Sabtu, 16 Februari 2008

opini pesantren

Pesantren dan Fenomena Dikotomi Pendidikan
Oleh : Fatkhul Anas*)

16 November 2008 kemarin, baru saja Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta (LKKY) menyelenggarakan Seminar dalam rangka menyambut seabad Kebangkitan Nasional Indonesia (1908-1998). Seminar yang bertemakan “Pesantren dan Masa Depan Pendidikan Nasional” itu bertempat di Ndalem Joyokusuma, Yogyakarta. Seminar ini memang ditujukan dalam rangka mengangkat dunia pesantren dalam ranah perjuangan bangsa selama seabad, yang selama ini mendapat perhatian minim dari kalangan publik. Pesantren selalu mendapat titik marginal ketika dibenturkan dalam konteks kebangsaan. Apalagi di ranah pendidikan nasional, pesantren menempati posisi sebagai anak tiri. Dalam rangka inilah LKKY mengengkat tema pesantren dan pendidikan nasional sebagai sebuah upaya mencari benang merah diantara keduanya.
Secara kapasitas, tempat seminar memang sederhana karena seminar tidak ditempatkan di Hotel. Namun, karena kesederhanaan tempat inilah menurut pengamatan penulis, mampu mencuatkan beragam ide, solusi, serta mampu membeberkan berbagai persoalan seputar pesantren dan pendidikan nasional. Apalagi pembicara yang dihadirkan cukup kompeten dibidangnya. Ada Gus Nasrudin (pemilik Pesan Trend Ilmu Giri), perwakilan DPD RI, RMI Yogyakarta, Kakanwil Depag DIY, serta perwakilan dari Kanwil Diknas DIY. Dalam seminar ini berbagai persoalan seputar pesantren serta pendidikan nasional banyak dikupas. Diantara persoalan yang saling bertumpang tindih, yang menurut penulis penting ditanggapi adalah persoalan dikotomi antara pendidikan pesantren dan pendidikan nasional. Persoalan ini kemarin sempat mencuat namun belum begitu banyak mendapat sorotan. Padahal secara fakta hal ini terus terjadi dalam sistem pendidikan Indonesia.
Memang secara keberpihakan baik pemerintah maupun publik, pesantren ridak banyak dilirik. Pesantren masih dianggap lembaga kuno yang hanya mampu melahirkan generasi kolot. Karenanya, banyak generasi pesantren yang tidak bisa mendapat tempat yang layak dalam ranah publik. Padahal peran serta pesantren dalam lingkup kebangsaan sudah tak terhitung jasanya. Mulai dari pra kemerdekaan RI sampai kemerdekaan, bahkan sampai saat ini. Lihat saja aksi para kyai seperti K.H. Hasyim Asy’ari yang menelorkan “resolusi jihad” untuk melawan para penjajah. Mereka rela bertempur mewakafkan harta benda serta nyawa demi kemerdekaan RI. Mereka juga tak hanya sekedar berkoar-koar menyuarakan komando perang, namun ikut terjun memimpin peperangan di medan perang.
Pasca kemerdekaan RI, para tokoh-tokoh pesantren baik kyai maupun santri juga tetap berkiprah dalam ranah kebangsaan baik dalam lingkup sosial, intelektual, kemanusiaan, apalagi keagamaan. Bahkan sampai saat ini baik diwilayah Nusantara maupun Yogyakarta khususnya, masih banyak para intelektual, budayawan, maupun cendekiawan yang lahir dari rahim pesantren. Nama-nama seperti KH. Zainal Arifin Thoha (alm), Gus Nasrudin, dan KH Abdul Muhaimin, adalah sebagian kecil dari para intelektual serta budayawan Yogyakarta yang lahir dari rahim pesantren. Ini adalah bukti bahwa pesantren masih menancapkan kuku-kuku keilmuan yang kokoh serta masih mampu berpacu di era globalisasi ini. Meski pesantren terus bergelut dengan alam tradisionalnya, namun terbukti pesantren tetap “manjur” melahirkan tokoh-tokoh besar bangsa.
Sampai disinilah pesantren begitu getol memercikkan peranannya bagi kemajuan bangsa. Namun lagi-lagi pesantren masih dimarginalkan. Baik dalam segi finansial, perhatian, maupun keraguan terhadap lulusannya, masih menyelimuti dunia pesantren. Memang menurut penulis ada baiknya jika pesantren diasuh oleh Diknas. Ini selain akan memudahkan perolehan dana, lulusannya juga akan mampu memasuki ranah nasional. Selain itu, generasi-generasi pesantren juga akan terlatih tata administrasi modern agar mereka tidak gagap dan profesional dalam mengelola administrasi. Ini sebagai bekal ketika masuk dalam tata keorganisasian seperti Depag maupun lembaga keislaman lain, para generasi pesantren mampu bekerja secara profesional dalam menata keorganisasiannya. Sebab pengalaman selama ini, organisasi maupun lembaga keislaman seperti Depag secara keorganisasian terutama administrasi (dalam arti luas) masih sangat kacau.
Atas dasar inilah penulis menilai pengelolaan pesantren sebaiknya di berikan kepada Diknas. Kalau memang Depag nantinya tidak memiliki lahan garapan, bisa dibagi antara Depag dan Diknas. Misalnya wilayah pesantren maupun lembaga pendidikan milik pesantren (madrasah dan sebagainya) biarlah dikelola Diknas. Sedangkan pendidikan madrasah yang bukan milik pesantren (MIN, MTsN, MAN, atau sederajat) biarlah dikelola oleh Depag. Atau sebaliknya, pesantren dan lembaga pendidikan yang dimiliki pesantren (madrasah dan sebagainya) biarlah dikelola Depag, sedang lembaga pendidikan (madrasah) yang bukan milik pesantren biarlah dikelola Diknas. Atau bisa dicarikan alternatif lain yang pada intinya untuk meringankan beban Depag dalam hal pendidikan baik formal seperti madrasah maupun nonformal seperti pesantren. Selain itu, kucuran dana dari pemerintah kepada Diknas yang begitu banyak juga bisa dinikmati oleh lembaga pendidikan islam seperti pesantren.
Kalau Depag masih perpegang teguh dengan sistim yang ada saat ini, dikhawatirkan pesantren kedepan tidak lagi eksis. Padahal pesantren adalah lumbung generasi-generasi handal yang siap mewarnai dan berkiprah bagi bangsa ini. Apalagi menghadapi tantangan zaman yang terus berkelindan, bangsa ini butuh orang-orang pesantren untuk terus menjaga bangsa dari keterpurukan. Bekal yang dimiliki oleh orang-orang pesantren baik mental yang kuat, kepribadian yang luhur, jiwa kemadirian, serta daya intelektual yang tinggi, harus terus mewarnai bangsa ini. Walaupun dalam beberapa segi pesantren dikenal kolot, itu hanyalah sebagian kelemahan pesantren yang tidak perlu dibesar-besarkan. Apalagi saat ini pesantren telah diwarnai dengan berbagai sistim modern demi mengejar ketertinggalan zaman. Itu artinya kesan kolot pesantren hanyalah idiom masa lalu yang tak perlu lagi dicuatkan ke dalam ranah publik.
Karenanya, saat ini harus betul-betul dipikirkan matang-matang mengenai dikotomi antara pendidikan pesantren dan pendidikan nasional. Kapankah hal ini akan berakhir? Jawaban itulah yang harus kita cari mulai saat ini. Dan harapan penulis semoga seminar kemarin betul-betul mampu memberikan titik pencerahan publik terhadap pesantren agar pesantren tidak lagi dimarginalkan.

*) Penulis adalah Pengamat Pendidikan Pesantren serta staf pada Pusat Studi Agama dan Kebudayaan (Pusaka) Yogyakarta
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI cabang UGM Yogyakarta a/n Fatkhul Anas

Tidak ada komentar: