Selasa, 22 Januari 2008

opini pendidikan islam

Pembaruan Pendidikan Islam di Tingkat Desa
Oleh : Fatkhul Anas*)

Pendidikan islam dahulu kala mampu menjadi raja. Tepatnya ketika islam memegang tampuk peradaban dunia. Saat itu islam adalah lokomotif peradaban yang menelorkan pemikiran-pemikiran maju. Beragam keilmuan mulai dari ilmu agama, filsafat, matematika, kimia, kedokteran, sejarah, dan berbagai macam ilmu lainnya berkembang pesat didunia islam. Para pakar keilmuan diberbagai bidang pun tak terhitung jumlahnya. Sebut saja seperti Ibnu Rusyd, Al-Gazali, Ibnu Sina, Al-Farabi, Al-Kindi, Al Khawarizmi, Ibnu Khaldun, Ikhwanus Syafa' dan masih berderet nama-nama intelektual islam dari berbagai bidang keilmuan. Universitas-universitas islam serta perpustakaan keilmuan juga tak terhitung jumlahnya. Tak heran jika sejarawan agung Arnold J. Toynbee menyebut peradaban islam sebagai oikumene (peradaban dunia) islam. Hal ini karena islam mampu menjadi peradaban dunia. Terbukti islam mampu memberikan sumbangan besar bagi keilmuan serta kemajuan dunia. Karena kemajuan peradaban itulah banyak bangsa-bangsa di sekitar islam belajar kepada islam, termasuk bangsa Barat.
Salah satu faktor keberhasilan yang menjadikan islam menjadi peradaban besar adalah karena watak kosmopolitanisme islam. Islam saat itu terbuka bagi segala peradaban. Hal ini menjadikan banyaknya keilmuan datang dari peradaban-peradaban lain. Seperti Yunani, Romawi, Persi, India, serta Cina. Adanya keilmuan yang masuk kedalam islam tidak serta merta ditolak, akan tetapi dikaji dan dikembangkan. Dari hal inilah islam mampu menjadi kiblat keilmuan yang dianut diseluruh dunia. Berbagai karya-karya para intelektual islam banyak dipelajari oleh bangsa-bangsa non-islam serta dijadikan referensi.
Akan tetapi kemajuan peradaban islam dengan segala aspek pendidikannya yang begitu gemilang, saat ini hanyalah tinggal nama. Pasca kekalahan islam dalam perang salib, islam mengalami kemunduran luar biasa dalam berbagai bidang. Kemunduran islam yang dirasa sangat menonjol adalah dalam bidang keilmuan terutama sains dan teknologi. Umat islam saat ini masih sangat gagap terhadap sains dan teknologi. Seolah kedua hal itu adalah momok yang menakutkan. Belum lagi aspek dikotomi keilmuan yang memisahkan antara keilmuan dunia dan akhirat. Hal ini sangat fatal dan memperburuk suasana. Karena keilmuan dunia dianggap tidak penting. Sehingga prioritas utama umat islam hanyalah keilmuan akhirat. Sedangkan ilmu yang bersifat dunia diabaikan.
Menanggapi hal ini seharusnya pendidikan islam turun tangan. Sebab pendidikanlah yang mampu menciptakan generasi-generasi handal dan berkualitas. Pendidikan islam tidak bisa diam apalagi berpangku tangan. Sudah semestinya dan menjadi kewajiban pendidikan islam untuk terus mencetak generasi-generasi islam yang bermutu. Generasi islam yang bermutu adalah generasi yang memiliki keilmuan lintas disipliner (islam-umum) menguasai sains serta teknologi, dan mampu memberikan sumbangsih bagi kemajuan islam. Generasi islam bukanlah generasi ortodoks. Namun mampu berpacu dan kuat dalam menghadapi pergolakan zaman. Untuk menunjang hal ini tentu saja peran pendidikan islam harus ditingkatkan. Setidaknya pendidikan islam mampu membekali anak didiknya dengan keilmuan modern, tak hanya ilmu agama.
Namun sayangnya sampai saat ini, diakui maupun tidak, pendidikan islam masih mengalami keterbelakangan dibanding pendidikan lainnya. Meskipun hal itu tidak seluruhnya, namun hampir sebagian besar. Pendidikan islam pada umumnya belum mampu membekali anak didiknya dengan keilmuan modern. Namun masih terus berkutat pada ilmu agama semata. Selain itu, anak didik yang dihasilkan juga belum mampu menjadi generasi yang handal. Mereka masih saja gagap menghadapi realitas yang terus bergulir. Sehingga sebagian besar anak didik yang dihasilkan dari pendidikan islam hanya mampu bekerja pada sektor agama semata. Atau hanya mampu mengurus persoalan agama.
Apalagi menghadapi arus globalisme yang terus melaju, pendidikan islam semakin kehilangan relevansinya. Pendidikan islam seolah hanyalah pelengkap, bukan utama. Abd. Rachman Assegaf (2004) menyebut pendidikan islam telah mengalami intellectual deadlock. Diantara indikasinya adalah: Pertama, minimnya upaya pembaharuan, kalau toh ada, kalah cepat dengan perubahan sosial, politik, dan kemajuan iptek. Kedua, praktik pendidikan islam sejauh ini masih memelihara warisan lama dan tidak banyak melakukan pemikiran kreatif, inovatif, dan kritis terhadap isu-isu aktual. Akibatnya ilmu-ilmu yang dipelajari adalah ilmu-ilmu klasik, sementara ilmu-ilmu modern nyaris tidak tersentuh sama sekali.
Ketiga, model pembelajaran agama islam terlalu menekankan pada pendekatan intelektual verbalistik dan menegasikan pentingnya interaksi edukatif dan komunikasi humanistik antara guru dan murid. Pembelajarannya menjadi bersifat transfer of knowledge atau learning to know dengan perlakuan bahwa guru diidealkan dengan pihak yang lebih tahu. Sedangkan murid dipandangnya sebagai pihak yang kurang tahu. Keempat, orientasi pendidikan islam menitik beratkan pada pembentukan ‘abd atau hamba Allah dan kurang seimbang dengan pencapaian karakter manusia muslim sebagai khalifah fi al-ard. Konsekuensinya pendidikan islam berjalan kearah peningkatan daya spiritual atau teo-sentris semata.
Keempat indikasi tersebut tampaknya cukup mewakili terhadap apa yang dialami pendidikan islam dewasa ini. Karena itu diperlukan upaya pembaruan (tajdid) terhadap pendidikan islam mulai saat ini. Meskipun sesungguhnya sudah sekian lama upaya pembaruan ini dilakukan. Berbagai kritik dan masukan dari para pakar juga sudah bertumpuk. Namun sampai saat ini upaya pembaruan tak kunjung datang. Terutama pada wilayah pedesaan maupun pelosok. Daerah-daerah inilah yang jarang dirambah oleh para intelektual dan pakar-pakar islam. Sehingga meskipun beribu pemikiran maupun beribu artikel dikucurkan, tetap saja pendidikan islam di pedesaan masih terbelakang sebab mereka belum mampu dirambah. Inilah hal yang perlu menjadi menjadi titik perhatian utama para pakar pendidikan islam saat ini. Setidaknya mereka mau mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk membantu pendidikan pedesaan atau pelosok.
Hal ini tentu agar pendidikan islam di pedesaan atau pelosok tersentuh upaya pembaruan. Selain itu sumbangan ide dari para pakar pendidikan islam merupakan mata air kesejukan yang sangat berharga mengingat betapa minimnya keilmuan yang dimiliki oleh penyelenggara pendidikan islam di desa atau pun pelosok.


*) Penulis adalah santri PPM Hasyim Asy’ari serta staf pada Pusat Studi Agama dan Kebudayaan (Pusaka) Yogyakarta
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI cabang UGM Yogyakarta a.n. Fatkhul Anas




Membangun Pendidikan islam Berbasis Kebangsaan
Oleh : Fatkhul Anas*)

Bangsa Indonesia tanpa terasa telah memasuki tahun 2008. Kalau dihitung dari prespektif kebangkitan nasioanal, usia kebangkitan nasional Indonesia telah genap seabad (1908-2008). Berbagai macam perubahan telah menyertai bangsa ini. Mulai dari sektor ekonomi, pendidikan, politik, sosial, kebudayaan, serta seni. Bangsa ini lambat laun semakin mengalami kedewasaan. Dari yang semula ortodoks menjadi berkembang. Semua itu tak lain karena gigihnya para pendiri bangsa dalam membangun bangsa Indonesia, serta upaya yang terus dilakukan oleh para penerus bangsa untuk membangun bangsa ini. Tentu saja upaya untuk meneruskan pembangunan bangsa bukanlah sebuah usaha yang mudah. Karena itu perlu terus ditingkatkan dari generasi ke generasi.
Adanya upaya regenerasi sebagaimana yang dilakukan oleh generasi tua kepada generasi muda sesunguhnya merupakan langkah positif. Hal ini mengingat generasi muda-lah yang akan meneruskan cita-cita generasi tua. Karena itu sangatlah tak pantas jika generasi muda dibiarkan begitu saja. Begitu juga sebaliknya, generasi muda jangan terus-menerus manja apalagi bermalas-malasan. Mentang-mentang sudah ada generasi tua, lalu generasi muda dengan mudahnya berpangku tangan. Pemikiran seperti inilah yang harus dicabut dari ranah pemikiran kaum muda. Pemikiran seperti ini adalah racun yang dapat membunuh mental-mental kaum muda. Sehingga mental mereka menjadi mental lemah, minder, serta tidak mempunyai pendirian. Maunya bersikap egois dan menangnya sendiri serta acuh terhadap sesama.
Mental-mental seperti inilah yang harus dihindari betul. Sebab mental seperti ini merupakan mental yang akan menghancurkan bangsa. Sudah saatnya generasi muda bangkit menyingsingkan lengan baju, bahu-membahu membangun bangsa. Apalagi menghadapi era globalisasi yang tak terelakkan. Generasi muda harus membekali diri dengan keilmuan yang luas, sains serta teknologi canggih. Generasi muda tidak boleh gagap terhadap kemajuan zaman. Apalagi hanya menjadi penonton saja. Semestinya generasi muda mampu berperan dalam kemajuan bangsa. Bukan malah menjadi beban. Generasi muda yang seperti inilah yang selalu diharapkan bangsa. Sebab, mereka adalah generasi berkualitas tinggi yang tak mudah putus asa menghadapi tantangan zaman.
Mencari pemuda berkualitas seperti ini tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi untuk saat-saat ini. Mengingat begitu banyak generasi muda Indonesia yang telah teracuni penyakit mental. Mereka telah terjebak kedalam alam fantasi yang bersifat halusinasi. Narkoba; budaya hedonis, materialis, individualis; serta beragam halusinasi yang menjebak mereka kedalam lembah egoisme adalah penyakit berbahaya yang saat ini telah meracuni kaum muda Indonesia. Akibatnya mental kaum muda menjadi lemah dan moral mereka menjadi amburadul. Lihat bagaimana watak pemuda kita saat ini. Mereka telah terlatih bersikap egois dan bertindak semaunya sendiri. Apa yang mereka senangi itulah yang akan dilakukan. Tak peduli apakah akan merugikan orang lain atau tidak, yang terpenting senang.
Melihat kondisi riil kaum muda Indonesia saat ini telah begitu berbahaya bagi kemajuan bangsa, sudah saatnya para pemikir-pemikir bangsa, pemerintah, serta lembaga pendidikan turun tangan. Tak terkecuali pendidikan islam. Apalagi selama ini pendidikan islam dikenal sebagai basis pendidikan moral (akhlak). Karena itu pendidikan islam tak boleh berdiam diri. Pendidikan islam harus mau berperan dalam menyelamatkan generasi muda bangsa.
Untuk merealisasikan hal ini tentu saja paradigma pendidikan islam harus dirubah. Kalau selama ini pendidikan islam lebih banyak digunakan bagi kepentingan islam semata, maka mulai saat ini pendidikan islam juga mulai memikirkan kepentingan bangsa. Atau dengan istilah lain ‘pendidikan islam berbasis kebangsaan’. Hal ini sebagai upaya bagi pembentukan generasi bangsa yang handal serta memiliki moral yang luhur. Melalui pendidikan yang berbasis kebangsaan ini diharapkan generasi-generasi islam menjadi generasi yang peduli dengan bangsanya, tidak hanya agama islam semata. Apalagi mengingat sebagian besar pemuda Indonesia beragama islam.
Membangun pendidikan islam berbasis kebangsaan tentu saja membutuhkan upaya serius. Selain merubah tujuan pendidikan yaitu tidak hanya berorientasi menjadi generasi islam yang handal, tetapi juga menjadi generasi bangsa yang bermutu dan mau memikirkan bangsanya. Tentu saja upaya ini juga harus diimbangi dalam hal teknis. Seperti adanya mata pelajaran sejarah, wawasan kebangsaan, maupun Pancasila. Meski hal ini sudah diberikan, namun terkadang kurang dihayati dan kurang dipentingkan. Sehingga siswa kurang mampu menyerap mata pelajaran tersebut. Akibatnya rasa kebangsaan mereka minim. Selain itu, adanya upacara bendera maupun upacara peringatan Hari-Hari Besar Nasional juga semestinya dilaksanakan secara serius. Ini sebagai upaya membangun kesadaran berbangsa dan bertanah air dikalangan pelajar islam.
Yang lebih ditekankan lagi adanya upaya pembangunan mental serta moral. Ini berarti ajaran-ajaran agama islam harus benar-benar mampu dipahami, dihayati serta dipraktekkan. Tidak hanya sekedar menjadi bahan bacaan atau hanya sekedar pelajaran sambil lalu. Kenyataan dilapangan yang banyak terjadi yaitu para anak didik islam malah jauh dari nilai-nilai islam. Terkadang malah kalah dengan anak didik yang notabene non-islam. Kalau sudah begini apa sesungguhnya yang salah dengan pendidikan islam? Itulah yang harus direnungi oleh para pakar pendidikan islam. Barangkali selama ini pendidikan islam terlalu menekankan pada simbol-simbol semata tanpa menemukan esensinya. Sehingga umat islam tidak mampu menangkap pesan-pesan keislaman. Namun hanya sekedar dipelajari.
Inilah PR bagi para pakar-pakar pendidikan islam bagaimana agar pendidikan islam benar-benar mampu menjadi pendidikan bermutu yang beguna bagi agama, nusa dan bangsa. Tentunya ini juga sebagai persiapan bagi para generasi muda islam untuk menghadapi tantangan zaman yang akan datang. Serta untuk menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran.

*) Penulis adalah santri PPM Hasyim Asy’ari serta staf pada Pusat Studi Agama dan Kebudayaan (Pusaka) Yogyakarta
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI cabang UGM Yogyakarta a.n. Fatkhul Anas

Tidak ada komentar: