Selasa, 27 Mei 2008

Cerpenku

MENDUNG MALAM
Oleh : Anas Fz*)

Malam-malam mendung menyelimuti setiap juntai mimpi-mimpinya. Hari-hari yang dahulu dilewati dengan senyum ramah, kini tinggal guratan suram, kecut, dan tak bergairah. Wajah ceria layaknya purnama ditengah malam, yang jika bercahaya mampu menembus lorong kegelapan manapun, pudar tertutup awan kesedihan. Dia lupa kalau dahulu malam-malamnya diisi untuk gaji, belajar, baca buku sampai jam satu malam, bahkan terkadang lupa makan dan lupa tidur. Ia juga lupa bahwa dahulu semangatnya membara menyamai semangat teriakan Bung Tomo saat memberi komando penyerangan terhadap tentara Belanda. Dan satu lagi yang ia lupakan, bahwa ia pernah berjanji pada gadis kecil diujung desanya, suatu saat nanti akan menjadi pilot dan akan mengajaknya terbang.
Mungkin ia menderita penyakit amnesia sehingga kesulitan untuk mengingat sesuatu. Atau memang ia telah linglung. Ah, semua itu tak benar. Ia hanya sedang putus asa. Inilah yang menyebabkan kelinglungannya. Menyebabkan ia tidak makan selama tiga hari, tidak tidur dua hari dua malam, dan tidak pernah lagi pergi mengaji, apalagi belajar. Semua itu saat ini hanyalah penyakit baginya. Ya, Baca buku, ngaji, belajar, adalah penyakit kronis. Apalagi kalau ia ingat mimpi-mimpinya, bisa dipastikan ia akan bunuh diri. Histeris memang. Tapi itulah dirinya saat ini. Lalu apa yang dilakukan? Selain melamun, menyendiri di kamar, tidur, berbicara dengan kucing dan dengan burung perkutut di depan rumahnya, atau membuat coretan buruk di buku hariannya.
Apakah ia telah gila? Mungkin saja. Dan hal itu pernah terjadi padanya. Satu bulan semenjak ia menderita putus asa, tiba-tiba ia suka bicara sendiri, menggumam, tertawa-tawa tanpa ada sebab, dan yang lebih parah adalah suka memecahkan barang-barang dirumahnya. Inilah puncak kronisnya. Dan kabarnya tak ada obat bagi penyakit gilanya. Itu sih kata dokter. Tetapi Muhammad Ali tidak pernah menyerah begitu saja. Ia tipe ayah yang tak putus asa seperti anaknya. Semangatnya selalu membara seperti semangat Muhammad Ali sang petinju saat bertanding. Atau jika ditakar bisa melebihi kegigihan Nelsen Mandela saat menyelamatkan orang-orang kulit hitam di Afrika. Muhammad Ali selalu pontang panting kesana kemari. Setiap orang pinter, dukun, para normal, kyai, sesepuh, atau siapapun yang terdengar hebat dalam menyembuhkan penyakit gila, ia datangi. Alhasil, setelah ia berkelana selama satu tahun untuk mencari obat, ternyata obat untuk anaknya mudah. Cukup mengganti nama dan mengadakan selametan.
Muhammad Assegaf Bin Muhammad Ali. Itulah namanya saat ini setelah ia sembuh dari penyakit gila selama satu tahun tiga bulan. Saat awal kesembuhannya, ayah Assegaf senang bukan kepalang. Ia mengadakan selametan besar-besaran. Mengundang tetangga, kerabat dekat, jauh, kawan-kawan dekatnya maupun kawan-kawan dekat Assegaf. Jika dihitung secara teliti dengan rumus matematika kira-kira jumlahnya 1000 orang. Selametan ini baginya bukan masalah besar. Apalagi ia, kata para ilmuan adalah penganut islam tradisional. Jiwa santrinya juga besar. Kalau digolongkan dalam kategori C. Geertz maka ia termasuk santri, bukan abangan maupun priyayi. Adapun soal dari mana biayanya, itu soal mudah baginya. Tanah pekarangan warisan nenek moyang yang ditanami tumbuhan palawija, padi, tumbuhan besar seperti jati, sengon, karet, dan masih banyak tanaman pangan lain, lebih dari cukup untuk biaya. Bahkan cukup untuk tujuh turunan.
Sungguh slametan yang barangkali sedikit berlebihan. Tak tahu kenapa. Jika ditanya oleh para tetangga jawabnya simpel. Ia hanya ingin mengekspresikan kebahagiaannya saja. Memang gayanya seperti seniman yang ingin mengekspresikan jiwa seninya. Atau dia terobsesi iklan L.A ditelevisi "ekspresikan aksimu". Tapi semua itu tak ada hubungannya. Ia hanya sekedar ingin bersyukur. Itu saja. Tapi coba tengok Assegaf. Ada perasaan lain dibenaknya. Ia menunjukkan ekspresi yang berbanding terbalik dengan ayahnya. Guratannya selalu muram, wajahnya mengerutkan kening, dan selalu melamun. Tapi bukan lamunan Majnun ketika merindukan Laila. Lamunannya adalah lamunan kosong. Kalau dilihat persis orang yang kesambet. Apalagi yang terjadi pada Assegaf? Sungguh tak ada yang tahu selain dirinya sendiri.
"Assegaf...Assegaf. Bapak sudah pusing pontang-panting kesana-kemari. Eh...Nanda malah begitu. Ada apa Nak? ". Terdengar suara parau Muhammad Ali mengintrogasi anaknya. Untung saja introgasinya tak seganas Polisi mengintrogasi pencuri ayam yang bisa lebih ganas dari mengintrogasi koruptor. Pak Ali selalu sabar. Ucapannya santun, penuh perasaan, dan dalam maknanya. Tak sedikitpun ia memperlihatkan rasa marah. Kalau kecewa memang ada. Jelas ini karena tingkah laku Assegaf yang tidak pernah berubah. Depresi, itu lebih pas untuk Assegaf. Sehingga ia selalu murung setiap waktu. Ia tidak tahu kalau setiap hari diejek oleh kawanan burung, cicak, ayam, kambing, bahkan capung. Jika mereka bisa bicara mereka akan berkata, " Assegaf memang bodoh. Buat apa termurung dalam kesedihan. Kemon..bangkit Bro! Bikin hidup lebih hidup!".
Tetapi dasar Assegaf. Ia tetap diam seribu bahasa. Tak peduli siapapun yang bicara. Tetap diam. Apalagi jika yang berbicara rakyat-rakyat kecil seperti burung-burung. Sama sekali tak dihiraukan seperti para anggota DPR yang tak menghiraukan rakyatnya. Jiwanya sungguh trauma besar. Depresi yang menjadi-jadi. Bahkan setiap saat bisa menjadi sakau atau over dosis. Assegaf betul-betul belum mampu bahkan tak mampu melupakan kata-kata Guru SMPnya dahulu. Ia benar-benar masih ingat ketika Sang Guru berkata, " Dasar murid desa bodoh. Kerjakan tugas begitu harus nyontek. Mau jadi apa kamu kelak!". Ucapan Sang Guru, Pak Muslih namanya, masih benar-benar diingat sempurna oleh Assegaf. Setiap kata, setiap huruf, setiap tanda baca, nada ucapannya dan intonasi bahasanya, masih benar-benar melekat erat. Rupanya ucapan inilah yang membuat malam-malamnya selalu mendung, hari-harinya bermuram durja dan jiwanya menjadi gila selama satu tahun tiga bulan.
Ah, dasar Pak Muslih tak tahu aturan tata bahasa dan sopan-santun berbicara. Seharusnya seorang guru berbicara secara bijak. Setiap murid diberi perhatian, tidak dibedakan mana kaya mana miskin, dan tidak dimatikan kreatifitasnya. Satu lagi yaitu, jangan mudah suudzon sehingga salah tebak. Jangan seperti ulah Pak Muslih ini yang menyangka Assegaf main contek. Padahal yang hendak mencontek adalah Andi, kawan samping bangkunya. Saat itu Andi mengambil kertas jawaban Assegaf. Saat hendak diambil, Assegaf ketahuan. Dan langsung kena makian biadab Pak Muslih. Padahal Assegaf bertindak benar. Memang terkadang stereotip guru begitu. Tidak jelas asal-usulnya tetapi suka nglabrak sejadi-jadi. Apa karena gaji mereka sedikit? Bisa juga sehingga banyak urusan dirumah dibawa sekolah. Tapi semestinya tidak demikian. Sesusah apapun urusan pribadi jangan dibawa sekolah. Kalau banyak hutang, disimpan dulu hutang itu. Kalau masih sulit, pemerintah dong yang harus menjamin kesejahteraan guru.
Kalau urusan rumah tangga dibawa ke sekolah Imbasnya seperti Assegaf ini. Gara-gara mendapat marah dari Pak Muslih ia menjadi stress. Bahkan sampai saat ini ia hanya bisa melamun, murung, dan diam tanpa kata. Mimpinya menjadi pilot hanya tinggal kenangan sia-sia. Semua terkubur bersama jiwanya yang hancur. Ia tidak bisa menikmati mimpi terbang menaiki pesawat Garuda, jet, pesawat foker, maupun helikopter. Ia juga tak bergairah jika disuruh ngaji di mushala, belajar matematika, logaritma, maupun fisika dan kimia. Apalagi belajar tata krama, ia paling alergi karena pasti akan ingat wajah beringas Pak Muslih. Hari-harinya hanya dinikmati bersama kesedihan yang berlarut persis seperti kesedihan para orang tua yang kehilangan anaknya saat sunami Aceh maupun gempa bumi di Yogyakarta.
Assegaf sungguh membutuhkan perhatian super khusus dari Pak Ali dan Bu maryamah, selaku orang tua. Untuk urusan makan, minum, mandi, tidur, benar-benar harus selalu dipantau. Sebagaimana seorang inteligen yang sedang mengintai musuh; cermat, teliti, dan hati-hati., begitu pula dengan Assegaf. Terkadang, untuk urusan berpakaian masih harus dipilihkan. Memang Assegaf tidak lagi gila, tapi ia setengah waras. Dan itu akan dilaluinya setiap detik, setiap waktu, hingga ajal kelak menjemputnya. Ia akan tumbang bersama daun-daun malang yang berguguran tiap harinya. Apakah ia akan dikenang? Itu biarlah waktu yang bicara. Hanya barangkali yang akan dikenang bukan dia, tetapi kekejaman Pak Muslih terhadap para muridnya.
*)Penulis adalah cerpenis Kutub, Yogyakarta. Beberapa karyanya telah dipublikasikan ke berbagai media massa baik local maupun nasional. Selain menulis cerpen, penulis juga aktif di Lesehan Sastra dan Budaya Kutub. Saat ini penulis sedang menyelesaikan studinya di Faklultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga.
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas
HP 085292843110

Tidak ada komentar: