Selasa, 27 Mei 2008

Esay Budaya : Tarian Cakalele

Tari Cakalele dan Etos Perjuangan Rakyat Maluku
Oleh : Fatkhul Anas*)

29 Juni 2007 lalu, kita tentu masih ingat akan sebuah insiden luar biasa terjadi di wilayah Ambon, Maluku. Saat itu bertepatan dengan Hari Keluarga Nasional ke XIV. Saat Pembukaan Hari Keluarga Nasional XIV berlangsung yang dibuka oleh Presiden SBY, tiba-tiba sekelompok pemuda masuk ke arena podium kehormatan dan menari-nari di hadapan Presiden. Mereka membawakan tarian Cakalele, tarian khas daerah Maluku. Selang beberapa waktu, salah seorang dari mereka mengibarkan bendera Republik Maluku Selatan (RMS) tepat di hadapan Presiden. Atas perbuatan ini, mereka ditangkap karena telah melakukan gerakan separatis yang merugikan Indonesia.
Inilah insiden separatisme Maluku yang terjadi pada 29 Juni 2007 lalu. Insiden ini terasa begitu menyakitkan bagi bangsa Indonesia. Apalagi bagi Presiden, jelas merasa harga dirinya direndahkan. Tetapi di salah satu sisi, insiden ini membawa cakrawala baru untuk lebih mengenal kekayaan budaya Maluku. Tarian Cakalele yang dibawakan oleh kelompok separatis tersebut adalah budaya luhur yang tak ternilai harganya yang dimiliki oleh Maluku. Jadi, siapa sangka Maluku yang terpencil wilayahnya dan kurang begitu populer bagi Indonesia, ternyata mempunyai kekayaan budaya yang begitu tinggi dan agung. Kebudayaan luhur itu tak lain adalah tarian Cakalele.
Tarian Cakalele adalah salah satu produk kebudayaan Maluku. Tarian ini merupakan tarian perang yang dipersembahkan rakyat Maluku untuk menyambut tamu agung alias tamu kehormatan seperti Presiden, tokoh agama, pemuka adat, maupun para pejabat tinggi. Tarian ini biasanya dimainkan oleh lima orang atau yang disebut sebagai Cakalele Orlima atau Orang Lima. Tetapi ada pula yang dimainkan oleh sembilan orang atau yang disebut dengan Cakalele Orsiwa sebagaimana di dareah Banda, Maluku Tengah. Para pemainnya laki-laki. Mereka memakai pakaian adat maluku yang terdiri baju cele, celana makasar, ikat pinggang serta topi yang dihiasi bulu burung Cendrawasih yang indah menawan. Jika dilihat secara seksama, para personil Cakalele persis seperti tentara Inggris yang siap berperang; gagah dan sangar.
Alat pelengkapnya adalah parang dan salawaku (perisai). Saat menari, para personil Cakalele diiringi dengan musik tifa, gong dan seruling. Musiknya indah bagaikan gemuruh genderang perang. Selain penari laki-laki, ada pula personil-personil lain dalam tarian Cakalele ini. Lengkapnya para personil Cakalele terdiri dari penari, Mai-mai, penabuk dan pemukul tifa dan gong, pemegang umbul-umbul serta pemuka adat dan personil pembantu. Mereka memainkan peranan yang berbeda-beda secara adat dalam sebuah pementasan. Kelompok mai-mai adalah penggambaran dari para istri yang setia menemani sang suami dimanapun berada. Baik saat perang maupun hari-hari biasa.
Tarian Cakalele selain untuk menyambut tamu agung, juga dipentaskan ketika ada upacara adat, yaitu upacara buka kampong atau buka puang dan tutup kampong. Saat acara ini berlangsung, para pemain Cakalele beserta seluruh warga kampung akan beramai-ramai mengikuti upaca tersebut. Mulai dari awal yaitu buka kampong sampai tutup kampong selesai, seluruh warga akan mengikuti upacara dengan hidmat. Mereka benar-benar merasa terlibat dengan hak dan kewajiban pada upacara tersebut. Mengenai durasi waktu pementasan tidaklah menentu. Hal ini disesuaikan dengan kebutuhan upacara serta dalam hal apa tarian Cakalele dipentaskan.
Adapun mengenai pementasan tarian Cakalele sendiri memang jarang dilaksanakan. Selain biayanya mahal, juga menunggu upacara buka kampong dan tutup kampong. Jadi, tidak bisa tarian Cakalele dilaksanakan sewaktu-waktu. Harus menunggu ketika ada upacara buka kampong dan tutup kampong atau ketika ada tamu kehormatan saja. Inilah yang menjadikan tarian Cakalele tetap sakral dan memiliki nuansa keluhuran budaya yang tinggi.
Nuansa Mistik
Tarian Cakalele ternyata tidaklah sembarang tari. Selain memiliki nilai artistik tinggi yang tiada bandingannya di dunia, tarian Cakalele juga memiliki nuansa mistik yang dalam. Tarian Cakalele memiliki mitos yang sampai saat ini masih dipercaya masyarakat Maluku. Masyarakat Maluku percaya bahwa saat melakukan upacara buka kampong dan tutup kampong, mereka harus benar-benar bersih. Bersih tidak sekedar bersih fisik. Tetapi bersih hati dan lingkungan. Barang siapa ada yang melanggar ketentuan adat ini dalam artian tidak menjaga kebersihan, maka salah satu dari warga masyarakat akan tertimpa karmanya. Biasanya warga tersebut menderita penyakit aneh yang tidak bisa disembuhkan kecuali jika yang melanggar aturan telah memperbaiki kesalahan.
Mengenai hal ini memang belum bisa dibuktikan secara ilmiah. Tetapi sering terjadi di masyarakat sebagaimana dilansir situs resmi milik pemerintah daerah Banda, Maluku Tengah. Setiap kali upacara buka kampung dan tutup kampung berlangsung, tidak jarang ditemukan penduduk yang memiliki penyakit aneh. Ini adalah akibat dari pelanggaran terhadap adat. Jadi, penduduk yang berpenyakit tersebut bukanlah yang melanggar tata aturan. Tetapi, itu adalah aib orang lain. Karenanya orang yang sakit tersebut akan menunjukkan siapa yang menyebabkan ia sakit. Dari sinilah akan ketahuan siapa yang melanggar adat. Hal inilah yang selalu dihindari masyarakat maluku. Mereka tidak ingin jika aibnya terbuka dan diketahui seluruh penduduk kampung.
Semangat Perjuangan
Tarian Cakalele secara umum menggambarkan semangat perjuangan rakyat Maluku. Mereka teringat akan kegigihan perjuangan Kapiten Pattimura saat melawan penjajah. Kapitan Pattimura berjuang dengan sepenuh jiwa raga, mengorbankan harta benda, bahkan nyawa demi kemerdekaan masyarakat Maluku. Etos inilah yang digambarkan dalam tarian Cakalele. Mereka menggambarkan perjuangan yang keras, sengit, dan penuh dengan pengorbanan. Tak hanya kaum laki-laki, kaum wanita juga turut serta berjuang menyertai sang suami. Mereka tetap setia meski dalam perang sekalipun. Itulah yang digambarkan oleh kelompok mai-mai atau penari wanita.
Semangat perjuangan rakyat Maluku merupakan warisan yang tiada terputus. Setiap anak yang terlahir dari rahim Maluku adalah anak-anak yang siap mengemban misi adat istiadat Maluku. Seperti di wilayah Negeri Pelauw, Kecamatan Haruku, Kabupaten Maluku Tengah. Tradisi Cakalele di daerah ini diawali dengan jiwa yang bersih. Baik oleh keluarga, maupun seluruh keluarga besar. Setelah itu, anak putra keluarga akan dipilih untuk membawakan tari Cakalele. Karenanya, menjadi wajib bagi tiap anak laki-laki Negeri Pelauw untuk ikut Cakalele. Bahkan bagi orang Hatuhaha laki-laki, ada sebutan Pamalona yang artinya benar-benar laki-laki. Disinilah proses seorang pria menjadi laki-laki sebenarnya, yaitu wajib melewati prosesi Cakalele terlebih dahulu.
Semangat dan etos perjuangan dalam Cakalele adalah semangat yang selalu diwariskan secara turun-temurun oleh rakyat Maluku. Etos inilah yang menjadikan tarian Cakalele tetap lestari hingga saat ini. Tarian yang sakral dan suci ini akan terus mewarnai kekayaan budaya nusantara sebagai kebudayaan adiluhung yang tiada banding dan tak ternilai harganya. Dan semoga tarian ini akan selalu menjadi mercusuar keagungan Maluku sepanjang zaman. Meski dihadapkan dengan benturan zaman diera globalisasi, semoga anak-anak yang lahir dari rahim Maluku akan selalu setia dengan adat istiadat Maluku. Sehingga tarian Cakalele akan tetap lestari laksana bangunan kokoh yang akan selalu mengharumkan nama baik Maluku khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya.
*) Penulis adalah pengamat budaya pada Hasyim Asy’ari Institute
HP 085292843110
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

Tidak ada komentar: