Senin, 07 Januari 2008

opini tahun baru hijriyah 1429 H

Refkeksi Tahun Baru Hijriyah 1429 H
Rekonstruksi Keberagamaan Umat Islam
Oleh : Fatkhul Anas*)
Bertepatan pada tanggal 10 Januari 2008 umat islam merayakan tahun baru Hijriyah 1429 H. Bagi umat islam ini adalah momen penting untuk kembali berefleksi diri (muhasabah) merenungi dosa-dosa maupun kesalahan-kesalahan selama setahun lamanya. Umat islam kembali diingatkan oleh Allah akan kekhilafan dirinya. Selain itu momen tahun baru hijriyah datang sebagai tahun rekonstruksi bagi keberagamaan umat islam. Apakah umat islam masih berpegang pada Al-quran maupun sunnah sebagai pedoman hidup ataukah telah jauh dari nilai-nilai yang terkandung di dalam keduanya? Disinilah betapa pentingnya peringatan tahun baru hijriyah.
Apalagi baru saja kemarin sebagian umat islam pulang dari menunaikan ibadah haji di tanah suci. Adalah sebuah kebahagiaan yang begitu dalam karena umat islam telah mampu melaksanakan rukun islam yang kelima itu. Pergi ke tanah suci adalah sebuah impian setiap umat islam. Karena ibadah ini begitu istimewa. Tak heran jika setiap orang berkeinginan untuk melaksanakannya. Mulai dari petani, pedagang kaki lima, buruh, pegawai, pejabat, bahkan artis sinetron sekalipun berlomba-lomba untuk dapat menunaikan ibadah haji. Mereka begitu gigih ingin melaksanakan ibadah tersebut.
Namun, jika melihat realita yang ada kita akan menghadapi sesuatu yang paradoks. Begitu banyak umat islam yang pergi haji namun setelah pulang dari Makkah mereka tidak menunjukkan sedikit pun perubahan. Bagi yang semula ibadahnya kurang taat setelah pulang haji pun tetap seperti itu, yang semula tidak berjibab juga tetap tidak berjilbab. Begitu pula yang semula cuek dengan sesama, kembali dari ibadah haji juga masih demikian. Dan masih banyak ketimpangan-ketimpangan yang kita temukan dari orang-orang yang pulang dari ibadah haji. Apalagi dikalangan artis. Tetap saja mereka mengumbar aurat ketika bergaya di televisi. Kalau sudah begini, siapa yang salah? Apakah Allah berbohong kepada kita bahwa kalau kita melakukan ibadah haji maka hidup kita akan lebih baik?
Itulah yang perlu kita renungi. Satu hal yang mampu kita jawab yaitu bahwa semua itu bukan salah Tuhan kita, akan tetapi salah kita sendiri. Tuhan tidak mungkin berbohong sebab Ia tidak punya sifat dusta. Tuhan adalah Maha Benar. Hanya kita saja sebagai manusia yang belum mampu memaknai kebenaran Tuhan. Sehingga ketika terjadi ketimpangan dimana ketika di dalam realitas ditemukan hal yang tak sesuai dengan firman Tuhan, seolah-olah kita berkata bahwa Tuhanlah yang salah. Seperti dikalangan orang-orang yang beribadah haji ini. Barangkali kita pun akan menyalahkan Tuhan karena ternyata orang-orang yang beribadah haji tetap saja masih senang melanggar larangan Tuhan. Padahal semua itu adalah salah manusia itu sendiri.
Fenomena seperti saat ini memang sedang menjalar. Tidak hanya dikalangan orang-orang yang melaksanakan ibadah haji, tetapi dikalangan umat islam umumnya. Saat ini orang lebih senang melakukan sesuatu bagi dirinya tanpa mau peduli dengan orang lain. Termasuk dalam urusan ibadah. Maka ketika ada tetangga yang kelaparan misalnya mereka tak peduli. Mereka malah menyibukkan diri dengan ibadah bagi dirinya sendiri seperti ritual dzikir yang dilaksanakan dengan menyepi (menjauh dari kehidupan masyarakat), termasuk juga ibadah haji. Giliran mereka yang mau membantu sesamanya malah dilakukan demi mencari simpati dan dukungan. Itulah kenyataan yang ada saat ini.
Memang benar apa yang dikatakan Rasulullah bahwa suatu masa umat islam itu banyak jumlahnya tetapi mereka bagai buih. Namanya buih pastilah mudah hancur. Sebab buih hanyalah menang dari segi kuantitas namun sangat miskin dalam kualitas. Itulah kenyataan yang terjadi saat ini. Umat islam berjumlah banyak namun kualitasnya diragukan. Tak heran jikalau keagamaan kita hanya sampai pada taraf kulit, belum masuk ke tahap isi. Umat islam belum mampu memaknai ritual-ritual keagamaan seperti shalat, zakat, maupun haji. Umat islam juga belum mampu pula menjadikan islam sebagai pribadinya, namun sebatas pelengkap hidup. Karena itu wajar jika umat islam bertingkah laku jauh dari nilai-nilai agama islam.
Kalau dalam kacamata Holloway, umat islam saat ini berada dalam masa split of religiousity (kerobekan religiusitas). Ini menurut Holloway terjadi karena pelajaran keagamaan yang disampaikan hanya terbatas pada simbol-simbol tanpa mengerti esensi. Apa yang dikatakan Holloway memang dapat dibenarkan. Sebab umat islam saat ini memang banyak dikenalkan dengan simbol-simbol maupun ritual-ritual keagamaan (syari’ah) tanpa diberikan esensinya. Oleh karenanya umat islam hanya mampu memahami islam dari kuilitnya saja, tapi tak tahu isinya.
Prediksi Holloway dapat dikatakan sebagai sebuah jawaban atas fenomena umat islam saat ini. Akan tetapi sesungguhnya umat islam sudah jauh-jauh diprediksi oleh Rasulullah saw berabad-abad lalu yaitu dengan perumpamaan buih. Ini artinya umat islam tak mampu menangkap pesan-pesan Rasuluulah saw. Umat islam tidak sadar dengan apa yang terjadi pada dirinya sehingga tidak mampu menilai dirinya. Malah orang lain yang menilainya. Biar pun begitu, sesungguhnya baik prediksi Rasulullah saw maupun Holloway adalah sebuah pelajaran bagi umat islam saat ini. Apakah umat islam akan memperbaiki ke-agamaan-nya atau tetap seperti ini dimana umat yang mengaku sebagai umat islam malah jauh dari nilai-nilai islam.
Momen tahun baru hijriyah ini semoga mampu menjadi refleksi bagi umat islam untuk memperbaiki ke-islaman-nya. Setidaknya umat islam mampu menjadikan islam sebagai kepribadiannya, bukan sekedar simbol. Apalagi untuk melegitimasi kebenaran. Umat islam setidaknya mau keluar dari realitas yang ada dimana saat ini realitas yang bergulir adalah realitas duniawi akibat setiran kapitalisme. Meskipun umat islam harus terasing dari dunia umumya. Bukan berarti terasing dari lingkungan, tetapi terasing dari pandangan hidup kapitalisme. Umat islam tak perlu khawatir akan keselamatannya. Bukankah rasul pernah bersabda bahwa islam datang dari sebuah realitas yang asing dan akan pergi dalam keadaan asing pula. Itu berarti bahwa orang yang berpegang teguh kepada islam dianggap asing oleh realita. Meskipun itu menyakitkan tetapi itu harus dihadapi. Bukankah rasul berpesan pula bahwa diakhir zaman orang yang berpegang kepada agama bagai memegang bara api? Itu artinya sepahit apapun kenyataan yang dihadapi kita harus tetap berpegang pada nilai-nilai islam demi keselamatan kita. Semoga tahun baru hijriyah ini umat islam ini menemukan nilai-nilai islam yang sesungguhnya agar mampu menjadi generasi islam yang berkualitas.

*) Penulis adalah pengamat agama dari Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta (LKKY)
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

Tidak ada komentar: