Selasa, 18 Desember 2007

opini qurban

Qurban Sebagai Terapi Egosentrisme
Oleh : Fatkhul Anas*)



Hari raya Idul Adha kembali menyapa kaum muslimin di seluruh dunia. Suara gegap gempita takbir selama empat hari berturut-turut mulai dari hari raya Indul Adha sampai hari tasyrik bergema di masjid, mushalla, maupun tempat ibadah umat islam lainnya. Tak lupa iringan puji syukur selalu tertuju pada Allah, zat yang memerintahkan hambanya berqurban pada hari raya ini. Dengan berbekal rahmat-Nya, umat islam dari berbagai penjuru kali ini mampu melaksanakan ibadah qurban sebagai bentuk keikhlasan menjalankan perintah Allah.
Qurban sebagai salah satu ibadah sunnah, merupakan sebuah ujian hati sekaligus iming-iming dari Allah. Ujian hati karena manusia harus benar-benar ikhlas mengeluarkan hartanya untuk berqurban. Manusia tidak boleh terpana dengan harta sehingga lupa bahwa pada harta mereka sesungguhnya terdapat hak orang lain. Manusia tidak boleh merasa bahwa harta yang mereka miliki adalah mutlak milik mereka. Meskipun itu adalah hasil kerja kerasnya. Karena Allah-lah dengan sifat ar-razak-Nya yang telah memberikan rizki kepadanya. Sehingga Allah-lah yang berhak mengklaim bahwa harta tersebut adalah kepunyaan-Nya. Karena itu sudah sewajarnya jika Allah memerintahkan hamba-Nya untuk berqurban sebagaimana tertera dalam firman-Nya surat Al-Kautsar (2) "Maka dirikanlah shalat untuk Tuhanmu dan menyembelihlah".
Disinilah Allah memberikan ujian kepada hamba-Nya apakah mereka tetap bersikeras tidak mau mengeluarkan hartanya untuk berqurban atau patuh kepada perintah-Nya. Manusia yang sanggup menghadapi ujian ini dalam artian mereka mau berqurban, tentu saja Allah memberikan jaminan baginya. Salah satunya adalah sebagaimana tertera dalam hadis Rasulullah saw "Sebaik-baik amal bani adam bagi Allah di hari Idul Adha adalah menyembelih qurban. Di hari kiamat hewan-hewan qurban tersebut menyertai bani adam dengan tanduk-tanduknya, tulang-tulang dan bulunya, darah hewan tersebut diterima oleh Allah sebelum menetes ke bumi dan akan membersihkan mereka yang melakukannya" (H.R. Tirmizi, Ibnu Majah). Adapun orang yang tidak mau berqurban mereka pun diancam oleh Rasul sebagaimana dalam hadisnya pula "Barangsiapa mempunyai kelonggaran (harta), namun ia tidak melaksanakan qurban, maka janganlah ia mendekati masjidku" (H.R. Ahmad, Ibnu Majah).

Jembatan Vertikal dan Horisontal
Ibadah qurban sebagaimana diperintahkan Allah berserta Rasul-Nya merupakan jembatan penghubung bagi manusia untuk munuju kepada Tuhannya (jembatan vertikal) serta kepada sesama manusia (jembatan horisontal). Qurban sebagai jembatan vertikal jelas karena didalamnya dituntut keikhlasan. Barangsiapa berqurban bukan karena ikhlas kepada Allah tentu hal itu akan sia-sia. Dari hal ini manusia dituntut membuang sikap egosentrisme. Manusia yang telah lama terninabobo dengan konstruk budaya egosentrisme, sedikit demi sedikit diterapi dengan qurban. Sebab didalam quban, keikhlasan adalah kunci utama. Keikhlasan inilah sebagai piranti untuk menemukan titik kesadaran manusia bahwa mereka mempunyai tanggung jawab kepada Tuhan maupun sesama manusia. Karena itu qurban bukanlah ajang gengsi atau pamer, namun semata-mata tertuju karena Allah.
Qurban dengan motif gengsi, pamer harta, prestige, atau karena kepentingan tertentu seperti politik, merupakan hal sia-sia. Apa yang diperoleh dari qurban bukanlah jaminan dari Allah melainkan pujian manusia semata. Mungkin saja dihadapan manusia ia adalah hero, namun dihadapan Allah semua itu tak ada makna. Allah hanya menuntut keikhlasan amal. Maka seyogyanya sejak saat ini kita luruskan niat qurban benar-benar karena Allah, bukan bergantung pada motif duniawi apapun. Bukankah Allah lewat Rasulnya telah menyeru bahwa segala amal tergantung pada niatnya? Siapa berniat karena Allah maka Allah-lah baginya. Tetapi siapa berniat karena kepentingan tertentu, maka kepentingan itu pula yang ia peroleh. Mau memilih manakah kita? Tentu saja sebagai ulil albab kita akan memilih Allah karena Dia-lah yang berkuasa atas segalanya (wallahu ‘ala kulli syaiin qodir).
Adapun qurban sebagai jembatan horisontal terkait dengan hubungan kemanusiaan kita. Daging qurban yang kita bagi-bagikan kepada sesama saudara merupakan bentuk kepedulian serta rasa solidaritas tinggi. Apalagi dalam konteks bangsa Indonesia. Kita tahu bahwa sampai saat ini bangsa ini masih saja dilanda kemiskinan luar biasa. Bangsa Indonesia sampai bulan Juli 2007 lalu masih memiliki 37,17 juta orang penduduk miskin atau 16,58 persen dari total penduduk Indonesia. Mereka tersebar di pedesaan dan perkotaan. Di perdesaan terdapat sekitar 23,61 sementara di perkotaan turun sebanyak 13,56 juta (data BPS). Melihat prosentase kemiskinan cukup tinggi masih melanda Indonesia, sangatlah tepat jika qurban hadir ditengah-tengah situasi saat ini. Masyarakat miskin desa maupun kota yang sehari-hari hidup dengan makan ala kadarnya, saat ini mampu menikmati daging qurban. Betapa tak terbayangkan kebahagiaan dihati mereka karena mampu menikmati hidangan enak yang mungkin jarang atau bahkan belum pernah mereka nikmati.
Kebahagiaan dihati mereka sudah semestinya manjadi kebahagian kita semua sebagai saudara seiman. Jangan biarkan mereka terus-menerus tersiksa dalam ruang kemiskinan. Berikan mereka kebahagiaan meskipun hanya sedikit. Toh, mereka pasti akan merasa masih ada yang peduli terhadap nasibnya. Memang hidup diabad postmodern ini segalanya serba sulit. Demi mendapat sesuap nasi saja keringat harus bercucuran. Semua ini akibat keserakahan manusia yang tidak pernah puas memenuhi nafsunya. Apalagi manusia telah berabad-abad dirasuki penyakit yang bernama egosentrisme. Manusia mengeksploitasi alam raya sekehendaknya. Tanpa berpikir dampak yang ditimbulkan, mereka terus menerus mengeruk kekayaan alam demi kepuasan. Akhirnya manusialah yang menerima akibat buruknya, terutama mereka yang lemah. Kemiskinan, kelaparan, beragam penyakit, kekeringan, global warming, bencana alam, serta berbagai problematika manusia harus diderita. Hukum rimba juga berkuasa. Mereka yang kuat sebagai pemenang sedang yang lemah selamanya kalah.
Dalam konteks inilah ibadah qurban menjadi penting. Sebab ditengah-tengah iklim egosentrisme yang terus bergelanyut, qurban hadir sebagai titik baliknya. Qurban menghendaki manusia bermoral sosial. Kepicikan manusia seluruhnya dikikis habis. Mereka yang masih mempertahankan egosentrisme-nya tidak mendapatkan jaminan Tuhan. Bahkan amal mereka akan sia-sia belaka. Sedang manusia yang mampu mengikis egosentrisme-nya serta beramal ikhlas karena Tuhan, merekalah orang-orang yang beruntung. Semoga ibadah qurban tahun in mampu mengantarkan kita menjadi hamba Allah yang senantiasa ikhlas dan masuk dalam golongan mukhlisun.


*) Penulis adalah pengamat agama dan kebudayaan pada Pusat Studi Agama dan Kebudayaan (Pusaka) Yogyakarta
Nomor HP 085292843110
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

Rabu, 12 Desember 2007

resensi buku gender

Gender Untuk Kemerdekaan Perempuan

Judul : Gender dan Inferioritas Perempuan
Penulis : Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : I, September 2007
Tebal : xiv + 351 halaman
Peresensi : Fatkhul Anas*)


Kaum perempuan dalam pandangan publik masih saja menempati posisi inferior dibanding kaum laki-laki. Perempuan masih dijadikan objek “nomor dua” setelah laki-laki baik dalam ranah domestik maupun publik. Peran perempuan juga belum banyak diangkat ke wilayah tata kehidupan baik ekonomi, politik, pendidikan, maupun sosial. Perempuan masih menjadi kaum marginal yang hanya dijadikan pekerja dalam wilayah domestik. Sama sekali belum menemukan kebebasan berekspresi untuk menempati posisi strategis yang mampu dilakukan perempuan. Terutama dalam ranah publik.
Hal ini salah satunya disebabkan karena inferioritas kaum perempuan. Mereka dianggap makhluk yang lemah dalam segala hal. Mereka butuh dilindungi dan dikendalikan. Disinilah perempuan mencapai titik stagnasi ketika mau berperan dalam wilayah publik. Karena lagi-lagi mereka diangap tidak mampu. Berbeda dengan kaum laki-laki sebagai kaum superior merasa bahwa merekalah yang berhak menentukan segalanya. Sehingga kaum laki-laki banyak mendominasi peran-peran strategis baik dalam wilayah domestik maupun publik. Merekalah yang banyak menentukan kebijakan.
Berawal dari adanya dominasi kaum laki-laki terhadap perempuan, lahirlah konsep gender sebagai alat pembelaan terhadap perempuan. Dalam buku yang berjudul Gender dan Inferioritas Perempuan inilah gender akan dibahas. Akan tetapi dalam buku ini bahasan gender lebih dititik beratkan pada pembahasan kekerasan terhadap perempuan. Baik kekerasan dalam wilayah domestik maupun publik.
Pemahaman terhadap gender sangat berbeda dengan jenis kelamin. Kalau jenis kelamin adalah suatu kodrat Tuhan kepada manusia apakah ia berjenis kelamin laki-laki atau perempuan. Adapun gender adalah dampak proses dikotomis yang dibuahkan dari peniadaan persamaan dan perkenaan berlebih terhadap perbedaan (hal 10). Gender bukanlah apa yang kita miliki (alat kelamin) melainkan apa yang kita lakukan dan apa yang kita tampilkan. Misalnya perempuan kebanyakan berjalan berlenggak-lenggok, laki-laki berjalan tegak, dan karakter lainnya yang melekat pada diri kita. Gender sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempat manusia dilahirkan. Karena itu bentukannya pun berbeda antara satu orang dengan orang lain.
Bagi perempuan karena terbiasa terkonstruk dengan budaya ke-perempuan-an maka ia pun akan menjadi seperti apa yang ada dalam budaya tersebut. Sebagai contoh perempuan tidak lazim menjadi pemimpin. Maka ketika ada perempuan menjadi pemimpin hal ini sangat dikecam. Disinilah letak konstruk budaya yang tidak memihak kepada perempuan. Padahal kalau diperhatikan dengan cermat, konstruk budaya semacam ini adalah dibentuk oleh manusia itu sendiri. Manusia itulah yang mengkonstruk bahwa perempuan tidak pantas menjadi pemimpin. Sehingga selamanya perempuan tidak boleh menjadi pemimpin. Sendainya saja perempuan dipandang sebagai makhluk yang mampu tentu saja bukan masalah ketika perempuan menjadi pemimpin. Toh dalam kenyataannya banyak perempuan yang jiwa kepemimpinannya jauh melebihi laki-laki.
Konstruk budaya semacam inilah yang sering menjadi belenggu bagi perempuan untuk memainkan peranan mereka baik di wilayah domestik maupun publik. Mereka selalu menjadi kaum marginal yang hanya menjadi bawahan lelaki. Keadaan inilah yang banyak melahirkan kekerasan terhadap perempuan. Baik kekerasan fisik maupun psikis. Karenanya perempuan selalu menjadi sereotip “kaum lemah”. Sehingga laki-laki berwenang melakukan apapun terhadap perempuan.
Mengenai kekerasan terhadap perempuan, ada beberapa poin dalam hal ini. Yaitu bahwa kekerasan terhadap perempuan sesungguhnya dapat dibagi menjadi dua hal. diantaranya kekerasan domestik dan kekerasan publik. Kekerasan domestik mencakup wilayah kekerasan fisik, kekerasan emosional dan kekerasan ekonomi. Kekerasan fisik yang dialami perempuan banyak macamnya. Misalnya dipukul, ditendang, ditampar, serta kekerasan lain yang menciderai terhadap fisik perempuan. Kalau perempuan dicampakkan dalam soal nafkah, misalnya tidak diberi nafkah oleh suami berarti hal tersebut masih dalam kekerasan ekonomi. Sedang kekerasan emosional lebih ditekankan pada keputusan sepihak yang dilakukan oleh kaum laki-laki. Misalnya dalam rumah tangga segala kebijakan yang menetukan adalah laki-laki sedang perempuan tidak berhak mencampuri. Disinilah ada unsur emosi yang cenderung mementingkan diri laki-laki tersebut. Termasuk juga dalam hubungan seksual yang hanya ditentukan oleh kaum laki-laki sehingga berakibat kekerasan psikis. Semua itu termasuk dalam kekerasan emosional yang menguntungkan ego laki-laki.
Adapun dalam wilayah publik, kekerasan terhadap perempuan dapat dikategorisasi menjadi dua macam pula yaitu kekerasan seksual dan nonseksual (hal 203). Kekerasan seksual meliputi pelecehan seksual seperti menggoda wanita, bersiul ketika melihat wanita, meraba, maupun perkosaan, pencabulan, dan sebagainya. Sedang kekerasan nonseksual banyak macamnya mulai dari kekerasan fisik seperti memukul, membunuh, maupun kekerasan emosional seperti dilecehkan, dihina, dianggap tak berguna dan sebagainya.
Berbagai macam kekerasan terhadap perempuan tersebut lagi-lagi terjadi karena faktor inferioritas perempuan. Karena itu sudah saatnya perempuan dimerdekakan dari segala kekerasan. Melalui gerakan gender inilah kaum laki-laki dituntut menghargai perempuan baik dalam wilayah domestik maupun publik. Perempuan sudah saatnya berkiprah sebagaimana kaum laki-laki. Mereka jangan hanya dijadikan kaum marginal dan dibelenggu dengan stereotip lemah. Karena sesungguhya mereka mampu melakukan seperti apa yang dilakukan laki-laki. Walaupun tentu saja tidak semua hal. Sebab perempuan pun mempunyai kelemahan secara kodrati. Namun justru karena kelemahan itulah kaum laki-laki dituntut menghargai perempuan. Bukan malah berbuat seenaknya sendiri dengan dalih bahwa lelaki adalah kaum superior. Sudah saatnya perempuan diangkat kiprahnya bersama kaum laki-laki untuk membangun tata kehidupan yang lebih baik.
Tata kehidupan tersebut yaitu hidup tenteram dan damai yang merupakan dambaan semua orang. Karena itu sangatlah penting bagi kaum laki-laki dikenalkan dengan konsep gender agar mereka mau memahami posisi perempuan. Tentu saja agar laki-laki tidak semaunya sendiri dalam melakuan sesuatu. Melalui buku inilah kita akan berkenalan dengan konsep gender tersebut. Dengan referensi yang mumpuni seperti Masour Fakih serta tokoh-tokoh gender lain seperti Judith Butler, menjadikan buku ini semakin menarik dan asyik untuk dibaca. Semoga buku ini mampu memberikan sumbangsih nyata bagi kemerdekaan perempuan dari penindasan


*) Penulis adalah pustakawan Pusaka Yogyakarta
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta a.n Fatkhul Anas
HP 085292843110

Minggu, 09 Desember 2007

resensi buku islam universal

Membangun Islam Indonesia

Judul buku : Islam Universal
Penulis : Prof. Dr. Nurcholis Madjid,dkk
Pengantar : KH. Abdurrahman Wahid
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : I, November 2007
Tebal : xii + 342 halaman
Peresensi : Fatkhul Anas*)


Kedatangan islam di dunia adalah sebagai pembawa konsep rahmatan lil ‘alamin (universal). Islam tidak mengajarkan sekat primordialisme apapun, baik golongan, tahta, ras, kedudukan, derajat sosial, maupun varian lain dari semangat primordialisme. Islam hadir hendak menciptakan paham inklusif yang saling menghargai dan menghormati antara satu sama lain. Islam bukanlah milik satu golongan, akan tetapi milik seluruh umat islam. Baik kalangan Arab sebagai cikal bakal kelahiran islam, maupun masyarakat ‘ajam. Selain itu, kelahiran islam merupakan titik awal pencerahan peradaban yang membebaskan manusia dari rongrongan ketidakadilan pada masa jahiliyah. Baik ketidak adilan secara horisontal karena banyaknya kesewenang-wenangan manusia, maupun secara vertikal karena penyelewengan konsep ketuhanan.
Kehadiran islam dengan semangat inklusif inilah yang mampu melahirkan kosmopolitanisme islam sebagai cikal bakal peradaban islam. Umat islam mampu menciptakan peradaban gemilang karena keterbukaannya menerima sumbangan dari peradaban luar seperti Yunani, Romawi, serta Persia. Dari keterbukaan ini lahirlah apa yang disebut sebagai masa keemasan islam. Masa itu islam telah mampu diangkat menjadi peradaban tinggi yang tingkat derajatnya mampu sebanding dengan peradaban lain seperti Yunani dan Romawi. Pada masa itu peradaban islam juga telah menjadi apa yang disebut sejarawan Arnold J. Toynbee sebagai oikumene (peradilan dunia) islam. Oikumene islam ini menurut Toynbee, adalah salah satu diantara enam belas oikumene yang menguasai dunia.
Keberhasilan umat islam membentuk peradaban tentu saja membawa efek istimewa bagi agama islam itu sendiri. Diantaranya islam mampu menjadi agama dunia karena pemeluk islam hampir merata diseluruh penjuru dunia. Islam juga mampu memberikan sumbangsih yang besar bagi kemajuan dunia. Akan tetapi saat ini hal tersebut tampaknya hanya menjadi evoria masa lalu belaka. Sebab, selang beberapa waktu runtuhnya peradaban islam, islam menjadi semakin gersang bahkan ada kesan termarjinalkan dari peradaban dunia. Situasi inilah yang menuntut umat islam merajut kembali peradabannya dengan berusaha beradaptasi dengan peradaban Barat yang mendominasi dunia. Meskipun dengan tersendat-sendat karena islam telah demikian jauhnya mengalami ketertinggalan. Apalagi peradaban Barat yang tidak seluruhnya sejalan dengan nilai-nilai islam, memaksa umat islam untuk mampu menciptakan “pakem”-nya tersendiri dengan berpedoman pada Al-Qur’an dan Sunnah serta mengkontekstualkan dengan kondisi zaman. Meskipun terkadang masih mengalami kesulitan karena umat islam kalah dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pergulatan untuk menciptakan pakem-pakem (pedoman) islam itulah yang hendak dibahas dalam buku ini. Meskipun buku ini hanya memotret sebagian kecil dunia islam yaitu di Indonesia, akan tetapi sesungguhnya buku ini adalah gambaran dunia islam secara umum. Prof. Dr. Nurcholis Madjid,dkk dalam buku ini begitu jeli memandang problematikan zaman yang terjadi di Indonesia. Problematika tersebut menuntut umat islam Indonesia mencari penyelesaiannya berdasarkan kaidah islamiyah. Diantara persoalan yang diangkat dalam buku ini adalah konsep Nabi Muhammad saw sebagai Nabi Penutup, hak-hak umat manusia (HAM), kemiskinan, perilaku keberagamaan umat islam, riba Bank, hubungan islam dengan negara, serta mengindonesiakan islam (hal 13-166).
Lebih luas buku ini membahas pergulatan para intelektual islam untuk mencari format terbaik bagi umat islam Indonesia untuk mencari penyelesaian atas kasus-kasus seperti tersebut diatas. Pencarian format tersebut diawali dengan pergulatan intelektual yang memadukan pemikiran Islam dengan pemikiran Barat. Islam yang telah lama membangun peradaban ternyata meninggalkan warisan keilmuan yang sampai saat ini masih berserakan meskipun peradaban islam telah runtuh. Keilmuan ini atau yang dikenal dengan “keilmuan klasik” mengundang gairah para intelektual muslim kontemporer Indonesia seperti Nurcholis Madjid,dkk untuk dipelajari kembali. Namun tidak berhenti disitu, keilmuan tersebut ternyata sebagian besar sudah tidak kontekstual dengan zaman alias telah lapuk. Karena itu para intelektual muslim berusaha mendaur ulang baik secara rekonstruksi maupun dekonstruksi.
Pendaur ulangan ini bertujuan agar khazanah keilmuan islam tersebut mampu bermanfaat bagi umat islam zaman sekarang khususnya Indonesia. Namun, hal itu tidak cukup. Melihat Indonesia yang juga telah tertanam benih peradaban Barat maka para intelektual tersebut juga tidak segan-segan mempelajari keilmuan Barat. Hal ini tentu agar umat islam tidak gamang menghadapi realita yang datang dari Barat. Dari hal inilah para intelektual muslim telah mempunyai dua pisau keilmuan yaitu keilmuan islam dan barat sebagai bahan ijtihad mereka. Sehingga lahirlah proses integrasi keilmuan antara islam dan barat. Tentu saja hasil ijtihad tersebut diharapkan mampu menyelesaikan segala problematika umat islam Indonesia.
Akan tetapi setelah memasuki wilayah praktik, ijtihad tersebut ternyata kurang tepat. Hal ini disebabkan karena mereka masih melupakan apa yang disebut “Indonesia”. Indonesia adalah sebuah negara yang multietnik, multikultur, multiras, multibahasa, serta multiagama. Indonesia berbeda dengan bangsa Timur maupun bangsa Barat. Indonesia memiliki corak tersendiri yang khas Indonesia. Karena itu Indonesia tidak bisa disamakan dengan Barat dan Timur. Melihat kenyataan tersebut para intelektual muslim kembali berpetualang untuk belajar mengenai Indonesia. Dari hal ini maka muncullah sebuah gagasan baru yaitu mengindonesiaan islam. Konsep ini lahir dengan mengkolaborasikan tiga paradigma keilmuan yaitu islam, barat, dan Indonesia.
Islam Indonesa itulah yang hendak dimunculkan dalam pemikiran-pemikiran yang tertuang dalam buku ini. Dengan mengambil settyng sosial khas Indonesia, buku ini menampilkan berbagai pakem (pedoman) umat islam Indonesia dalam mengarungi kehidupan di zaman ini. Dengan berpedoman pada Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber utama umat islam serta diimbangi dengan keilmuan islam klasik dan modern, barat, serta Indonesia, menjadikan segala bentuk pemikiran yang tertuang dalam buku ini terasa segar bagi umat islam Indonesia. Harapannya, buku ini mampu memberikan sumbangsih besar bagi umat islam khususnya serta umat-umat lain yang berada di Indonesia. Bahkan kalau memang perlu bisa memberikan sumbangsih bagi umat islam di dunia.

*) Penulis adalah pustakawan Pusaka Yogyakarta
Nomor HP 085292843110
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

opini global warming

Revolusi Sepeda Untuk Keselamatan Dunia
Oleh : Fatkhul Anas*)


Sekilas membaca judul artikel tersebut barangkali kita berpikir ini adalah artikel lelucon. Pasalnya, ada sebuah hubungan inkonsistensi dalam judul tersebut yaitu sepeda dengan dunia. Kita mungkin berkata “masa dunia disandingkan dengan sepeda?”. Sungguh dua hal yang sangat berbeda jauh. Dunia yang begitu luas dibandingkan dengan sepeda yang kecil dan bukan barang mewah. Apakah hal itu bukanlah keanehan?
Bolehlah kita menganggap ini adalah semacam lelucon. Akan tetapi jikalau kita mau berpikir jauh barangkali kita akan mencapai sebuah titik temu. Sehingga kita bisa saja menyetujui gagasan tersebut. Apalagi mengingat isu global warming yang mengejutkan dunia bahkan menjadi misteri yang menakutkan. Bayangkan saja dalam sekejap dunia berubah total. Suhu udara naik, es di Kutub Utara dan Selatan mulai mencair, serta permukaan air laut semakin tinggi. Sepanjang abad 21 para ahli memperkirakan suhu permukaan bumi meningkat sebesar 1,1-6,4 derajat celcius. Begitu juga kalangan meteorolog percaya bahwa pemanasan global mengakibatkan es di Kutub Utara dan Selatan mencair sehingga permukaan air laut naik. Pada tahun 1993 saja peningkatan permukaan air laut telah mencapai 3,1 milimeter per tahun berdasarkan perhitungan satelit Poseidon Amerika Serikat. Apalagi sekarang telah mencapai abad 21. Tentu saja peningkatan permukaan air laut semakin tinggi melebihi 3,1 milimeter.
Jika permukaan air laut tersebut terus menerus mengalami peningkatan tentu saja pulau-pulau kecil di dunia akan hilang dengan sendirinya. Sebagaimana perkiraan para pakar bahwa peningkatan permukaan air laut tahun 2100 mencapai 280-340 milimeter. Hal ini akan mengakibatkan kota-kota seperti New York, Semenanjung Florida, Manhattan, Tokyo, Hongkong, serta kota-kota di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, serta Semarang akan tenggelam. Begitu pula pulau-pulau kecil lainnya yang tingginya setara dengan pulau-pulau tersebut akan lenyap. Seperti Maladewa, Solomon, dan Fiji.
Melihat fenomena yang begitu mengerikan akibat pemanasan global ini, tentu harus diupayakan bagaimana cara untuk mengatasinya. Kita berterimakasih kepada Jepang, Jerman, serta Belanda. Ketiga negara tersebut patut kita jadikan contoh. Sebab mereka telah mulai merintis usaha untuk mengatasi global warming. Jepang saat ini sedang merancang kebun algae seluas satu juta hektar di perairan laut dangkal Yamatotai. Kebun ini diharapkan mampu menghasilkan 5,3 miliar gallon bioetanol per tahun. Ini untuk menyubstitusi 33 persen kebutuhan bahan bakar minyak Jepang. Jerman membangun pusat pembangkit listrik tenaga matahari terbesar dunia. Adapun Belanda tengah membangun deretan kincir angin raksasa di laut utara.
Tiga negara tersebut adalah proyek percontohan bagi negara-negara lainnya. Namun yang menjadi permasalahan adalah bagaimana dengan negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia? Untuk meniru langkah ketiga negara tersebut tentu sangat sulit. Hal ini karena memakan biaya yang besar. Sedang Indonesia bukan negara kaya raya. Disinilah sulitnya posisi Indonesia maupun negara-negara berkembang lainnya. Akan tetapi sesulit apapun harus tetap diupayakan sebuah usaha untuk mengatasi pemanasan global ini. Misalnya dengan melakukan reboisasi maupun reforestasi (penghutanan kembali). Selain itu langkah yang mungkin dapat diupayakan adalah menghimbau rakyat untuk melakukan revolusi sepeda. Rakyat mulai diberlakukan bersepeda disela-dela aktifitas mereka. Sebab dengan bersepeda selain menyehatkan jasmani juga bisa mengurangi konsentrasi karbondioksida karena sepeda murni tanpa bahan bakar.
Namun tentu saja bersepeda dalam hal ini adalah ketika situasi kita sedang santai, tidak dikejar dengan tuntutan kerja, dan jarak tempuhnya pun dekat. Tidak mungkin kita memakai sepeda untuk jarak tempuh jauh karena hal itu tidak efektif. Dinegara maju terkadang malah lebih efektif memakai sepeda atau berjalan kaki dari pada naik kendaraan. Sebab dengan bersepeda atau jalan kaki mereka lebih cepat sampai pada tujuan. Kalau naik kendaraan seringkali mengalami kemacetan sehingga lambat. Di Jerman misalnya orang lebih banyak memilih berjalan kaki atau bersepeda ketika menempuh perjalanan dengan jarak tiga kilometer. Perbandingannya 55% berjalan kaki, 30% bersepeda, sedang 15%-nya memakai kendaraan pribadi (GTZ & ITDP 2000). Begitu pula di Kanada, keinginan masyarakat untuk berjalan kaki dan bersepeda sangat tinggi dengan perbandingan 48% bersepeda sedang 85% berjalan kaki (Environics 1998). Tak kalah pula Amsterdam, 47% penduduknya memilih berjalan kaki dan bersepeda dibanding menaiki mobil (34%) serta angkutan umum (16%) (Adonis 2001).
Dengan melihat negara-negara diatas setidaknya dapat kita jadikan acuan untuk menggalakkan program bersepeda bagi penduduk Indonesia. Namun tentu saja hal ini tidak bisa lepas peran pemerintah. Adanya dukungan serta fasilitas jalan bagi sepeda sangatlah diutamakan. Selain itu pemerintah juga dapat melakukan pembatasan penggunaan kendaraan bermotor di dalam kota. Belanda dan Jerman dalam hampir dua dekade telah melakukan hal tersebut. Selain itu mereka juga mengintervensi desain urban yang lebih berpihak pada pejalan kaki dan pengendara sepeda. Pembatasan penggunaan sepeda motor di dalam kota serta penegakan hukum yang melindungi pejalan kaki dan pengendara sepeda (Cholis Aunurrahman, 2007). Kalau hal ini bisa diterapkan di Indonesia siapa tahu program penggunaan sepeda akan berjalan efektif. Sehingga secara tidak langsung kita telah menyelamatkan dunia dari ancaman global warming melalui revolusi sepeda.



*) Penulis adalah pemerhati lingkungan serta staf pada Pusat Studi Agama dan Kebudayaan (Pusaka) Yogyakarta
Nomor HP 085292843110
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas