Jumat, 30 Mei 2008

Resensi Soeharto

Penghianatan Para Anak Emas

Judul Buku : Mereka Menghianati Saya; Sikap Anak-Anak Emas Soeharto di Penghujung Orde Baru

Penulis : Femi Adi Soempeno

Penerbit : Galangpress, Yogyakarta

Cetakan : I, 2008

Tebal : 228 halaman

Peresensi : Fatkhul Anas*)

Tanggal 27 Januari 2008 lalu bangsa Indonesia digegerkan oleh kematian Sang Bapak Pembangunan. Astana Giri Bangun sebagai tempat persinggahan terakhir beliau, dipenuhi isak tangis dari Keluarga Besar Cendana serta beribu pelayat yang hadir. Mereka merasa kehilangan sekaligus merasa iba dengan Bapak Pembangunan ini. Sang Bapak yang selama ini banyak meninggalkan sejarah perjuangan panjang demi kemajuan bangsa tiba-tiba harus pergi dari bumi pertiwi. Kepergiannya pun banyak menjadi perbincangan. Banyak pihak yang memuji Beliau, tidak sedikit pula yang mencela. Segalanya masih menjadi mesteri dan teka-teki yang belum menemukan ujung.

Beriringan dengan kepergian Mantan Presiden RI ini, ternyata ada sisi-sisi buram dibalik kisah kepemimpinannya. Sisi-sisi buram itu ada bukanlah dari beliau, melainkan dari para “anak-anak emas” yang selama ini dibangga-banggakan dan disanjung oleh Sang Bapak Pembangunan. Anak-anak Emas yang selama ini dibesarkan dengan sepenuh tenaga oleh Sang Bapak ini tiba-tiba tega berhianat ketika Sang Bapak sedang gonjang-ganjing dan “sekarat” kepemimpinan. Para anak emas sama sekali tidak membela bahkan mereka dituduh ikut menyiapkan aksi penggulingan tersebut. Disinilah sisi buram mulai terlihat. Lalu siapa para anak emas yang dituduh berhianat itu?

Buku yang berjudul Mereka Menghianati Saya; Sikap Anak-Anak Emas Soeharto di Penghujung Orde Baru karya Femi Adi Soempeno ini akan membahas hal tersebut. Buku ini membeberkan bahwa para anak emas itu tak lain adalah orang-orang terdekat Mantan Presiden Soeharto. Mereka diantaranya Habibie, Harmoko, Ginanjar, serta Prabowo. Mulai dari Habibie, ia adalah orang terdekat dengan Soeharto sejak jabatannya menjadi Wakil Presiden. Namun kedekataannya sudah dimulai sejak lama. Tahun 1950 saat Soeharto masih berpangkat Letkol dan memimpin Brigade Ekspedisi Divisi Diponegoro dengan nama Brigade Mataram untuk menumpas pemberontakan Andi Aziz di Makasar, Soeharto sudah mengenal Habibie. Ini karena keluarga Habibie tinggal di sekitar markas Brigade Mataram.

Perkenalan Soeharto dengan Habibie dimulai ketika pada suatu malam anak-anak keluarga Habibie datang ke asrama sambil menangis karena ayahnya sakit. Tangisan itu disambut Soeharto karena dialah yang masih berjaga. Segera Soeharto datang bersama dokter Irsan. Namun malang karena ayah Habibie tak bisa tertolong. Dan saat itu Soeharto-lah yang berkesempatan menutup mata ayah Habibie (hal 129). Sejak peristiwa itu Habibie mulai dekat dengan Soeharto. Kedekatan ini semakin erat ketika salah satu anak buah Soeharto menikah dengan kakak Habibie. Berkat Eratnya kedekatan itu ditambah kecerdasan luar biasa dari Habibie, maka jadilah Habibie sebagai Wakil Presiden mendampingi Soeharto sebelum Soeharto lengser.

Saat Habibie mendampingi Soeharto, betapa ia sangat hormat dan sangat memuji Soeharto. Salah satunya pada ucapan “saya memandang pak Harto sebagai seorang pahlawan yang memimpin pahlawan-pahlawan lainnya”. Ini hanyalah sebagian kecil sanjungan Habibie kepada Soeharto dan masih banyak sanjungan-sanjungan lainnya. Namun, tanpa disangka sanjungan Habibie berbalik arah saat beliau menduduki posisi Presiden. Ia pernah mengatakan kepada para investor asing “Anda sekarang berhubungan dengan orang berbeda. Anda menikmati transparansi. Anda tak pernah bisa bicara dengan Soeharto seperti bicara dengan saya”. Ucapan ini semakin memperlihatkan bahwa Habibie mau menghilang dari bayang-bayang Soeharto. Ini pula yang dianggap penghianatan oleh keluarga Cendana, terlebih Habibie tak mau turut turun keprabon (turun tahta) ketika Soeharto lengser.

Aksi Habibie tak luput pula dilakukan Harmoko. Ia adalah anak emas kedua yang pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan, Ketua Umum DPP Golkar serta Ketua DPR/MPR Periode 1993-1998. Saat Soeharto akan diangkat kembali menjadi Presiden masa bhakti 1998-2003, Harmoko dengan menggebu-gebu menyatakan dukungannya dan menyatakan bahwa rakyat masih membutuhkan Soeharto. Sidang Umum MPR pun dimulai sejak 1 Maret 1998 yang hasilnya menyatakan bahwa Presiden Soeharto masih berhak menjabat Presiden kembali karena telah memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Tap MPR No 2/MPR tahun 1973. Namun, apa yang dilakukan Harmoko dua bulan setelah Soeharto menjabat kembali sebagai Presiden?

Harmoko diam-diam menyiapkan aksi penggulingan terhadap Soeharto. Pada 18 Mei 1998 pukul 15.20 WIB, Harmoko di Gedung DPR dengan para mahasiswa mengatakan, Presiden Soeharto diharapkan mengundurkan diri demi persatuan dan kesatuan bangsa (hal 146). Pernyataan itu sudah dipersiapkan Harmoko karena merupakan hasil musyawarah dengan para Fraksi di DPR selama lima jam. Musyawarah itu dilatarbelakangi oleh tiga tuntutan rakyat yaitu menghendaki agar reformasi dilakukan, meminta agar presiden mengundurkan diri, serta Sidang Istimewa MPR. Mulai saat itulah Harmoko menjadi tokoh pendukung penggulingan Soeharto. Pujian-pujian terhadap Soeharto berbalik menjadi serangan tajam. Memang Harmoko bisa dinilai benar karena mementingkan aspirasi rakyat. Namun, ia tak setia kepada Soeharto karena ketika bapaknya (Soeharto) menghadapi tuntutan ia tidak membela. Padahal ia kaki tangan Soeharto.

Sama seperti Harmoko, Ginanjar Kartasamita juga melakukan aksi pembelotan. Ginanjar yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, tiba-tiba membelot dengan cara mengundurkan diri dari jabatannya pada 20 Mei 1998. Pengunduran diri itu dilakukan bersama 13 Menteri lainnya di lingkungan ekonomi, keuangan, dan industri (Ekuin) Kebinet Pembangunan VII. Hanya dua menteri Ekuin yang tidak mengundurkan diri yaitu Menperindag Mohammad Hasan dan Menteri Keuangan Fuad Bawazir. Bisa dibayangkan betapa sakitnya Soeharto karena orang-orang kepercayaannya berbuat demikian. Terlebih Ginanjar yang telah dibesarkan namanya oleh Soeharto. Disinilah betapa para anak emas Soeharto telah berbuat patricide atau pembunuhan terhadap Bapaknya.

Aksi penghianatan tak luput pula dilakukan oleh Prabowo, menantu sekaligus anak emas yang dikasihi. Meski dalam hal ini masih menjadi tanda tanya apakah benar demikian. Pasalnya masih terjadi kesimpang siuran berita. Ada yang mengatakan bahwa Prabowo membuat semacam aksi gerakan rahasia dengan para Koppasusnya untuk menggulingkan Soeharto. Namun, Prabowo mengatakan hal itu tidak benar. Inilah awal mula titik konflik keluarga Cendana dengan Prabowo. Terlebih ketika para mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR, Probowo terkesan diam saja bahkan memberi solusi agar Presiden mengundurkan diri (hal 199). Karenanya ia dituduh penghianat oleh keluarga Cendana. Entah tuduhan itu benar atau hanya karena keangkuhan keluarga Cendana, hal itu masih menjadi teka-teki.

Sungguh begitu banyak silang sengkarut tentang peristiwa lengser keprabon (turun tahta) Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 lalu. Adanya penghianatan sebagaimana ditulis dalam buku ini juga masih menjadi titik buram. Barangkali itulah dunia politik yang penuh trik dan stratregi. Karenanya perlu benar-benar jeli memandang permasalahan. Dan untuk aksi penghianatan para anak emas Soeharto sebagaimana tertulis dalam buku ini semoga menjadi titik awal bagi terbukanya teka-teki dibalik kepemimpinan Soeharto. Untuk lebih jelasnya silahkan para pembaca membaca sendiri buku ini.

*) Penulis adalah pustakawan pada Hasyim Asy’ari Institute

HP 085292843110

Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

Tidak ada komentar: