Senin, 07 Januari 2008

opini demokrasi

Demokrasi Bukan Kebebasan Tanpa Batas
Oleh : Fatkhul Anas*)

Sungguh menarik menyaksikan aksi-aksi para pemimpin kita ketika berbicara kepentingan rakyat. Apalagi saat ini menjelang pemilu 2009 yang tinggal setahun lagi, tentu saja banyak para calon pemimpin kita yang saat ini berkoar-koar menawarkan konsep demokrasinya. Semua berdalih "demi kepentingan rakyat". Berbagai macam tawaran pun dilakukan. Sekolah gratis, kesejahteraan rakyat meningkat, kesehatan gratis, pengangguran terbebas, bantuan bagi warga miskin, dan seabreg agenda yang ditawarkan oleh para calon pemimpin kita. Semuanya berdalih demi kepetingan rakyat. Tak ada mereka yang berani menyatakan "ini bagi kepentingan diri saya dan golongan saya". Karena hal itu jelas akan menghukum diri mereka. Sudah pun begitu masih ditambah-tambah dengan dalih penegakan demokrasi. Bahwa rakyat harus diutamakan karena rakyatlah pemimpin sesungguhnya.
Itulah realitas yang setiap hari bermain di bumi bangsa ini. Semua orang begitu bebas berbicara kepentingan rakyat, berbicara keadilan, kesejahteraan rakyat, dan kemerdekaan rakyat. Mereka seolah tak punya beban dan dengan mudah berbicara panjang lebar dengan dalih "ini adalah negara demokrasi dimana setiap warganya bebas berbicara". Namun apa kenyataan yang terjadi saat ini? Toh ternyata negara ini masih begini-begini saja. Warga miskin dimana-mana, pendidikan mahal, akses kesehatan mahal, pengangguran meraja lela, rakyat tambah sengsara. Apakah ini upah yang harus dibayar dari sebuah negara demokrasi? Bukankah demokrasi tercipta untuk menyelamatkan rakyat?
Memang amatlah pedih ketika harus berbicara demokrasi. Berbagai teori dikeluarkan, beribu artikel dituliskan, dan beribu orang berbicara. Namun toh hasilnya seperti ini saja, tak ada perubahan signifikan dinegri ini. Dari hari ke hari jerit tangis kesedihan selalu terdengar dari masyarakat miskin di desa, pinggiran kota, maupun dipelosok. Barangkali kita tak mendengar karena kita telah buta dengan realitas. Kita hanya pandai berteori namun tak mampu berbuat. Lalu apa yang bisa kita banggakan dari diri kita? Apakah teori kita yang muluk-muluk sampai-sampai terkadang orang sulit memahami? Itukah yang harus kita banggakan. Apalagi ketika orang memuji-muji kita, betapa senangnya dan betapa kita menganggap diri kita berharga.
Namun, apakah semua itu akan terus kita banggakan setelah tahu bahwa teori kita tidak mempam bagi pemakainya. Nyatanya bangsa ini masih seperti ini terus. Padahal sudah seratus tahun kebangkitan nasional bergulir (1908-2008). Itu tandanya bahwa kita masih sering bermain-main dengan teori. Kita bangga telah menjadi agen teori namun kita lupa bahwa adanya teori adalah untuk dipraktekkan. Teori tidak serta merta memiliki kemerdekaan sebagai sebuah teori ansich namun perlu dimanifestasikan dalam tindakan sebagai perwujudan.
Begitulah semestinya teori yang setiap saat kita suguhkan. Termasuk juga teori demokrasi. Teori itu bukanlah hanya sekedar teori namun perlu dipraktekkan. Kita tidak semudahnya berbicara namun harus berbuat. Barangkali selama ini teori kita kurang ampuh karena kita yang menciptakan teori enggan melaksanakan teori kita sendiri. Diakui maupun tidak, kita sering melakukan hal ini, termasuk juga diri saya. Berkali-kali kita menulis artikel tentang berbagai hal mulai dari politik, pendidikan, kesehatan, demokrasi, kebudayaan, ekonomi, dan berbagai macam hal, namun kita enggan melakukan teori kita. Terbukti kita cuek-cuek saja ketika melihat ketimpangan disekitar kita. Ada pula sampel sebagaimana pengalaman saya. Ada orang berseminar tentang Indonesia, begitu keluar seminar ada pengemis di pintu masuk meminta-minta. Masih untung orang itu mau memberi sedekah meski seribu rupiah, bahkan memandang pun tidak? Apakah itu yang kita banggakan selama ini?
Itulah sulitnya hidup di negara yang katanya demokrasi. Akan tetapi demokrasi ternyata telah dimaknai sebagai "kebebasan tanpa batas". Orang bebas melakukan apapun sesuai kehendak hatinya. Orang bebas mengeluarkan teori apapun semaunya karena tak ada yang melarang. Dan orang pun bebas bersikap apapun terhadap orang lain, termasuk cuek dengan sesama. Kalau sudah begini, apakah masih bisa kita namakan sebagai demokrasi? Bagi saya ini bukan demokrasi tetapi "demoralisasi". Mengapa? Karena saat ini orang bukanlah mengandalkan "moral" sebagai nalar berpikir namun lebih pada keinginan kebebasan tanpa batas. Orang mengeluarkan teori adalah demi kebebasan bagi dirinya sendiri. Bebas melakukan apapun dan bebas berkehendak apapun. Tak peduli orang lain mau rugi, mau sengsara, atau menderita karena teori kita. Yang terpenting kita telah mengekspresikan "kebebasan" diri kita. Dan ketika ada orang yang mengkritik, kita namai itu sebagai sebuah kesempurnaan teori. Bukan malah kita ambil sebagai sebuah "peringatan" karena jangan-jangan teori kita telah menyengsarakan orang lain.
Sudah begitu, generasi-generasi muda kita saat ini masih banyak yang meniru. Mereka masih saja bersikap sama dengan para generasi dahulu yang berteori tanpa arti. Mereka lebih senang membaca buku, berdiskusi, berwacana, ketika ada tetangganya yang sengsara. Boleh-boleh saja kita berdiskusi, berwacana, baca buku malah itu "wajib" bagi generasi muda. Tetapi kita juga punya kewajiban menolong tetangga ketika sedang kesusahan. Kalau kita menolong berarti kita telah memanifestasikan teori kita. Bukankah kita sering mengatakan kepentingan rakyat harus diutamakan? Menolong tetangga adalah kepentingan rakyat jadi harus diutamakan. Toh kita masih punya banyak waktu untuk berdiskusi maupun baca buku. Itu artinya bahwa kebebasan diri kita akan terwujud manakala kita mampu berguna bagi orang lain. Tidak sekedar bagi diri sendiri. Kalau hanya berguna bagi diri sendiri sampai kapan pun negri ini tak akan berubah. Padahal masih banyak orang yang membutuhkan uluran tangan kita.
Barangkali itulah sikap yang harus kita ambil untuk menghadapi tantangan zaman. Bangsa ini sudah saatnya butuh orang-orang yang mau bergerak tidak sekedar berwacana. Pola-pola kita dalam memaknai demokrasi sedikit demi sedikit pun kita rubah. Demokrasi bukanlah kebebasan tanpa batas. Tetapi demokrasi adalah konsep membahagiakan orang lain tanpa harus menyengsarakan diri kita. Semoga ditahun 2008 ini bangsa ini akan segera membaik dan menemukan kedamaian bagi setiap warganya.

*) Penulis adalah pengamat demokrasi para Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta (LKKY)
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

Tidak ada komentar: