Sabtu, 05 Januari 2008

opini glokalisasi jogja

Glokalisasi Kebudayaan Yogyakarta
Oleh : Fatkhul Anas*)
Yogyakarta selama ini dikenal dengan predikat kota kebudayaan. Beragam kebudayaan kuno yang sarat dengan local wisdom masih mengakar kuat di Yogyakarta. Ibarat Jogja sebagai perpustakaan dan kebudayaan sebagai bukunya, maka dapat dibayangkan betapa luas perpustakaan tersebut yang diisi dengan berbagai macam buku. Sehingga setiap orang bebas memilih buku mana yang hendak ia baca. Setiap orang juga akan merasakan mata air pencerahan dari perpustakaan tersebut. Itulah Yogyakarta yang selama ini menjadi lokomotif kebudayaan Indonesia. Namun, apakah saat ini kondisi tersebut masih mampu bertahan? Tampaknya hal itu perlu dipertanyakan kembali.
Memang selama ini banyak pengamat menganalisis bahwa Yogyakarta telah jauh dari predikat sebagai kota kebudayaan. Hal ini disandarkan karena betapa banyaknya kebudayaan Jogja yang musnah. Selain itu, serakahnya dunia Industri telah menggerus nilai-nilai local wisdom yang menjadikan kebudayaan lokal sedikit demi sedikit mengalami kepunahan. Memang itulah realitas yang terjadi di Yogyakarta. Namun, kalau diamati lebih cermat sesungguhnya Jogja belum begitu parah. Sebab Yogyakarta masih memiliki kantong-kantong budaya yang masih tersisi penuh. Kraton serta masyarakat pedesan yang masih setia pada local wisdom-nya, adalah kantong kebudayaan Yogyakarta yang masih bertahan dengan alam kebudayaannya. Mereka adalah benteng budaya yang terus melindungi Yogyakarta dari serangan globalisasi kebudayaan.
Heterogenitas kultural yang berbasis pada local wisdom masih mampu bertahan karena adanya kantong budaya tersebut. Sehingga upaya globalisasi yang akan membentuk homogenitas kultural mampu ditepis. Namun nampaknya kantong-kantong budaya tersebut sebentar lagi akan hancur. Ini didasarkan atas semakin cepatnya laju globalisasi yang ditumpangi oleh kapistalisme. Semakin lama tanpa disadari kebudayaan Yogyakarta hilang ditanahnya sendiri tergantikan oleh kebudayaan global. Sebab local wisdom nampaknya tak mampu membendung arus globalisasi. Ini jelas, karena kekuatan globalisasi merupakan kekuatan super power. Globalisasi mampu membentuk dunia sesuai dengan mindset pemilik globalisasi tersebut (Barat). Dengan dukungan market, globalisasi begitu mudah menjadi raja yang menjadi panutan dalam segala ranah kehidupan baik politik, ekonomi, pendidikan, budaya, maupun sosial.
Ini adalah kenyataan yang tak mampu kita hindari. Sehingga jikalau homogenitas kultural terjadi, kita pun tak mampu mengelak. Salah satu jalan kita terhindar dari homogenitas kultural adalah mengawinkan antara kebudayaan lokal dengan kebudayaan global atau apa yang disebut Roland Robertson sebagai “glokalisasi”. Glokalisasi ini akan menjadi jembatan penghubung antara kebudayaan lokal dan global. Sehingga kita tidak kehilangan kebudayaan lokal. Glokalisasi sebenarnya telah tampak pada kebudayaan kita. Sebagai contoh dalam kesenian musik, fashion, bahasa, film, maupun bentuk-bentuk ekspresi simbolik lainnya. Dalam berbagai hal tersebut telah ada perpaduan antara budaya lokal dan budaya global. Sehingga tampak jelas adanya glokalisasi.
Glokalisasi bagaimanapun juga memiliki dampak signifikan. Setidaknya ada dua macam dampak dari glokalisasi. Dari sisi negatif, glokalisasi akan sedikit menghilangkan kemurnian kebudayaan lokal. Ini jelas karena kebudayaan lokal harus berpadu dengan kebudayaan global. Sebagai contoh musik tradisional. Saat ini musik tradisional baik di Yogyakarta maupun di Indonesia telah banyak dipadukan dengan instrumen modern seperti gitar, orgen, bass, drum, piano, maupun alat musik modern lain. Secara tidak langsung warna musik tradisional tidak terlihat jelas karena harus berpadu. Namun, perpaduan ini bukanlah hal yang buruk asalkan mampu diharmonikan dengan serasi. Malah akan semakin menambah daya tarik. Apalagi saat-saat ini kebudayaan lokal tidak lagi banyak diminati masyarakat. Dengan adanya glokalisasi ini diharapkan masyarakat Yogyakarta maupun Indonesia secara umum akan kembali tertarik dengan kebudayaannya sendiri.
Sedang dari sisi positif, budaya lokal tidak hilang sepenuhnya serta akan menumbuhkan budaya baru yaitu “kreolasi” dari budaya lokal dan global. Kreolasi ini akan semakin memperkaya kebudayaan kita tanpa harus kita tolak sebab kreolasi masih mengandung unsur local wisdom. Selain itu, kreolasi ini akan semakin memperkuat heterogenitas kultural yang akan mengeluarkan dari cengkeraman globalisasi. Sebab kalau tidak demikian, globalisasi akan terus menggerus kebudayaan lokal sehingga akan tercipta homogenitas kultural. Tentu saja kita tidak mungkin tunduk begitu saja. Sebab pada hakikatnya budaya bersifat heterogen. Karena itu tawaran glokalisasi merupakan salah satu titik terang untuk mempertahankan kebudayaan lokal.
Selain dua kemungkinan dampak glokalisasi, ada kemungkinan lain yang barangkali sangat urgen. Kemungkinan ini yaitu sejauhmana glokalisasi mampu bertahan? Apakah tidak ada unsur kebudayaan dominan yang akan jadi pemenang dalam glokalisasi? Ini yang perlu dipikirkan kembali. Kalau glokalisasi telah dimenangkan oleh salah satu pihak kebudayaan, berarti glokalisasi akan hancur. Bagi kita tidak masalah jika yang mendominasi adalah kebudayaan lokal kita. Sebab glokalisasi akan berubah menjadi kebudayaan lokal kembali. Tetapi jika kebudayaan global yang dominan dan kita kehilangan kebudayaan lokal, tentu itu sangat berbahaya. Apalagi bagi Yogyakarta yang selama ini sebagai lokomotif budaya. Untuk mengatasi hal ini tentu diperlukan kecermatan dan keseriusan. Setidaknya para pelaku budaya (orang-orang yang terlibat dalam kebudayaan) sadar betul bahwa kebudayaan lokal harus dipertahankan. Mereka tidak boleh terlena dengan kebudayaan global. Kebudayaan global hanyalah sebagai bumbu, bukan menu utama.
Hal ini boleh dikatakan memang sangat sulit. Namun jika didasari dengan sikap sadar budaya, setidaknya hal itu bukan masalah. Apalagi sadar bahwa budaya lokal terutama kebudayaan Yogyakarta merupakan kebudayaan agung yang memiliki nilai-nilai luhur. Maka mempertahankan kebudayaan lokal berarti bertindak sebagai pahlawan kebudayaan. Dan sudah sepatutnya jika orang-orang seperti ini mendapatkan penghargaan. Karena merekalah orang-orang yang mampu mempertahankan Yogyakarta sebagai kota kebudayaan. Kalau kesadaran budaya ini tetap eksis, maka predikat Yogyakarta sebagai kota budaya kemungkinan besar mampu bertahan lama.
*) Penulis adalah pengamat kebudayaan pada Pusat Studi Agama dan Kebudayaan (Pusaka) Yogyakarta
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI cabang UGM Yogyakarta a/n Fatkhul Anas

Tidak ada komentar: