Kamis, 07 Februari 2008

opini hari pers ke-62

Catatan Hari Pers ke-62
Pers dan Telikungan Kapitalisme
Oleh : Fatkhul Anas*)
Tanggal 9 Februari 2008 ini diperingati Hari Pers Nasional ke-62. Momen ini sudah selayaknya kita jadikan momentum untuk melihat kembali atau mengevaluasi pejalanan pers Indonesia. Sejak terbentuknya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Solo tahun 9 Februari 1946, sejak saat itu pula Hari Pers Nasional ditetapkan. Berarti usia pers kita sudah cukup tua karena hanya selisih satu tahun dari kemerdekaan Indonesia. Sejauh ini bagaimana lika-liku perjalanan pers Indonesia serta bagaimana sesungguhnya posisi pers kita saat ini? Hal itulah yang akan penulis ungkap dalam artikel ini. Penulis akan menggunakan terminologi Quester (1990) sebagai pisau analisis, meski sesungguhnya terminologi tersebut dipakai untuk menganalisis pertelevisian.
Dalam terminologi Quester sebagaimana dituliskan Ade Armando dalam pengantar buku matinya media, perjalanan televisi Indonesia berkembang dari negara yang semula menganut sistem pertelevisian “limited programming” kearah sistem yang percaya kepada kewenangan konsumen untuk memilih (relying on choice) dan bahkan kearah sistem yang menawarkan pilihan berlimpah (plentitude). Begitu pula dengan pers kita. Kalau kita teliti lebih dalam, masa-masa awal pers kita adalah masa pers tertutup, persis seperti limited programming dalam petelevisian. Masa ini terjadi mulai pemerintahan Soekarno. Hal ini terlihat jelas ketika diberlakukan keadaan perang dan darurat perang (SOB) 14 Maret 1957. Tahun ini merupakan tahun tindakan keras terhadap pers yang menghasilkan 125 tindakan anti pers berupa penahanan, sanksi ekonomi, pemenjaraan, sanksi perizinan, kertas koran, dan berbagai tindakan lainnya. Banyak para Pemred mendapatkan hukuman penjara akibat berita-berita yang dianggap menentang Soekarno. Salah satunya Mochtar lubis, Pemred Indonesia Raya yang ditangkap pada 10 Januari 1958 kemudian dipenjarakan.
Tahun 1964, tepatnya 17 Desember 1964 Soekarno melarang keberadaan Badan Pendukung Soekarno (BPS) yang anti komunis. Beliau juga kemudian memberangus sejumlah surat kabar dan majalah yang dinilai pro BPS. Soekarno kemudian mewajibkan semua media massa di negeri ini setiap hari menerbitkan tulisan-tulisannya. Bahkan pada ulang tahun ke-19 PWI Soekarno menyatakan dengan tegas bahwa dalam revolusi tidak boleh ada kebebasan pers. Hanya pers yang mendukung revolusi yang dibolehkan hidup. Setelah Soekarno turun dari jabatan Presidennya, kebebasan pers ternyata belum juga terwujud. Apalagi saat-saat itu adalah masa rezim orde baru. Tentu kita tahu bagaimana Suharto menyetir pers sedemikian rupa. Segala berita yang muncul adalah untuk membesarkan namanya. Tayangan-tayangan media elektronik seperti televisi juga disettyng agar membawa misi kepemimpinanya. Saat itulah kebebasan pers benar-benar tidak menemukan ruang. Dan barang siapa yang menentang maka akan ditindak tegas.
Untungnya, Suharto dapat diturunkan dari jabatan kepresidenannya tahun 1998 setelah 32 tahun berkuasa penuh atas Indonesia. Saat itulah pers mulai memasuki era kebebasan atau sebagaimana terminologi Quester “relying on choice”. Koran-koran baru mulai banyak bermunculan, media elektronik mulai banyak tayang. Tidak ada pembredelan, penangkapan, maupun pemenjaraan terhadap pekerja pers bahkan mereka dilindungi. Rakyat bebas mengeluarkan pendapat, pikiran, bahkan ktitik terhadap pemerintah. Rakyat pun bebas menyaksikan tayangan televisi mana yang mereka suka. Stasiun televisi juga tidak lagi memihak pada TVRI sebagai saluran tunggal. Karena begitu luasnya kebebasan terhadap pers, maka muncullah masa-masa dimana pers semakin beragam dan menyajikan berbagai pilihan kepada rakyat, atau masa plentitude dalam terminologi Quester. Rakyat bebas memilih koran mana yang ia suka, radio mana yang akan didengar, atau televisi mana yang akan ditonton. Semua bebas memilih yang mereka suka, tanpa ada paksaan karena pilhan pers berlimpah. Itulah masa-masa yang terjadi pada pers Indonesia saat ini.
Melihat liku-liku perjalanan pers yang begitu banyak pergolakan, kita mungkin menilai bahwa saat-saat inilah pers menemukan kedamaian karena tidak lagi ada pengekangan. Memang hal itu tidak keliru. Akan tetapi dibalik kedamaian itu, tersimpan berbagai “pengekangan” yang tersembunyi. Lalu siapa yang mengekang pers? Jawabannya adalah para kaum kapitalis. Fase ini dimulai sejak adanya kebebasan pers yang memunculkan swastanisasi. Pers tidak lagi menjadi milik pemerintah, tetapi menjadi milik segelintir orang. Akibat swastanisasi inilah pers bebas didirikan oleh orang yang berduit. Maka tidak bisa dipungkiri kalau pers akhinya menjadi lahan bisnis yang bermuara pada keuntungan (profit oriented). Lihatlah berapa banyak iklan yang ditempelkan di koran-koran mulai dari produk elektronik, kecantikan, industri, obat kuat, bahkan jimat. Tayangan televisi juga banyak menyuguhkan tayangan yang irasional, porno, berbau seksual, serta tidak memberikan pendidikan bagi para penonton, yang terpenting tayangan tersebut laku jual. Belum lagi iklan yang begitu banyak. Itu semua adalah lahan keuntungan para pemilik kaum kapitalis.
Itulah kondisi pers Indonesia saat ini yang semakin kehilangan jati diti. Karena itu, sudah saatnya pers direvitalisasi kembali agar menemukan jati diri dan mampu memberikan pencerahan bagi bangsa. Pers tidak hanya sekedar lahan bisnis, tetapi ada nilai-nilai positif yang diperjuangankan. Ini tentunya membutuhkan kredibilitas dari orang-orang yang terlibat dalam pers untuk kembali meneguhkan idealisme. Hal itu memang sulit. Karena mau tidak mau pers juga harus didukung oleh materi agar tetap eksis. Apalagi di era globalisasi ini. Sehingga hal-hal seperti iklan dan sejenisnya harus ada.
Kalau memang demikian keadaannya, setidaknya pers mau melakukan semacam gebrakan untuk menghindarkan diri dari profit oriented semata. Seperti telah dicontohkan oleh koran Kompas dan Tempo yang menjual korannya seharga Rp 1000 di sore hari. Ini adalah sebuah wujud kepedulian terhadap rakyat agar mereka mampu membeli koran karena harganya murah. Tentu saja agar rakyat semakin cerdas. Disinilah ada nilai-nilai positif dari pers yang terus diusung. Pers tidak hanya beorientasi mencari keuntungan semata. Hal semacam inilah sesungguhnya yang perlu dilakukan oleh pers Indonesia secara umum dimana ada nilai-nilai positif yang mereka perjuangkan, bukan hanya sebagai lahan bisnis. Semoga melalui momentum Hari Pers ke-62 ini, pers Indonesia kembali menemukan jati dirinya.

*)Penulis adalah Peneliti pada Pusat Studi Agama dan Kebudayaan (Pusaka) Yogyakarta
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

Tidak ada komentar: