Rabu, 27 Februari 2008

resensi buku filafat pendidikan

Pendidikan Indonesia Diambang Mindlessness
Judul buku : Filsafat Pendidikan; Manusia, Filsafat, dan Pendidikan
Penulis : Prof. Dr. Jalaluddin dan Prof. Dr. Abdullah Idi, M. Ed.
Penerbit : Ar-Ruzz Media, Yogyakarta
Cetakan : I, November 2007
Tebal : 214 halaman
Peresensi : Fatkhul Anas*)
Pendidikan Indonesia seringkali mengalami keterjebakan. Keterjebakan tersebut terlihat ketika pendidikan lebih menitikberatkan pada hal teknis, tetapi mengesampingkan aspek evaluasi. Baik evaluasi dalam hal tujuan, sasaran, kebutuhan-kebutuhan nyata, maupun hasil pendidikan. Akibatnya pendidikan selalu mengarah pada hal yang karikatif, instrumental, dan teknis-administratif belaka. Charles Silberman menyebut fenomena seperti ini sebagai mindlessness. Ini disebabkan pendidikan telah menderita terlalu lama karena banyaknya jawaban-jawaban dan sedikitnya pertanyaan-pertanyaan. Hampir dalam segala kurikulum pendidikan kita, jawaban telah terlebih dahulu disediakan sebelum mengetahui persoalan. Ibaratnya kita diberi resep dahulu sebelum tahu penyakitnya. Sebagai contoh, dibangku perkuliahan kita belajar mengenai strategi pendidikan. Padahal kita belum pernah terjun langsung dalam hal pendidikan.
Akibatnya dilapangan seringkali kita gagap karena banyak hal yang tidak kita temukan dalam perkuliahan tetapi terjadi dilapangan. Atau dalam istilah filsafatnya apa yang seharusnya ada dalam teori (das sollen) berbeda dengan kenyataan (das sain). Hal seperti ini kalau dipelihara terus menerus bisa mengakibatkan pendidikan kita akan "tamat riwayat". Saat ini saja pendidikan Indonesia belum mampu mencapai hasil yang maksimal. Kita selalu ketinggalan dengan negara lain. Salah satu penyebabnya selain terbatasnya dana, adalah karena pendidikan Indonesia terserang virus mindlessness. Karenanya, untuk mencegah hal tersebut diperlukan perenungan mendalam untuk mengetahui persoalan-persoalan sekaligus solusi. Dalam hal inilah filsafat pendidikan sangat dibutuhkan. Sebab filsafat akan mengantarkan manusia ke alam perenungan yang mendalam dan menembus batas pengetahuan.
Filsafat pendidikan, sebagaimana yang dibahas dalam buku Filsafat Pendidikan; Manusia, Filsafat, dan Pendidikan karya Prof. Dr. Jalaluddin dan Prof. Dr. Abdullah Idi, M. Ed. ini mencoba menelaah masalah pendidikan melalui alam kontemplasi untuk memperoleh kejernihan berfikir agar memperoleh hasil maksimal. Sebab, dalam mengatasi persoalan-persoalan pendidikan kalau tidak menggunakan perenungan yang mendalam bisa jadi hasilnya setengah-setengah. Karenanya seorang filosof pendidikan setidaknya harus memiliki 4 aktifitas yaitu menyintesis, berspekulasi (merenung), preskripsi (menetukan), dan menganalisis (hal 140). Dalam hal menyintesis, seorang filsuf berupaya menyatukan dan memadukan pengetahuan-pengetahuan umat manusia yang terspesialisasi kedalam pandangan dunia yang terunivikasi. Kalau dalam kaitannya dengan pendidikan, maka penyatuan pandangannya adalah terkait masalah pendidikan. Ini untuk menyatukan persepsi agar tujuan pendidikan tidak buyar kemana-mana.
Dimensi spekulatif (perenungan) ditujukan untuk menyusun tindakan yang seharusnya dilakukan manusia. Dalam hal pendidikan, spekulasi terkait untuk merumuskan kebijakan-kebijakan pendidikan. Akan dibawa kemana pendidikan, tergantung seberapa jauh seorang filsuf melakukan spekulasinya. Semakin jernih ia melakukan spekulasi semakin baik pula pikiran-pikiran yang dihasilkan. Kalau pikiran tersebut kemudian dituangkan dalam bentuk kebijakan pendidikan, setidaknya kebijakan yang dibuat mampu memberikan solusi yang tepat bagi pendidikan. Adapun dimensi preskripsi (penentuan) berusaha menetapkan patokan-patokan dalam hal pendidikan. Apa indikasi kemajuan pendidikan, apa urgensinya sebuah kebijakan pendidikan, apa yang seharusnya dilakukan oleh pendidikan, dan sebagainya merupakan wilayah preskripsi (penentuan). Seorang filsuf dalam hal ini dituntut mampu merumuskan langkah-langkah pendidikan secara tepat. Ini tentunya agar tujuan pendidikan mampu diraih secara maksimal.
Adapun aspek analisis terkait penyelesaian persoalan-persoalan yang ada dalam hal pendidikan. Segala persoalan yang muncul dalam hal pendidikan mulai dari hal kecil sampai besar mencoba dianalisis. Tujuannya adalah untuk mengetahui pokok persoalan yang dihadapi sehingga cepat mencari solusinya. Aktifitas ini memang membutuhkan ketelitian yang luar biasa. Karena jika analisisnya lemah, kesimpulan yang dihasilkan juga kurang valid. Akibatnya solusi yang diberikan kurang tepat.
Melihat aktifitas para filsuf yang begitu njlimet, maka tak heran jika banyak orang menganggap filasafat itu sulit. Akan tetapi sesungguhnya tidak demikian. Filsafat sesungguhnya menawarkan dunia yang asyik dan menarik. Memang tidak semua orang mampu menjadi filsuf. Karena seorang filsuf harus benar-benar mampu berfikir filosofis. Namun, bukan berarti aktifitas berfilsafat kemudian kita tinggalkan. Apalagi dalam hal pendidikan. Filsafat pendidikan begitu urgen disaat kondisi pendidikan bangsa yang masih terpuruk. Urgensi filsafat pendidikan diantaranya: Pertama, mengajak agar pendidikan lebih bersifat meaningfull (bermakna) dan komprehensif. Pendidikan tidak lagi terjebak pada hal-hal yang karikatif, instrumental, dan teknis-administratif alias tidak mindlessness.
Kedua, filsafat mengajak pendidikan merenungi sisi problematisasi sekaligus sisi solusi bagi problem-problem pendidikan. Kalau selama ini kita kesulitan mengidentifikasi problem-problem dalam pendidikan, melalui filsafatlah kita akan diantarkan untuk merenung menemukan problem pendidikan kita. Selain itu, kita juga akan dipacu terus-menerus untuk menemukan solusi bagi pendidikan. Sehingga segala problematisasi pendidikan mampu kita atasi dengan cermat, tepat, dan menghasilkan penyelesaian. Ketiga, filsafat memuat aspek yang dibutuhkan pendidikan yaitu aktivitas (bernalar), serangkaian sikap (lifestyle), serta keterpaduan ini (teroritis). Filsafat akan mencoba mengantarkan anak didik menjadi manusia yang mampu berfikir kritis, cerdas, serta tajam. Filsafat juga mencoba menjadikan pendidikan menjadi lifestyle (gaya hidup). Jadi pendidikan bukan sekedar memenuhi kewajiban, tapi mampu dijiwai.
Setelah mengetahui manfaat dari filsafat pendidikan, maka jangan takut berfilsafat. Apalagi bagi para pelajar Indonesia dimana masa depan pendidikan ada ditangan mereka, filsafat semestinya tidak sekedar menjadi bahan pelajaran tetapi dilaksanakan. Mengingat tantangan zaman yang begitu keras, ditempa dengan arus globalisasi yang terus bergulir seiring bergulirnya lorong waktu, mau tidak mau pendidikan harus direkonstruksi. Melalui filsafat inilah salah satu jalannya. Dengan filsafat kita akan mengetahui dimana kelemahan pendidikan kita selama ini. Kita juga akan mengetahui penyebab ketertinggalan pendidikan. Setelah itu, tentu kita akan mencari solusinya. Dan yang penting saat ini harus dilaksanakan adalah menjaga agar pendidikan kita tidak "tamat riwayat".
*) Penulis adalah pecinta filsafat pada Hasyim Asy'ari Institute
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

Tidak ada komentar: