Rabu, 06 Februari 2008

opini HMI

Catatan Hari Lahir HMI ke-61

HMI, Antara Hidup dan Mati

Oleh : Fatkhul Anas*)


Pada 5 Februari 1947 sebuah organisasi mahasiswa berbasis keislaman lahir di Yogyakarta, tepatnya di Sekolah Tinggi Islam atau yang sekarang dikenal dengan Universitas Islam Indonesia (UII). Lafran Pane adalah orang yang mencetuskan gerakan kemahasiswaan tersebut. Dalam catatan sejarah, sebagaimana tercatat dalam Harian Pelita Jakarta, 30 Mei 1986, organisasi ini lahir di ruangan kuliah ditengah semangat kebangsaan yang tinggi. Konfigurasi politik, sosial, ekonomi, pendidikan, agama, dan kebudayaan masa itu turut mematangkan kelahiran dan keberadaannya ditengah-tengah bangsa. Organisasi itulah yang dari masa ke masa telah mampu melahirkan nafas perjuangan mahasiswa baik dari gerakan kritisnya maupun para intelektual yang dilahirkan dari sana. Itulah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang namanya masih terkenang hingga saat ini.

Dari rahim organisasi ini banyak para intelektual bangsa lahir. Tak terhitung berapa jumlahnya, tetapi yang pasti para intelektual yang dicetak dari organisasi ini adalah manusia handal yang turut mewarnai negri ini. Sebut saja Nurcholis Madjid, Delier Noer, Akbar Tanjung, Amin Rais, Dawam Raharjo, dan masih banyak para intelektual bangsa terlahir dari rahim HMI. Memang semangat zaman saat itu dimana kondisi bangsa Indonesia belum menentu dan masih terus bergejolak, mampu membakar api kesadaran para mahasiswa untuk terus berjuang, berdiskusi, melakukan aksi, mengkritik ketidakadilan, dan memerangi ketimpangan. Drs Agus Sitompul, salah seorang aktivis HMI mencatat bahwa kondisi obyektif yang mendorong berdirinya HMI dan terus mengobarkan api semangat setidaknya ada tiga hal. Pertama, adanya kebutuhan penghayatan keagamaan dikalangan mahasiswa islam yang sedang menunutut ilmu di perguruan tinggi, yang selama itu belum mereka nikmati sebagaimana mestinya. Karena pada umumnya para mahasiswa belum memahami dan kurang mengamalkan ajaran agamanya, sebagai akibat dari sistem pendidikan dan kondisi masyarakat saat itu.

Kedua, tuntutan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, yang ingin melepaskan diri sebebas-bebasnya dari belenggu penjajahan. Ketiga, adanya Sekolah Tinggi Islam (sekarang UII) sebagai ajang dan basis yang dijadikan wahana mewujudkan cita-cita untuk merubah kondisi umat islam dan bangsa Indonesia. Apalagi secara sosiologis bangsa Indonesia mayoritas berpenduduk islam. Sehingga pemikiran-pemikiran pembaruan itu akan memperoleh sambutan positif dari kalangan Perguruan Tinggi dan mahasiswa sebagai pusat kebudayaan. Ketiga hal inilah yang terus memberikan percikan semangat dan bara perubahan yang luar biasa. Tak heran jika saat-saat itu semangat untuk berdiskusi, melakukan aksi, mengkritik ketidakadilan, masih menjadi menu utama dalam perjuangan HMI.

Dari waktu ke waktu semangat tersebut terus diwariskan dari genarasi ke generasi. Sehingga menjadi sebuah tradisi yang memiliki mata rantai yang tak terputus. Selain itu, pembenahan terhadap keorganisasian maupun penyelesaian terhadap persoalan intern juga terus digalakkan. Itu semua sebagai upaya agar HMI mampu berdiri kokoh dan tetap memberikan mata air pencerahan bagi bangsa Indonesia.

Namun sangat disayangkan ditengah-tengah perjalanan pengembaraanya, HMI harus mengalami keruntuhan puing-puing keorganisasian. Pasca terpecahnya HMI menjadi dua kubu antara HMI Dipo dan HMI MPO, organisasi ini harus mengalami keterpecahan pandangan. Satu pihak bersikukuh menciptakan HMI yang independen, yang tidak memiliki keterkaitan dengan organisasi manapun, sementara satu pihak beralih menjadi anderbouw partai politik meski tanpa disadarinya. Keterpecahan inilah yang menyebabkan HMI tidak lagi memiliki gaung dan tidak menyalakkan suara-suara kritisnya. Mereka hanya bisa diam karena terjebak dalam pertikaian pandangan. Selain itu, adanya kevakuman generasi membuat HMI tidak lagi memilki loyalitas tinggi dalam pergerakan. Kevakuman generasi yang saya maksud bukan berarti tidak memiliki generasi, akan tetapi generasi HMI tidak lagi sekritis generasi dahulu. Mereka gagap dalam membaca momentum zaman. Sehingga tidak mampu melahirkan suara yang kritis lagi.

Ini bisa dilihat pasca keruntuhan rezim orde baru tahun 1998 sampai saat ini. Generasi-generasi HMI dalam periode ini tidak lagi terdengar suara-suara kritisnya. Mereka tak mampu memberikan apresiasi atas perkembangan zaman yang terus bergulir. Mereka telah terjebak kedalam ganasnya arus kapitalisme global tanpa disadari. Hedonisme, meterialisme, dan pragmatisme telah lebih dahulu menguasai generasi-generasi HMI sebelum mereka menyalakkan suara-suara kritisnya. Budaya berdiskusi, melakukan aksi, rela menderita demi perjuangan, ketepatan membaca momentum, saat ini jarang atau bahkan hampir tidak dimiliki oleh generasi HMI. Alhasil, mereka gagap membaca momentum zaman serta tak mampu memberikan suata kritis. Kalau toh mereka masih berkoar-koar misalnya lewat aksi demonstrasi, tampaknya suara mereka tidak lagi diperhitungkan.

Selain itu, generasi HMI saat ini telah terjebak dalam evoria sejarah. Mereka bangga dengan nama besar HMI, bangga dengan para intelektual yang lahir dari sana, serta bangga akan prestasi yang dihasilkan HMI. Hal ini tanpa disadari membuat para generasi HMI manja. Mereka seolah merasa masih berada dalam situasi HMI tempo dulu yang telah melakukan banyak perubahan. Mereka juga merasa masih dinaungi oleh sejarah. Ini membuat generasi HMI tidak mampu membaca dirinya tetapi mereka hanya membanggakan sejarah. Maka jangan heran jika HMI saat ini tidak mampu melahirkan generasi handal kembali. Soalnya mereka tak mampu menciptakan sejarahnya sendiri, tetapi bangga dengan sejarah pendahulunya. Inilah masa dimana generasi-generasi saat ini telah mencapai taraf kemandekan kreatifitas atau bahkan kiamat sughro. Apakah hal ini akan terjadi selamanya kepada HMI sehingga membuat riwayatnya berakhir? Hal ini mungkin sulit ditebak. Tetapi jika melihat kondisi HMI saat ini, hal ini kemugkinan besar akan terjadi.

Karena itu diperukan upaya serius dari para generasi HMI baik yang muda, maupun yang tua yang terkumpul dalam KAHMI. Generasi muda harus serius dalam membangun komitmen terhadap perjuangan HMI. Selain itu, ia juga harus merumuskan kembali mainstream perjuangan agar mampu menemukan semangat zaman. Sementara generasi tua setidaknya jangan memanjakan HMI terus-menerus. Biarkan mereka bergejolak dengan zaman agar mencapai kedewasaan. Selain itu, generasi tua semestinya memberikan sentuhan-sentuhan yang mampu mengobarkan semangat generasi muda. Bukan malah memberikan iming-iming jabatan atau lainnya yang bersifat materialis. Tanpa ada upaya-upaya tersebut sangat sulit menciptakan sejarah HMI kembali. Atau bisa jadi HMI tamat riwayat.

*) Penulis adalah pengamat pergerakan dan staf pada Pusat Studi Agama dan Kebudayaan (Pusaka) Yogyakarta

Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

Tidak ada komentar: