesia tetap berpegang pada prinsip GNB-nya itu. Adapun dukungan terhadap Iran merupakan dukungan demi perdamaian dunia. Karena selama ini Iran mengembangkan nuklir demi perdamaian dunia. Untuk itu, Indonesia tetap bersikap netral saja, jangan fanatik. Sebab kalau sudah berpandangan fanatik bisa jadi Indonesia akan kehilangan arah.
*) Penulis adalah peneliti pada Hasyim Asy’ari institute
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas