Jumat, 30 Mei 2008

Opini SMS Santet

Fenomena Dibalik SMS Santet

Oleh : Fatkhul Anas*)

Isu SMS santet semakin merebak ke seluruh penjuru tanah air. Terhitung semenjak awal Mei 2008, SMS santet telah menyebar teror yang mengerikan bagi segenap bangsa Indonesia. Berawal dari daerah Sumatra, isu SMS santet kemudian menyebar ke hampir seluruh wilayah Indonesia. Bagi setiap warga yang menerima SMS atau telpon bernomor 4 digit, berwarna merah, biasanya bernomor 0666 atau 0866, begitu takut untuk membaca SMS atau mengangkat telepon. Kabarnya siapa yang membaca SMS atau menerima telpon dari nomor tersebut akan mati. Karena SMS dan telpon itu adalah SMS santet dari seseorang yang sedang mencari tumbal untuk mempelajari ilmu hitam.

Itulah SMS santet yang saat ini sedang marak menjadi buah bibir masyarakat. Mereka begitu resah dengan adanya isu ini. Takut jikalau menerima SMS atau telpon dari nomor tersebut, maka mereka akan mati. Lebih-lebih telah dikabarkan di berbagai televisi telah ada yang menjadi korbannya. Ada yang dibawa kerumah sakit. Bahkan ada yang dikabarkan langsung mati. Namun dibalik semua fenomena ini, ada hal yang masih menjadi pertanyaan. Benarkah SMS santet itu benar-benar terjadi? Atau hanyalah sekedar isu untuk meresahkan masyarakat. Itulah yang mesti kita cari jawabannya sebelum termakan oleh isu-isu tersebut.

SMS santet atau SMS maut memang telah menjadi isu besar yang terjadi saat ini. Namun mengenai kebenarannya, semestinya kita tidak bisa langsung percaya begitu saja. Penelitian telah membuktikan bahwa hal itu hanyalah isu teror semata. Sebagaimana diberitakan diberbagai televisi seperti Antv dan lainnya, hal itu hanya isu dan tidak benar adanya. Penelitian para pakar teknologi menyimpulkan bahwa tidak mungkin SMS bisa mematikan. Hal itu diperkuat oleh tokoh supranatural Indonesia, Ki Jokobodo yang mengatakan tidak mungkin bisa menyantet orang lewat SMS. Kalau ingin menyantet tidak melewati medium seperti itu. Bisa langsung ke orangnya. Adapun mengenai korban yang katanya adalah korban SMS santet, setelah dibuktikan para dokter sebagaimana berita-berita ditelevisi, mereka bukanlah korban SMS melainkan karena penyakit seperti penyakit jantung.

Dari data-data ini kita bisa memprediksi bahwa SMS santet hanyalah isu belaka. Toh, kenyataanya belum ada bukti yang valid adanya SMS santet ini. Kalau memang ada SMS berwarna merah itu hanyalah ulah manusia usil saja. Dari sini kita bisa menelisik lebih jauh mengapa bisa muncul adanya teror SMS ini. Apakah hanyalah sekedar teror untuk meresahkan masyarakat belaka ataukah ada motif lain dari pelaku SMS ini? Itulah yang mestinya kita cari. Kalau menurut prediksi penulis ada dua alasan mengapa SMS ini muncul.

Pertama, SMS ini hanyalah untuk mengecohkan perhatian masyarakat. Kita tahu bahwa saat ini masyarakat Indonesia sedang menghadapi persoalan kenaikan BBM. Masyarakat begitu resah dengan kebijakan Presiden yang akan menaikkan harga BBM ini. Rakyat kecil semakin tercekik kehidupannya. Karena, selain harga BBM naik, harga kebutuhan kehidupan jelas akan naik juga. Untuk itu agar masyarakat tidak banyak protes maka perhatian mereka dialihkan kepada SMS santet ini. Terbukti saat ini SMS santet telah menjadi isu nasional. Tidak lagi persoalan daerah saja, tetapi telah menyebar ke seluruh wilayah Indonesia. Kalau masyarakat telah sibuk dengan urusan SMS santet maka mereka tidak akan berpikir mengenai kenaikan BBM. Pemerintah pun akan begitu mudah menelorkan kebijakan ini karena tak akan banyak protes dari masyarakat.

Kedua, SMS santet ini juga digunakan untuk mengecohkan perhatian masyarakat pada pemilu 2009. Bukahkan saat ini kita telah dekat dengan pemilu 2009? Saat-saat inilah waktunya masyarakat disibukkan agar tidak banyak memikirkan pemilu. Kalau masyarakat tidak peduli dengan pemilu maka bisa dipastikan pemilu akan gagal. Selain itu, pilihan yang mereka pilih dalam pemilu belum tentu sesuai dengan nurani karena mereka tidak terlalu serius untuk mengenalnya. Bisa kita lihat nanti setelah isu SMS santet ini akan ada isu apa lagi yang bakal menyusul. Dulu menjelang pemilu 2004 juga ada isu tentang aliran sesat. Sekarang juga dibuat isu lagi untuk mengecohkan pemilu 2009.

Dari sinilah kita mulai berpikir lebih dewasa dalam menyikapi setiap isu yang muncul. Jangan sampai kita termakan mentah-mentah oleh isu yang masih samar-samar. Waspada memang boleh dan harus dilakukan. Tetapi jangan karena isu tertentu perhatian kita terhadap hal lain menjadi tidak ada. Kita jangan hanya disibukkan memikirkan isu yang belum jelas. Masih banyak persoalan lain yang lebih penting. Kenaikan harga BBM, meningkatnya angka kemiskinan, mahalnya pendidikan, korupsi yang tak kunjung usai, merupakan sebagian persoalan yang perlu dikritisi oleh masyarakat. Persoalan-persoalan tersebut telah begitu lama bersarang di bumi Indonesia. Sudah saatnya kita cari solusi yang tepat.

Sebentar lagi pemilu 2009 juga akan bergulir. Mulai saat ini kita memikirkan bagaimana agar mampu memilih pemimpin yang tepat bagi bangsa Indonesia. Tipe-tipe seperti apa yang pantas kita pilih sebagai pemimpin. Apakah pemimpin yang kita pilih nanti seperti yang sudah-sudah atau kita mempunyai pandangan lain tentang pemimpin kita. Hal itu semua mulai kita pikirkan sejak sekarang agar tidak salah pilih. Kalau pilihan kita tepat bisa dipastikan bangsa ini akan maju, rakyat sejahtera, serta kedamaian hidup akan senantiasa kita nikmati.

*) Penulis adalah staf pada Hasyim Asy’ari Institute

HP 085737153068

Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

Refleksi Seabad kebangkitan Nasional

Refleksi Seabad Kebangkitan Nasional

Indonesia Republik Uang
Oleh : Fatkhul Anas*)

Tak terasa perjalanan waktu telah membawa bangsa kita jauh melampaui zaman. Detik-detik jarum jam turut menjadi saksi bagi bangsa ini berdiri diatas puing kebangkitan nasional hingga satu abad lamanya. Semenjak 20 Mei 1908, kaki-kaki nasionalisme mulai terbangun di bumi pertiwi. Perjuangan kemerdekaan yang semula hanya bersifat kedaerahan, sejak era kebangkitan nasional berubah menjadi semangat persatuan. Sungguh sebuah era aufklarung bangsa Indonesia telah dimulai saat itu. Era yang memberikan kesadaran setiap manusia Indonesia untuk menjalin persatuan kesatuan di dalam perjuangan demi merebut kemerdekaan.

Pasca kemerdekaan bangsa, semangat persatuan dan kesatuan masih tetap terjaga dan kokoh. Bangsa Indonesia yang terdiri dari beribu pulau, beragam suku, bahasa, budaya, ras, serta warna kulit, masih tetap harmoni di dalam wadah NKRI. Meski tak dapat dipungkiri berbagai hambatan seperti upaya pemisahan diri dari wilayah Indonesia itu terjadi, tetapi sampai detik ini negara kita masih berdiri diatas puing Negara Kesatuan. Itu artinya semangat persatuan dan kesatuan masih tetap menjadi prinsip bangsa Indonesia. Dan semua itu tak bisa lepas dari adanya era kebangkitan nasional tahun 1908.

Kini, telah satu abad kita memperingati era kebangkitan nasional. Apakah perasaan persatuan dan kesatuan di dalam diri kita masih kokoh sebagaimana kokohnya NKRI? Nampaknya inilah basis persoalan mendasar yang perlu kita pertanyakan. Mengapa? Karena meskipun sampai detik ini bangsa kita masih utuh di dalam wadah NKRI, tetapi belum tentu hati kita masih utuh dengan adanya rasa persatuan dan kesatuan. Kita lihat saat ini budaya individualisme, egoisme, pragmatisme, serta hedonisme, telah menciptakan manusia-manusia yang hanya mementingkan diri sendiri dan acuh dengan orang lain. Orang lain adalah pihak yang tak perlu ditolong, tak perlu diperhatikan, bahkan orang lain adalah musuh.

Sampai disini, jelas-jelas bahwa budaya individualisme dan variannya sangat bertentangan dengan semangat persatuan dan kesatuan. Orang lain yang semestinya kawan malah menjadi musuh. Pihak yang semestinya bersatu malah diajak bertikai. Tidak ada lagi perasaan saling memiliki. Yang ada hanyalah persaingan, kebencian dan permusuhan. Ini jelas sangat berbanding terbalik dengan semangat persatuan. Kita semestinya bisa saling gotong royong, saling menolong, membantu ketika susah, malah saling beradu kekuatan untuk menjatuhkan. Lalu kemana perginya persatuan dan kesatuan yang selama ini kita idam-idamkan?

Yang lebih parah lagi, bangsa kita saat ini semakin menggila dengan uang. Hampir disegala lini kehidupan tidak bisa dilepaskan dari pengaruh uang. Didalam pendidikan, semakin banyak kita mengeluarkan uang semakin mudah kita diterima di suatu sekolah atau perguruan tinggi. Daftar polisi atau TNI, semakin besar uang masuknya semakin mudah diterima. Daftar pegawai negri atau pejabat, yang banyak nyogoknya maka ialah yang jadi. Tak hanya itu saja, korupsi juga dilakukan gara-gara gila uang. Tidak hanya ditingkat lembaga-lembaga desa yang gila uang, lembaga-lembaga pemerintah pusat juga banyak orang-orangnya yang gila uang. Tidak pula orang miskin, malah terkadang orang miskin mau nrima ing pandum, orang kaya yang sangat kaya juga masih gila uang.

Uang memang telah menjadi raja bagi bangsa ini. Sehingga sedikit tepat jika bangsa ini saya sebut sebagai “Republik Uang”. Dengan uang segala persoalan akan selesai. Yang tak punya uang persoalannya tak selesai, begitu kira-kira perumpamaannya. Memang kenyataan telah demikian, dan kita sulit mengingkarinya. Mungkin seandainya kapitalisme tidak masuk ke Indonesia, bangsa ini tidak akan menjadi bangsa uang. Tetapi sejarah tak bisa diubah. Semenjak kapitalisme masuk Indonesia bersamaan dengan masuknya penjajah pada tahun 1596, maka muncullah ego untuk menumpuk kekayaan material, salah satunya adalah uang.

Apalagi dengan berdirinya VOC tahun 1602, bangsa Indonesia benar-benar telah jatuh ke tangan penjajah baik dari segi ekonomi maupun politik. Kehidupan bangsa Indonesia yang sejak semula ayem tentrem, menjadi gusar gara-gara dikenalkan dengan materialisme. Sejak saat itu mainstream berpikir bangsa Indonesia di rombak total. Kebutuhan akan materialisme yang semula hanyalah kebutuhan penunjang kehidupan, menjadi kebutuhan terpenting. Bahkan bangsa Indonesia mulai diajari untuk selalu tidak puas dengan materi yang ia punyai sehingga berusaha terus dan terus mencari.

Maka sampai sekarang jadilah apa yang sekarang ini lazim terjadi. Penipuan, persaingan negatif, penjagalan, bahkan pembunuhan akan dilakukan demi mendapat materi. Terlebih-lebih jika materi itu bernama uang. Orang tak lagi peduli dengan orang lain. Ia hanya sibuk mencari uang. Kampanye politik yang dilancarkan ujung-ujungnya hanyalah uang. Buktinya setelah menjadi pejabat masih melakukan korupsi, gaji minta terus dinaikkan, serta fasilitas diri harus dilengkapi. Padahal terkadang tak terlalu dibutuhkan. Kemauan membantu orang lain mau dilakukan juga asalkan ada uang. Dan masih banyak hal yang semuanya berujung pada uang. Sungguh bangsa ini telah menjadi Republik Uang. Masih mending jika bangsa ini kaya. Toh, bangsa ini tetap miskin meski uang telah menjadi raja.

Kalau sudah demikian siapa yang mau disalahkan? Persatuan dan kesatuan telah terkalahkan oleh uang. Dan itulah kenyataannya. Tetapi tentu saja kita tidak boleh pesimis. Ronggowarsito berpesan kepada kita bahwa seuntung-untungnya orang yang edan masih untung orang yang eling dan waspada. Edan adalah penggambaran situasi banga kita saat ini. Karenanya kita harus eling alias introspeksi diri. Manakah hal yang benar-benar dibutuhkan oleh bangsa harus benar-benar diupayakan. Kita juga harus waspada dengan situasi sekitar. Kebahagiaan kita akan materi hanyalah kebahagiaan semu. Sehingga kita juga perlu memikirkan kepentingan lain yang lebih berguna bagi bangsa dan negara dari pada selalu memikirkan uang.

Momentum seabad kebangkitan nasional ini semoga menjadikan kita semakin eling dan waspada. Kehidupan kita saat ini hanyalah kehidupan sementara. Ajal akan menjemput kita setiap saat. Karenanya sebelum ajal menjemput seyogyanya kita berbuat baik bagi orang lain, bangsa dan negara agar kelak kita mati sebagai pahlawan. Masih banyak orang-orang yang mesti kita tolong. Bangsa dan negara ini juga masih membutuhkan kita agar selalu eksis sepanjang masa.

*) Penulis adalah staf pada Hasyim Asy’ari Institute

Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

HP 085737153068

Resensi Soeharto

Penghianatan Para Anak Emas

Judul Buku : Mereka Menghianati Saya; Sikap Anak-Anak Emas Soeharto di Penghujung Orde Baru

Penulis : Femi Adi Soempeno

Penerbit : Galangpress, Yogyakarta

Cetakan : I, 2008

Tebal : 228 halaman

Peresensi : Fatkhul Anas*)

Tanggal 27 Januari 2008 lalu bangsa Indonesia digegerkan oleh kematian Sang Bapak Pembangunan. Astana Giri Bangun sebagai tempat persinggahan terakhir beliau, dipenuhi isak tangis dari Keluarga Besar Cendana serta beribu pelayat yang hadir. Mereka merasa kehilangan sekaligus merasa iba dengan Bapak Pembangunan ini. Sang Bapak yang selama ini banyak meninggalkan sejarah perjuangan panjang demi kemajuan bangsa tiba-tiba harus pergi dari bumi pertiwi. Kepergiannya pun banyak menjadi perbincangan. Banyak pihak yang memuji Beliau, tidak sedikit pula yang mencela. Segalanya masih menjadi mesteri dan teka-teki yang belum menemukan ujung.

Beriringan dengan kepergian Mantan Presiden RI ini, ternyata ada sisi-sisi buram dibalik kisah kepemimpinannya. Sisi-sisi buram itu ada bukanlah dari beliau, melainkan dari para “anak-anak emas” yang selama ini dibangga-banggakan dan disanjung oleh Sang Bapak Pembangunan. Anak-anak Emas yang selama ini dibesarkan dengan sepenuh tenaga oleh Sang Bapak ini tiba-tiba tega berhianat ketika Sang Bapak sedang gonjang-ganjing dan “sekarat” kepemimpinan. Para anak emas sama sekali tidak membela bahkan mereka dituduh ikut menyiapkan aksi penggulingan tersebut. Disinilah sisi buram mulai terlihat. Lalu siapa para anak emas yang dituduh berhianat itu?

Buku yang berjudul Mereka Menghianati Saya; Sikap Anak-Anak Emas Soeharto di Penghujung Orde Baru karya Femi Adi Soempeno ini akan membahas hal tersebut. Buku ini membeberkan bahwa para anak emas itu tak lain adalah orang-orang terdekat Mantan Presiden Soeharto. Mereka diantaranya Habibie, Harmoko, Ginanjar, serta Prabowo. Mulai dari Habibie, ia adalah orang terdekat dengan Soeharto sejak jabatannya menjadi Wakil Presiden. Namun kedekataannya sudah dimulai sejak lama. Tahun 1950 saat Soeharto masih berpangkat Letkol dan memimpin Brigade Ekspedisi Divisi Diponegoro dengan nama Brigade Mataram untuk menumpas pemberontakan Andi Aziz di Makasar, Soeharto sudah mengenal Habibie. Ini karena keluarga Habibie tinggal di sekitar markas Brigade Mataram.

Perkenalan Soeharto dengan Habibie dimulai ketika pada suatu malam anak-anak keluarga Habibie datang ke asrama sambil menangis karena ayahnya sakit. Tangisan itu disambut Soeharto karena dialah yang masih berjaga. Segera Soeharto datang bersama dokter Irsan. Namun malang karena ayah Habibie tak bisa tertolong. Dan saat itu Soeharto-lah yang berkesempatan menutup mata ayah Habibie (hal 129). Sejak peristiwa itu Habibie mulai dekat dengan Soeharto. Kedekatan ini semakin erat ketika salah satu anak buah Soeharto menikah dengan kakak Habibie. Berkat Eratnya kedekatan itu ditambah kecerdasan luar biasa dari Habibie, maka jadilah Habibie sebagai Wakil Presiden mendampingi Soeharto sebelum Soeharto lengser.

Saat Habibie mendampingi Soeharto, betapa ia sangat hormat dan sangat memuji Soeharto. Salah satunya pada ucapan “saya memandang pak Harto sebagai seorang pahlawan yang memimpin pahlawan-pahlawan lainnya”. Ini hanyalah sebagian kecil sanjungan Habibie kepada Soeharto dan masih banyak sanjungan-sanjungan lainnya. Namun, tanpa disangka sanjungan Habibie berbalik arah saat beliau menduduki posisi Presiden. Ia pernah mengatakan kepada para investor asing “Anda sekarang berhubungan dengan orang berbeda. Anda menikmati transparansi. Anda tak pernah bisa bicara dengan Soeharto seperti bicara dengan saya”. Ucapan ini semakin memperlihatkan bahwa Habibie mau menghilang dari bayang-bayang Soeharto. Ini pula yang dianggap penghianatan oleh keluarga Cendana, terlebih Habibie tak mau turut turun keprabon (turun tahta) ketika Soeharto lengser.

Aksi Habibie tak luput pula dilakukan Harmoko. Ia adalah anak emas kedua yang pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan, Ketua Umum DPP Golkar serta Ketua DPR/MPR Periode 1993-1998. Saat Soeharto akan diangkat kembali menjadi Presiden masa bhakti 1998-2003, Harmoko dengan menggebu-gebu menyatakan dukungannya dan menyatakan bahwa rakyat masih membutuhkan Soeharto. Sidang Umum MPR pun dimulai sejak 1 Maret 1998 yang hasilnya menyatakan bahwa Presiden Soeharto masih berhak menjabat Presiden kembali karena telah memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Tap MPR No 2/MPR tahun 1973. Namun, apa yang dilakukan Harmoko dua bulan setelah Soeharto menjabat kembali sebagai Presiden?

Harmoko diam-diam menyiapkan aksi penggulingan terhadap Soeharto. Pada 18 Mei 1998 pukul 15.20 WIB, Harmoko di Gedung DPR dengan para mahasiswa mengatakan, Presiden Soeharto diharapkan mengundurkan diri demi persatuan dan kesatuan bangsa (hal 146). Pernyataan itu sudah dipersiapkan Harmoko karena merupakan hasil musyawarah dengan para Fraksi di DPR selama lima jam. Musyawarah itu dilatarbelakangi oleh tiga tuntutan rakyat yaitu menghendaki agar reformasi dilakukan, meminta agar presiden mengundurkan diri, serta Sidang Istimewa MPR. Mulai saat itulah Harmoko menjadi tokoh pendukung penggulingan Soeharto. Pujian-pujian terhadap Soeharto berbalik menjadi serangan tajam. Memang Harmoko bisa dinilai benar karena mementingkan aspirasi rakyat. Namun, ia tak setia kepada Soeharto karena ketika bapaknya (Soeharto) menghadapi tuntutan ia tidak membela. Padahal ia kaki tangan Soeharto.

Sama seperti Harmoko, Ginanjar Kartasamita juga melakukan aksi pembelotan. Ginanjar yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, tiba-tiba membelot dengan cara mengundurkan diri dari jabatannya pada 20 Mei 1998. Pengunduran diri itu dilakukan bersama 13 Menteri lainnya di lingkungan ekonomi, keuangan, dan industri (Ekuin) Kebinet Pembangunan VII. Hanya dua menteri Ekuin yang tidak mengundurkan diri yaitu Menperindag Mohammad Hasan dan Menteri Keuangan Fuad Bawazir. Bisa dibayangkan betapa sakitnya Soeharto karena orang-orang kepercayaannya berbuat demikian. Terlebih Ginanjar yang telah dibesarkan namanya oleh Soeharto. Disinilah betapa para anak emas Soeharto telah berbuat patricide atau pembunuhan terhadap Bapaknya.

Aksi penghianatan tak luput pula dilakukan oleh Prabowo, menantu sekaligus anak emas yang dikasihi. Meski dalam hal ini masih menjadi tanda tanya apakah benar demikian. Pasalnya masih terjadi kesimpang siuran berita. Ada yang mengatakan bahwa Prabowo membuat semacam aksi gerakan rahasia dengan para Koppasusnya untuk menggulingkan Soeharto. Namun, Prabowo mengatakan hal itu tidak benar. Inilah awal mula titik konflik keluarga Cendana dengan Prabowo. Terlebih ketika para mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR, Probowo terkesan diam saja bahkan memberi solusi agar Presiden mengundurkan diri (hal 199). Karenanya ia dituduh penghianat oleh keluarga Cendana. Entah tuduhan itu benar atau hanya karena keangkuhan keluarga Cendana, hal itu masih menjadi teka-teki.

Sungguh begitu banyak silang sengkarut tentang peristiwa lengser keprabon (turun tahta) Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 lalu. Adanya penghianatan sebagaimana ditulis dalam buku ini juga masih menjadi titik buram. Barangkali itulah dunia politik yang penuh trik dan stratregi. Karenanya perlu benar-benar jeli memandang permasalahan. Dan untuk aksi penghianatan para anak emas Soeharto sebagaimana tertulis dalam buku ini semoga menjadi titik awal bagi terbukanya teka-teki dibalik kepemimpinan Soeharto. Untuk lebih jelasnya silahkan para pembaca membaca sendiri buku ini.

*) Penulis adalah pustakawan pada Hasyim Asy’ari Institute

HP 085292843110

Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

Opini Tan Malaka

Refleksi Kelahiran Tan Malaka

Tan Malaka, Pejuang Revolusioner Legendaris

Oleh : Fatkhul Anas*)

2 Juni 1897, seorang anak laki-laki lahir di desa Pandam Gadang, Suliki, Sumatra Barat. Ia lahir ditengah keluarga petani miskin di wilayah Sumatra. Kedua orang tuanya memberinya nama Ibrahim Datuk Tan Malaka. Ia seorang anak yang cerdas, pemberani, dan berjiwa pemimpin. Dialah orang yang kelak akan menjadi pejuang revolusioner di Indonesia. Bahkan ia dinobatkan sebagai pejuang revolusioner legendaris. Perjuangannya lintas batas. Tidak hanya sekedar wilayah Indonesia, tetapi merambah ke Thailand bahkan Moskwa. Inilah yang membuat namanya selalu terkenang meski sejarah pernah menimbunnya.

Adalah Tan Malaka, nama akrabnya, pada usia 25 tahun sudah memulai menapaki pergerakan politik. Ia di usia itu, tepatnya tahun 1921 pergi ke Semarang dan bertemu dengan Semaun. Dari situlah Tan Malaka mulai merambah dunia baru dan banyak belajar mengenai perpolitikan dan perjuangan revolusioner. Karena kecerdasan dan kewibawaannya Tan Malaka diangkat sebagai ketua PKI, tepatnya pada saat kongres PKI tanggal 24-25 Desember 1921. Sejak saat itulah Tan Malaka mulai mengembangkan pemikirannya dan memberikan sumbangsih perjuangan bagi bangsa Indonesia.

Gerakan awal Tan Malaka adalah mengumpulkan pemuda-pemuda dalam wadah komunis. Selain banyak berdiskusi dengan Semaun, ia juga bercita-cita membangun wadah organisasi dalam bentuk pendidikan untuk para anggota PKI dan SI. Mereka akan dikader serta akan dikursus mengenai ajaran-ajaran komunis, keahlian berbicara, gerakan-gerakan aksi komunis, jurnalistik serta keahlian memimpin rakyat. Gerakan ini ternyata diketahui oleh pemerintah Hindia-Belanda. Mereka melarang dan menindak tegas terhadap kursus-kursus yang dibangun Tan Malaka dan kawan-kawannya.

Bagi Tan Malaka, pelarangan ini bukanlah kendala yang mampu melunturkan semangatnya. Ia malah bercita-cita membangun sekolah bagi anak-anak anggota SI untuk mencipta kader-kader baru. Tan Malaka memiliki tiga alasan mendirikan sekolah itu. Pertama, ingin memberi banyak jalan kepada murid untuk mendapatkan berbagai mata pelajaran seperti berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa, dan lainnya. Kedua, memberi kebebasan kepada para murid untuk mengembangkan kegemaran mereka terutama dalam hal perkumpulan-perkumpulan. Ketiga, memperbaiki nasib kaum miskin yang sekian lama terkurung dalam penindasan dan ketidakadilan.

Demi terwujudnya cita-cita mendirikan sekolah, ruang rapat SI Semarang dirubah menjadi ruang kelas. Darisinilah cikal-bakal sekolah yang didirikan Tan Malaka berkembang dan menjadi sekolah besar. Perjuangan Tan Malaka dalam kancah perpolitikan, terutama bagi komunis dan PKI juga sangatlah nyata. Selain harus memikirkan PKI, ia juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskwa diikuti oleh kaum komunis dunia. Ini karena Tan Malaka memikul tanggung-jawab sebagai wakil Komintern.

Seiring perjalanan waktu, pengabdian Tan Malaka di PKI mengalami goncangan. Seringkali ia beradu argumen dengan para petinggi-petiggi PKI seperti Muso, Semaun, yang menyulut api perbedaan. Karena perbedaan pandangan ini, Tan Malaka memilih keluar dari PKI, Sardjono-Alimin-Musso. Perbedaan ini dilatarbelakangi setidaknya karena perbedaan background antara Tan Malaka dengan pemimpin-pemimpin PKI lainnya. Tan Malaka meskipun berpandangan komunis tetapi lahir dari rahim SI. Ia besar di lingkungan dan pemikiran islam modernis SI. Sehingga pandangan komunisnya berbeda dengan pandangan Muso dan kawan-kawannya.

Tahun 1926 muncul pemberontakan kecil di berbagai daerah di Indonesia. Pemberontakan ini muncul atas rekayasa Keputusan Prambanan. Pemerintahan Hindia-Belanda saat itu langsung dapat memadamkan pemberontakan karena hanya segelintir-segelintir saja. Para pejuang banyak yang ditangkap, diasingkan ke Boven Digoel, Irian Jaya, bahkan ada pula yang dibunuh. Sebagian besar yuang ditangkap adalah pejuang yang jumlahnya mencapai ribuan. Dari pemberontakan ini, pemerintah Hindia-Belanda akhirnya mempunyai alasan untuk menangkap siapapun yang mencoba melawan Belanda. Meskipun mereka bukan dari PKI.

Melihat keadaan yang cukup parah, Tan Malaka yang saat itu berada di luar negri segera mengumpulkan teman-temannya. Di Bangkok, Thailand, Tan Malaka bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI). Pendirian itu dilakukan pada bulan Juni 1927. Mulai saat itu Tan Malaka berusaha membangun situasi dalam negri Indonesia menjadi lebih baik. Hingga suatu masa muncul peristiwa tidak menyenangkan bagi Tan Malaka. Tanggal 3 Juli 1946 Tan Malaka ditangkap bersama pimpinan Persatuan Perjuangan. Ia dipenjara selama dua setengah tahun tanpa adanya pengadilan. Setelah meletus pemberontakan PKI Madiun pada September 1948 yang dipimpin Muso dan Amir Syarifudin, Tan Malaka baru dikeluarkan dari penjara.

Sekeluar dari penjara Tan Malaka merintis pembentukan Partai Murba pada 7 November 1948 di Yogyakarta. Tahun 1949, peristiwa naas menimpa dirinya. Tan Malaka tiba-tiba hilang tanpa diketahui jejaknya. Namun, setelah diadakan penyelidikan secara serius, akhirnya terungkap bahwa Tan Malaka ditembak pasukan TNI di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri pada 21 Februari 1949 sebagaimana pengungkapan Sejarawan Belanda Harry A. Poeze. Makamnya berada ditengah-tengah kuburan para pejuang Gerilya Pembela Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa Timur.

Peristiwa inilah yang menjadi akhir hayat Tan Malaka sekaligus mengakhiri pula perjuangannya. Namun, namanya tetap abadi bersama perjalanan waktu. Demi mengharumkan namanya, pada 28 Maret 1963 Presiden Soekarno mengeluarkan keputusan Presiden No.53 yang menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Meski saat rezim Orde Baru namanya dikucilkan dari sejarah karena ia dituduh PKI, hal itu tetap tak mampu menghapus namanya dari lembaran sejarah.

Namanya akan selalu abadi dan semoga menjadi inspirator utama bagi para pemuda Indonesia yang hidup di masa ini. Ditengah hiruk-pikuk persoalan negri, para pemuda sudah semestinya mencontoh etos perjuangan militan serta revolusioner dari Tan Malaka. Dialah yang selalu membangun pondasi kuat untuk menyelamatkan rakyat. Dialah nenek moyang bangsa Indonesia yang namanya sejajar dengan Soekaro-Hatta.

*) Penulis adalah pecinta sejarah serta staf pada Hasyim Asy’ari Institute

HP 085292843110

Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

Selasa, 27 Mei 2008

Cerpenku

Umar Fadli
Oleh : Anas Fz*)
Penampilannya sederhana, santun, dan berwibawa. Sorot matanya yang mulai kabur, menandakan usianya hampir tutup. Rambut mulai ditumbuhi warna putih. Warna asli, bukan pewarna buatan semacam wenter, semir, atau pilok atau pewarna makanan semacam sakarin. Ini pertanda malaikat maut siap menjemputnya. Tubuhnya yang dahulu segar bugar seperti perawakan Beriprima muda, saat ini hanya tinggal daging membungkus tulang. Namun, tenaga muda super powernya yang jika diukur sama kuatnya dengan Aderai, kini masih tersimpan. Meski tidak sepenuhnya. Setidaknya masih separuh dari Aderai.
Saat ditanya mengapa ia masih begitu kuat, dengan enteng ia menjawab "sejak kecil saya tidak terbiasa makan makanan yang mengandung bahan kimia. Saya biasa makan makanan alam murni. Istri saya juga saya larang memakai penyedap seperti miwon, sasa, ajinomoto atau roico yang mengandung bahan kimia". Ternyata disini rahasianya. Perutnya tidak terbiasa bahkan hampir tidak pernah terisi bahan-bahan kimia. Entah darimana dia tahu bahwa bahan-bahan kimia seperti monosodium glutamate, sakarin, lesitin, borak, formalin, itu mampu merusak sel-sel tubuh. Padahal ia hanyalah seorang guru agama MI kampung yang dulu lulusan PGA.
Mungkin saja orang tuanya atau sejak nenek-nenek moyangnya dahulu sudah menganjurkan demikian meski mereka tidak mengenal bahan-bahan kimia itu. Dan ternyata benar. Sejak kecil Pak Guru ini sudah dibina agar memakan makanan alam yang masih murni belum kecampuran obat-obatan. Menurut pengendika nenek moyangnya, makanan yang murni banyak mengandung gizi dan menyehatkan. Sungguh dahsyat pengendika ini. Padahal mereka belum tahu apa itu gizi, vitamin, mineral, zat besi, atau pun protein. Tapi mereka telah mengatakan bahwa makanan murni banyak mengandung gizi. Dari sini aku jadi tahu bahwa nenek moyang orang Jawa ternyata memiliki intelegensia kuat.
Kecerdasannya mampu menembus zamannya. Ini yang menyebabkan orang-orang mengatakan weruh sak durunge winarah atau "mengetahui sebelum diberi informasi", begitu kira-kira artinya. Masih tentang tubuhnya yang kurus kerempeng tapi tenaganya setengah super, ototnya dan tulangnya juga masih kokoh. Otot kawat balung wesi, itu sebutan untuk orang ini. Kekuatannya mampu menembus umurnya yang kelewat 60 tahun itu. Jika berjalan, ia seolah bodyguard dibelakang majikannya. Tegap dan penuh percaya diri. Namun, lain kalau ia bicara. Gaya bicaranya sungguh sahaja. Siapapun orangnya, terutama murid-muridnya, akan terhipnotis dan tertegun mendengar ucapannya. Tak sepatah katapun terlupakan. Semua diam seperti diamnya orang-orang ditahun 45 mendengar pidato Sukarno.
Begitu sempurnanya sampai aku pun sulit menggambarkan sosok Pak Guru yang berwibawa ini. Ia sungguh laksana Nabi Muhammad diantara para sahabatnya. Yang lebih unik, adalah sepeda ontel tua yang dipakainya setiap kali mengajar. Sepeda unta laki-laki buatan Jepang warisan kakeknya tahun 40-an dulu, kini masih kokoh meski catnya sudah luntur. Batangannya juga masih kuat mengangkat barang seberat 200 kg. Sepeda itulah yang setia menemaninya selama 23 tahun mengajar. Ada lagi tas cangklong warna hitam bawaannya. Warnanya sudah pudar, lusuh, dan bentuknya kelewat sederhana. Namun itu tak dipikir oleh sang Guru. Tas itu tetap dibawa kemanapun ia mengajar.
Jika melihat saat ia mengendarai sepeda ontelnya, stereotipnya persis seperti Umar Bakri dalam lagu Iwan Fals. Nama depannya juga sama. Hanya belakangnya yang beda yaitu Fadli sehingga nama lengkapnya menjadi Umar Fadli. Mungkin ia masih punya pertalian darah dengan Umar Bakri. Atau ia nge-fans. Atau sekedar kebetulan saja. Dan kebetulan profesinya juga sama, guru. Tapi ia bukan guru negri. Gajinya hanya tiga ratus ribu sebulan. Entah pikiran apa yang menghantuinya ketika didaftarkan jadi PNS, ia dengan tegas menolak. Jawabannya singkat dan padat, "saya tidak mau makan uang yang tak jelas sumbernya, saya hanya mau uang halal". Mungkin ia mengira uang Negara tidak halal. Ini didasarkan saat ia melihat dengan mata kepalanya, tetangganya membayar pajak dengan uang hasil perjudian. Mungkin karena ini ia tidak mau dibayar Negara.
Sosok yang ramah ini mengajar kelas lima MI Tanjung sari, salah satu MI swasta di kampungku. Siswanya berjumlah 30 orang. Ia seorang guru kelas, jadi setiap hari harus mengajar. Usianya yang kelewat 60 bukan halangan bagi Pak Umar ini. Usia yang semestinya sudah waktunya pensiun, masih saja digunakan sebaik mungkin. Ia benar-benar terinspirasi hadis Nabi bahwa pergunakankah hidupmu sebelum matimu. Baginya hidup didunia hanyalah sekali, karenanya hidup harus berarti. Makanya ia tak mau dipensiunkan meski sudah waktunya dan pejabat Negara menurut saja kemauan Pak Umar karena selama ini Negara tidak menggajinya.
Hari-harinya dilewati tanpa beban, tanpa mengeluh, dan selalu tenang. Ia selalu tersenyum bahagia sebahagia Susi Susanti saat menerima medali emas di Olimpiade Bercelona tahun 1992. "Hidup tidaklah untuk bersedih, namun untuk tersenyum", begitu nasihat kepada anak-anak, murid-murid maupun cucu-cucunya setiap kali mereka mendapat ujian hidup. Karena saking bersahaja hidupnya, para tetangga dan warga desanya menobatkan ia sebagai sesepuh. Dan ia bangga dengan sebutan itu karena bisa menjalin silaturrahim kemana-mana.
***
Hari ini adalah hari paling menyebalkan dalam hidup Pak Umar selama ia mengajar. Salah satu muridnya, Fakih namanya, begitu susah untuk diajar. Anaknya bringas, hiperaktif, dan selalu membuat ribut dikelas. Sudahpun begitu IQ-nya dibawah rata-rata teman-temannya, alias bodoh. Terhadap murid yang satu ini, Pak Umar sungguh kewalahan. Ia pun harus memberi perhatian super khusus. Apalagi anak ini dirumah ditelantarkan oleh ayahnya. Ayahnya selalu marah-marah, suka main pukul, dan jewer seenaknya. Kerjanya sebagai kuli keweh kadang sampai sampai larut malam. Dan Fakihpun sendirian dirumah karena ibunya telah meninggal 2 tahun yang lalu. Akibat perhatian yang kurang dari ayahnya, Fakih berkembang menjadi anak beringas dan nakal.
Karena bandel dan otak tumpulnya yang kelewat batas, Pak Umar rela memberikan les tambahan untuk Fakih. Mulai dari pelajaran matematika, fisika, kimia, biologi, akidah akhlah, fiqih, bahkan belajar Al-qur’an. Semuanya gratis. Tak segan-segan Pak Umar datang sendiri kerumah Fakih setiap jum’at dan sabtu sore. Dan tentu saja dengan sepeda tuanya. Ayahnya yang tak mau peduli dengan pendidikannya, hanya tersenyum terpaksa kalau Pak Umar datang. Ia lalu menyajikan makanan dan minum, dan pergi ketempat tetangga. Lebih seringnya ketempatku. Kadang aku ngilu melihat pemandangan ini. Tapi apa boleh buat, aku hanya anak kecil kawan kelas Fakih yang tak kuasa melakukan apapun. Yang mampu kulakukan hanyalah menemani Fakih setiap kali diprivat Pak Umar.
Sabtu sore tanggal 5 Agustus, adalah saat-saat menegangkan bagiku dan bagi Fakih. Saat itu pukul empat. Pak Umar seperti biasa shalat ditempat Fakih setelah privat setengah jam. Selesai shalat ia kembali mem-privat kami. Aku ingat saat itu diajari akidah akhlak. Salah satu pelajarannya adalah tentang sabar dan tidak mudah putus asa. "Sebagai manusia kita harus selalu sabar dan jangan putus asa. Termasuk dalam mencari ilmu", begitu tuturnya padaku dan Fakih. Laksana mata air ditengah gurun pasir pelajaran itu bagiku. Kata-katanya begitu membekas disetiap pori-pori. Pelan-pelan ia pun terus membibing kami, memberi pitutur, sambil terkadang memberi guyonan segar. Sore itu rasanya seperti berada dalam taman surga. Tenang, damai, indah, bahagia.
Saking trenyuhnya suasana, tak terasa mata Pak Umar berkaca-kaca. Ia memancarkan senyum kebahagiaan yang tiada mampu kuungkapkan dalam kata-kata. Kalaupun sang penyair legendaris India Rabindranath Tagore atau pujangga Pakistan Mohammad Iqbal menciptakan puisi paling indah, mereka tak mampu melukiskan kebahagiaan Pak Umar ini. Disela-sela kebahagiaan itu, tiba-tiba ia berdiri dan ingin pergi ke Masjid. Kami hanya bengong, tak tahu ada gerangan apa. Lalu kami antar Pak Umar ke Masjid di sebelah kanan rumahku. Sampai disana kami disuruh shalat asar karena sedari tadi kami belum shalat. Sementara Pak Umar shalat takhiyatul masjid. Saat itu juga kami merasakan aneh. Kami melihat Pak Umar begitu khusuk sahalatnya. Mungkin ia merasa seperti shalat di Masjidil Kharam.
Sementara kami biasa saja, malah ceclingukan. Maklum, kami hanya anak kelas lima MI yang belum tahu substansi shalat. Shalat kami pun seperti kilat. Sementara Pak Umar, sedari tadi belum berdiri dari sujudnya. Kami hanya diam saja sambil terus memandang. Sujudnya benar-benar lama, bahkan sudah lebih dari setengah jam. Kami terus memandang, tapi ada perasaan bingung. "Kih, Pak Umar kok sujudnya lama banget?"celetukku memecah kebingungan. "Mungkin dia sedang bingung karena banyak hutang, hehe". Sahut Fakih seolah tak punya dosa. Aku sedikit marah padanya yang tak sopan. Akhirnya untuk memecah keheranan kami dekati Pak Umar lalu kami bangunkan dari sujudnya.
Tetapi Pak Umar diam kaku. Lalu kuperiksa nafas dan denyut jantungnya, ternyata telah berhenti. "Innalillahi wainna ilaihi roji’un…", kami spontan menangis, bingung, dan tak tahu harus berbuat apa. Fakih menangis sejadi-jadi. Suaranya sekeras halilintar memecah keheningan malam. Ia begitu merasa berdosa. Ia telah banyak menyusahkan Pak Umar selama di sekolah, di rumah, sampai Pak Umar harus menemui ajalnya hanya demi melihat dirinya menjadi orang berguna. Sejak saat itulah Fakih berjanji akan sungguh-sungguh mencari ilmu. Siang malam ia belajar, ngaji dirumah Wak Haji, dan tidak pernah bolos sekolah. Fakih benar-benar telah berubah tiga ratus enam puluh derajat setelah Pak Umar Fadli menemui ajalnya dan pergi bersama bidadari surga.
Glosarium :
Pengendika : tutur kata
Sesepuh : orang yang dituakan, berwibawa, dan dihormati
Kuli keweh : orang yang bekerja menggali tanah liat untuk membuat gentang
Pitutur : nasihat
*)Penulis adalah cerpenis Kutub, Yogyakarta. Beberapa karyanya telah dipublikasikan ke berbagai media massa baik local maupun nasional. Selain menulis cerpen, penulis juga aktif di Lesehan Sastra dan Budaya Kutub. Saat ini penulis sedang menyelesaikan studinya di Faklultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga.
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas
HP 085292843110

Cerpenku

MENDUNG MALAM
Oleh : Anas Fz*)

Malam-malam mendung menyelimuti setiap juntai mimpi-mimpinya. Hari-hari yang dahulu dilewati dengan senyum ramah, kini tinggal guratan suram, kecut, dan tak bergairah. Wajah ceria layaknya purnama ditengah malam, yang jika bercahaya mampu menembus lorong kegelapan manapun, pudar tertutup awan kesedihan. Dia lupa kalau dahulu malam-malamnya diisi untuk gaji, belajar, baca buku sampai jam satu malam, bahkan terkadang lupa makan dan lupa tidur. Ia juga lupa bahwa dahulu semangatnya membara menyamai semangat teriakan Bung Tomo saat memberi komando penyerangan terhadap tentara Belanda. Dan satu lagi yang ia lupakan, bahwa ia pernah berjanji pada gadis kecil diujung desanya, suatu saat nanti akan menjadi pilot dan akan mengajaknya terbang.
Mungkin ia menderita penyakit amnesia sehingga kesulitan untuk mengingat sesuatu. Atau memang ia telah linglung. Ah, semua itu tak benar. Ia hanya sedang putus asa. Inilah yang menyebabkan kelinglungannya. Menyebabkan ia tidak makan selama tiga hari, tidak tidur dua hari dua malam, dan tidak pernah lagi pergi mengaji, apalagi belajar. Semua itu saat ini hanyalah penyakit baginya. Ya, Baca buku, ngaji, belajar, adalah penyakit kronis. Apalagi kalau ia ingat mimpi-mimpinya, bisa dipastikan ia akan bunuh diri. Histeris memang. Tapi itulah dirinya saat ini. Lalu apa yang dilakukan? Selain melamun, menyendiri di kamar, tidur, berbicara dengan kucing dan dengan burung perkutut di depan rumahnya, atau membuat coretan buruk di buku hariannya.
Apakah ia telah gila? Mungkin saja. Dan hal itu pernah terjadi padanya. Satu bulan semenjak ia menderita putus asa, tiba-tiba ia suka bicara sendiri, menggumam, tertawa-tawa tanpa ada sebab, dan yang lebih parah adalah suka memecahkan barang-barang dirumahnya. Inilah puncak kronisnya. Dan kabarnya tak ada obat bagi penyakit gilanya. Itu sih kata dokter. Tetapi Muhammad Ali tidak pernah menyerah begitu saja. Ia tipe ayah yang tak putus asa seperti anaknya. Semangatnya selalu membara seperti semangat Muhammad Ali sang petinju saat bertanding. Atau jika ditakar bisa melebihi kegigihan Nelsen Mandela saat menyelamatkan orang-orang kulit hitam di Afrika. Muhammad Ali selalu pontang panting kesana kemari. Setiap orang pinter, dukun, para normal, kyai, sesepuh, atau siapapun yang terdengar hebat dalam menyembuhkan penyakit gila, ia datangi. Alhasil, setelah ia berkelana selama satu tahun untuk mencari obat, ternyata obat untuk anaknya mudah. Cukup mengganti nama dan mengadakan selametan.
Muhammad Assegaf Bin Muhammad Ali. Itulah namanya saat ini setelah ia sembuh dari penyakit gila selama satu tahun tiga bulan. Saat awal kesembuhannya, ayah Assegaf senang bukan kepalang. Ia mengadakan selametan besar-besaran. Mengundang tetangga, kerabat dekat, jauh, kawan-kawan dekatnya maupun kawan-kawan dekat Assegaf. Jika dihitung secara teliti dengan rumus matematika kira-kira jumlahnya 1000 orang. Selametan ini baginya bukan masalah besar. Apalagi ia, kata para ilmuan adalah penganut islam tradisional. Jiwa santrinya juga besar. Kalau digolongkan dalam kategori C. Geertz maka ia termasuk santri, bukan abangan maupun priyayi. Adapun soal dari mana biayanya, itu soal mudah baginya. Tanah pekarangan warisan nenek moyang yang ditanami tumbuhan palawija, padi, tumbuhan besar seperti jati, sengon, karet, dan masih banyak tanaman pangan lain, lebih dari cukup untuk biaya. Bahkan cukup untuk tujuh turunan.
Sungguh slametan yang barangkali sedikit berlebihan. Tak tahu kenapa. Jika ditanya oleh para tetangga jawabnya simpel. Ia hanya ingin mengekspresikan kebahagiaannya saja. Memang gayanya seperti seniman yang ingin mengekspresikan jiwa seninya. Atau dia terobsesi iklan L.A ditelevisi "ekspresikan aksimu". Tapi semua itu tak ada hubungannya. Ia hanya sekedar ingin bersyukur. Itu saja. Tapi coba tengok Assegaf. Ada perasaan lain dibenaknya. Ia menunjukkan ekspresi yang berbanding terbalik dengan ayahnya. Guratannya selalu muram, wajahnya mengerutkan kening, dan selalu melamun. Tapi bukan lamunan Majnun ketika merindukan Laila. Lamunannya adalah lamunan kosong. Kalau dilihat persis orang yang kesambet. Apalagi yang terjadi pada Assegaf? Sungguh tak ada yang tahu selain dirinya sendiri.
"Assegaf...Assegaf. Bapak sudah pusing pontang-panting kesana-kemari. Eh...Nanda malah begitu. Ada apa Nak? ". Terdengar suara parau Muhammad Ali mengintrogasi anaknya. Untung saja introgasinya tak seganas Polisi mengintrogasi pencuri ayam yang bisa lebih ganas dari mengintrogasi koruptor. Pak Ali selalu sabar. Ucapannya santun, penuh perasaan, dan dalam maknanya. Tak sedikitpun ia memperlihatkan rasa marah. Kalau kecewa memang ada. Jelas ini karena tingkah laku Assegaf yang tidak pernah berubah. Depresi, itu lebih pas untuk Assegaf. Sehingga ia selalu murung setiap waktu. Ia tidak tahu kalau setiap hari diejek oleh kawanan burung, cicak, ayam, kambing, bahkan capung. Jika mereka bisa bicara mereka akan berkata, " Assegaf memang bodoh. Buat apa termurung dalam kesedihan. Kemon..bangkit Bro! Bikin hidup lebih hidup!".
Tetapi dasar Assegaf. Ia tetap diam seribu bahasa. Tak peduli siapapun yang bicara. Tetap diam. Apalagi jika yang berbicara rakyat-rakyat kecil seperti burung-burung. Sama sekali tak dihiraukan seperti para anggota DPR yang tak menghiraukan rakyatnya. Jiwanya sungguh trauma besar. Depresi yang menjadi-jadi. Bahkan setiap saat bisa menjadi sakau atau over dosis. Assegaf betul-betul belum mampu bahkan tak mampu melupakan kata-kata Guru SMPnya dahulu. Ia benar-benar masih ingat ketika Sang Guru berkata, " Dasar murid desa bodoh. Kerjakan tugas begitu harus nyontek. Mau jadi apa kamu kelak!". Ucapan Sang Guru, Pak Muslih namanya, masih benar-benar diingat sempurna oleh Assegaf. Setiap kata, setiap huruf, setiap tanda baca, nada ucapannya dan intonasi bahasanya, masih benar-benar melekat erat. Rupanya ucapan inilah yang membuat malam-malamnya selalu mendung, hari-harinya bermuram durja dan jiwanya menjadi gila selama satu tahun tiga bulan.
Ah, dasar Pak Muslih tak tahu aturan tata bahasa dan sopan-santun berbicara. Seharusnya seorang guru berbicara secara bijak. Setiap murid diberi perhatian, tidak dibedakan mana kaya mana miskin, dan tidak dimatikan kreatifitasnya. Satu lagi yaitu, jangan mudah suudzon sehingga salah tebak. Jangan seperti ulah Pak Muslih ini yang menyangka Assegaf main contek. Padahal yang hendak mencontek adalah Andi, kawan samping bangkunya. Saat itu Andi mengambil kertas jawaban Assegaf. Saat hendak diambil, Assegaf ketahuan. Dan langsung kena makian biadab Pak Muslih. Padahal Assegaf bertindak benar. Memang terkadang stereotip guru begitu. Tidak jelas asal-usulnya tetapi suka nglabrak sejadi-jadi. Apa karena gaji mereka sedikit? Bisa juga sehingga banyak urusan dirumah dibawa sekolah. Tapi semestinya tidak demikian. Sesusah apapun urusan pribadi jangan dibawa sekolah. Kalau banyak hutang, disimpan dulu hutang itu. Kalau masih sulit, pemerintah dong yang harus menjamin kesejahteraan guru.
Kalau urusan rumah tangga dibawa ke sekolah Imbasnya seperti Assegaf ini. Gara-gara mendapat marah dari Pak Muslih ia menjadi stress. Bahkan sampai saat ini ia hanya bisa melamun, murung, dan diam tanpa kata. Mimpinya menjadi pilot hanya tinggal kenangan sia-sia. Semua terkubur bersama jiwanya yang hancur. Ia tidak bisa menikmati mimpi terbang menaiki pesawat Garuda, jet, pesawat foker, maupun helikopter. Ia juga tak bergairah jika disuruh ngaji di mushala, belajar matematika, logaritma, maupun fisika dan kimia. Apalagi belajar tata krama, ia paling alergi karena pasti akan ingat wajah beringas Pak Muslih. Hari-harinya hanya dinikmati bersama kesedihan yang berlarut persis seperti kesedihan para orang tua yang kehilangan anaknya saat sunami Aceh maupun gempa bumi di Yogyakarta.
Assegaf sungguh membutuhkan perhatian super khusus dari Pak Ali dan Bu maryamah, selaku orang tua. Untuk urusan makan, minum, mandi, tidur, benar-benar harus selalu dipantau. Sebagaimana seorang inteligen yang sedang mengintai musuh; cermat, teliti, dan hati-hati., begitu pula dengan Assegaf. Terkadang, untuk urusan berpakaian masih harus dipilihkan. Memang Assegaf tidak lagi gila, tapi ia setengah waras. Dan itu akan dilaluinya setiap detik, setiap waktu, hingga ajal kelak menjemputnya. Ia akan tumbang bersama daun-daun malang yang berguguran tiap harinya. Apakah ia akan dikenang? Itu biarlah waktu yang bicara. Hanya barangkali yang akan dikenang bukan dia, tetapi kekejaman Pak Muslih terhadap para muridnya.
*)Penulis adalah cerpenis Kutub, Yogyakarta. Beberapa karyanya telah dipublikasikan ke berbagai media massa baik local maupun nasional. Selain menulis cerpen, penulis juga aktif di Lesehan Sastra dan Budaya Kutub. Saat ini penulis sedang menyelesaikan studinya di Faklultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga.
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas
HP 085292843110

Esay Budaya : Tarian Cakalele

Tari Cakalele dan Etos Perjuangan Rakyat Maluku
Oleh : Fatkhul Anas*)

29 Juni 2007 lalu, kita tentu masih ingat akan sebuah insiden luar biasa terjadi di wilayah Ambon, Maluku. Saat itu bertepatan dengan Hari Keluarga Nasional ke XIV. Saat Pembukaan Hari Keluarga Nasional XIV berlangsung yang dibuka oleh Presiden SBY, tiba-tiba sekelompok pemuda masuk ke arena podium kehormatan dan menari-nari di hadapan Presiden. Mereka membawakan tarian Cakalele, tarian khas daerah Maluku. Selang beberapa waktu, salah seorang dari mereka mengibarkan bendera Republik Maluku Selatan (RMS) tepat di hadapan Presiden. Atas perbuatan ini, mereka ditangkap karena telah melakukan gerakan separatis yang merugikan Indonesia.
Inilah insiden separatisme Maluku yang terjadi pada 29 Juni 2007 lalu. Insiden ini terasa begitu menyakitkan bagi bangsa Indonesia. Apalagi bagi Presiden, jelas merasa harga dirinya direndahkan. Tetapi di salah satu sisi, insiden ini membawa cakrawala baru untuk lebih mengenal kekayaan budaya Maluku. Tarian Cakalele yang dibawakan oleh kelompok separatis tersebut adalah budaya luhur yang tak ternilai harganya yang dimiliki oleh Maluku. Jadi, siapa sangka Maluku yang terpencil wilayahnya dan kurang begitu populer bagi Indonesia, ternyata mempunyai kekayaan budaya yang begitu tinggi dan agung. Kebudayaan luhur itu tak lain adalah tarian Cakalele.
Tarian Cakalele adalah salah satu produk kebudayaan Maluku. Tarian ini merupakan tarian perang yang dipersembahkan rakyat Maluku untuk menyambut tamu agung alias tamu kehormatan seperti Presiden, tokoh agama, pemuka adat, maupun para pejabat tinggi. Tarian ini biasanya dimainkan oleh lima orang atau yang disebut sebagai Cakalele Orlima atau Orang Lima. Tetapi ada pula yang dimainkan oleh sembilan orang atau yang disebut dengan Cakalele Orsiwa sebagaimana di dareah Banda, Maluku Tengah. Para pemainnya laki-laki. Mereka memakai pakaian adat maluku yang terdiri baju cele, celana makasar, ikat pinggang serta topi yang dihiasi bulu burung Cendrawasih yang indah menawan. Jika dilihat secara seksama, para personil Cakalele persis seperti tentara Inggris yang siap berperang; gagah dan sangar.
Alat pelengkapnya adalah parang dan salawaku (perisai). Saat menari, para personil Cakalele diiringi dengan musik tifa, gong dan seruling. Musiknya indah bagaikan gemuruh genderang perang. Selain penari laki-laki, ada pula personil-personil lain dalam tarian Cakalele ini. Lengkapnya para personil Cakalele terdiri dari penari, Mai-mai, penabuk dan pemukul tifa dan gong, pemegang umbul-umbul serta pemuka adat dan personil pembantu. Mereka memainkan peranan yang berbeda-beda secara adat dalam sebuah pementasan. Kelompok mai-mai adalah penggambaran dari para istri yang setia menemani sang suami dimanapun berada. Baik saat perang maupun hari-hari biasa.
Tarian Cakalele selain untuk menyambut tamu agung, juga dipentaskan ketika ada upacara adat, yaitu upacara buka kampong atau buka puang dan tutup kampong. Saat acara ini berlangsung, para pemain Cakalele beserta seluruh warga kampung akan beramai-ramai mengikuti upaca tersebut. Mulai dari awal yaitu buka kampong sampai tutup kampong selesai, seluruh warga akan mengikuti upacara dengan hidmat. Mereka benar-benar merasa terlibat dengan hak dan kewajiban pada upacara tersebut. Mengenai durasi waktu pementasan tidaklah menentu. Hal ini disesuaikan dengan kebutuhan upacara serta dalam hal apa tarian Cakalele dipentaskan.
Adapun mengenai pementasan tarian Cakalele sendiri memang jarang dilaksanakan. Selain biayanya mahal, juga menunggu upacara buka kampong dan tutup kampong. Jadi, tidak bisa tarian Cakalele dilaksanakan sewaktu-waktu. Harus menunggu ketika ada upacara buka kampong dan tutup kampong atau ketika ada tamu kehormatan saja. Inilah yang menjadikan tarian Cakalele tetap sakral dan memiliki nuansa keluhuran budaya yang tinggi.
Nuansa Mistik
Tarian Cakalele ternyata tidaklah sembarang tari. Selain memiliki nilai artistik tinggi yang tiada bandingannya di dunia, tarian Cakalele juga memiliki nuansa mistik yang dalam. Tarian Cakalele memiliki mitos yang sampai saat ini masih dipercaya masyarakat Maluku. Masyarakat Maluku percaya bahwa saat melakukan upacara buka kampong dan tutup kampong, mereka harus benar-benar bersih. Bersih tidak sekedar bersih fisik. Tetapi bersih hati dan lingkungan. Barang siapa ada yang melanggar ketentuan adat ini dalam artian tidak menjaga kebersihan, maka salah satu dari warga masyarakat akan tertimpa karmanya. Biasanya warga tersebut menderita penyakit aneh yang tidak bisa disembuhkan kecuali jika yang melanggar aturan telah memperbaiki kesalahan.
Mengenai hal ini memang belum bisa dibuktikan secara ilmiah. Tetapi sering terjadi di masyarakat sebagaimana dilansir situs resmi milik pemerintah daerah Banda, Maluku Tengah. Setiap kali upacara buka kampung dan tutup kampung berlangsung, tidak jarang ditemukan penduduk yang memiliki penyakit aneh. Ini adalah akibat dari pelanggaran terhadap adat. Jadi, penduduk yang berpenyakit tersebut bukanlah yang melanggar tata aturan. Tetapi, itu adalah aib orang lain. Karenanya orang yang sakit tersebut akan menunjukkan siapa yang menyebabkan ia sakit. Dari sinilah akan ketahuan siapa yang melanggar adat. Hal inilah yang selalu dihindari masyarakat maluku. Mereka tidak ingin jika aibnya terbuka dan diketahui seluruh penduduk kampung.
Semangat Perjuangan
Tarian Cakalele secara umum menggambarkan semangat perjuangan rakyat Maluku. Mereka teringat akan kegigihan perjuangan Kapiten Pattimura saat melawan penjajah. Kapitan Pattimura berjuang dengan sepenuh jiwa raga, mengorbankan harta benda, bahkan nyawa demi kemerdekaan masyarakat Maluku. Etos inilah yang digambarkan dalam tarian Cakalele. Mereka menggambarkan perjuangan yang keras, sengit, dan penuh dengan pengorbanan. Tak hanya kaum laki-laki, kaum wanita juga turut serta berjuang menyertai sang suami. Mereka tetap setia meski dalam perang sekalipun. Itulah yang digambarkan oleh kelompok mai-mai atau penari wanita.
Semangat perjuangan rakyat Maluku merupakan warisan yang tiada terputus. Setiap anak yang terlahir dari rahim Maluku adalah anak-anak yang siap mengemban misi adat istiadat Maluku. Seperti di wilayah Negeri Pelauw, Kecamatan Haruku, Kabupaten Maluku Tengah. Tradisi Cakalele di daerah ini diawali dengan jiwa yang bersih. Baik oleh keluarga, maupun seluruh keluarga besar. Setelah itu, anak putra keluarga akan dipilih untuk membawakan tari Cakalele. Karenanya, menjadi wajib bagi tiap anak laki-laki Negeri Pelauw untuk ikut Cakalele. Bahkan bagi orang Hatuhaha laki-laki, ada sebutan Pamalona yang artinya benar-benar laki-laki. Disinilah proses seorang pria menjadi laki-laki sebenarnya, yaitu wajib melewati prosesi Cakalele terlebih dahulu.
Semangat dan etos perjuangan dalam Cakalele adalah semangat yang selalu diwariskan secara turun-temurun oleh rakyat Maluku. Etos inilah yang menjadikan tarian Cakalele tetap lestari hingga saat ini. Tarian yang sakral dan suci ini akan terus mewarnai kekayaan budaya nusantara sebagai kebudayaan adiluhung yang tiada banding dan tak ternilai harganya. Dan semoga tarian ini akan selalu menjadi mercusuar keagungan Maluku sepanjang zaman. Meski dihadapkan dengan benturan zaman diera globalisasi, semoga anak-anak yang lahir dari rahim Maluku akan selalu setia dengan adat istiadat Maluku. Sehingga tarian Cakalele akan tetap lestari laksana bangunan kokoh yang akan selalu mengharumkan nama baik Maluku khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya.
*) Penulis adalah pengamat budaya pada Hasyim Asy’ari Institute
HP 085292843110
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas