Minggu, 11 November 2007

opini sekolah bebas korupsi

Dukung Sekolah Bebas Korupsi
Oleh : Fatkhul Anas*)

Menarik ketika membicarakan ide HM Zaki Sierrad tentang pendirian sekolah bebas korupsi yang disampaikan saat sosialisasi pendidikan anti korupsi di sekolah-sekolah di wilayah Yogyakarta. Koordinator Forum Pemantau Independen (FORPI) Pakta Integritas Kota Yogyakarta ini boleh dikatakan memiliki ide yang cukup cermerlang mengingat begitu maraknya aksi korupsi di Indonesia. Apalagi setelah PBB mengeluarkan pernyataannya bahwa Presiden Soeharto menduduki nomor wahid sebagai manusia terkorup di dunia. Dalam gugusan 10 besar manusia terkorup di dunia, Suharto memang menduduki derajat tertinggi dalam korupsinya yang mencapai 15-35 miliar dolar AS. Ia mampu mengalahkan 9 orang lainnya. Diantaranya Ferdinand E Marcos, Filiphina (1972-1986), 5-10 miliar dolar AS; Mobutu Sese Seko, Kongo (1965-1997), 2-5 miliar dolar AS; Sani Abacha, Nigeria (1993-1998), 2-5 miliar dolar AS; Slobodan Milosovic, Serbia/Yugoslavia (1989-2000), 1 miliar dolar AS; Claude Duvalier, Haiti ( 1971-1986), 300-800 juta dolar AS; Alberto Fujimuri, Peru (1990-2000), 600 juta dolar AS; Pavlo Lazarenko, Ukraina (1996-1997), 114-120 juta dolar AS; Arnoldo Elemen, Nikaragua (1997-2000), 100 juta dolar AS; Josep Estrada, Filipina (1998-2001), 78-80 juta dolar AS.
Nama-nama itu adalah daftar para penjahat kemanusian kelas kakap yang dihimpun PBB melalui data Transparansi Internasional (TI) yang pernah dituangkan dalam Global Corruption Report 2004. Melihat beragam nama yang terpampang dalam data tersebut tidaklah salah jika korupsi dipandang sebagai kejahatan kemanusiaan (Crime Against humanity), tidak hanya sekedar kejahatan luar biasa (extraordinary cryme) sebagaimana diungkapkan Sekjen PBB, Ban Ki-moon. Di Indonesia sendiri kejahatan korupsi juga dinaikkan lefelnya oleh Komisi Yudisial. Dari lefel kejahatan luar biasa (extraordinary cryme) menjadi kejahatan melawan kemanusiaan dan peradaban (kompas, 27 September 2007). Hal ini mengindikasikan bahwa korupsi merupakan hal yang luar biasa berbahaya bagi kemanuasian. Juga merupakan hal yang harus segera diberantas.
Upaya pemberantasan korupsi tentu saja membutuhkan usaha serius. Sebab korupsi bukanlah hal remeh-temeh yang bisa diatasi dengan mudah. Ia adalah makhluk penggerogot hak-hak kemanusiaan yang bengis dan mematikan. Lihat saja berapa banyak uang rakyat yang mestinya didapat tetapi harus hilang dibawa kabur para maling. Kalau begini terus bisa-bisa rakyat habis. Selain itu, korupsi Indonesia juga telah masuk pada tingkat sistemik kalau dipandang menurut kacamata Mark Robinson. Tingkat ini adalah tingkat paling berbahaya dibanding dua tingkat sebelumnya; tingkat insidental atau individual dan tingkat institusional. Pada tingkat sistemik, korupsi telah menyerang seluruh masyarakat dan sistem kemasyarakatan. Jadi tidak hanya pribadi maupun institusi. Lihat saja fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini. Korupsi telah menjalar diseluruh lapisan masyarakat baik organisasi kemasyarakatan, LSM, Parpol, lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif, bahkan Depertemen Agama sekalipun. Korupsi juga telah tersistem rapi sehingga sulit untuk mendikte apakah itu korupsi atau bukan.
Penanganan serius terhadap korupsi tidak cukup hanya dengan penegakan hukum (law invocement). Namun diperlukan solusi lain yang saling mendukung. Apa yang digagas Zaki Sierrad tentang pendirian sekolah bebas korupsi di wilayah Yogyakarta menurut hemat penulis merupakan usaha tepat. Sebab melalui institusi pendidikan manusia akan digodog sejak usianya yang masih belia (TK/Play Group) sampai menginjak dewasa (Perguruan Tinggi). Meskipun untuk langkah awal sekolah tersebut baru diterapkan untuk SMA dan rencananya akan dimulai akhir tahun 2007. Akan tetapi yang perlu menjadi catatan besar adalah apakah sekolah tersebut benar-benar akan terwujud? Jangan-jangan hanya sebatas wacana. Kalau cuma sebatas wacana tentu rencana itu tidak akan berguna. Ia hanya sekedar bualan bak angin lalu. Padahal solusi penanganan korupsi melalui institusi pendidikan adalah sangat dibutuhkan.
Hal ini mengingat pentingnya institusi pendidikan dalam membangun karakter manusia. Kalau berpacu pada teori empiris dalam psikologi, tentu rencana tersebut tergolong tepat. Sebab perkembangan manusia menurut teori tersebut dipengaruhi oleh keadaan luarnya seperti lingkungan. Disinilah institusi pendidikan terutama sekolah dituntut mampu memainkan peranannya dalam membentuk karakter anak bangsa yang bebas korupsi. Lingkungan pendidikan sejak TK/Play Group sampai Perguruan Tinggi merupakan lahan subur untuk menanamkan nilai-nilai anti korupsi kepada setiap anak didik. Mereka sejak dini diajarkan bagaimana bertindak jujur, adil, serta bertanggung jawab. Selain itu mereka diajari pula rasa malu dan takut ketika hendak melakukan kejahatan. Malu kepada diri sendiri, kepada orang lain maupun malu kepada Tuhan. Kalau setiap anak didik mempunyai rasa malu untuk melakukan kejahatan tentu segala perbuatan mereka berorientasi pada kebaikan.
Untuk menanamkan nilai-nilai tersebut juga tidak gampang. Apalagi nilai merupakan hal yang tidak nampak. Ia hanya dapat dirasakan dan dinikmati oleh orang yang menjalankannya. Untuk itu diperlukan langkah yang tepat. Apalagi di lingkungan pendidikan. Salah satu hal yang dekat dengan nilai adalah agama. Sebab ia mengajarkan berbagai macam norma yang harus dipatuhi oleh pemeluknya. Norma-norma inilah yang akan membentuk nilai yang dapat dijalankan atau diamalkan oleh manusia. Karena itu sejak saat ini pelajaran agama sebaiknya ditambah alokasi waktunya terutama di sekolah/institusi pendidikan non–agama. Kalau dalam satu minggu misalnya dialokasikan waktu 2 jam pelajaran untuk mata pelajaran agama, maka ditambah lagi menjadi 4 jam atau lebih. Terus yang terpenting adalah bagaimana pelajaran agama tersebut benar-benar merasuk di hati para anak didik. Tidak hanya sekedar pelajaran untuk dipahami. Hal ini agar anak didik benar-benar mampu mengamalkan ajaran-ajaran agamanya dimanapun berada.
Fenomena yang banyak terjadi adalah agama hanya diambil kulit luarnya saja. Dalam artian ia hanya sebatas untuk dipelajari dan bukan untuk diamalkan. Selain itu telah terjadi pula apa yang disebut Holloway sebagai split of religiousity (kerobekan religiusitas). Agama hanya dimaknai secara simbolis dan formalis. Agama islam misalnya, ia yang memakai kopyah, sarung, mukena, dikatakan orang yang taat beragama. Sepintas memang ya, tapi nanti dulu. Dilihat dulu bagaimana akhlaknya, sikapnya sehari-hari, jiwanya, apakah memang benar-benar agamis atau tidak. Kalau ternyata ia masih saja suka menyakiti orang lain, tidak tertib lingkungan, suka menindas hak orang lain, mengambil harta yang bukan miliknya, ia tidak bisa dikatakan taat beragama. Ia hanya bersembunyi dibalik kedok simbolisme agamanya agar dicap sebagai orang taat. Tetapi sesungguhnya ia sama saja dengan orang yang tak taat beragama.
Inilah yang harus disadari sebelum semuanya terlambat. Dan yang terpenting saat ini adalah upaya pendirian sekolah bebas korupsi harus betul-betul diwujudkan dan pengajaran agama harus benar-benar diprioritaskan. Agama harus benar-benar merasuk dalam sanubari setiap anak didik. Sehingga saat dewasa kelak, mereka mampu mengamalkan nilai-nilai agamanya dimanapun berada. Mereka memiliki mental kuat untuk melawan segala kejahatan. Rasa malu kalau akan melakukan kejahatan juga senantiasa mereka pegang. Dan pada saatnya mereka pun akan malu melakukan korupsi.

*) Penulis adalah Koordinator Kajian Ilmu Pedidikan Kontemporer (KIPK) Yogyakarta
HP 085292843110
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

Rabu, 07 November 2007

opini Hari Pahlawan

Refleksi Hari Pahlawan 10 November
Pahlawan dan Semangat Perjuangan Bangsa
Oleh : Fatkhul Anas*)
Momentum 10 November merupakan momentum bersejarah bagi bangsa Indonesia. Sebab peristiwa 10 November adalah peristiwa agung dimana diabadikan sebagai Hari Pahlawan oleh bangsa Indonesia. Hal ini memanglah tidak berlebihan mengingat kegigihan perjuangan arek-arek Surabaya melawan Sekutu yang mencoba menapakkan kakinya kembali, ingin merebut bangsa ini. Padahal bangsa Indonesia saat itu telah memproklamirkan kemerdekaannya. Disaat itulah perjuangan arek-arek Surabaya dengan segenap jiwa, raga, harta, darah, dan nyawa, ditumpahkan demi tegaknya NKRI.
Perjuangan arek-arek Surabaya boleh dikatakan merupakan perjuangan total. Banyak sekali rentetan peristiwa yang saling sambung-menyambung membentuk mata rantai yang tiada putus dalam perjuangan mereka. Starting point-nya adalah peristiwa Insiden Bendera di Hotel Yamato pada Rabu wage, 19 September 1945. Saat itu adalah masa kedatangan sekutu dan Belanda yang tergabung dalam Mastiff Carbolic, merupakan salah satu organisasi Anglo Dutch Country Saction (ADCS) yang bergerak di bidang spionase. Dengan memakai kedok Petugas/Organisasi Palang Merah Internasional (PMI) Belanda dan sekutu beroperasi di Surabaya dan mengunjungi Markas Besar Tentara Jepang yang berkedudukan di Surabaya. Pada saat yang sama bendera Belanda (merah-putih-biru) dikibarkan di sebelah kanan (Utara) Gapura Hotel Yamato oleh beberapa anggota dari Komite Kontak Sosial.
Hal ini tentu mengundang kemarahan dari para pejuang dan masyarakat Surabaya. Sebab secara tidak langsung mereka akan merebut kembali bangsa Indonesia dan ingin mendirikan pemerintahan kolonial Belanda. Resimen Sudirman akhirnya turun tangan. Beliau mendatangi sekutu dan meminta untuk menurunkan bendera tersebut. Hal ini tidak diindahkan malah Sudirman ditodong dengan pistol revolver oleh salah seorang Belanda. Tentu hal ini semakin memanaskan suasana terutama bagi rakyat Surabaya. Sehingga muncullah perkelahian massal yang tidak seimbang antara 20 orang sekutu/Belanda berhadapan dengan massa – rakyat/pemuda Surabaya yang berasal dari Genteng, Embong Malang, Praban dan sekitarnya. Buntut dari perkelahian ini adalah disobeknya bendera berwarna biru oleh pemuda Surabaya. Meskipun rakyat Surabaya kehilangan 4 pahlawan yaitu Sidik, Mulyadi, Hariono, dan Mulyono yang gugur sebagai kusuma bangsa.
Pasca Insiden 19 September 1945 tersebut, semangat rakyat Surabaya untuk mempertahankan NKRI semakin berkobar-kobar. Hal ini dibuktikan dengan penyerbuan terhadap gedung Kenpetai pada tanggal 2 Oktober 1945. Gedung Kenpetai adalah tempat penyiksaan para pejuang arek-arek Surabaya. Ditempat itulah para pejuang dan arek-arek Surabaya disiksa habis-habisan oleh tentara Jepang. Hal inilah yang menjadikan motif penyerbuan terhadap gedung Kenpetai. Dan tepat pada 2 Oktober 1945 arek-arek Surabaya dengan gagah berani mengepung Gedung Kenpetai dan terjadilah pertempuran yang berakhir pada pukul 16.00 setelah para pejuang melihat Bendera Jepang Hinomaru diturunkan sendiri oleh Takahara, komandan Kenpetai. Dari pertempuran ini rakyat Surabaya berhasil melucuti sejumlah kurang lebih 22.887 senjata. Belum termasuk alat persenjataan dari Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Adapun prestasi lain adalah direbutnya gedung Kenpetai oleh rakyat Surabaya yang merupakan bukti kemenangan besar.
Sampai disini perlawanan rakyat Surabaya masih belum berakhir. Bangsa Belanda ternyata masih menapakkan kakinya di bumi Surabaya. Tentu hal ini semakin memanaskan api kebencian rakyat. Sehingga perlawanan pun terus dilakukan meski nyawa taruhannya. Dan pada 30 Oktober 1945 sebuah peristiwa besar terjadi yaitu terbunuhnya Brig. Jend. Mallaby di dekat Jembatan Merah. Peristiwa ini tentu tidak terjadi begitu saja. Ada kronologis kejadian yang saling berantai.
Diawali dengan diadakannya pertemuan antara Presiden Sukarno, Wapres Moh. Hatta, Menpen Amir Syarifuddin, Gubernur Soerjo, residen Soedirman dengan Mayjen D.C. Hawthorn, pimpinan tentara Sekutu di Jakarta pada 30 Oktober 1945. Salah satu hasil pertemuan itu adalah dibentuknya Kontak Komisi, yang diharapkan dapat memudahkan hubungan kedua belah pihak juga disetujui agar tembak-menembak antar kedua belah pihak dihentikan. Namun faktanya tembak-menembak terus berlangsung. Sehingga diputuskan agar para anggota Kontak Komisi turun ke lapangan diantaranya dengan mengunjungi daerah Jembatan Merah. Disitu terletak gedung Internatio, yang merupakan markas Pasukan Komandan Brigade ke-49 Inggris, yang bertugas di Surabaya.
Sampai di Jembatan merah ternyata gencatan senjata terjadi. Hal ini karena arek-arek Surabaya telah menanti anggota Kontak Komisi yang diantaranya adalah Brig. Jend. Mallaby. Tepat sekitar pukul 20.30 mobil yang ditumpangi Brig. Jend. Mallaby meletus dan Mallaby pun tewas. Peristiwa ini tentu saja semakin membuat rakyat Surabaya optimis bahwa mereka akan menang. Namun bagi Sekutu hal ini merupakan pukulan luar biasa. Sebab harga diri mereka semakin terinjak-injak. Sehingga melihat hal ini, Mayjen E.C. Mansergh, panglima tentara Sekutu di Jawa Timur pengganti Brig. Jend. Mallaby mengeluarkan sebuah ultimatum pada 9 November 1945 agar pihak Indonesia di Surabaya meletakkan senjata selambat-lambatnya jam 06.00 tanggal 10 November 1945.
Namun Ultimatum itu ditolak oleh bangsa Indonesia. Sehingga pada pukul 06.00 pagi tanggal 10 November 1945 tentara Inggris menggempur kota Surabaya dari darat, laut, dan udara dengan menggunakan kapal perang, pesawat udara, serta pasukan yang bergerak dari Tanjung Perak menuju tengah kota. Para pejuang Indonesia mengambil siasat mengundurkan diri dari dalam kota Surabaya dan memilih meneruskan perjuangan dari luar kota.
Intulah sederetan kronologis historis yang mengilhami lahirnya Hari Pahlawan yang diperingati setiap 10 November. Dari peristiwa ini sesungguhnya banyak makna yang mampu kita petik dan kita tanamakan dalam kehidupan saat ini. Kegigihan perjuangan dan pengorbanan yang tulus merupakan sebuah contoh yang mampu kita jadikan referensi bagi kehidupan berbangsa. Ditengah carut-marutnya tatanan negri dan semakin hilangnya semangat perjuangan, kita buka kembali pintu kesadaran tinggi untuk berjuang menata negri dari ke-chaos-an menuju tatanan kosmik yang teratur, tertata, dan terarah. Perjuangan yang tulus ikhlas, tanpa banyak tuntutan dan kepentingan, itulah yang sangat dibutuhkan saat ini. Belajarlah dari para pahlawan kusuma bangsa yang senantiasa tulus dengan segenap jiwa raga membela tanah air. Mereka tidak memandang kepetingan golongan, tidak mengaharapkan imbalan, serta tidak banyak menunutut. Perjuangan mereka semata-mata demi kehormatan bangsa dan demi tetap tegaknya NKRI. Semoga momentum Hari Pahlawan kali ini benar-benar membawa angin segar bagi para penerus bangsa.
*) Penulis adalah staf pada Pusat Studi Agama Dan Kebudayaan (Pusaka) Yogyakarta
HP 085292843110
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas


Refleksi Hari Pahlawan 10 November
Melawan Diri Sendiri
Oleh : Fatkhul anas*)

Tanggal 10 November memiliki makna berarti bagi bangsa Indonesia. Tanggal itu adalah waktu dimana babak peristiwa bersejarah dimulai. Tepatnya tanggal 10 November 1945 di Surabaya. Sebuah pertempuran sengit antara rakyat Surabaya melawan Sekutu dan kroni-kroninya sedang digelar. Pertempuran yang mengorbankan beribu nyawa terutama dari rakyat Surabaya yang digempur dari darat, laut, dan udara, merupakan peristiwa besar yang terjadi di negri ini. Nyawa yang melayang, jiwa yang hilang, adalah bukti kegigihan rakyat Surabaya berjuang mempertahankan kemerdekaan RI dari rong-rongan penjajah. Sebuah prestasi yang sungguh tak mampu digantikan dengan apapun. Hanya untaian doa yang mampu kita haturkan bagi para pejuang.
Itulah peristiwa 10 November 1945 yang saat ini kita peringati sebagai Hari Pahlawan. Kali ini peringatan Hari Pahlawan kembali menyapa rakyat Indonesia terutama para generasi penerus bangsa. Hari Pahlawan adalah sebuah momentum reflektif bagi para generasi penerus bangsa untuk kembali memikirkan bangsa Indonesia. Para generasi penerus bangsa yang selama ini disibukkan dengan berbagai hal ditegur kembali dengan sapaan hangat dari para pahlawan kusuma bangsa lewat momentum hari pahlawan ini. Itulah sesungguhnya makna yang hendak disampaikan oleh Hari Pahlawan. Hanya saja kita tak mampu menangkap makna-makna itu. Kita telah lama terkurung oleh budaya materialisme, hedonisme, pragmatisme, bahkan egoisme. Sehingga celah kesadaran kita semakin tertutup. Kita hanya memikirkan hal-hal yang serba material-fisikal saja. Jabatan, kedudukan, uang, harta, dan segala sesuatu yang mendatangkan kesenangan diri, itulah yang menjadi fokus dan perhatian kita.
Diri kita saat ini memang betul-betul diambang ke-chaos-an. Berbagai problematika bangsa dari kemiskinan, anak-anak terlantar, pengangguran, korupsi, aksi penggusuran, serta berbagai problematika lain, sungguh semakin meresahkan bangsa. Tetapi kita masih sibuk membangun kemewahan dan kejayaan diri (self glory). Kita semakin lalai akan kepentingan umat, bangsa dan negara, namun semakin sibuk dengan kepentingan diri sendiri. Rakyat kecil semakin semrawud karena semakin banyaknya problem kehidupan. Mereka semakin sesak dengan kondisi zaman yang tidak memberikan ruang kenyamanan. Sementara para pemimpin rakyat ribut antara satu sama lain. Ribut mempersoalkan gaji, kepentingan politik, jabatan yang tak kunjung naik, korupsi yang ditutup-tutupi, kekayaan yang kurang melimpah, serta berbagai hal yang sesungguhnya tidak perlu diperselisihkan. Itu adalah fakta yang terjadi dalam kehidupan ini. Dan itulah musuh yang harus kita hadapi.
Kalau dahulu para pahlawan melawan penjajah yang datangnya dari luar, tetapi saat ini kita melawan penjajah yang datang dari dalam. Musuh kita saat ini adalah diri kita sendiri yaitu nafsu-nafsu kita. Saat ini kita semakin terbengkelai oleh keinginan-keinginan nafsu. Kita semakin sibuk mengejar keinginan diri. Sudah kaya ingin bertambah kaya, maka korupsi, menindas hak orang lain, akhirnya menjadi pilihan hidup. Jabatan kita sudah tinggi, tetapi ingin lebih tinggi lagi. Akhirnya kita saling menjatuhkan, saling memfitnah, serta saling menuding satu sama lain. Itulah sederetan hal yang cukup mewakili tujuan nafsu-nafsu kita. Sesungguhnya masih tersimpan banyak keinginan-keinginan yang hendak kita utarakan. Namun saat ini keinginan itu masih berada dalam relung nafsu yang pada saatnya keinginan itu harus kita penuhi. Maka jangan heran kalau ke-chaos-an terus melanda nengri ini. Apa yang dikatakan Emha dalam puisianya "sesudah ditindas kita mempersiapkan diri untuk menindas" barangkali memang benar adanya. Sebab bisa kisa kita prediksi bagaimana buruknya nasib bangsa ini meski beberapa kali beganti tampuk kepemimpinan.
Bangsa Indonesia memang telah merdeka sejak 1945. Namun itu hanyalah merdeka secara lahiriah dan secara hukum. Adapun sesungguhnya kita adalah bangsa yang sakit. Sejak era Orde Lama bergulir, disambut dengan Orde baru, disambut pula dengan era Reformasi, bangsa ini masih saja dirudung duka. Belum ada perubahan signifikan yang mampu dinikmati bangsa ini. Meski pun ada, disisi lain ada saja keburukan yang harus diterima. Seolah antara perbaikan dan kebrobrokan memiliki hubungan mutualisme. Memang antara kebaikan kan keburukan adalah dua hal yang saling berpasangan dimanapun. Tetapi kebaikanlah yang harus selalu dimenangkan. Karena kebaikan memiliki nilai lebih dibanding keburukan. Namun bangsa ini tidak demikian. Bukanlah kebaikan yang diterima tetapi kebrobrokan yang semakin disanding. Mungkin kita mengira dengan memiliki gedung-gedung megah kita telah mengatakan bahwa pembangunan berhasil. Kita tidak berfikir berapa banyak angka kemiskinan yang melilit bangsa ini serta berapa pula manusia yang haknya tertindas atas pembangunan itu. Itu hanya salah satu contoh sebagai gambaran bahwa negri ini semakin sakit. Negri yang seharusnya sudah tinggal landas malah tinggal kandas.
Itu semua terjadi sebagaimana dikatakan dalam puisi Emha bahwa kita telah mempersiapkan penindasan berikutnya setelah kita sebelumnya ditindas. Kita tidak berfikir bagaimana agar era tindas-menindas itu segera berakhir. Itu artinya kita semakin diperbudak oleh nafsu dan tidak berfikir bagaimana menjadikan nafsu sebagai budak kita. Sudah saatnya kita kembali membuka cakrawala kesadaran hati nurani. Semangat juang yang tulus ikhlas tanpa pamrih harus kita warisi dari para pahlawan kusuma bangsa. Mereka adalah orang-orang terbaik pilihan bangsa. Pengorbanan nyawa, harta, darah, adalah bukti ketulusan perjuangan. Mereka berjuang bukan karena kepentingan diri sendiri, bukan pula karena kejayaan diri. Tetapi mereka berjuang demi kejayaan bangsa dan negara. Setelah merdeka mereka pun tidak menuntut balas kepada para penjajah yang dahulu menindas. Karena mereka menginginkan keadilan, bukan menuruti hawa nafsu.
Jiwa-jiwa seperti merekalah yang harus kita jadikan referensi dalam setiap perjuangan. Bukan omongan-omongan bualan yang mengatas namakan kepentingan bangsa tetapi ujungnya adalah kepentingan pribadi. Sudah saatnya kita lawan diri (baca:nafsu) kita. Segelintir perasaan yang ingin menang sendiri, acuh tak acuh pada yang lain, serta ingin membangun kejayaan sendiri harus segera kita tampik. Jadikan diri kita sebagai pahlawan tangguh yang mampu menjadi majikan nafsu. Mental kita bukan mental kacangan yang mengalah begitu saja dan mau menjadi budak nafsu. Kita adalah ksatria baja yang lahir untuk membangun babak pencerahan bagi bangsa ini. Pola-pola lama yang masih memberlakukan adat penindasan segera kita runtuhkan dan segera kita rubah menjadi adat keadilan. Tentu semua itu adalah demi kemajuan dan kejayaan bangsa ini. Dan semoga momentum Hari Pahlawan kali ini benar-benar membawa angin segar bagi para penerus bangsa.
*) Penulis adalah staf pada Pusat Studi Agama Dan Kebudayaan (Pusaka) Yogyakarta
HP 085292843110
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

Selasa, 06 November 2007

khasanah budaya

Musik Janeng Diambang Kematian
Oleh : Fatkhul Anas*)

Memahami tradisi Jawa membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menganalisisnya. Pasalnya, tradisi Jawa begitu kompleks dan luas. Sampai-sampai Niels Mulder (1983) dalam penelitiannya mengenai kebudayaan Jawa menyimpulkan bahwa tradisi kejawen adalah sangat kaya dan mencakup suatu kepustakaan luas yang meliputi paling kurang seribu tahun, dari yang paling kuno berupa sumber-sumber yang sangat berbau Sansekerta lewat laporan-laporan sejarah dan setengah sejarah, seperti misalnya Pararaton dan Nagarakertagama serta Babad Tanah Jawi yang berjilid-jilid banyaknya, lewat risalah mistik dan keagamaan yang tak terhitung jumlahnya dimana pengaruh islam secara bertahap menjadi semakin nyata, sampai ke Serat Centhini dan karya-karya abad sembilan belas lainnya oleh pujangga-pujangga keraton seperti Ranggawarsita, Wedhatama, terus ke karya-karya dari para pemikir abad ke-20 seperti Ki Hajar Dewantara dan Ki Ageng Soerjomentaram dan tulisan dari pengarang-pengarang novel masa kini. Dengan kata lain, tradisi kejawen merupakan tradisi yang berkesinambungan yang sepenuhnya hidup (lihat Pribadi dan Masyarakat Jawa, hal.16).
Melihat tradisi Jawa yang begitu kompleksnya, belum mengenai seni wayang, musik, tari, dan sebagainya, tak heran jika tradisi tersebut hingga sampai hari ini masih eksis. Janeng adalah salah satu contohnya. Ia adalah sejenis kesenian musik Jawa bernuansa agama islam. Janeng saat ini masih dapat ditemukan di daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta meski pun bertahan didaerah pinggiran dan pedesaan. Musik ini tergolong menarik dan langka. Yang mampu bermain dalam kesenian ini rata-rata para orang tua atau sesepuh. Peralatan yang dipakai sederhana. Hanya beberapa alat pukul seperti beduk kecil, rodad, dan calung. Senandung lagu yang dibawakan adalah lagu-lagu sholawat dengan lirik lagu Jawa kuno. Musik ini enak dinikmati saat malam hari. Sebab lagu-lagunya bernadakan lagu-lagu sendu dan klasik, bukan bernuansa pop atau rok seperti sekarang. Biasanya musik ini ditemukan ditempat orang yang mempunyai hajat misalnya mantenan, sunatan, atau selametan lainnya.
Musik Janeng merupakan musik Jawa yang boleh dikatakan memiliki “keotentikan” tersendiri. Pasalnya, musik Janeng tetap bertahan dalam nuansa klasiknya tanpa adanya intervensi dari musik modern. Berbeda dengan campur sari yang telah mengalami untervensi dari musik modern. Penggunaan instrumen modern seperti gitar, orgen, drum, telah mewarnai musik campur sari. Nada lagu-lagunya pun banyak yang bernuansa pop, dangdut, dan aliran lainnya. Didi Kempot sebagai ikon campur sari modern banyak mengusung lagu-lagu maupun nada-nada campur sari modern dengan berbagai modelnya. Selain itu campur sari pun telah mampu dipopulerkan melalui dunia pertelevisian bahkan terkadang ramai dibicarakan dalam media massa. Berbeda dengan Janeng yang tetap bertahan dengan alat musik rodad, beduk kecil, dan calung. Betul-betul steril dari instrumen modern. Publikasinya pun terbatas. Hanya orang-orang disekitar kelompok kesenian tersebut yang mampu menikmatinya. Atau orang-orang yang sengaja mengundang kelompok Janeng pada acara selametannya.
Disinilah hal yang menarik untuk dikaji. Meski dihantam dengan berbagai perubahan zaman, musik Janeng tetap berdiri dengan idealismenya tanpa sedikitpun goyah oleh perguliran zaman. Ditengah orang-orang yang ramai memikirkan materialisme, hedonisme, dimana segala sesuatu diukur dengan uang, musik Janeng tak sedikitpun tergores dengan hal semacam itu. Meski para pemainnya tidaklah dibayar atau hanya ala kadarnya saat mereka mentas dan hanya diberikan makan dan minum secukupnya, mereka tetap mementaskan Janeng-nya dengan senang hati. Pertimbangan mereka bukalah materi, namun bagaimana agar orang yang mengundang dan pendengarnya merasa puas menikmatinya. Atau dengan kata lain bukanlah hal material-fisikal yang ingin mereka peroleh namun unsur nilai-nilai baik nilai keindahan, kenyamanan, kepuasan, maupun nilai keluhuran budaya yang mereka junjung. Mereka betul-betul puas dengan segala nilai itu. Jadi tak perlu ada tuntutan lainnya.
Fenomena tersebut merupakan sebuah sikap keluhuran luar biasa yang patut dihargai. Jarang manusia di abad postmodern ini peduli dengan hal-hal semacam itu. Saat ini segalanya harus dapat diukur dengan rasio dan materi. Hal-hal yang tidak dapat dirasio dianggap tidak penting. Nilai adalah hal yang tidak dapat dirasio sebagaimana pendapat Max Scheler bahwa manusia memahami suatu nilai bukan dengan berpikir mengenai nilai itu, melainkan dengan mengalami dan mewujudkan nilai itu. Karena itu nilai dianggap sesuatu yang tak penting. Disinilah kebrobrokan manusia modern. Mereka hanya percaya dengan kekuatan rasionya dan meninggalkan aspek hati nurani. Akhirnya kejumudanlah yang didapat seperti saat ini. Manusia semakin kehilangan arah. Mereka mengalami krisis eksistensi diri. Yang maju semakin dibuat pusing dengan kemajuannya, sementara yang terbelakang semakin ruwet karena keterbelakangannya. Dunia semakin hancur akibat teknologi yang disalah gunakan. Efek pemanasan global semakin mengincar setiap detik kehidupan makhluk dimuka bumi. Boleh dikatakan sekali kita salah melangkah maka selesai hidup kita.

Perlu Dirombak
Sekilas musik Janeng memang mampu membawa kebanggaan terutama bagi masyarakat Jawa sebab ia masih menampilkan keotentikan budaya Jawa. Namun diteropong lebih jauh, kita akan terkaget-keget menyaksikan bagaimana arah terjang musik Janeng. Saat ini musik Janeng benar-benar berada diambang kematian. Pasalnya, jarang yang berminat dengan musik ini. Apalagi generasi masa kini, mendengar namanya saja tidak tahu apalagi menikmatinya. Inilah salah satu titik perhatian yang harus dipikirkan. Kalau hal ini terus dibiarkan maka tidak lama lagi musik ini akan hengkang dari tanah Jawa. Karena itu diperlukan langkah strategis untuk menopang keberadaan musik Janeng ini. Seperti adanya upaya pelestarian. Tentu saja hal ini dilakukan bersama-sama yaitu antara generasi tua atau sesepuh dengan generasi masa kini sebagaimana dalam pelestarian wayang kulit. Upaya pembublikasian baik dimedia cetak, elektronik, maupun masyarakat luas setidaknya juga dilakukan. Ini agar musik Janeng dapat dikenal dikhalayak ramai dan tidak terus-menerus termarjinalkan.
Yang lebih penting adalah bagaimana merombak musik Janeng agar mampu disukai oleh generasi masa kini. Pasalnya jarang generasi masa kini yang menyukai musik tersebut. Anggapan mereka Janeng adalah musik kuno yang ketinggalan zaman. Hal ini dapat dibenarkan pasalnya Janeng betul-betul murni musik klasik yang hanya memakai peralatan sederhana dan lagu-lagu kuno. Maka Janeng perlu dirombak dari setingnya yang semula. Misalnya dikolaborasikan dengan instrumen modern sebagaimana campur sari. Meski pun disalah satu sisi masyarakat Jawa akan kehilangan keotentikan budaya peninggalan nenek moyang. Namun hal ini menurut penulis tidak masalah. Asalkan perombakan tersebut tidaklah melebihi batas artinya Janeng tidak kehilangan jati dirinya dan masih tetap disebut Janeng, hal itu bukan persoalan. Dari pada masyarakat Jawa kehilangan musik Janeng, hal itu malah akan bermasalah. Sebab masyarakat Jawa tidak memiliki kebanggaan lagi. Paling-paling hanya wayang, campur sari atau yang lain. Kalau Janeng tetap mampu bertahan meskipun dengan bentuk yang baru berarti khasanah budaya Jawa akan semakin bertambah.

*) Penulis adalah Pengamat Agama dan Kebudayaan pada Pusat Studi Agama Dan Kebudayaan (Pusaka) Yogyakarta
HP 085292843110
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas