Selasa, 27 Mei 2008

Cerpenku

Umar Fadli
Oleh : Anas Fz*)
Penampilannya sederhana, santun, dan berwibawa. Sorot matanya yang mulai kabur, menandakan usianya hampir tutup. Rambut mulai ditumbuhi warna putih. Warna asli, bukan pewarna buatan semacam wenter, semir, atau pilok atau pewarna makanan semacam sakarin. Ini pertanda malaikat maut siap menjemputnya. Tubuhnya yang dahulu segar bugar seperti perawakan Beriprima muda, saat ini hanya tinggal daging membungkus tulang. Namun, tenaga muda super powernya yang jika diukur sama kuatnya dengan Aderai, kini masih tersimpan. Meski tidak sepenuhnya. Setidaknya masih separuh dari Aderai.
Saat ditanya mengapa ia masih begitu kuat, dengan enteng ia menjawab "sejak kecil saya tidak terbiasa makan makanan yang mengandung bahan kimia. Saya biasa makan makanan alam murni. Istri saya juga saya larang memakai penyedap seperti miwon, sasa, ajinomoto atau roico yang mengandung bahan kimia". Ternyata disini rahasianya. Perutnya tidak terbiasa bahkan hampir tidak pernah terisi bahan-bahan kimia. Entah darimana dia tahu bahwa bahan-bahan kimia seperti monosodium glutamate, sakarin, lesitin, borak, formalin, itu mampu merusak sel-sel tubuh. Padahal ia hanyalah seorang guru agama MI kampung yang dulu lulusan PGA.
Mungkin saja orang tuanya atau sejak nenek-nenek moyangnya dahulu sudah menganjurkan demikian meski mereka tidak mengenal bahan-bahan kimia itu. Dan ternyata benar. Sejak kecil Pak Guru ini sudah dibina agar memakan makanan alam yang masih murni belum kecampuran obat-obatan. Menurut pengendika nenek moyangnya, makanan yang murni banyak mengandung gizi dan menyehatkan. Sungguh dahsyat pengendika ini. Padahal mereka belum tahu apa itu gizi, vitamin, mineral, zat besi, atau pun protein. Tapi mereka telah mengatakan bahwa makanan murni banyak mengandung gizi. Dari sini aku jadi tahu bahwa nenek moyang orang Jawa ternyata memiliki intelegensia kuat.
Kecerdasannya mampu menembus zamannya. Ini yang menyebabkan orang-orang mengatakan weruh sak durunge winarah atau "mengetahui sebelum diberi informasi", begitu kira-kira artinya. Masih tentang tubuhnya yang kurus kerempeng tapi tenaganya setengah super, ototnya dan tulangnya juga masih kokoh. Otot kawat balung wesi, itu sebutan untuk orang ini. Kekuatannya mampu menembus umurnya yang kelewat 60 tahun itu. Jika berjalan, ia seolah bodyguard dibelakang majikannya. Tegap dan penuh percaya diri. Namun, lain kalau ia bicara. Gaya bicaranya sungguh sahaja. Siapapun orangnya, terutama murid-muridnya, akan terhipnotis dan tertegun mendengar ucapannya. Tak sepatah katapun terlupakan. Semua diam seperti diamnya orang-orang ditahun 45 mendengar pidato Sukarno.
Begitu sempurnanya sampai aku pun sulit menggambarkan sosok Pak Guru yang berwibawa ini. Ia sungguh laksana Nabi Muhammad diantara para sahabatnya. Yang lebih unik, adalah sepeda ontel tua yang dipakainya setiap kali mengajar. Sepeda unta laki-laki buatan Jepang warisan kakeknya tahun 40-an dulu, kini masih kokoh meski catnya sudah luntur. Batangannya juga masih kuat mengangkat barang seberat 200 kg. Sepeda itulah yang setia menemaninya selama 23 tahun mengajar. Ada lagi tas cangklong warna hitam bawaannya. Warnanya sudah pudar, lusuh, dan bentuknya kelewat sederhana. Namun itu tak dipikir oleh sang Guru. Tas itu tetap dibawa kemanapun ia mengajar.
Jika melihat saat ia mengendarai sepeda ontelnya, stereotipnya persis seperti Umar Bakri dalam lagu Iwan Fals. Nama depannya juga sama. Hanya belakangnya yang beda yaitu Fadli sehingga nama lengkapnya menjadi Umar Fadli. Mungkin ia masih punya pertalian darah dengan Umar Bakri. Atau ia nge-fans. Atau sekedar kebetulan saja. Dan kebetulan profesinya juga sama, guru. Tapi ia bukan guru negri. Gajinya hanya tiga ratus ribu sebulan. Entah pikiran apa yang menghantuinya ketika didaftarkan jadi PNS, ia dengan tegas menolak. Jawabannya singkat dan padat, "saya tidak mau makan uang yang tak jelas sumbernya, saya hanya mau uang halal". Mungkin ia mengira uang Negara tidak halal. Ini didasarkan saat ia melihat dengan mata kepalanya, tetangganya membayar pajak dengan uang hasil perjudian. Mungkin karena ini ia tidak mau dibayar Negara.
Sosok yang ramah ini mengajar kelas lima MI Tanjung sari, salah satu MI swasta di kampungku. Siswanya berjumlah 30 orang. Ia seorang guru kelas, jadi setiap hari harus mengajar. Usianya yang kelewat 60 bukan halangan bagi Pak Umar ini. Usia yang semestinya sudah waktunya pensiun, masih saja digunakan sebaik mungkin. Ia benar-benar terinspirasi hadis Nabi bahwa pergunakankah hidupmu sebelum matimu. Baginya hidup didunia hanyalah sekali, karenanya hidup harus berarti. Makanya ia tak mau dipensiunkan meski sudah waktunya dan pejabat Negara menurut saja kemauan Pak Umar karena selama ini Negara tidak menggajinya.
Hari-harinya dilewati tanpa beban, tanpa mengeluh, dan selalu tenang. Ia selalu tersenyum bahagia sebahagia Susi Susanti saat menerima medali emas di Olimpiade Bercelona tahun 1992. "Hidup tidaklah untuk bersedih, namun untuk tersenyum", begitu nasihat kepada anak-anak, murid-murid maupun cucu-cucunya setiap kali mereka mendapat ujian hidup. Karena saking bersahaja hidupnya, para tetangga dan warga desanya menobatkan ia sebagai sesepuh. Dan ia bangga dengan sebutan itu karena bisa menjalin silaturrahim kemana-mana.
***
Hari ini adalah hari paling menyebalkan dalam hidup Pak Umar selama ia mengajar. Salah satu muridnya, Fakih namanya, begitu susah untuk diajar. Anaknya bringas, hiperaktif, dan selalu membuat ribut dikelas. Sudahpun begitu IQ-nya dibawah rata-rata teman-temannya, alias bodoh. Terhadap murid yang satu ini, Pak Umar sungguh kewalahan. Ia pun harus memberi perhatian super khusus. Apalagi anak ini dirumah ditelantarkan oleh ayahnya. Ayahnya selalu marah-marah, suka main pukul, dan jewer seenaknya. Kerjanya sebagai kuli keweh kadang sampai sampai larut malam. Dan Fakihpun sendirian dirumah karena ibunya telah meninggal 2 tahun yang lalu. Akibat perhatian yang kurang dari ayahnya, Fakih berkembang menjadi anak beringas dan nakal.
Karena bandel dan otak tumpulnya yang kelewat batas, Pak Umar rela memberikan les tambahan untuk Fakih. Mulai dari pelajaran matematika, fisika, kimia, biologi, akidah akhlah, fiqih, bahkan belajar Al-qur’an. Semuanya gratis. Tak segan-segan Pak Umar datang sendiri kerumah Fakih setiap jum’at dan sabtu sore. Dan tentu saja dengan sepeda tuanya. Ayahnya yang tak mau peduli dengan pendidikannya, hanya tersenyum terpaksa kalau Pak Umar datang. Ia lalu menyajikan makanan dan minum, dan pergi ketempat tetangga. Lebih seringnya ketempatku. Kadang aku ngilu melihat pemandangan ini. Tapi apa boleh buat, aku hanya anak kecil kawan kelas Fakih yang tak kuasa melakukan apapun. Yang mampu kulakukan hanyalah menemani Fakih setiap kali diprivat Pak Umar.
Sabtu sore tanggal 5 Agustus, adalah saat-saat menegangkan bagiku dan bagi Fakih. Saat itu pukul empat. Pak Umar seperti biasa shalat ditempat Fakih setelah privat setengah jam. Selesai shalat ia kembali mem-privat kami. Aku ingat saat itu diajari akidah akhlak. Salah satu pelajarannya adalah tentang sabar dan tidak mudah putus asa. "Sebagai manusia kita harus selalu sabar dan jangan putus asa. Termasuk dalam mencari ilmu", begitu tuturnya padaku dan Fakih. Laksana mata air ditengah gurun pasir pelajaran itu bagiku. Kata-katanya begitu membekas disetiap pori-pori. Pelan-pelan ia pun terus membibing kami, memberi pitutur, sambil terkadang memberi guyonan segar. Sore itu rasanya seperti berada dalam taman surga. Tenang, damai, indah, bahagia.
Saking trenyuhnya suasana, tak terasa mata Pak Umar berkaca-kaca. Ia memancarkan senyum kebahagiaan yang tiada mampu kuungkapkan dalam kata-kata. Kalaupun sang penyair legendaris India Rabindranath Tagore atau pujangga Pakistan Mohammad Iqbal menciptakan puisi paling indah, mereka tak mampu melukiskan kebahagiaan Pak Umar ini. Disela-sela kebahagiaan itu, tiba-tiba ia berdiri dan ingin pergi ke Masjid. Kami hanya bengong, tak tahu ada gerangan apa. Lalu kami antar Pak Umar ke Masjid di sebelah kanan rumahku. Sampai disana kami disuruh shalat asar karena sedari tadi kami belum shalat. Sementara Pak Umar shalat takhiyatul masjid. Saat itu juga kami merasakan aneh. Kami melihat Pak Umar begitu khusuk sahalatnya. Mungkin ia merasa seperti shalat di Masjidil Kharam.
Sementara kami biasa saja, malah ceclingukan. Maklum, kami hanya anak kelas lima MI yang belum tahu substansi shalat. Shalat kami pun seperti kilat. Sementara Pak Umar, sedari tadi belum berdiri dari sujudnya. Kami hanya diam saja sambil terus memandang. Sujudnya benar-benar lama, bahkan sudah lebih dari setengah jam. Kami terus memandang, tapi ada perasaan bingung. "Kih, Pak Umar kok sujudnya lama banget?"celetukku memecah kebingungan. "Mungkin dia sedang bingung karena banyak hutang, hehe". Sahut Fakih seolah tak punya dosa. Aku sedikit marah padanya yang tak sopan. Akhirnya untuk memecah keheranan kami dekati Pak Umar lalu kami bangunkan dari sujudnya.
Tetapi Pak Umar diam kaku. Lalu kuperiksa nafas dan denyut jantungnya, ternyata telah berhenti. "Innalillahi wainna ilaihi roji’un…", kami spontan menangis, bingung, dan tak tahu harus berbuat apa. Fakih menangis sejadi-jadi. Suaranya sekeras halilintar memecah keheningan malam. Ia begitu merasa berdosa. Ia telah banyak menyusahkan Pak Umar selama di sekolah, di rumah, sampai Pak Umar harus menemui ajalnya hanya demi melihat dirinya menjadi orang berguna. Sejak saat itulah Fakih berjanji akan sungguh-sungguh mencari ilmu. Siang malam ia belajar, ngaji dirumah Wak Haji, dan tidak pernah bolos sekolah. Fakih benar-benar telah berubah tiga ratus enam puluh derajat setelah Pak Umar Fadli menemui ajalnya dan pergi bersama bidadari surga.
Glosarium :
Pengendika : tutur kata
Sesepuh : orang yang dituakan, berwibawa, dan dihormati
Kuli keweh : orang yang bekerja menggali tanah liat untuk membuat gentang
Pitutur : nasihat
*)Penulis adalah cerpenis Kutub, Yogyakarta. Beberapa karyanya telah dipublikasikan ke berbagai media massa baik local maupun nasional. Selain menulis cerpen, penulis juga aktif di Lesehan Sastra dan Budaya Kutub. Saat ini penulis sedang menyelesaikan studinya di Faklultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga.
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas
HP 085292843110

Tidak ada komentar: