Rabu, 27 Februari 2008

opini

Kekeliruan Pandangan Mengenai Slogan "Gaul"
Oleh : Fatkhul Anas*)
Bagi anda para kaum muda atau siapapun yang cinta dengan hal-hal gaul, mendengar kata-kata gaul pasti bukanlah hal yang aneh. Malah anda akan merasa malu jika tak disebut gaul. Karenanya anda selalu berusaha menjadi orang gaul. Caranya bermacam-macam. Ada yang berpakaian necis bermerek dan harganya mahal, rambut disemir, memakai lipstik tebal, memakai minyak wangi made in luar negri, bersepeda motor Harley, memakai anting bagi laki-laki, atau apapun yang penting bisa tampil cool, funky, top, beken, sehingga orang yang melihat anda akan kagum.
Ketika orang kagum melihat diri anda maka secara otomatis anda akan percaya diri. Karenanya, anda selalu berusaha tampil gaul setiap saat. Namun, apakah anda tahu kalau apa yang anda lakukan sebenarnya merugikan diri anda sendiri? Memang anda maupun kita sendiri kurang begitu respek dengan persoalan kerugian. Karena bagi kita berpenampilan "top" merupakan bagian dari hidup. Sehingga efek negatif dari penampilan kurang kita perhatikan. "Asal kita bisa berpenampilan gaul, itu yang tebaik", begitu kira-kira yang ada dalam pikiran kita.
Memang saat ini "gaul" telah menjadi realitas yang sedang bergulir di negri kita. Meski sebenarnya hal ini sudah sejak lama terjadi. Namun tampaknya kita tak begitu menyadarinya. Kita tak begitu peduli dengan hal seperti itu. Dan mungkin bagi sebagian masyarakat, tak ada yang istimewa membicarakan kata "gaul". Toh, itu sudah hal yang lazim di negri ini. Boleh-boleh saja kita berbicara seperti itu. Karena masing-masing diri kita mempunyai hak berbicara. Tetapi ada hal penting yang perlu dibicarakan dibalik slogan "gaul". Ini karena dibalik slogan "gaul" ternyata menyimpan narasi besar kaum kapitalis, yaitu keuntungan.
Bagaimana tidak keuntungan, kalau semua simbol-simbol gaul adalah produk-produk industri. Orang dikatakan gaul ketika mampu berpakaian mahal, memakai make up made in luar negri, memakai semir rambut, belanja di Mall, memiliki HP bermerek, dan memiliki berbagai macam asesoris lainnya. Sampai urusan makan sekalipun harus diberi lebel "gaul". Karenanya, orang akan berbondong-bondong membeli produk-produk tersebut agar bisa meraih predikat "gaul". Apalagi para kaum muda yang sedang jatuh cinta, segala macam produk apapun akan dibeli agar mereka mampu tampil gaul di depan orang yang dicintainya. Tak heran ketika ada pesta ulang tahun, hari valentine, atau pesta-pesta lain, mereka berlomba-lomba pamer gaya agar dikatakan gaul.
Ini tentu saja merupakan keuntungan besar bagi para kaum kapitalis. Sebab produk mereka laku keras dipasaran. Karenanya mereka selalu memakai slogan "gaul" pada setiap penawaran produkya. Para kaum kapitalis tak mau ambil pusing apakah akan menimbulkan efek negatif atau tidak. Bagi mereka logika pasarlah yang dipakai dimana keuntungan menjadi prioritas utama. Kalau produk-produk mereka laku, tentu mereka sangat senang.
Namun, bagi kita yang selalu menjadi konsumen, kerugian jelas menimpa. Pertama, kita rugi karena dihipnotis menjadi kaum konsumtif. Kita yang hidup di Indonesia dimana Indonesia masuk kedalam kategori negara dunia ketiga, merupakan lahan pemasaran besar bagi negara-negara industri. Karenanya, mereka berlindung dibawah slogan "gaul" sebagai senjata untuk menawarkan produk-produknya. Negara kita yang masih lemah dalam hal pengetahuan, mengamini saja apa yang ditawarkan kaum industri dan selalu menganggap bahwa produk mereka lebih berkualitas dari pada produk dalam negri. Karenanya, dengan sendirinya tiba-tiba kita dibuat merasa butuh akan produk-produk tersebut. Kalau tidak membeli produk itu kita akan dicap oleh publik sebagai orang yang tidak gaul.
Kerugian kedua, moral bangsa kita semakin jauh dari nilai-nilai kepribadian bangsa. Kita saat ini tergiring hidup hedonis dan materialis. Semua yang serba kesenangan dan keuntungan pribadi itu yang kita cari. Hidup glamor, mewah, serba enak, menjadi gaya hidup saat ini. Kesederhanaan lambat laun kita jauhi karena sederhana dikatakan tidak "gaul". Akibatnya, kita saling berlomba-lomba menumpuk harta untuk mencari kesenangan. Berbagai macam cara dilakukan, tak peduli halal haram yang penting kita untung. Tak peduli orang lain sengsara yang penting kita bahagia. Tak peduli pula orang miskin disekitar kita yang setiap hari kelaparan. Kita hanya peduli jika orang lain mampu mendatangkan keuntungan dan kesenangan bagi diri kita. Itulah realitas terjadi saat ini. Karenanya moral keluhuran bangsa yang selama ini kita banggakan telah hilang.
Rubah Paradigma
Memang sangatlah sulit bagi kita untuk merubah kondisi yang ada. Karena mau tidak mau kita harus melawan arus kapitalisme global. Tentu saja dibutuhkan perangkat kuat untuk melawan musuh terbesar itu. Namun, bukan berarti kita menyerah dan pasrah. Kita masih mampu berusaha melawan itu semua. Salah satu cara yang mampu kita lakukan adalah merubah paradigma (mind set) berpikir kita. Bukankah manusia diciptakan untuk berpikir? Filsuf Rene Descartes berkata "aku berpikir maka aku ada". Ini adalah sebuah ketegasan otoritas manusia agar menggunakan akal pikirannya untuk selalu berpikir dan berpikir. Manusia tidak semestinya menjadi robot yang bisa dikontrol oleh manusia lain. Tetapi memiliki kebebasan untuk menetukan sikap karena manusia mampu berpikir.
Kita saat ini yang telah dijadikan robot kaum kapitalis meski tidak kita sadari, harus melakuan pembenahan dengan merubah pola pikir. Kita bersama-sama meluruskan pandangan publik yang selama ini bergulir tentang "gaul". Sesungguhnya gaul yang selama ini kita persepsikan dengan orang yang bergaya funky, top, beken, mewah, serba mahal, sering nongkrong di Mall, atau apapun lainnya adalah pandangan yang keliru. Gaul sesungguhnya adalah mereka yang mampu mendatangkan kemanfaatan dan kemaslahatan bagi orang lain, bagi bangsa dan negara. Bukan bagi dirinya maupun golongannya.
Jadi, mereka para intelektual, cendekiawan, budayawan, ulama, pahlawan, para petani sekalipun atau siapapun orangnya yang mampu mendatangkan kemanfaatan bagi bangsa dan negara adalah "orang-orang yang gaul". Merekalah yang patut dijadikan figur dalam kehidupan kita. Merekalah yang patut disenandungkan namanya dalam setiap pembicaraan kita. Segala gerak-gerik positif mereka perlu dan harus kita tiru. Jasa-jasa mereka harus kita hargai dan kita teruskan. Karenanya jika ingin jadi "orang gaul" jadilah seperti mereka. Jangan menjadi orang-orang yang tidak memiliki idealisme, orang-orang yang hanya menjadi robot kapitalisme dan kaum penindas.
Merekalah yang semestinya kita jadikan pijakan dalam mengarungi kehidupan di abad postmodern ini. Karena itu, sudah saatnya kita bersama-sama mengekspresikan "gaul kita". Caranya yaitu dengan meniru pola atau tingkah laku atau bahkan menjadi seperti mereka-mereka para pengabdi bangsa yang setia membela kepentingan bangsa dan negara. Kita tunjukkan kepada khalayak ramai bahwa kita mampu orang-orang gaul seperti mereka-mereka. Meski kita melakukan semua itu secara sedikit demi sedikit dan perlahan-lahan. Namun, asalkan kita mau mengapa tidak kita lakukan. Toh, saat ini belum terlambat kita melakukannya.
*)Penulis adalah pengamat budaya pada Hasyim Asy’ari Istitute, Yogyakarta
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas
Email : anas_jogja@yahoo.co.id

Tidak ada komentar: