Rabu, 04 Juni 2008

107 Tahun Soekarno

Soekarno, Pancasila, dan Pluralisme
Oleh : Fatkhul Anas*)
Hari ini, hari bersejarah kembali bergema. Hembusan angin yang telah mengubur jasad seorang pahlawan, berhembus kembali, membongkar dan menghadirkan sang pahlawan dihadapan kita. Namun, yang kali ini dibawa oleh sang angin bukanlah jasad pahlawan itu, melainkan "ruh (baca spirit)"-nya. Ya, ruh yang telah lama bersemayam, hari ini tepat 6 Juni ruh itu didatangkan dan diajak melihat kita. Serta diajak untuk menyatu dalam jiwa setiap manusia Indonesia. Inilah hari dimana seorang pendekar bangsa dahulu dilahirkan. Dari rahim seorang Ibu, ia lahir dikala fajar menyingsing. Praktis sebutan Sang Putra Fajar menjadi nama akrabnya.
Inilah tanggal dimana Soekarno dahulu dilahirkan. Dari sebuah dusun di kota Blitar, Soekarno pertamakali membuka matanya. Mata hitam dan bersih yang belum sedikitpun terbelenggu dosa, tiba-tiba harus menjadi saksi untuk sebuah drama kejam bernama "kolonialisme". Kelahiran Soekarno adalah kelahiran pilu. Lahir bersama penderitaan, kekejaman, serta ambisi yang membabi buta dari kaum kolonial. Ialah yang harus menanggung derita akibat drama kekejaman kolonial selama berabad-abad. Hanya saja ia sedikit tertolong karena dalam tubuhnya mengalir darah bangsawan. Sehingga dikala masa dewasanya tiba, ia bisa menikmati detik-detik pencerahan yang bernama pendidikan.
Masa pendidikannya inilah yang menjadi babak pertama dalam hidupnya untuk mencipta karakter kritis. Soekarno yang lahir dari rahim Indonesia adalah sosok manusia kritis, pemberani, keras, teguh dalam prinsip, cerdas serta toleran dan kasih sayang dengan semua golongan. Penduduk dari elit atas, petani, buruh, pejabat, agamawan, politisi, cendekiawan, semua digauli dengan intim oleh Soekarno. Keintiman itu melahirkan suasana kerukunan dan persatuan. Dan pada akhinya mengantarkan ia menjadi pejuang revolusioner, peraih kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah.
Adalah Soekarno, Bapak Bangsa yang telah berhasil mengantarkan Indonesia menuju pintu gerbang kemerdekaan. Ditemani seorang ahli ekonomi bernama Hatta, Soekarno membacakan teks proklamasi kemerdekaan tepat tertanggal 17 Agustus 1945. Praktis sejak itu sorak-sorai kegembiraan serta tangis kebahagiaan menyelimuti bumi Indonesia. Seluruh rakyat dari anak-anak, pemuda, dewasa, laki-laki, perempuan, serta orang-orang jompo, menjadi saksi lahirnya babak baru di bumi Indonesia, babak kebebasan. Abad pencerahan pun segera dimulai. Tatanan kehidupan yang porak-poranda segera dibenahi, ditata, serta direformasi. Indonesia mulai menampakkan diri sebagai sebuah bangsa ditengah bangsa-bangsa yang lain. Ke-eksisan-nya mulai kokoh meski disana-sini mendapat goncangan.
Dalam hidup Soekarno hal yang begitu dicintai ialah tanah airnya. Ia tak ragu-ragu menyebut Indonesia sebagai Ibu. Kecintaannya tergambarkan dalam berbagai pidato-pidatonya. Bahkan tak segan-segan Soekarno berkata bahwa Tuhan bersama Indonesia. Ini tercermin dalam pidatonya " Bukan saya berkata Tuhan adalah Indonesia, tetapi Tuhan bagiku tercermin pula dalam Indonesia" (artikel Bambang Noorsena: 2001). Begitu dalam kecintaannya terhadap tanah air, H. Agus Salim dan A. Hassan menghawatirkan jika kecintannya itu akan berubah menjadi musyrik. Namun, itulah watak Soekarno yang rasa nasionalismenya telah menyatu dengan darah dan dagingnya. Baginya, tanah air adalah segalanya sehingga ia rela mengorbankan kepentingan apapun termasuk untuk keluarganya.
Watak khas Soekarno lainnya, bahwa ia berjiwa pluralis tinggi. Ini tercermin pertama dari gagasan nasakom-nya. Nasakom (Nasionalis-Agama-Komunis) menjadi jiwa Soekarno saat memegang kepemimpinan Indonesia. Gagasan ini lahir mengingat kondisi bangsa terdiri dari beragam suku, agama, budaya, ras serta kepercayaan. Untuk merangkul semua itu butuh wadah yang memadai. Lewat nasakom inilah semua perbedaan dapat ditampung. Meski belum seutuhnya. Untuk lebih menambah daya tampung, Soekarno melahirkan gagasan baru yang bernama Pancasila. Gagasan kedua dari jiwa pluralis Soekarno ini menjadi wadah paling efektif untuk merangkai perbedaan. Tak urung, gagasan ini menjadi dasar negara Indonesia.
Lewat Pancasila, Soekarno mengajarkan bahwa perbedaan yang ada bukanlah alat pemecahan. Perbedaan adalah bahan-bahan persatuan. Layaknya pelangi, perbedaan yang ditata dengan rapi menjadi indah dan sedap dipandang. Itulah sesungguhnya yang diinginkan Soekarno. Lewat perbedaan janganlah dijadikan alasan untuk tidak bersatu bahkan memberontak. Apa yang dilakukan RMS, Andi Aziz, DI/TII, dan aksi separatisme lain ditindak tegas oleh Soekarno karena ia tidak menginginkan hal itu. Ia ingin agar semua perbedaan menjadi satu dalam persatuan, bukan berpisah dengan jalan pemberontakan. Sebab bangsa ini adalah bangsa besar dan akan selalu besar dalam wadah persatuan.
Disinilah betapa menariknya gagasan Soekarno. Lewat pluralisme dalam Pancasila-nya ia mengajarkan pesan kasih sayang dan perdamaian. Seandainya saja Soekarno terlalu kaku dan fanatik, barangkali bangsa ini bukan bernama Indonesia dan bukan pula tercipta sebagai negara kesatuan yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Itulah gagasan Soekarno yang sangat prinsipil dan menarik. Namun, akan lebih menarik tentunya jika mampu dikontekskan dengan kondisi bangsa saat ini. Pluralisme serta rasa toleransi sekarang begitu mahal harganya. Harus dibayar dengan luka dan kepedihan. Apa yang dialami anggota AKKBB (Aliansi Kebangsaan Untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) 1 Juni 2008 kemarin, adalah bukti bahwa pluralisme sangatlah mahal. Mereka harus terluka setelah mendapat pukulan dari anak-anak bangsa yang terlalu inklusif memegang prinsip sehingga menjadi garang.
Anak bangsa yang bersemayam dibawah baju Font Pembela Islam (FPI), tega memukuli sesama anak bangsa lainnya atas nama perbedaan. Mereka begitu fanatik sehingga "buta" dalam melakukan sesuatu. Sama sekali tidak tahu konteks. Kebencian terhadap Ahmadiyah semestinya janganlah dijadikan "dalil" untuk melukai anggota AKKBB. Toh, belum terbukti sepenuhnya bahwa AKKBB mendukung Ahmadiyah. Kalau FPI hendak mencegah AKBB janganlah dengan kekersan. Dekatilah dengan baik, dialog dengan mesra, dan selesaikanlah dengan perdamaian. Itu pula yang dulu dijarkan oleh Bapak bangsa ini. Perbedaan memang selalu ada, karenanya sikapilah dengan penuh kearifan. Begitulah kira-kira inti pesan pluralisme Soekarno kepada anak-anak Indonesia. Singkat dan bermakna.
Sejak dahulu Bapak Bangsa telah mengajakan etika pluralisme. Perbedaan: dirangkai dalam kebersamaan, dirajut dengan cinta kasih serta diikat dengan perdamaian.
*)Penulis adalah pengamat sosial pada Hasyim Asy’ari Institute .
HP 085292843110
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

Opini Lingkungan Hidup

Manusia Sejati Dalam Ekologi
Oleh : Fatkhul Anas*)

Tanggal 5 Juni seluruh warga di dunia memperingati hari lingkungan hidup. Momen urgen ini semoga mampu membuka kembali ingatan tentang pentingnya menjaga lingkungan. Semoga pula mampu menghadirkan perasaan kesadaran ekologis dalam diri setiap penduduk dunia ditengah carut-marutnya kehidupan. Tujuannya tak lain demi kehidupan lebih baik. Mengingat betapa morat-maritnya tatanan ekologis, setiap manusia yang hidup saat ini dituntut untuk mampu menjaga keseimbangan ekologis. Sistem ekologi bumi yang semakin tak teratur dan kacau-balau, janganlah ditambah dengan kerusakan yang menyebabkan bumi semakin menderita.
Saat ini sistem ekologi sudah mencapai titik rawan. Adanya bencana yang tak terduga terjadinya, wabah penyakit baru yang bermunculan, perubahan cuaca yang sulit diprediksi, adalah sebagian contoh betapa tatanan ekologi semakin kacau. Lebih-lebih munculnya global warming sebagai fenomena alam baru, menjadi bukti kuat bahwa ekologi harus segera diselamatkan. Sudah waktunya lingkungan menjadi perhatian utama dalam kehidupan. Lingkungan bukan hal sekunder yang pemenuhannya menunggu kebutuhan primer. Lingkungan saat ini harus menjadi hal primer sehingga menjadi aspek yang diutamakan.
Mengenai upaya penyelamatan lingkungan, banyak jalan yang dapat ditempuh. Tergantung pada posisi apa manusia itu. Jika ia pemilik perusahaan misalnya, maka penyaluran limbah, penggunaan bahan bakar maupun pemenuhan bahan-bahan dasar haruslah tepat. Prinsipnya, janganlah kegiatan perusahaan mengganggu keseimbangan lingkungan. Begitu juga dengan berbagai kegiatan manusia yang beraneka-ragam. Janganlah kegiatan itu mengganggu keseimbangan lingkungan meski dalam jumlah minim. Sedikit saja kegiatan mereka mengacaukan lingkungan-misalnya menimbulkan pencemaran, polusi udara, hutan gundul dan sebagainya-bisa dipastikan keseimbangan lingkungan semakin semrawut.
Kacaunya keseimbangan ekosistem atau lingkungan akan berakibat fatal bagi kehidupan mendatang. Sebagai contoh di Indonesia sendiri bencana banjir, tanah longsor, tsunami, gempa bumi begitu banyak bermunculan akhir-akhir ini. Survei yang dilakukan Wahana Lingkungan Hidup Manusia (WALHI) menyatakan bahwa % kawasan Indonesia merupakan rawan bencana, seperti gempa, bumi tsunami, gunung api maupun bencana akibat dari ulah manusia. Data ini semakin menjadi bukti bahwa lingkungan kita semakin menderita. Belum lagi masalah polusi, pencemaran lingkungan, wabah penyakit, serta kekeringan. Kalau semua kerusakan itu dihitung, betapa menderitanya alam Indonesia ini. Itu pun baru Indonesia. Bagaimana dengan negara-negara lain terutama negara maju? Sudah bisa dipastikan bahwa kerusakan alam mereka lebih "gawat" dari pada Indonesia.
Dari semua fakta diatas semakin memberi gambaran bahwa kita sejak saat ini sudah semestinya bahkan merupakan keharusan untuk menanamkan kesadaran ekologis. Memang hal ini sudah berkali-kali digembar-gemborkan. Tetapi sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang maksimal. Untuk wilayah Indonesia misalnya, masih banyaknya penebangan hutan secara liar, pembuangan limbah sembarangan, serta pengotoran lingkungan, menjadi bukti bahwa kesadaran ekologis belum benar-benar terbangun. Masalah lagi, pola-pola kehidupan materialisme semakin banyak yang menggandrungi. Pola ini secara tidak sadar ternyata membawa dampak yang buruk terhadap lingkungan.
Dikalangan masyarakat Amerika sebagai masyarakat yang paling menggandrungi materialisme, efek buruk dari pola kehidupan ini begitu terasa. Michael Brower dan Warren Leon (2000) menyebutkan bahwa keluarga yang hidupnya serba materialisme-memiliki mobil, steak di alat pemanggang daging, peralatan rumah tangga yang tak terhingga jumlahnya-membuat dampak buruk bagi atmosfir, perairan pesisir, sungai, hutan, serta tanah. Pola ini (hidup materialisme) semakin membuat ekosistem tidak berimbang. Kalau pola ini malah semakin digandrungi masyarakat Indonesia sudah tentu alam Indonesia semakin terjaring dalam keterpurukan.
Untuk mengatasinya tentu membutuhkan perangkat tandingan. Perangkat tersebut tak lain adalah kesadaran ekologis. Sikap inilah yang selalu menjadi jiwa dalam gerak manusia. Jadi kemanapun ia melangkah berarti ia harus menyelamatkan lingkungan. Memang begitu sulit sikap ini diterapkan. Terlebih berhadapan dengan sikap manusia yang selalu serakah, individualis, serta semau sendiri dalam bertindak. Manusia tidak semakin menyadari bahwa kehidupan mendatang sangat ditentukan oleh sikapnya saat ini. Semakin kita brutal dengan lingkungan, semakin rusak tatanan kehidupan. Semakin kita serakah, semakin habis kekayaan alam.
Jika kita mau menyadari dengan sepenuh hati bahwa nafas kehidupan generasi mendatang ada ditangan kita, tentu segala tindakan terhadap lingkungan tidaklah brutal dan semaunya sendiri. Ingatlah bahwa satu kesalahan terhadap lingkungan bararti satu nyawa manusia siap melayang. Bukankah sangat sadis dan tak berperikemanusiaan diri kita ini jika berbuat nakal terhadap lingkungan. Kita sama saja dengan hewan. Artinya kita harus merubah mau sikap. Jika kita merasa "manusia sejati", maka menyelamatkan lingkungan lebih diutamakan sebelum lingkungan membunuh kita. Memang terdengar aneh jika mengatakan bahwa lingkungan "membunuh". Betul, tapi coba amati dengan seksama bukankah banjir, tanah longsor, gempa bumi, polusi udara, racun, dapat menghilangkan nyawa manusia? Ini artinya lingkungan setiap saat mempunyai potensi untuk membunuh manusia.
Maka sebelum kita terbunuh siapkan senjatanya untuk pertahanan. Senjata itu tak lain adalah kesadaran ekologis itu sendiri. Ini memang senjata ampuh untuk menjaga diri dari kepunahan akibat "amukan" lingkungan. Jadi, lagi-lagi penulis katakan bahwa sudah saatnya kesadaran ekologis ditingkatkan serta dipraktekkan. Masih banyak nyawa manusia yang harus diselamatkan. Jangan biarkan hembusan nafas mereka padam karena keteledoran kita.
Jadilah manusia sejati dalam ekologi. Yaitu manusia yang senantiasa menjaga lingkungannya dari kerusakan.
*)Penulis adalah pengamat lingkungan pada Hasyim Asy’ari Institute Yogyakarta.
HP 085292843110
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas


Bersepeda Untuk Penyelamatan Lingkungan
Oleh : Fatkhul Anas*)

Tanggal 5 Juni ditengarai sebagai hari lingkungan hidup sedunia. Pada hari ini, lingkungan akan menjadi bahan perbincangan dari berbagai pihak. Pasti akan banyak isu-isu lingkungan yang mencuat dan diperbincangkan. Terlebih keadaan lingkungan yang semakin hari semakin rusak. Kerusakan itu tentu karena ulah manusia. Manusialah yang mempunyai potensi untuk merusak lingkungan sekaligus merawatnya. Potensi itu tumbuh karena manusia dibekali oleh Tuhan dengan akal. Dengan adanya akal ini manusia akan mampu melakukan apapun terhadap lingkungannya. Idealnya memang manusia dicipta untuk melestarikan lingkungan. Tetapi faktanya manusia banyak melakukan pengrusakan.
Kasus-kasus di Indonesia misalnya, Menurut data Bank Dunia tahun 2007, Indonesia termasuk Negara terbesar ketiga (US, China dan Indonesia) penghasil emisi gas rumah kaca yang menjadi sumber penyebab pemanasan global. Pemanasan global terjadi akibat lapisan atmosfer yang tertutup oleh lapisan gas rumah kaca seperti CO2, CH4, N2O sehingga menyebabkan panas sinar matahari tidak dapat di pantulkan kembali ke atmosfer yang pada akhir menyebabkan suhu permukaan bumi meningkat. Radiasi yang dipancarkan matahari akan berubah menjadi panas saat menyentuh permukaan Bumi.
Sebagian panas ini kemudian diserap Bumi, sebagian lagi dipantulkan kembali ke angkasa dalam bentuk sinar infra merah atau energi panas. Karena adanya selubung gas rumah kaca, sebagian panas yang dipantulkan oleh permukaan bumi tidak mampu menembus atmosfer dan dipantulkan kembali ke permukaan. Akibatnya, temperatur bumi pun meningkat dan timbul apa yang disebut efek rumah kaca. Kenaikan suhu global ini diprediksi mencapai 1,8 oC sampai 4oC pada tahun 2100 dan berpotensi mengubah iklim dan cuaca secara ekstrem.
Ini baru persoalan kenaikan suhu udara. Belum masalah-masalah pencemaran air, deforestasi hutan, rusaknya habitat pesisir serta laut, dan masih banyak persoalan lingkungan yang terus melanda negri ini. Jika diibaratkan manusia, alam Indonesia telah dihinggapi dengan berbagai penyakit berbahaya. Sakitnya telah membentuk komplikasi. Dari ujung kepala sampai ujung kaki telah dihinggapi dengan berbagai penyakit. Kalau diteliti dengan mikroscope sudah tentu banyak sekali kuman dan virusnya. Bukankah sangat mengerikan?
Kalau itu terjadi pada kita manusia, sudah tentu kita begitu takut. Jangan-jangan nyawa sebentar lagi akan pisah dari raga. Pastinya kita tidak akan tinggal diam. Setidaknya akan mencari dokter atau paranormal atau dukun jika memang kepepet, untuk dimintai tolong menyembuhkan penyakit yang kita derita. Tidak jauh beda dengan lingkungan. Lingkungan yang telah sakit juga butuh disembuhkan. Ia akan meronta jika terus-menerus dibiarkan sakit. Bahkan sesekali waktu bisa marah. Kalau sedang marah ia begitu berbahaya. Satu sapuan angin puting beliung saja mampu menghancurkan beratus-ratus rumah serta menewaskan berpuluh-puluh manusia. Apalagi ditambah dengan banjir, gempa bumi, tsunami, pasti akan sangat mengerikan.
Karena itu sebelum amukan lingkungan terjadi, maka lingkungan sesegera mungkin disembuhkan penyakitya. Hal mudah yang mampu dilakukan semua orang adalah dengan penghematan BBM. Caranya beralihlah kebiasaan berkendaraan kita dengan bersepeda. Dengan cara ini kitan akan mampu mengontrol kondisi udara. Jika setiap orang mampu mengurangi gas emisi beracun satu persen saja perhari, maka dalam satu bulan sudah tiga puluh persen berkurangnya. Itu baru satu orang, kalau sepuluh orang, seratus, bahkan seribu orang, tentu dapat diprediksi betapa banyaknya zat emisi di udara yang berkurang.
Dengan bersepeda ini selain mengurangi emisi gas beracun di udara, juga menyehatkan tubuh kita. Badan yang terus bergerak akan menggerakkan otot-otot di dalamnya. Ini menyebabkan kelancaran proses metabolisme tubuh sehingga tubuh selalu sehat. Dari pada kita hanya duduk berdiam di mobil atau motor, selain memperlambat proses metabolisme juga rawan dengan penyakit. Pasalnya, kita menghirup udara kotor. Lalu udara itu masuk ke tubuh dan disana udara tidak difilter dengan baik karena proses metabolismenya lambat. Akhirnya peyakit mudah menjalar. Dengan bersepeda penyakit akan difilter secara sempurna karena proses metabolisme tubuh lancar sehigga kecil kemungkinannya penyakit menjalar di tubuh.
Mengingat betapa pentingnya bersepeda, tidak ada salahnya jika kita mulai melakukannya dari sekarang. Memulai tentunya dari hal yang kita mampu. Misalnya dengan memilih situasi yang tepat untuk bersepeda. Situasi itu misalnya: Pertama, situasi santai. Jika hendak pergi bermain ke tempat kawan atau rekresi alam yang menempuh jarak atara dua sampai lima kilometer maka cukup menggunakan sepeda. Jalan-jalan sore menikmati pemandangan cukup pula dengan bersepeda. Kedua, jarak yang dekat. Jika tempat kerja kita tidak begitu jauh dari rumah cukuplah dengan bersepeda untuk kesana. Jangan memanjakan diri memakai kendaraan bermotor kecuali jika sangat dibutuhkan. Pergi ke warung makan dekat rumah misalnya, juga cukup dengan bersepeda atau malah jalan kaki. Toh, lebih menyenangkan dan menyehatkan.
Setelah kita memilih situasi santai dalam keseharian, lakukanlah kegiatan bersepeda ini. Ingatlah bahwa hal itu penting untuk kelestarian lingkungan. Lingkungan yang kita diami ini jangan sampai kita rusak apalagi dihancurkan. Akan kemana manusia nantinya jika bumi ini rusak? Apakah akan ke planet Mars? Jelas Tidak mungkin. Satu-satunya planet yang indah, asri, dan berpotensi bagi keberlangsungan kehidupan hanyalah planet bumi. Planet-planet yang lain masih diragukan apakah memungkinkan untuk kehidupan atau tidak. Dari ini maka kita dituntut agar mampu menjaga kelestarian bumi.
Masa depan dan keberlangsungan bumi ada di tangan kita. Berbuatlah apa yang mampu kita lakukan karena bumi harus diselamatkan.
*)Penulis adalah pengamat lingkungan pada Hasyim Asy’ari Institute Yogyakarta.
HP 085292843110
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

Opini : FPI

FPI dan Sindrom Ekstase Kekerasan
Oleh : Fatkhul Anas*)

Geger kekerasan kembali menggema di bumi Indonesia. Tepatnya 1 Juni 2008, ketika Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) memperingati hari lahir Pancasila, Front Pembela Islam (FPI) menggelar aksi brutalnya yang premanistik. Para korban akri brutral FPI banyak yang mengalami cidera, baik ringan mapun berat setelah mendapat pukulan dari massa FPI. Sedikitnya tercatat ada 12 orang yang mengalami luka-luka.
Insiden FPI untuk kesekian kali ini secara langsung memberikan bukti kuat bahwa FPI adalah organisasi ekstrim yang setiap saat bisa bertindak main hakim sendiri. Hanya persoalan perbedaan keyakinan harus dibayar dengan kekerasan. Tindakan destruktif FPI yang hanya beralasan perbedaan paham ini merupakan tindakan ngawur dan tidak dapat dibenarkan, baik secara kemanusiaan maupun agama. Apalagi tindakan kekerasan telah yang dilakukan berkali-kali. Jelas tidak dapat dibenarkan dalam konteks apapun. Kecuali, tindakan FPI mempunyai dasar yang logis. Mengenai tindakan FPI kemarin (1 Juni 2008) alasannya hanyalah kecurigaan akan pendukungan AKKBB terhadap Ahmadiyah (Kompas, 2/6). Padahal itu masih perkiraan. Ini berarti tindakan FPI tidak memiliki dasar yang logis.
Melihat aksi FPI yang selalu diwarnai dengan kekerasan sangat menarik jika dilihat dalam kacamata Transpolitika-nya Yasraf A. Piliang (2005). Ia menuturkan tentang adanya sindrom ekstasi kekerasan. Suatu tindakan kekerasan yang dilakukan berkali-kali sampai sang pelaku merasa sangat senang dan mengalami ekstasi itulah yang dinamakan ekstasi kekerasan. Erich Fromm (1973) mendefinisikan kondisi ekstasi sebagai suatu keadaan mental atau spiritual yang mencapai keadaan puncak tatkala jiwa secara tiba-tiba naik menuju tingkat pengalaman yang jauh melampaui kenyataan sehari-hari, sehingga mencapai puncak kemampuan diri dan kebahagiaan yang luar biasa, diiringi oleh trance, dan kemudian pencerahan. Salah satu ciri orang mencapai ekstasi adalah bahwa ia merasa tidak lagi menjadi dirinya.
Jika teori ekstasi kekerasan dikontekskan dengan FPI, maka bisa dikatakan bahwa FPI saat ini telah sampai pada masa ekstasi kekerasan. Terbukti, mereka sangat bahagia ketika mampu melakukan tindak kekerasan. Meski itu dilakukan berkali-kali. Mereka merasa telah menemukan pencerahan dalam dirinya. Apalagi dengan menyandang atribut "Islam", tindakan mereka semakin mantap. Apa yang mereka rasakan saat melakukan kekerasan seolah itu bukan diri mereka sendiri. Ada sebuah kekuatan pendorong yang membuat diri mereka tidak sadar. Kekuatan itu tak lain adalah sikap fanatisme sempit. Fanatisme inilah yang seringkali menjadi dasar FPI dalam bertindak. Mereka tak sadar akan hal ini. Lalu dengan bangga memberi atribut "Islam" dalam setiap tindakannya.
Aksi atau tindakan penentangan memang dibolehkan. Namun bukan dengan kekerasan. Tindakan penentangan bisa dilakukan dengan protes, dialog, debat, demonstrasi, dan tindakan penentangan tanpa anarkisme. Yang dilakukan FPI jauh lebih dari kekerasan. Mereka telah melakukan apa yang diusebut Michel Seres sebagai hyper-violence atau melampaui kekerasan disebabkan seringnya kekerasan dilakukan. Kalau memang kekerasan itu dilakukan demi kebenaran dan kemaslahatan tak mengapa. Tapi jika kekerasan itu berbuntut pada kesengsaraan seperti yang dialami para anggota AKKBB kemarin, apakah hal itu bisa dibenarkan? Bukankah rasa kemanusiaan juga agama melarang adanya kekerasan? Mengapa FPI yang mengatas namakan gerakan agama malah berbuat kekerasan.
Kalau sudah begini kasusnya, mau tak mau harus dicarikan jalan tengah sebagai solusi. Artinya FPI dengan aksi kekerasannya tidak boleh dibiarkan begitu saja. Jika mengacu pada pendapat Michel Seres (1990) bahwa kekerasan dan kejahatan selamanya tidak akan dapat dilenyapkan. Yang mampu dilakukan adalah mencegahnya agar tidak menjalar. Cara mencegahnya jikalau mengacu pada paham agama islam adalah dengan konsep "dialog", bukan kekerasan. Konsep ini selanjutnya mengacu pada paham pluralisme agama. Yang penulis maksud disini bahwa sudah saatnya FPI melakukan "dialog" untuk menemukan penyelesaian. Jadi, setiap persoalan tidak ditangani dengan kekerasan.
FPI sudah saatnya menyadari bahwa hidup di dunia ini berhadapan dengan berbagai macam karakter manusia dari berbagai suku, agama, ras, bahasa, serta warna kulit. Pluralisme ini dicipta Tuhan dengan berbagai maksud. Dari kacamata islam, tujuan pluralitas manusia ada empat macam: pertama, sebagai simbol atau tanda kebesaran Tuhan (QS al-Rum/30:20), kedua, sebagai sarana berinteraksi dan berkomunikasi antara sesama manusia (QS Al-Hujurat/49:13), ketiga, sebagai ujian dan sarana manusia dalam berlomba menuju kebaikan dan prestasi (QS al-Maidah/5:48), keempat, sebagai motivasi beriman dan beramal saleh (QS al-Baqarah/2:60) (Nur Ahmad: 2001). Dari keempat tujuan ini, dapat disimpulkan bahwa Tuhan tidak menghendaki adanya kekerasan terhadap sesama manusia. Jikalau ada konflik maka selesaikanlah dengan damai.
Aksi FPI sudah jelas sangat jauh dari damai. Mereka malah mengajak bertikai. Sikap ini tak pernah ada dalam ajaran islam. Islam sangat melarang pertikaian. Ini menandakan bahwa modus operandi atau motif tindakan FPI bukan persoalan agama, melainkan pemenuhan terhadap sikap fanatisme. Selain tentu saja ada motif politik. Karena itu, FPI sesegera mungkin menghentikan segala tindakan ektasi kekerasan yang dilakukannya.
Banyak cara menyelesaikan suatu perkara tanpa melalui kekerasan. Adanya perbedaan paham misalnya, disikapi dengan sikap legowo. Perbedaan itu adalah sunnatullah, tidak perlu diperdebatkan. Apalagi dimusuhi. Perbedaan itu harus dirangkai agar tampak indah seindah pelangi di angkasa. Terlebih ditengah carut-marutnya kondisi bangsa, perbedaan harus mampu saling menyapa agar tercipta kerukunan. Dan pada gilirannya menumbuhkan sikap saling tolong-menolong.
Sudah saatnya kekerasan diakhiri. Tata nilai peradaban Indonesia mengajarkan untuk berdamai dengan penuh khidmat.
*)Penulis adalah pengamat sosial pada Hasyim Asy’ari Institute Yogyakarta.
HP 085292843110
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

Resensi Postkolonialisme Indonesia

Spirit Perlawanan dalam Sastra Postkolonial

Judul buku : Postkolonialisme Indonesia; Relevansi Sastra
Penulis : Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, SU
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : I, Februari 2008
Tebal : xii + 450 halaman
Peresensi : Fatkhul Anas*)

Membuka kembali ragam file ingatan tentang zaman kolonialisme di Indonesia sungguh merupakan hal yang "berani". Sekali membuka berarti siap dengan kisah-kisah dramatis seputar penderitaan bangsa. Kelaparan, kerja paksa, pembodohan massal, penganiayaan, pembunuhan secara sadis adalah pemandangan yang lazim. Perbudakan, gundik, serta pemungutan pajak secara paksa tak luput pula menjadi sejarah yang memilukan. Kekalahan bangsa Indonesia memaksa mereka tunduk dalam kekejaman, menikmati kesengsaraan, dan terpenjara dalam kebodohan. Tidak sedikitpun bangsa ini dibiarkan menikmati indahnya kehidupan, kecuali hanya segelintir orang. Orang-orang itu adalah mereka yang patuh dengan pemerintahan kolonial Hindia-Belanda.
Zaman kolonialisme memanglah menjadi "abad penggelapan" bagi bangsa ini. Abad ini memaksa bangsa Indonesia mengadakan pembelaan diri dengan melakukan perlawanan. Dari aspek fisik, bangsa ini melakukan serangan balasan dengan model peperangan. Meski dengan bersenjatakan bambu runcing, para nenek moyang Indonesia tak sedikitpun gentar menghadapi penjajah. Kendala apapun diterjang. Harta benda bahkan nyawa menjadi taruhannya. Orang-orang yang terdidik atau kaum intelektual mendirikan organisasi sebagai wadah penggalangan ide. Organisasi-organisasi seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, adalah sebagian dari organisasi yang setia meneriakkan semangat anti kolonialisme. Tidak ketinggalan para sastrawan Indonesia juga turut mewarnai perjuangan. Dengan karya sastra postkolonialisme-nya, mereka menyulut api perlawanan secara berkobar-kobar.
Semangat sastrawan postkolonialisme untuk menandingi kolonialisme akan dibahas tuntas dalam buku ini. Buku dengan judul Postkolonialisme Indonesia; Relevansi Sastra karya Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, SU membeberkan secara rinci serta memberikan analisis mendalam seputar karya sastra postkolonial. Dilihat dari istilah "postkolonial", ini berarti terjadi setelah zaman kolonial. Postkolonial atau pasca kolonial memberikan pemahaman bahwa masa ini adalah masa serangan balik terhadap kolonial. Kalau kolonial banyak mengeksploitasi tentang Indonesia, postkolonial memberikan umpan balik dengan melawan kolonial. Dalam kaitannya dengan sastra, sastra postkolonial adalah sastra perlawanan terhadap kolonial.
Sastra-sastra postkolonial di Indonesia banyak jumlahnya. Dalam buku ini disebutkan, ada dua kategori untuk mengklasifikasi karya sastra postkolonial. Pertama, karya sastra sebelum perang. Masa ini dibagi ke dalam empat periodisasi : sastra melayu rendah (Tionghoa), sastra Hindia Belanda, sastra Balai Pustaka, serta sastra Pujangga Baru. Kedua, masa sesudah perang (setelah Pujangga Baru). Masa ini tidak dibagi kedalam periodisasi dengan pertimbangan telah berakhirnya kolonialisme (hal 261). Karya sastra postkolonialisme sebelum perang dalam buku ini berjumlah delapan. Diantaranya: Cerita Nyai Dasima (G. Francis, 1896), Cerita Nyai Paina (H. Kommer, 1900), Max Havelaar (Multatuli, 1860, 1972), Manusia Bebas (Suwarsih Djojopuspito, 1940, 1975), Siti Nurbaya (Marah Rusli, 1922), Salah Asuhan (Abdoel Moeis, 1928), Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisjahbana, 1937), serta Belenggu (Armijn Pane, 1940).
Sastra postkolonial sesudah perang berjumlah lima buah; Ateis (Achdiat Karta Miharja, 1949), Pulang (Toha Mochtar, 1958), Bumi Manusia (Promoedya Ananta Toer, 1981), Burung-Burung Manyar (Y.B. Mangunwijaya, 1981), serta Para Priayi (Umar Kayam, 1992). Dari keseluruhan karya sastra postkolinialisme ini, Bumi Manusia-lah yang ditengarai memiliki citra perlawanan tinggi. Karya sastra hasil kreatifitas Pram ini, memiliki banyak aspek perlawanan didalamnya. Sesuai analisis pendek Prof Dr. Nyoman, ada banyak perlawanan yang diteriakkan Pram terhadap praktik kolonialisme lewat Bumi Manusia-nya. Pram mengkritik praktek pengucilan terhadap bangsa Indonesia. Ini disimbolkan Pram lewat tokoh Nyai Ontosoroh. Ontosoroh dalam versi Pram adalah perempuan berkualitas. Perempuan ini berhati keras, disiplin, serta pemberani. Meski ia tidak mengenyam pendidikan namun cerdas berkat pembelajaran otodidaknya (hal 334).
Ontosoroh memiliki semangat baja sebagai akibat perlakuan tidak pantas terhadap dirinya, sebagai gundik, bahkan dijual sebagai budak. Berkat keberaniannya, ia berhasil menyelamatkan perusahaan suaminya sehingga pada zamannya perusahaan tersebut terbesar di surabaya. Disini Pram memberikan gambaran bahwa sesuungguhnya bangsa Indonesia adalah bangsa yang berkualitas, pemberani, dan pantang menyerah. Tidak boleh bangsa ini dianggap rendah oleh bangsa penjajah. Penjajahlah yang semestinya merasa berdosa telah mengeksploitasi Indonesia secara besar-besaran. Mengenai eksploitasi, Pram juga memberikan sindiran keras di dalam Novel Bumi Manusia-nya. Pram menulis sebuah kalimat "Ingat-ingat ini: Eropa yang menelan pribumi sambil menyakiti secara sadis. E-ro-pa.....Hanya kulitnya yang putih,"ia mengumpat," hatinya bulu semata." (Bumi Manusia, 2006:489-490).
Kalimat ini adalah sindiran sekaligus hinaan yang keras seorang Pram terhadap para kolonialis. Pram hendak menyampaikan bahwa praktik kolonialisme harus dihentikan. Apa yang dilakukan Pram di dalam karya sastranya merupakan bentuk perlawanan nyata terhadap kolonialisme. Termasuk juga dengan karya sastra lainnya. Karya-karya Multatuli, Suwarsih Djojopuspito, Marah Rusli, Abdoel Moeis, Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Achdiat Karta Miharja, Toha Mochtar, Y.B. Mangunwijaya, Umar Kayam, serta lainnya merupakan karya-karya penentangan. Karya-karya tersebut membawa misi perlawanan serta penolakan terhadap kolonialisme. Melalui karya-karya ini, bangsa Indonesia diajari bagaimana seharusnya bersikap terhadap kolonialisme. Tak sekedar dikecam, tetapi kolonialisme harus dilawan. Dan pada akhirnya praktik kolonialisme harus dihentikan dari bumi pertiwi maupun di seluruh dunia.
Memang saat ini praktik kolonialisme sudah lenyap. Namun, jiwa-jiwa kolonialis masih bersarang ditubuh orang-orang Barat. Jiwa-jiwa itu sekarang berubah menjadi imperialisme. Praktek kolonialisme dalam bentuknya yang halus ini masih menyelimuti bumi Indonesia. Untuk mencegahnya diperlukan energi yang cukup. Tidak mungkin imperialisme dapat dicegah jika perangkat SDM bangsa masih lemah. Dengan mengambil semangat perlawanan pada postkolonialisme, semoga bangsa ini segera mampu menghentikan praktik imperialisme.
*) Peresensi adalah staf pada Hasyim Asy’ari Institute Yogyakarta
HP 085292843110
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

Resensi Tibet

Revolusi Buram di Bumi Tibet

Judul buku : Revolusi Tibet; Fakta, Intrik, dan Politik Kepentingan Tibet-China-Amerika Serikat
Penulis : Nurani Soyomukti
Penerbit : Garasi, Yogyakarta
Cetakan : I, Mei 2008
Tebal : 136 halaman
Peresensi : Fatkhul Anas*)

Delapan puluh enam hari yang lalu, tepatnya 10 Maret 2008, dunia Internasional digemparkan oleh "geger Tibet". Sebuah peristiwa ekstrim tiba-tiba terjadi di Tibet tanpa pernah disangka. Berawal dari long march yang dilakukan oleh sekitar 300 biarawan Tibet yang berjalan dari Biara Drepung menuju ke pusat kota Lhasa. Long marc dilakukan dalam rangka mengenang Hari Ulang Tahun Tibet terhadap invasi China pada 10 Maret 1959. Juga sebagai peringatan hari kegagalan pemerintah China menundukkan Tibet serta pengusiran atas Dalai Lama, pemimpin spiritual Budha Tibet, ke pengungsian di tahun 1959.
Kompas (11/3/2008) memberitakan, para biarawan itu melakukan perjalanan menuju Istana Potala di pusat kota untuk menuntut dilepaskannya para rahib yang ditawan pada Oktobert 2007 lalu, saat Dalai Lama menerima Medali Emas di Washington dari kongres Amerika. Pemberian Medali itu rupanya membuat pihak China kecewa. Praktis kejadian long marc itu menjadikan pemerintah Cina bertindak secara sepihak. Pemerintah China mengutus para Polisi mengelilingi biara di dalam dan disekitar kota Lhasa setelah long marc ini dimulai. Karena merasa dilecehkan, parta rahib pun membawa peristiwa ini menjadi berbuntut panjang. Demonstrasi serta aksi-aksi massa tiba-tiba bermunculan. Kesimpang-siuran berita terjadi dimana-mana. Terdengar kabar mengenai keinginan Tibet untuk merdeka, tetapi China tetap mempertahankan Tibet sekuat tenaga. Suasana sungguh semakin memanas. Apa yang terjadi sesungguhnya?
Buku Revolusi Tibet; Fakta, Intrik, dan Politik Kepentingan Tibet-China-Amerika Serikat karya Nurani Soyomukti ini mengupas tuntas mengenai fakta-fakta dibalik peristiwa 10 Maret 2008 di Tibet. Buku ini membedah dari berbagai sisi. Mulai dari sejarah, geografis, politik, maupun intervensi asing, segalanya dibahas tuntas. Mengenai bagaimana keretakan antara Cina dan Tibet, dalam buku ini jelas disebutkan bahwa hal itu terjadi mulai abad ke-19. Sebelum abad itu Tibet masih setia di bawah China. Setelah adanya intervensi Inggris pada abad 19 dan munculnya revolusi tahun 1911 yang menghancurkan dinasti Qing, maka China berubah menjadi negara republik dari semula berbentuk dinasti. Sepanjang periode Republik (1911-1949) situasi politik China tak menentu. Akibatnya Tibet tidak mendapat prioritas perhatian (hal 42).
Setelah perang sipil di China dimenangkan Partai Komunis China (PKC), Mao Zedong dan para pimpinan PKC mulai mempersiapkan tindakan "Pembebasan Untuk Tibet". Pada tanggal 6 Agustus 1949, Mao memberikan instruksi pada Peng Dehuai, Komandan Pasukan Utama dari Tentara Pembebasan Rakyat (People Liberation Army/PLA) untuk mempersiapkan gerakan pembebasan Tibet. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya sejak 10 Maret 1959, perjuangan pembebasan Tibet semakin nyata. Rapat akbar dan aksi-aksi massa diselenggarakan di Lhasa dengan menghasilkan tuntutan agar China secepat mungkin meninggalkan Tibet dan menyusun rencana untuk kemerdekaan Tibet. Sebelumnya yaitu tahun 1957, Tibet juga telah mempersiapkan tentara gerilyawannya.
Mengenai penyiapan tentara gerilyawan ini, terungkap bahwa didalamnya ada sekelompok bangsa asing yang membantu Tibet baik dalam hal pasokan senjata maupun melatih para tentara. Bangsa tersebut tak lain adalah Amerika. Melalui CIA-nya Amerika memberikan pasokan senjata serta mengkarantina pasukan Tibet untuk dilatih mengenai dasar-dasar kemiliteran, inteligen, taktik perang gerilya, pengenalan senjata modern, serta cara komunikasi dengan radio pemancar dua arah (hal 95). Mereka melatih tentara Tibet selama enam bulan di Pangkalan Angkatan Laut AS di Saipan. Entah ada motif apa Amerika membantu Tibet. Apakah bermaksud menjadikan Tibet sebagai antek-anteknya atau ada maksud lain, belum begitu jelas.
Yang bisa dijadikan prediksi sebagaimana terungkap dalam buku ini, bahwa Amerika membantu Tibet adalah untuk meraup kekayaan mineral dan kandungan minyak yang tersembunyi dibalik keindahan pegunungan Himalaya. Pegunungan yang memiliki ketinggian 4000 m diatas permukaan laut ini, menyimpan kekayaan yang melimpah. Keindahan alamnya juga begitu mempesona. Apalagi didalamnya terletak Mount Everest, pegunungan yang puncaknya tertinggi di dunia dengan ketinggian mencapai 8,8 km. Ini jelas merupakan daya tarik tersendiri bagi Amerika. Tak lain pula dengan China. Sikap mempertahankan Tibet dibawah "kaki"-nya adalah karena Tibet kaya dengan berbagai pesona, baik pesona alamnya maupun tambang minyak serta mineralnya.
Peristiwa 10 Maret 2008 lalu sebenarnya tak lepas dari sekenario Amerika. Dengan mengatasnamakan kesucian, para rahib disetir untuk turun jalan memberontak terhadap pemerintahan China. Mereka digiring untuk melakukan aksi demi memperoleh kemerdekaan. Padahal sesungguhnya aksi mereka bertentangan dengan ajaran agama budha. Agama budha yang mereka anut tidak mengejarkan aksi kekerasan. Sedang mereka melakukan kekerasan dengan menjarah maupun membakar toko-toko warga China yang bukan keturunan Tibet. Disini jelas terlihat adanya sekenario dari pihak lain. Dan pihak itu tak lain adalah Amerika. Didukung pula oleh pemberitaan media internasional yang luar biasa. Media membeberkan kasus Tibet besar-besaran. Mereka menggambarkan aksi Tibet adalah aksi positif. Sedang China telah melakukan kesalahan, karenanya di sudutkan dan dipermalukan (hal 119).
Pemberitaan ini dilakukan Amerika tentu untuk menjelekkan China dimata internasional. Terlebih China saat ini mengalami kemajuan yang luar biasa. Pertumbuhan ekonomi yang begitu pesat akan semakin mudah menyaingi Amerika. Agar hal itu tidak terjadi, maka dibuatlah sekenario kecil yang kemudian dibesar-besarnya hingga tingkat International. Tujuannya agar Amerika tidak ada saingannya sehingga tetap menjadi raja dunia dan selamanya menyandang gelar "negara super power". Amerika tak ingin tertandingi dan tak ingin di cap buruk. Meski ia sendiri sudah demikian buruk. Aksi eksploitasi terhadap Iran dan Afganistan sudah jelas-jelas melanggar HAM, tetapi dikatakan demi membasmi teroris. Adapun Cina yang hanya persoalan kecil dibeberkan secara internasional. Seolah menjadi bumerang.
Kalau sudah seperti ini persoalannya, maka muncul sebuah persepsi bahwa revolusi Tibet merupakan "revolusi yang buram". Masalahnya, jikalau Tibet ingin merdeka dan lepas dari China, Amerika dan sekutunya pasti tidak akan tinggal diam. Mereka akan menyetir Tibet dan menjadikannya lahan eksploitasi yang empuk. Tak jauh beda dengan China. Demi mendukung pertumbuhan ekonominya, Tibet tentu tidak akan dilepas begitu saja. Upaya penjajahan kembali dalam segala bentuknya tidak bisa dihindari nantinya. Itu memberi gambaran jelas bahwa revolusi Tibet merupakan revolusi yang masih buram. Kapankah ini akan berakhir? Biarkan waktu yang berbicara.
*) Peresensi adalah staf pada Hasyim Asy’ari Institute
HP 085292843110
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

Jumat, 30 Mei 2008

Opini SMS Santet

Fenomena Dibalik SMS Santet

Oleh : Fatkhul Anas*)

Isu SMS santet semakin merebak ke seluruh penjuru tanah air. Terhitung semenjak awal Mei 2008, SMS santet telah menyebar teror yang mengerikan bagi segenap bangsa Indonesia. Berawal dari daerah Sumatra, isu SMS santet kemudian menyebar ke hampir seluruh wilayah Indonesia. Bagi setiap warga yang menerima SMS atau telpon bernomor 4 digit, berwarna merah, biasanya bernomor 0666 atau 0866, begitu takut untuk membaca SMS atau mengangkat telepon. Kabarnya siapa yang membaca SMS atau menerima telpon dari nomor tersebut akan mati. Karena SMS dan telpon itu adalah SMS santet dari seseorang yang sedang mencari tumbal untuk mempelajari ilmu hitam.

Itulah SMS santet yang saat ini sedang marak menjadi buah bibir masyarakat. Mereka begitu resah dengan adanya isu ini. Takut jikalau menerima SMS atau telpon dari nomor tersebut, maka mereka akan mati. Lebih-lebih telah dikabarkan di berbagai televisi telah ada yang menjadi korbannya. Ada yang dibawa kerumah sakit. Bahkan ada yang dikabarkan langsung mati. Namun dibalik semua fenomena ini, ada hal yang masih menjadi pertanyaan. Benarkah SMS santet itu benar-benar terjadi? Atau hanyalah sekedar isu untuk meresahkan masyarakat. Itulah yang mesti kita cari jawabannya sebelum termakan oleh isu-isu tersebut.

SMS santet atau SMS maut memang telah menjadi isu besar yang terjadi saat ini. Namun mengenai kebenarannya, semestinya kita tidak bisa langsung percaya begitu saja. Penelitian telah membuktikan bahwa hal itu hanyalah isu teror semata. Sebagaimana diberitakan diberbagai televisi seperti Antv dan lainnya, hal itu hanya isu dan tidak benar adanya. Penelitian para pakar teknologi menyimpulkan bahwa tidak mungkin SMS bisa mematikan. Hal itu diperkuat oleh tokoh supranatural Indonesia, Ki Jokobodo yang mengatakan tidak mungkin bisa menyantet orang lewat SMS. Kalau ingin menyantet tidak melewati medium seperti itu. Bisa langsung ke orangnya. Adapun mengenai korban yang katanya adalah korban SMS santet, setelah dibuktikan para dokter sebagaimana berita-berita ditelevisi, mereka bukanlah korban SMS melainkan karena penyakit seperti penyakit jantung.

Dari data-data ini kita bisa memprediksi bahwa SMS santet hanyalah isu belaka. Toh, kenyataanya belum ada bukti yang valid adanya SMS santet ini. Kalau memang ada SMS berwarna merah itu hanyalah ulah manusia usil saja. Dari sini kita bisa menelisik lebih jauh mengapa bisa muncul adanya teror SMS ini. Apakah hanyalah sekedar teror untuk meresahkan masyarakat belaka ataukah ada motif lain dari pelaku SMS ini? Itulah yang mestinya kita cari. Kalau menurut prediksi penulis ada dua alasan mengapa SMS ini muncul.

Pertama, SMS ini hanyalah untuk mengecohkan perhatian masyarakat. Kita tahu bahwa saat ini masyarakat Indonesia sedang menghadapi persoalan kenaikan BBM. Masyarakat begitu resah dengan kebijakan Presiden yang akan menaikkan harga BBM ini. Rakyat kecil semakin tercekik kehidupannya. Karena, selain harga BBM naik, harga kebutuhan kehidupan jelas akan naik juga. Untuk itu agar masyarakat tidak banyak protes maka perhatian mereka dialihkan kepada SMS santet ini. Terbukti saat ini SMS santet telah menjadi isu nasional. Tidak lagi persoalan daerah saja, tetapi telah menyebar ke seluruh wilayah Indonesia. Kalau masyarakat telah sibuk dengan urusan SMS santet maka mereka tidak akan berpikir mengenai kenaikan BBM. Pemerintah pun akan begitu mudah menelorkan kebijakan ini karena tak akan banyak protes dari masyarakat.

Kedua, SMS santet ini juga digunakan untuk mengecohkan perhatian masyarakat pada pemilu 2009. Bukahkan saat ini kita telah dekat dengan pemilu 2009? Saat-saat inilah waktunya masyarakat disibukkan agar tidak banyak memikirkan pemilu. Kalau masyarakat tidak peduli dengan pemilu maka bisa dipastikan pemilu akan gagal. Selain itu, pilihan yang mereka pilih dalam pemilu belum tentu sesuai dengan nurani karena mereka tidak terlalu serius untuk mengenalnya. Bisa kita lihat nanti setelah isu SMS santet ini akan ada isu apa lagi yang bakal menyusul. Dulu menjelang pemilu 2004 juga ada isu tentang aliran sesat. Sekarang juga dibuat isu lagi untuk mengecohkan pemilu 2009.

Dari sinilah kita mulai berpikir lebih dewasa dalam menyikapi setiap isu yang muncul. Jangan sampai kita termakan mentah-mentah oleh isu yang masih samar-samar. Waspada memang boleh dan harus dilakukan. Tetapi jangan karena isu tertentu perhatian kita terhadap hal lain menjadi tidak ada. Kita jangan hanya disibukkan memikirkan isu yang belum jelas. Masih banyak persoalan lain yang lebih penting. Kenaikan harga BBM, meningkatnya angka kemiskinan, mahalnya pendidikan, korupsi yang tak kunjung usai, merupakan sebagian persoalan yang perlu dikritisi oleh masyarakat. Persoalan-persoalan tersebut telah begitu lama bersarang di bumi Indonesia. Sudah saatnya kita cari solusi yang tepat.

Sebentar lagi pemilu 2009 juga akan bergulir. Mulai saat ini kita memikirkan bagaimana agar mampu memilih pemimpin yang tepat bagi bangsa Indonesia. Tipe-tipe seperti apa yang pantas kita pilih sebagai pemimpin. Apakah pemimpin yang kita pilih nanti seperti yang sudah-sudah atau kita mempunyai pandangan lain tentang pemimpin kita. Hal itu semua mulai kita pikirkan sejak sekarang agar tidak salah pilih. Kalau pilihan kita tepat bisa dipastikan bangsa ini akan maju, rakyat sejahtera, serta kedamaian hidup akan senantiasa kita nikmati.

*) Penulis adalah staf pada Hasyim Asy’ari Institute

HP 085737153068

Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

Refleksi Seabad kebangkitan Nasional

Refleksi Seabad Kebangkitan Nasional

Indonesia Republik Uang
Oleh : Fatkhul Anas*)

Tak terasa perjalanan waktu telah membawa bangsa kita jauh melampaui zaman. Detik-detik jarum jam turut menjadi saksi bagi bangsa ini berdiri diatas puing kebangkitan nasional hingga satu abad lamanya. Semenjak 20 Mei 1908, kaki-kaki nasionalisme mulai terbangun di bumi pertiwi. Perjuangan kemerdekaan yang semula hanya bersifat kedaerahan, sejak era kebangkitan nasional berubah menjadi semangat persatuan. Sungguh sebuah era aufklarung bangsa Indonesia telah dimulai saat itu. Era yang memberikan kesadaran setiap manusia Indonesia untuk menjalin persatuan kesatuan di dalam perjuangan demi merebut kemerdekaan.

Pasca kemerdekaan bangsa, semangat persatuan dan kesatuan masih tetap terjaga dan kokoh. Bangsa Indonesia yang terdiri dari beribu pulau, beragam suku, bahasa, budaya, ras, serta warna kulit, masih tetap harmoni di dalam wadah NKRI. Meski tak dapat dipungkiri berbagai hambatan seperti upaya pemisahan diri dari wilayah Indonesia itu terjadi, tetapi sampai detik ini negara kita masih berdiri diatas puing Negara Kesatuan. Itu artinya semangat persatuan dan kesatuan masih tetap menjadi prinsip bangsa Indonesia. Dan semua itu tak bisa lepas dari adanya era kebangkitan nasional tahun 1908.

Kini, telah satu abad kita memperingati era kebangkitan nasional. Apakah perasaan persatuan dan kesatuan di dalam diri kita masih kokoh sebagaimana kokohnya NKRI? Nampaknya inilah basis persoalan mendasar yang perlu kita pertanyakan. Mengapa? Karena meskipun sampai detik ini bangsa kita masih utuh di dalam wadah NKRI, tetapi belum tentu hati kita masih utuh dengan adanya rasa persatuan dan kesatuan. Kita lihat saat ini budaya individualisme, egoisme, pragmatisme, serta hedonisme, telah menciptakan manusia-manusia yang hanya mementingkan diri sendiri dan acuh dengan orang lain. Orang lain adalah pihak yang tak perlu ditolong, tak perlu diperhatikan, bahkan orang lain adalah musuh.

Sampai disini, jelas-jelas bahwa budaya individualisme dan variannya sangat bertentangan dengan semangat persatuan dan kesatuan. Orang lain yang semestinya kawan malah menjadi musuh. Pihak yang semestinya bersatu malah diajak bertikai. Tidak ada lagi perasaan saling memiliki. Yang ada hanyalah persaingan, kebencian dan permusuhan. Ini jelas sangat berbanding terbalik dengan semangat persatuan. Kita semestinya bisa saling gotong royong, saling menolong, membantu ketika susah, malah saling beradu kekuatan untuk menjatuhkan. Lalu kemana perginya persatuan dan kesatuan yang selama ini kita idam-idamkan?

Yang lebih parah lagi, bangsa kita saat ini semakin menggila dengan uang. Hampir disegala lini kehidupan tidak bisa dilepaskan dari pengaruh uang. Didalam pendidikan, semakin banyak kita mengeluarkan uang semakin mudah kita diterima di suatu sekolah atau perguruan tinggi. Daftar polisi atau TNI, semakin besar uang masuknya semakin mudah diterima. Daftar pegawai negri atau pejabat, yang banyak nyogoknya maka ialah yang jadi. Tak hanya itu saja, korupsi juga dilakukan gara-gara gila uang. Tidak hanya ditingkat lembaga-lembaga desa yang gila uang, lembaga-lembaga pemerintah pusat juga banyak orang-orangnya yang gila uang. Tidak pula orang miskin, malah terkadang orang miskin mau nrima ing pandum, orang kaya yang sangat kaya juga masih gila uang.

Uang memang telah menjadi raja bagi bangsa ini. Sehingga sedikit tepat jika bangsa ini saya sebut sebagai “Republik Uang”. Dengan uang segala persoalan akan selesai. Yang tak punya uang persoalannya tak selesai, begitu kira-kira perumpamaannya. Memang kenyataan telah demikian, dan kita sulit mengingkarinya. Mungkin seandainya kapitalisme tidak masuk ke Indonesia, bangsa ini tidak akan menjadi bangsa uang. Tetapi sejarah tak bisa diubah. Semenjak kapitalisme masuk Indonesia bersamaan dengan masuknya penjajah pada tahun 1596, maka muncullah ego untuk menumpuk kekayaan material, salah satunya adalah uang.

Apalagi dengan berdirinya VOC tahun 1602, bangsa Indonesia benar-benar telah jatuh ke tangan penjajah baik dari segi ekonomi maupun politik. Kehidupan bangsa Indonesia yang sejak semula ayem tentrem, menjadi gusar gara-gara dikenalkan dengan materialisme. Sejak saat itu mainstream berpikir bangsa Indonesia di rombak total. Kebutuhan akan materialisme yang semula hanyalah kebutuhan penunjang kehidupan, menjadi kebutuhan terpenting. Bahkan bangsa Indonesia mulai diajari untuk selalu tidak puas dengan materi yang ia punyai sehingga berusaha terus dan terus mencari.

Maka sampai sekarang jadilah apa yang sekarang ini lazim terjadi. Penipuan, persaingan negatif, penjagalan, bahkan pembunuhan akan dilakukan demi mendapat materi. Terlebih-lebih jika materi itu bernama uang. Orang tak lagi peduli dengan orang lain. Ia hanya sibuk mencari uang. Kampanye politik yang dilancarkan ujung-ujungnya hanyalah uang. Buktinya setelah menjadi pejabat masih melakukan korupsi, gaji minta terus dinaikkan, serta fasilitas diri harus dilengkapi. Padahal terkadang tak terlalu dibutuhkan. Kemauan membantu orang lain mau dilakukan juga asalkan ada uang. Dan masih banyak hal yang semuanya berujung pada uang. Sungguh bangsa ini telah menjadi Republik Uang. Masih mending jika bangsa ini kaya. Toh, bangsa ini tetap miskin meski uang telah menjadi raja.

Kalau sudah demikian siapa yang mau disalahkan? Persatuan dan kesatuan telah terkalahkan oleh uang. Dan itulah kenyataannya. Tetapi tentu saja kita tidak boleh pesimis. Ronggowarsito berpesan kepada kita bahwa seuntung-untungnya orang yang edan masih untung orang yang eling dan waspada. Edan adalah penggambaran situasi banga kita saat ini. Karenanya kita harus eling alias introspeksi diri. Manakah hal yang benar-benar dibutuhkan oleh bangsa harus benar-benar diupayakan. Kita juga harus waspada dengan situasi sekitar. Kebahagiaan kita akan materi hanyalah kebahagiaan semu. Sehingga kita juga perlu memikirkan kepentingan lain yang lebih berguna bagi bangsa dan negara dari pada selalu memikirkan uang.

Momentum seabad kebangkitan nasional ini semoga menjadikan kita semakin eling dan waspada. Kehidupan kita saat ini hanyalah kehidupan sementara. Ajal akan menjemput kita setiap saat. Karenanya sebelum ajal menjemput seyogyanya kita berbuat baik bagi orang lain, bangsa dan negara agar kelak kita mati sebagai pahlawan. Masih banyak orang-orang yang mesti kita tolong. Bangsa dan negara ini juga masih membutuhkan kita agar selalu eksis sepanjang masa.

*) Penulis adalah staf pada Hasyim Asy’ari Institute

Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

HP 085737153068

Resensi Soeharto

Penghianatan Para Anak Emas

Judul Buku : Mereka Menghianati Saya; Sikap Anak-Anak Emas Soeharto di Penghujung Orde Baru

Penulis : Femi Adi Soempeno

Penerbit : Galangpress, Yogyakarta

Cetakan : I, 2008

Tebal : 228 halaman

Peresensi : Fatkhul Anas*)

Tanggal 27 Januari 2008 lalu bangsa Indonesia digegerkan oleh kematian Sang Bapak Pembangunan. Astana Giri Bangun sebagai tempat persinggahan terakhir beliau, dipenuhi isak tangis dari Keluarga Besar Cendana serta beribu pelayat yang hadir. Mereka merasa kehilangan sekaligus merasa iba dengan Bapak Pembangunan ini. Sang Bapak yang selama ini banyak meninggalkan sejarah perjuangan panjang demi kemajuan bangsa tiba-tiba harus pergi dari bumi pertiwi. Kepergiannya pun banyak menjadi perbincangan. Banyak pihak yang memuji Beliau, tidak sedikit pula yang mencela. Segalanya masih menjadi mesteri dan teka-teki yang belum menemukan ujung.

Beriringan dengan kepergian Mantan Presiden RI ini, ternyata ada sisi-sisi buram dibalik kisah kepemimpinannya. Sisi-sisi buram itu ada bukanlah dari beliau, melainkan dari para “anak-anak emas” yang selama ini dibangga-banggakan dan disanjung oleh Sang Bapak Pembangunan. Anak-anak Emas yang selama ini dibesarkan dengan sepenuh tenaga oleh Sang Bapak ini tiba-tiba tega berhianat ketika Sang Bapak sedang gonjang-ganjing dan “sekarat” kepemimpinan. Para anak emas sama sekali tidak membela bahkan mereka dituduh ikut menyiapkan aksi penggulingan tersebut. Disinilah sisi buram mulai terlihat. Lalu siapa para anak emas yang dituduh berhianat itu?

Buku yang berjudul Mereka Menghianati Saya; Sikap Anak-Anak Emas Soeharto di Penghujung Orde Baru karya Femi Adi Soempeno ini akan membahas hal tersebut. Buku ini membeberkan bahwa para anak emas itu tak lain adalah orang-orang terdekat Mantan Presiden Soeharto. Mereka diantaranya Habibie, Harmoko, Ginanjar, serta Prabowo. Mulai dari Habibie, ia adalah orang terdekat dengan Soeharto sejak jabatannya menjadi Wakil Presiden. Namun kedekataannya sudah dimulai sejak lama. Tahun 1950 saat Soeharto masih berpangkat Letkol dan memimpin Brigade Ekspedisi Divisi Diponegoro dengan nama Brigade Mataram untuk menumpas pemberontakan Andi Aziz di Makasar, Soeharto sudah mengenal Habibie. Ini karena keluarga Habibie tinggal di sekitar markas Brigade Mataram.

Perkenalan Soeharto dengan Habibie dimulai ketika pada suatu malam anak-anak keluarga Habibie datang ke asrama sambil menangis karena ayahnya sakit. Tangisan itu disambut Soeharto karena dialah yang masih berjaga. Segera Soeharto datang bersama dokter Irsan. Namun malang karena ayah Habibie tak bisa tertolong. Dan saat itu Soeharto-lah yang berkesempatan menutup mata ayah Habibie (hal 129). Sejak peristiwa itu Habibie mulai dekat dengan Soeharto. Kedekatan ini semakin erat ketika salah satu anak buah Soeharto menikah dengan kakak Habibie. Berkat Eratnya kedekatan itu ditambah kecerdasan luar biasa dari Habibie, maka jadilah Habibie sebagai Wakil Presiden mendampingi Soeharto sebelum Soeharto lengser.

Saat Habibie mendampingi Soeharto, betapa ia sangat hormat dan sangat memuji Soeharto. Salah satunya pada ucapan “saya memandang pak Harto sebagai seorang pahlawan yang memimpin pahlawan-pahlawan lainnya”. Ini hanyalah sebagian kecil sanjungan Habibie kepada Soeharto dan masih banyak sanjungan-sanjungan lainnya. Namun, tanpa disangka sanjungan Habibie berbalik arah saat beliau menduduki posisi Presiden. Ia pernah mengatakan kepada para investor asing “Anda sekarang berhubungan dengan orang berbeda. Anda menikmati transparansi. Anda tak pernah bisa bicara dengan Soeharto seperti bicara dengan saya”. Ucapan ini semakin memperlihatkan bahwa Habibie mau menghilang dari bayang-bayang Soeharto. Ini pula yang dianggap penghianatan oleh keluarga Cendana, terlebih Habibie tak mau turut turun keprabon (turun tahta) ketika Soeharto lengser.

Aksi Habibie tak luput pula dilakukan Harmoko. Ia adalah anak emas kedua yang pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan, Ketua Umum DPP Golkar serta Ketua DPR/MPR Periode 1993-1998. Saat Soeharto akan diangkat kembali menjadi Presiden masa bhakti 1998-2003, Harmoko dengan menggebu-gebu menyatakan dukungannya dan menyatakan bahwa rakyat masih membutuhkan Soeharto. Sidang Umum MPR pun dimulai sejak 1 Maret 1998 yang hasilnya menyatakan bahwa Presiden Soeharto masih berhak menjabat Presiden kembali karena telah memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Tap MPR No 2/MPR tahun 1973. Namun, apa yang dilakukan Harmoko dua bulan setelah Soeharto menjabat kembali sebagai Presiden?

Harmoko diam-diam menyiapkan aksi penggulingan terhadap Soeharto. Pada 18 Mei 1998 pukul 15.20 WIB, Harmoko di Gedung DPR dengan para mahasiswa mengatakan, Presiden Soeharto diharapkan mengundurkan diri demi persatuan dan kesatuan bangsa (hal 146). Pernyataan itu sudah dipersiapkan Harmoko karena merupakan hasil musyawarah dengan para Fraksi di DPR selama lima jam. Musyawarah itu dilatarbelakangi oleh tiga tuntutan rakyat yaitu menghendaki agar reformasi dilakukan, meminta agar presiden mengundurkan diri, serta Sidang Istimewa MPR. Mulai saat itulah Harmoko menjadi tokoh pendukung penggulingan Soeharto. Pujian-pujian terhadap Soeharto berbalik menjadi serangan tajam. Memang Harmoko bisa dinilai benar karena mementingkan aspirasi rakyat. Namun, ia tak setia kepada Soeharto karena ketika bapaknya (Soeharto) menghadapi tuntutan ia tidak membela. Padahal ia kaki tangan Soeharto.

Sama seperti Harmoko, Ginanjar Kartasamita juga melakukan aksi pembelotan. Ginanjar yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, tiba-tiba membelot dengan cara mengundurkan diri dari jabatannya pada 20 Mei 1998. Pengunduran diri itu dilakukan bersama 13 Menteri lainnya di lingkungan ekonomi, keuangan, dan industri (Ekuin) Kebinet Pembangunan VII. Hanya dua menteri Ekuin yang tidak mengundurkan diri yaitu Menperindag Mohammad Hasan dan Menteri Keuangan Fuad Bawazir. Bisa dibayangkan betapa sakitnya Soeharto karena orang-orang kepercayaannya berbuat demikian. Terlebih Ginanjar yang telah dibesarkan namanya oleh Soeharto. Disinilah betapa para anak emas Soeharto telah berbuat patricide atau pembunuhan terhadap Bapaknya.

Aksi penghianatan tak luput pula dilakukan oleh Prabowo, menantu sekaligus anak emas yang dikasihi. Meski dalam hal ini masih menjadi tanda tanya apakah benar demikian. Pasalnya masih terjadi kesimpang siuran berita. Ada yang mengatakan bahwa Prabowo membuat semacam aksi gerakan rahasia dengan para Koppasusnya untuk menggulingkan Soeharto. Namun, Prabowo mengatakan hal itu tidak benar. Inilah awal mula titik konflik keluarga Cendana dengan Prabowo. Terlebih ketika para mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR, Probowo terkesan diam saja bahkan memberi solusi agar Presiden mengundurkan diri (hal 199). Karenanya ia dituduh penghianat oleh keluarga Cendana. Entah tuduhan itu benar atau hanya karena keangkuhan keluarga Cendana, hal itu masih menjadi teka-teki.

Sungguh begitu banyak silang sengkarut tentang peristiwa lengser keprabon (turun tahta) Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 lalu. Adanya penghianatan sebagaimana ditulis dalam buku ini juga masih menjadi titik buram. Barangkali itulah dunia politik yang penuh trik dan stratregi. Karenanya perlu benar-benar jeli memandang permasalahan. Dan untuk aksi penghianatan para anak emas Soeharto sebagaimana tertulis dalam buku ini semoga menjadi titik awal bagi terbukanya teka-teki dibalik kepemimpinan Soeharto. Untuk lebih jelasnya silahkan para pembaca membaca sendiri buku ini.

*) Penulis adalah pustakawan pada Hasyim Asy’ari Institute

HP 085292843110

Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

Opini Tan Malaka

Refleksi Kelahiran Tan Malaka

Tan Malaka, Pejuang Revolusioner Legendaris

Oleh : Fatkhul Anas*)

2 Juni 1897, seorang anak laki-laki lahir di desa Pandam Gadang, Suliki, Sumatra Barat. Ia lahir ditengah keluarga petani miskin di wilayah Sumatra. Kedua orang tuanya memberinya nama Ibrahim Datuk Tan Malaka. Ia seorang anak yang cerdas, pemberani, dan berjiwa pemimpin. Dialah orang yang kelak akan menjadi pejuang revolusioner di Indonesia. Bahkan ia dinobatkan sebagai pejuang revolusioner legendaris. Perjuangannya lintas batas. Tidak hanya sekedar wilayah Indonesia, tetapi merambah ke Thailand bahkan Moskwa. Inilah yang membuat namanya selalu terkenang meski sejarah pernah menimbunnya.

Adalah Tan Malaka, nama akrabnya, pada usia 25 tahun sudah memulai menapaki pergerakan politik. Ia di usia itu, tepatnya tahun 1921 pergi ke Semarang dan bertemu dengan Semaun. Dari situlah Tan Malaka mulai merambah dunia baru dan banyak belajar mengenai perpolitikan dan perjuangan revolusioner. Karena kecerdasan dan kewibawaannya Tan Malaka diangkat sebagai ketua PKI, tepatnya pada saat kongres PKI tanggal 24-25 Desember 1921. Sejak saat itulah Tan Malaka mulai mengembangkan pemikirannya dan memberikan sumbangsih perjuangan bagi bangsa Indonesia.

Gerakan awal Tan Malaka adalah mengumpulkan pemuda-pemuda dalam wadah komunis. Selain banyak berdiskusi dengan Semaun, ia juga bercita-cita membangun wadah organisasi dalam bentuk pendidikan untuk para anggota PKI dan SI. Mereka akan dikader serta akan dikursus mengenai ajaran-ajaran komunis, keahlian berbicara, gerakan-gerakan aksi komunis, jurnalistik serta keahlian memimpin rakyat. Gerakan ini ternyata diketahui oleh pemerintah Hindia-Belanda. Mereka melarang dan menindak tegas terhadap kursus-kursus yang dibangun Tan Malaka dan kawan-kawannya.

Bagi Tan Malaka, pelarangan ini bukanlah kendala yang mampu melunturkan semangatnya. Ia malah bercita-cita membangun sekolah bagi anak-anak anggota SI untuk mencipta kader-kader baru. Tan Malaka memiliki tiga alasan mendirikan sekolah itu. Pertama, ingin memberi banyak jalan kepada murid untuk mendapatkan berbagai mata pelajaran seperti berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa, dan lainnya. Kedua, memberi kebebasan kepada para murid untuk mengembangkan kegemaran mereka terutama dalam hal perkumpulan-perkumpulan. Ketiga, memperbaiki nasib kaum miskin yang sekian lama terkurung dalam penindasan dan ketidakadilan.

Demi terwujudnya cita-cita mendirikan sekolah, ruang rapat SI Semarang dirubah menjadi ruang kelas. Darisinilah cikal-bakal sekolah yang didirikan Tan Malaka berkembang dan menjadi sekolah besar. Perjuangan Tan Malaka dalam kancah perpolitikan, terutama bagi komunis dan PKI juga sangatlah nyata. Selain harus memikirkan PKI, ia juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskwa diikuti oleh kaum komunis dunia. Ini karena Tan Malaka memikul tanggung-jawab sebagai wakil Komintern.

Seiring perjalanan waktu, pengabdian Tan Malaka di PKI mengalami goncangan. Seringkali ia beradu argumen dengan para petinggi-petiggi PKI seperti Muso, Semaun, yang menyulut api perbedaan. Karena perbedaan pandangan ini, Tan Malaka memilih keluar dari PKI, Sardjono-Alimin-Musso. Perbedaan ini dilatarbelakangi setidaknya karena perbedaan background antara Tan Malaka dengan pemimpin-pemimpin PKI lainnya. Tan Malaka meskipun berpandangan komunis tetapi lahir dari rahim SI. Ia besar di lingkungan dan pemikiran islam modernis SI. Sehingga pandangan komunisnya berbeda dengan pandangan Muso dan kawan-kawannya.

Tahun 1926 muncul pemberontakan kecil di berbagai daerah di Indonesia. Pemberontakan ini muncul atas rekayasa Keputusan Prambanan. Pemerintahan Hindia-Belanda saat itu langsung dapat memadamkan pemberontakan karena hanya segelintir-segelintir saja. Para pejuang banyak yang ditangkap, diasingkan ke Boven Digoel, Irian Jaya, bahkan ada pula yang dibunuh. Sebagian besar yuang ditangkap adalah pejuang yang jumlahnya mencapai ribuan. Dari pemberontakan ini, pemerintah Hindia-Belanda akhirnya mempunyai alasan untuk menangkap siapapun yang mencoba melawan Belanda. Meskipun mereka bukan dari PKI.

Melihat keadaan yang cukup parah, Tan Malaka yang saat itu berada di luar negri segera mengumpulkan teman-temannya. Di Bangkok, Thailand, Tan Malaka bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI). Pendirian itu dilakukan pada bulan Juni 1927. Mulai saat itu Tan Malaka berusaha membangun situasi dalam negri Indonesia menjadi lebih baik. Hingga suatu masa muncul peristiwa tidak menyenangkan bagi Tan Malaka. Tanggal 3 Juli 1946 Tan Malaka ditangkap bersama pimpinan Persatuan Perjuangan. Ia dipenjara selama dua setengah tahun tanpa adanya pengadilan. Setelah meletus pemberontakan PKI Madiun pada September 1948 yang dipimpin Muso dan Amir Syarifudin, Tan Malaka baru dikeluarkan dari penjara.

Sekeluar dari penjara Tan Malaka merintis pembentukan Partai Murba pada 7 November 1948 di Yogyakarta. Tahun 1949, peristiwa naas menimpa dirinya. Tan Malaka tiba-tiba hilang tanpa diketahui jejaknya. Namun, setelah diadakan penyelidikan secara serius, akhirnya terungkap bahwa Tan Malaka ditembak pasukan TNI di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri pada 21 Februari 1949 sebagaimana pengungkapan Sejarawan Belanda Harry A. Poeze. Makamnya berada ditengah-tengah kuburan para pejuang Gerilya Pembela Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa Timur.

Peristiwa inilah yang menjadi akhir hayat Tan Malaka sekaligus mengakhiri pula perjuangannya. Namun, namanya tetap abadi bersama perjalanan waktu. Demi mengharumkan namanya, pada 28 Maret 1963 Presiden Soekarno mengeluarkan keputusan Presiden No.53 yang menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Meski saat rezim Orde Baru namanya dikucilkan dari sejarah karena ia dituduh PKI, hal itu tetap tak mampu menghapus namanya dari lembaran sejarah.

Namanya akan selalu abadi dan semoga menjadi inspirator utama bagi para pemuda Indonesia yang hidup di masa ini. Ditengah hiruk-pikuk persoalan negri, para pemuda sudah semestinya mencontoh etos perjuangan militan serta revolusioner dari Tan Malaka. Dialah yang selalu membangun pondasi kuat untuk menyelamatkan rakyat. Dialah nenek moyang bangsa Indonesia yang namanya sejajar dengan Soekaro-Hatta.

*) Penulis adalah pecinta sejarah serta staf pada Hasyim Asy’ari Institute

HP 085292843110

Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

Selasa, 27 Mei 2008

Cerpenku

Umar Fadli
Oleh : Anas Fz*)
Penampilannya sederhana, santun, dan berwibawa. Sorot matanya yang mulai kabur, menandakan usianya hampir tutup. Rambut mulai ditumbuhi warna putih. Warna asli, bukan pewarna buatan semacam wenter, semir, atau pilok atau pewarna makanan semacam sakarin. Ini pertanda malaikat maut siap menjemputnya. Tubuhnya yang dahulu segar bugar seperti perawakan Beriprima muda, saat ini hanya tinggal daging membungkus tulang. Namun, tenaga muda super powernya yang jika diukur sama kuatnya dengan Aderai, kini masih tersimpan. Meski tidak sepenuhnya. Setidaknya masih separuh dari Aderai.
Saat ditanya mengapa ia masih begitu kuat, dengan enteng ia menjawab "sejak kecil saya tidak terbiasa makan makanan yang mengandung bahan kimia. Saya biasa makan makanan alam murni. Istri saya juga saya larang memakai penyedap seperti miwon, sasa, ajinomoto atau roico yang mengandung bahan kimia". Ternyata disini rahasianya. Perutnya tidak terbiasa bahkan hampir tidak pernah terisi bahan-bahan kimia. Entah darimana dia tahu bahwa bahan-bahan kimia seperti monosodium glutamate, sakarin, lesitin, borak, formalin, itu mampu merusak sel-sel tubuh. Padahal ia hanyalah seorang guru agama MI kampung yang dulu lulusan PGA.
Mungkin saja orang tuanya atau sejak nenek-nenek moyangnya dahulu sudah menganjurkan demikian meski mereka tidak mengenal bahan-bahan kimia itu. Dan ternyata benar. Sejak kecil Pak Guru ini sudah dibina agar memakan makanan alam yang masih murni belum kecampuran obat-obatan. Menurut pengendika nenek moyangnya, makanan yang murni banyak mengandung gizi dan menyehatkan. Sungguh dahsyat pengendika ini. Padahal mereka belum tahu apa itu gizi, vitamin, mineral, zat besi, atau pun protein. Tapi mereka telah mengatakan bahwa makanan murni banyak mengandung gizi. Dari sini aku jadi tahu bahwa nenek moyang orang Jawa ternyata memiliki intelegensia kuat.
Kecerdasannya mampu menembus zamannya. Ini yang menyebabkan orang-orang mengatakan weruh sak durunge winarah atau "mengetahui sebelum diberi informasi", begitu kira-kira artinya. Masih tentang tubuhnya yang kurus kerempeng tapi tenaganya setengah super, ototnya dan tulangnya juga masih kokoh. Otot kawat balung wesi, itu sebutan untuk orang ini. Kekuatannya mampu menembus umurnya yang kelewat 60 tahun itu. Jika berjalan, ia seolah bodyguard dibelakang majikannya. Tegap dan penuh percaya diri. Namun, lain kalau ia bicara. Gaya bicaranya sungguh sahaja. Siapapun orangnya, terutama murid-muridnya, akan terhipnotis dan tertegun mendengar ucapannya. Tak sepatah katapun terlupakan. Semua diam seperti diamnya orang-orang ditahun 45 mendengar pidato Sukarno.
Begitu sempurnanya sampai aku pun sulit menggambarkan sosok Pak Guru yang berwibawa ini. Ia sungguh laksana Nabi Muhammad diantara para sahabatnya. Yang lebih unik, adalah sepeda ontel tua yang dipakainya setiap kali mengajar. Sepeda unta laki-laki buatan Jepang warisan kakeknya tahun 40-an dulu, kini masih kokoh meski catnya sudah luntur. Batangannya juga masih kuat mengangkat barang seberat 200 kg. Sepeda itulah yang setia menemaninya selama 23 tahun mengajar. Ada lagi tas cangklong warna hitam bawaannya. Warnanya sudah pudar, lusuh, dan bentuknya kelewat sederhana. Namun itu tak dipikir oleh sang Guru. Tas itu tetap dibawa kemanapun ia mengajar.
Jika melihat saat ia mengendarai sepeda ontelnya, stereotipnya persis seperti Umar Bakri dalam lagu Iwan Fals. Nama depannya juga sama. Hanya belakangnya yang beda yaitu Fadli sehingga nama lengkapnya menjadi Umar Fadli. Mungkin ia masih punya pertalian darah dengan Umar Bakri. Atau ia nge-fans. Atau sekedar kebetulan saja. Dan kebetulan profesinya juga sama, guru. Tapi ia bukan guru negri. Gajinya hanya tiga ratus ribu sebulan. Entah pikiran apa yang menghantuinya ketika didaftarkan jadi PNS, ia dengan tegas menolak. Jawabannya singkat dan padat, "saya tidak mau makan uang yang tak jelas sumbernya, saya hanya mau uang halal". Mungkin ia mengira uang Negara tidak halal. Ini didasarkan saat ia melihat dengan mata kepalanya, tetangganya membayar pajak dengan uang hasil perjudian. Mungkin karena ini ia tidak mau dibayar Negara.
Sosok yang ramah ini mengajar kelas lima MI Tanjung sari, salah satu MI swasta di kampungku. Siswanya berjumlah 30 orang. Ia seorang guru kelas, jadi setiap hari harus mengajar. Usianya yang kelewat 60 bukan halangan bagi Pak Umar ini. Usia yang semestinya sudah waktunya pensiun, masih saja digunakan sebaik mungkin. Ia benar-benar terinspirasi hadis Nabi bahwa pergunakankah hidupmu sebelum matimu. Baginya hidup didunia hanyalah sekali, karenanya hidup harus berarti. Makanya ia tak mau dipensiunkan meski sudah waktunya dan pejabat Negara menurut saja kemauan Pak Umar karena selama ini Negara tidak menggajinya.
Hari-harinya dilewati tanpa beban, tanpa mengeluh, dan selalu tenang. Ia selalu tersenyum bahagia sebahagia Susi Susanti saat menerima medali emas di Olimpiade Bercelona tahun 1992. "Hidup tidaklah untuk bersedih, namun untuk tersenyum", begitu nasihat kepada anak-anak, murid-murid maupun cucu-cucunya setiap kali mereka mendapat ujian hidup. Karena saking bersahaja hidupnya, para tetangga dan warga desanya menobatkan ia sebagai sesepuh. Dan ia bangga dengan sebutan itu karena bisa menjalin silaturrahim kemana-mana.
***
Hari ini adalah hari paling menyebalkan dalam hidup Pak Umar selama ia mengajar. Salah satu muridnya, Fakih namanya, begitu susah untuk diajar. Anaknya bringas, hiperaktif, dan selalu membuat ribut dikelas. Sudahpun begitu IQ-nya dibawah rata-rata teman-temannya, alias bodoh. Terhadap murid yang satu ini, Pak Umar sungguh kewalahan. Ia pun harus memberi perhatian super khusus. Apalagi anak ini dirumah ditelantarkan oleh ayahnya. Ayahnya selalu marah-marah, suka main pukul, dan jewer seenaknya. Kerjanya sebagai kuli keweh kadang sampai sampai larut malam. Dan Fakihpun sendirian dirumah karena ibunya telah meninggal 2 tahun yang lalu. Akibat perhatian yang kurang dari ayahnya, Fakih berkembang menjadi anak beringas dan nakal.
Karena bandel dan otak tumpulnya yang kelewat batas, Pak Umar rela memberikan les tambahan untuk Fakih. Mulai dari pelajaran matematika, fisika, kimia, biologi, akidah akhlah, fiqih, bahkan belajar Al-qur’an. Semuanya gratis. Tak segan-segan Pak Umar datang sendiri kerumah Fakih setiap jum’at dan sabtu sore. Dan tentu saja dengan sepeda tuanya. Ayahnya yang tak mau peduli dengan pendidikannya, hanya tersenyum terpaksa kalau Pak Umar datang. Ia lalu menyajikan makanan dan minum, dan pergi ketempat tetangga. Lebih seringnya ketempatku. Kadang aku ngilu melihat pemandangan ini. Tapi apa boleh buat, aku hanya anak kecil kawan kelas Fakih yang tak kuasa melakukan apapun. Yang mampu kulakukan hanyalah menemani Fakih setiap kali diprivat Pak Umar.
Sabtu sore tanggal 5 Agustus, adalah saat-saat menegangkan bagiku dan bagi Fakih. Saat itu pukul empat. Pak Umar seperti biasa shalat ditempat Fakih setelah privat setengah jam. Selesai shalat ia kembali mem-privat kami. Aku ingat saat itu diajari akidah akhlak. Salah satu pelajarannya adalah tentang sabar dan tidak mudah putus asa. "Sebagai manusia kita harus selalu sabar dan jangan putus asa. Termasuk dalam mencari ilmu", begitu tuturnya padaku dan Fakih. Laksana mata air ditengah gurun pasir pelajaran itu bagiku. Kata-katanya begitu membekas disetiap pori-pori. Pelan-pelan ia pun terus membibing kami, memberi pitutur, sambil terkadang memberi guyonan segar. Sore itu rasanya seperti berada dalam taman surga. Tenang, damai, indah, bahagia.
Saking trenyuhnya suasana, tak terasa mata Pak Umar berkaca-kaca. Ia memancarkan senyum kebahagiaan yang tiada mampu kuungkapkan dalam kata-kata. Kalaupun sang penyair legendaris India Rabindranath Tagore atau pujangga Pakistan Mohammad Iqbal menciptakan puisi paling indah, mereka tak mampu melukiskan kebahagiaan Pak Umar ini. Disela-sela kebahagiaan itu, tiba-tiba ia berdiri dan ingin pergi ke Masjid. Kami hanya bengong, tak tahu ada gerangan apa. Lalu kami antar Pak Umar ke Masjid di sebelah kanan rumahku. Sampai disana kami disuruh shalat asar karena sedari tadi kami belum shalat. Sementara Pak Umar shalat takhiyatul masjid. Saat itu juga kami merasakan aneh. Kami melihat Pak Umar begitu khusuk sahalatnya. Mungkin ia merasa seperti shalat di Masjidil Kharam.
Sementara kami biasa saja, malah ceclingukan. Maklum, kami hanya anak kelas lima MI yang belum tahu substansi shalat. Shalat kami pun seperti kilat. Sementara Pak Umar, sedari tadi belum berdiri dari sujudnya. Kami hanya diam saja sambil terus memandang. Sujudnya benar-benar lama, bahkan sudah lebih dari setengah jam. Kami terus memandang, tapi ada perasaan bingung. "Kih, Pak Umar kok sujudnya lama banget?"celetukku memecah kebingungan. "Mungkin dia sedang bingung karena banyak hutang, hehe". Sahut Fakih seolah tak punya dosa. Aku sedikit marah padanya yang tak sopan. Akhirnya untuk memecah keheranan kami dekati Pak Umar lalu kami bangunkan dari sujudnya.
Tetapi Pak Umar diam kaku. Lalu kuperiksa nafas dan denyut jantungnya, ternyata telah berhenti. "Innalillahi wainna ilaihi roji’un…", kami spontan menangis, bingung, dan tak tahu harus berbuat apa. Fakih menangis sejadi-jadi. Suaranya sekeras halilintar memecah keheningan malam. Ia begitu merasa berdosa. Ia telah banyak menyusahkan Pak Umar selama di sekolah, di rumah, sampai Pak Umar harus menemui ajalnya hanya demi melihat dirinya menjadi orang berguna. Sejak saat itulah Fakih berjanji akan sungguh-sungguh mencari ilmu. Siang malam ia belajar, ngaji dirumah Wak Haji, dan tidak pernah bolos sekolah. Fakih benar-benar telah berubah tiga ratus enam puluh derajat setelah Pak Umar Fadli menemui ajalnya dan pergi bersama bidadari surga.
Glosarium :
Pengendika : tutur kata
Sesepuh : orang yang dituakan, berwibawa, dan dihormati
Kuli keweh : orang yang bekerja menggali tanah liat untuk membuat gentang
Pitutur : nasihat
*)Penulis adalah cerpenis Kutub, Yogyakarta. Beberapa karyanya telah dipublikasikan ke berbagai media massa baik local maupun nasional. Selain menulis cerpen, penulis juga aktif di Lesehan Sastra dan Budaya Kutub. Saat ini penulis sedang menyelesaikan studinya di Faklultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga.
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas
HP 085292843110

Cerpenku

MENDUNG MALAM
Oleh : Anas Fz*)

Malam-malam mendung menyelimuti setiap juntai mimpi-mimpinya. Hari-hari yang dahulu dilewati dengan senyum ramah, kini tinggal guratan suram, kecut, dan tak bergairah. Wajah ceria layaknya purnama ditengah malam, yang jika bercahaya mampu menembus lorong kegelapan manapun, pudar tertutup awan kesedihan. Dia lupa kalau dahulu malam-malamnya diisi untuk gaji, belajar, baca buku sampai jam satu malam, bahkan terkadang lupa makan dan lupa tidur. Ia juga lupa bahwa dahulu semangatnya membara menyamai semangat teriakan Bung Tomo saat memberi komando penyerangan terhadap tentara Belanda. Dan satu lagi yang ia lupakan, bahwa ia pernah berjanji pada gadis kecil diujung desanya, suatu saat nanti akan menjadi pilot dan akan mengajaknya terbang.
Mungkin ia menderita penyakit amnesia sehingga kesulitan untuk mengingat sesuatu. Atau memang ia telah linglung. Ah, semua itu tak benar. Ia hanya sedang putus asa. Inilah yang menyebabkan kelinglungannya. Menyebabkan ia tidak makan selama tiga hari, tidak tidur dua hari dua malam, dan tidak pernah lagi pergi mengaji, apalagi belajar. Semua itu saat ini hanyalah penyakit baginya. Ya, Baca buku, ngaji, belajar, adalah penyakit kronis. Apalagi kalau ia ingat mimpi-mimpinya, bisa dipastikan ia akan bunuh diri. Histeris memang. Tapi itulah dirinya saat ini. Lalu apa yang dilakukan? Selain melamun, menyendiri di kamar, tidur, berbicara dengan kucing dan dengan burung perkutut di depan rumahnya, atau membuat coretan buruk di buku hariannya.
Apakah ia telah gila? Mungkin saja. Dan hal itu pernah terjadi padanya. Satu bulan semenjak ia menderita putus asa, tiba-tiba ia suka bicara sendiri, menggumam, tertawa-tawa tanpa ada sebab, dan yang lebih parah adalah suka memecahkan barang-barang dirumahnya. Inilah puncak kronisnya. Dan kabarnya tak ada obat bagi penyakit gilanya. Itu sih kata dokter. Tetapi Muhammad Ali tidak pernah menyerah begitu saja. Ia tipe ayah yang tak putus asa seperti anaknya. Semangatnya selalu membara seperti semangat Muhammad Ali sang petinju saat bertanding. Atau jika ditakar bisa melebihi kegigihan Nelsen Mandela saat menyelamatkan orang-orang kulit hitam di Afrika. Muhammad Ali selalu pontang panting kesana kemari. Setiap orang pinter, dukun, para normal, kyai, sesepuh, atau siapapun yang terdengar hebat dalam menyembuhkan penyakit gila, ia datangi. Alhasil, setelah ia berkelana selama satu tahun untuk mencari obat, ternyata obat untuk anaknya mudah. Cukup mengganti nama dan mengadakan selametan.
Muhammad Assegaf Bin Muhammad Ali. Itulah namanya saat ini setelah ia sembuh dari penyakit gila selama satu tahun tiga bulan. Saat awal kesembuhannya, ayah Assegaf senang bukan kepalang. Ia mengadakan selametan besar-besaran. Mengundang tetangga, kerabat dekat, jauh, kawan-kawan dekatnya maupun kawan-kawan dekat Assegaf. Jika dihitung secara teliti dengan rumus matematika kira-kira jumlahnya 1000 orang. Selametan ini baginya bukan masalah besar. Apalagi ia, kata para ilmuan adalah penganut islam tradisional. Jiwa santrinya juga besar. Kalau digolongkan dalam kategori C. Geertz maka ia termasuk santri, bukan abangan maupun priyayi. Adapun soal dari mana biayanya, itu soal mudah baginya. Tanah pekarangan warisan nenek moyang yang ditanami tumbuhan palawija, padi, tumbuhan besar seperti jati, sengon, karet, dan masih banyak tanaman pangan lain, lebih dari cukup untuk biaya. Bahkan cukup untuk tujuh turunan.
Sungguh slametan yang barangkali sedikit berlebihan. Tak tahu kenapa. Jika ditanya oleh para tetangga jawabnya simpel. Ia hanya ingin mengekspresikan kebahagiaannya saja. Memang gayanya seperti seniman yang ingin mengekspresikan jiwa seninya. Atau dia terobsesi iklan L.A ditelevisi "ekspresikan aksimu". Tapi semua itu tak ada hubungannya. Ia hanya sekedar ingin bersyukur. Itu saja. Tapi coba tengok Assegaf. Ada perasaan lain dibenaknya. Ia menunjukkan ekspresi yang berbanding terbalik dengan ayahnya. Guratannya selalu muram, wajahnya mengerutkan kening, dan selalu melamun. Tapi bukan lamunan Majnun ketika merindukan Laila. Lamunannya adalah lamunan kosong. Kalau dilihat persis orang yang kesambet. Apalagi yang terjadi pada Assegaf? Sungguh tak ada yang tahu selain dirinya sendiri.
"Assegaf...Assegaf. Bapak sudah pusing pontang-panting kesana-kemari. Eh...Nanda malah begitu. Ada apa Nak? ". Terdengar suara parau Muhammad Ali mengintrogasi anaknya. Untung saja introgasinya tak seganas Polisi mengintrogasi pencuri ayam yang bisa lebih ganas dari mengintrogasi koruptor. Pak Ali selalu sabar. Ucapannya santun, penuh perasaan, dan dalam maknanya. Tak sedikitpun ia memperlihatkan rasa marah. Kalau kecewa memang ada. Jelas ini karena tingkah laku Assegaf yang tidak pernah berubah. Depresi, itu lebih pas untuk Assegaf. Sehingga ia selalu murung setiap waktu. Ia tidak tahu kalau setiap hari diejek oleh kawanan burung, cicak, ayam, kambing, bahkan capung. Jika mereka bisa bicara mereka akan berkata, " Assegaf memang bodoh. Buat apa termurung dalam kesedihan. Kemon..bangkit Bro! Bikin hidup lebih hidup!".
Tetapi dasar Assegaf. Ia tetap diam seribu bahasa. Tak peduli siapapun yang bicara. Tetap diam. Apalagi jika yang berbicara rakyat-rakyat kecil seperti burung-burung. Sama sekali tak dihiraukan seperti para anggota DPR yang tak menghiraukan rakyatnya. Jiwanya sungguh trauma besar. Depresi yang menjadi-jadi. Bahkan setiap saat bisa menjadi sakau atau over dosis. Assegaf betul-betul belum mampu bahkan tak mampu melupakan kata-kata Guru SMPnya dahulu. Ia benar-benar masih ingat ketika Sang Guru berkata, " Dasar murid desa bodoh. Kerjakan tugas begitu harus nyontek. Mau jadi apa kamu kelak!". Ucapan Sang Guru, Pak Muslih namanya, masih benar-benar diingat sempurna oleh Assegaf. Setiap kata, setiap huruf, setiap tanda baca, nada ucapannya dan intonasi bahasanya, masih benar-benar melekat erat. Rupanya ucapan inilah yang membuat malam-malamnya selalu mendung, hari-harinya bermuram durja dan jiwanya menjadi gila selama satu tahun tiga bulan.
Ah, dasar Pak Muslih tak tahu aturan tata bahasa dan sopan-santun berbicara. Seharusnya seorang guru berbicara secara bijak. Setiap murid diberi perhatian, tidak dibedakan mana kaya mana miskin, dan tidak dimatikan kreatifitasnya. Satu lagi yaitu, jangan mudah suudzon sehingga salah tebak. Jangan seperti ulah Pak Muslih ini yang menyangka Assegaf main contek. Padahal yang hendak mencontek adalah Andi, kawan samping bangkunya. Saat itu Andi mengambil kertas jawaban Assegaf. Saat hendak diambil, Assegaf ketahuan. Dan langsung kena makian biadab Pak Muslih. Padahal Assegaf bertindak benar. Memang terkadang stereotip guru begitu. Tidak jelas asal-usulnya tetapi suka nglabrak sejadi-jadi. Apa karena gaji mereka sedikit? Bisa juga sehingga banyak urusan dirumah dibawa sekolah. Tapi semestinya tidak demikian. Sesusah apapun urusan pribadi jangan dibawa sekolah. Kalau banyak hutang, disimpan dulu hutang itu. Kalau masih sulit, pemerintah dong yang harus menjamin kesejahteraan guru.
Kalau urusan rumah tangga dibawa ke sekolah Imbasnya seperti Assegaf ini. Gara-gara mendapat marah dari Pak Muslih ia menjadi stress. Bahkan sampai saat ini ia hanya bisa melamun, murung, dan diam tanpa kata. Mimpinya menjadi pilot hanya tinggal kenangan sia-sia. Semua terkubur bersama jiwanya yang hancur. Ia tidak bisa menikmati mimpi terbang menaiki pesawat Garuda, jet, pesawat foker, maupun helikopter. Ia juga tak bergairah jika disuruh ngaji di mushala, belajar matematika, logaritma, maupun fisika dan kimia. Apalagi belajar tata krama, ia paling alergi karena pasti akan ingat wajah beringas Pak Muslih. Hari-harinya hanya dinikmati bersama kesedihan yang berlarut persis seperti kesedihan para orang tua yang kehilangan anaknya saat sunami Aceh maupun gempa bumi di Yogyakarta.
Assegaf sungguh membutuhkan perhatian super khusus dari Pak Ali dan Bu maryamah, selaku orang tua. Untuk urusan makan, minum, mandi, tidur, benar-benar harus selalu dipantau. Sebagaimana seorang inteligen yang sedang mengintai musuh; cermat, teliti, dan hati-hati., begitu pula dengan Assegaf. Terkadang, untuk urusan berpakaian masih harus dipilihkan. Memang Assegaf tidak lagi gila, tapi ia setengah waras. Dan itu akan dilaluinya setiap detik, setiap waktu, hingga ajal kelak menjemputnya. Ia akan tumbang bersama daun-daun malang yang berguguran tiap harinya. Apakah ia akan dikenang? Itu biarlah waktu yang bicara. Hanya barangkali yang akan dikenang bukan dia, tetapi kekejaman Pak Muslih terhadap para muridnya.
*)Penulis adalah cerpenis Kutub, Yogyakarta. Beberapa karyanya telah dipublikasikan ke berbagai media massa baik local maupun nasional. Selain menulis cerpen, penulis juga aktif di Lesehan Sastra dan Budaya Kutub. Saat ini penulis sedang menyelesaikan studinya di Faklultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga.
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas
HP 085292843110