Rabu, 23 Januari 2008

esay sura

Suran, Ritual Menyambut Tahun Baru Hijriyah
Oleh : Fatkhul Anas*)


Bulan muharram merupakan awal tahun baru hijriyah bagi umat islam. Dalam tradisi Jawa bulan muharram terkenal dengan sebutan bulan sura (baca:suro). Bulan sura sebenarnya merupakan serapan dari bahasa arab yaitu ‘asyuro yang berarti tanggal 10 muharram. Karena orang Jawa sulit melafalkannya maka jadilah sura. Hal ini juga dialami oleh bulan-bulan Jawa lain yang merupakan serapan dari bahasa Arab seperti mulud, jumadil, sawal juga berasal dari bahasa arab yaitu maulid, jumadil, dan syawal. Bulan sura ini memang selalu identik dengan bulan muharram. Namun sesungguhnya memiliki waktu yang berlainan. Hal ini disebabkan karena berlainan sumber. Bulan muharram diambil dari kalender islam sedang bulan sura diambil dari kalender Çaka (baca: Syaka). Karena keduanya sama-sama didasarkan pada peredaran bulan, maka terkadang sering terjadi kesamaan tanggal.
Pada bulan sura ini masyarakat Jawa biasanya mengadakan perayaan-perayaan. Salah satu perayaan dalam bulan sura tersebut adalah suran. Suran merupakan upacara selamatan yang diadakan oleh sebuah keluarga -biasanya orang tua yang anaknya sudah berkeluarga- untuk memohon keselamatan kepada Allah. Dalam suran ini orang tua akan menyembelih ayam yang kemudian di masak atau diingkung. Kemudian mereka akan mengundang tetangga-tetangga dekat serta tokoh agama islam setempat untuk berdoa bersama (biasanya tahlil). Setelah berdoa bersama, orang yang diundang diberi hidangan berupa snack maupun nasi untuk dimakan. Nasi tersebut ada pula yang dibawa pulang untuk keluarga masing-masing yang disebut dengan berkat. Selain itu, keluarga yang mengadakan suran akan membagi-bagikan nasi berkat tersebut kepada sanak famili baik jauh maupun dekat yang masih bisa dijangkau.
Itulah tradisi suran yang saat ini masih dapat kita temukan di daerah-daerah terpencil maupun desa-desa di pulau Jawa yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani. Kalau di daerah kota sangat jarang tradisi ini kita temukan. Sebab masyarakat kota hidupnya lebih modern dari pada masyarakat desa. Selain itu, hubungan kekerabatan masyarakat desa dengan famili maupun dengan tetangga masih sangat erat. Sehingga sangat memungkinkan untuk melaksanakan suran. Ditambah dengan banyaknya bahan pangan terutama beras karena mata pencaharian mereka adalah petani.
Suran bagi masyarakat Jawa begitu penting mengingat bulan sura ini dalam kepercayaan mereka merupakan bulan yang banyak mendatangkan bilahi (mara bahaya). Untuk menghilangkan mara bahaya tersebut orang Jawa mengadakan selamatan berupa suran. Selain itu, suran juga dilakukan demi mempererat kembali tali persaudaraan antar famili maupun dengan tetangga. Ini erat kaitannya dengan konsep gotong-royong yang telah mengakar dalam tradisi masyrakat Jawa. Agar gotong-royong tetap melekat di sendi-sendi kehidupan maka pertemuan seperti suran ini merupakan langkah yang jitu untuk mewujudkan hal tersebut. Pada akhirnya masyarakat akan hidup dalam suasana guyub rukun, saling menghormati serta menjaga persatuan.

Kesatuan Numinus dan Dunia

Tradisi suran pada intinya adalah merupakan kesatuan antara alam numinus dengan alam dunia (alam ndoya). Alam numinus merupakan konsep kesadaran ilahi masyarakat. Sedang alam dunia yaitu alam dunia ini yang dapat dilihat secara empiris. Masyarakat Jawa tidak dapat melepaskan pandangannya terhadap alam lahir yang merupakan cakupan dari alam batin. Ketika masyarakat Jawa memandang alam dunia yang empiris mereka beranggapan bahwa alam empiris ini merupakan wilayah alam metempiris (ghaib). Sehingga segala gerak-gerik masyarakat selalu memiliki kaitan dengan sesuatu yang adikodrati yaitu Tuhan. Karena mereka percaya bahwa Tuhanlah yang berkuasa atas segala hal.
Dari itulah mengapa masyarakat Jawa (dalam hal ini Jawa islam) sering mengadakan selamatan. Bahkan hampir dalam segala peristiwa seperti panen, mempunyai anak, pernikahan, kehamilan, khitan, terkena musibah, bahkan kenaikan pangkat, selalu diadakan selametan. Hal ini karena mereka percaya bahwa segala sesuatu berasal dari zat yang adikodrati yaitu Tuhan. Karena itu demi rasa terimakasih kepada Tuhan atau demi memohon pertolongan, mereka mengadakan selamatan. Selain itu, selametan menurut mereka akan menghindarkan dari gangguan roh-roh halus. Hal itu juga diungkapkan Geertz (1981:17) ketika mengutip perkataan seorang tukang batu bahwa, “bila anda mengadakan selametan, tak seorang pun merasa dirinya dibedakan dari orang lain dan dengan demikian mereka tidak mau berpisah. Lagi pula slametan menjaga anda dari roh-roh halus sehingga tidak akan mengganggu anda” (Geertz dalam Soeseno, 1999: 89).
Kasatuan numinus dengan alam dunia ini berimbas pada pandangan bahwa masyarakat, alam, dan alam adikodrati adalah satu kesatuan (Murder, 1987:30). Hal ini terungkap dalam kepercayaan bahwa segala peristiwa yang terjadi di alam empiris berkaitan erat dengan alam metempiris. Karenanya masyarakat Jawa begitu menghargai terhadap alam metempiris. Mereka sama-sama hormat sebagaimana hormat terhadap manusia lainnya. karenanya tidak jarang masyarakat Jawa menyediakan sesajen sebagai betuk penghormatan terhadap makhluk di alam metempiris. Ada pula yang memandikan keris maupun benda-benda pusaka lainnya serta memelihara jimat. Hal itu dilakukan sebagai usaha menjaga keseimbangan kosmos antara alam manusia dan alam metempiris. Dalam hal menjaga etika dengan lingkungan, biasanya masyarakat Jawa menyediakan sedekah bumi saat panenan serta mengolah tanah sekedarnya. Ini bertujuan agar tanah tetap subur dan mendatangkan berkah.
Tradisi suran ini sesungguhnya merupakan usaha masyarakat untuk mewujudkan keseimbangan kosmos tersebut yaitu antara manusia, alam dan alam adikodrati. Adanya pembagian makanan (sedekah) merupakan sebuah usaha agar Tuhan selalu menjadikan bumi subur sehingga bahan makanan yang dihasilkan berkah. Bila bahan makanan berkah, masyarakat pun akan hidup sehat. Jangan sampai Tuhan murka dan mendatangkan mara bahaya lewat makanan karena manusia tidak mau bersedekah. Adapun permohonan do’a adalah untuk memohonkan keselamatan manusia serta sebagai ujud rasa syukur kepada Tuhan atas kenikmatan yang berlimpah. Dari serangkaian ritual suran ini lengkaplah formulasi antara alam, manusia dan alam adikodrati yang merupakan konsep keseimbangan.
Itulah ritual suran yang dilaksanakan masyarakat islam Jawa setiap datang bulan sura. Meski sekarang ritual ini hanya bertahan di daerah pedesaan dan pelosok, namun ritual ini memiliki makna yang adhiluhung. Adanya pelestarian terhadap ritual tersebut sesungguhnya merupakan usaha yang arif. Meski saat ini ritual tersebut banyak ditentang oleh umat islam modern. Namun sesungguhnya ritual ini tetap mempunyai makna dan tetap mampu memberikan pencerahan di abad postmodern ini.


*) Penulis adalah pengamat agama dan kebudayaan pada Pusat Studi agama dan Kebudayaan (Pusaka) Yogyakarta

resensi etos dagang

Pandangan Numinus Dalam Perdagangan Jawa

Judul Buku : Etos Dagang Orang Jawa; Pengalaman Raja Mangkunegara IV
Pengarang : Daryono, MA
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : I, Desember 2007
Tebal : xviii + 338 halaman
Peresensi : Fatkhul Anas*)


Masyarakat Jawa meskipun dikenal dengan masyarakat agraris, sesungguhnya mereka mempunyai etos yang dagang luar biasa. Sayangnya, hal ini tidak banyak diketahui oleh publik. Yang muncul adalah segi agrarisnya. Padahal perdagangan di kalangan masyarakat Jawa telah terjadi berabad-abad lalu. Terbukti ketika walisongo berdakwah pada masyarakat Jawa (sekitar abad 14) pertama-tama ditempuh melalui jalur perdagangan. Mereka berinteraksi melalui jual-beli. Disitulah para wali songo mengajarkan islam pada masyarakat Jawa. Bukti lain bahwa masyarakat Jawa kental dengan perdagangan yaitu ketika bangsa Eropa datang ke pulau Jawa yang dipimpin oleh Cornelis De Houtman pertama kali adalah untuk bergadang.
Namun dalam perjalanan waktu perdagangan Jawa tiba-tiba lenyap. Yang menonjol adalah pertanianya. Ini boleh jadi karena kekejaman bangsa Eropa ketika menjajah Indonesia. Mereka mengeksplorasi tenaga masyarakat untuk menanam rempah-rempah serta makanan pokok untuk diangkut oleh bangsa Eropa. Selain itu, adanya monopoli perdagangan yang dilakukan bangsa Eropa menyebabkan pedagang Jawa rugi dan menderita. Dari sinilah fokus perdagangan masyarakat Jawa menjadi tak terarah dan berganti orientasi pada bidang pertanian karena tuntutan bangsa Eropa.
Biarpun etos dagang masyarakat Jawa seolah telah hilang, namun kebenaran sejarah selalu abadi dan tidak sirna. Sejarah inilah yang mampu mengungkap kembali seputar etos dagang masyarakat Jawa pada tempo dulu. Salah satu sejarah etos dagang masyarakat Jawa termaktub dalam buku Etos Dagang Orang Jawa; Pengalaman Raja Mangkunegara IV karya Daryono, MA. Dalam buku ini Daryono hendak menunjukkan kepada publik bahwa sesungguhnya orang Jawa tempo dulu mempunyai etos dagang yang luar biasa. Selain itu, Daryono juga hendak memberikan sanggahan kepada publik bahwa tidak semua masyarakat Jawa mempunyai pandangan “fatalistic” atau pasrah apa adanya terhadap rizki. Namun mereka selalu berusaha semaksimal mungkin untuk memperoleh rizki yang halal.
Buku Etos Dagang Orang Jawa; Pengalaman Raja Mangkunegara IV ini menjelaskan pandangan atau pemikiran Raja Mangkunegara IV dalam hal perdagangan. Pemikiran inilah yang banyak dianut oleh masyarakat Jawa pada masanya. Sebab saat itu Mangkunegara adalah seorang Raja yang tentu saja banyak dipatuhi oleh rakyatnya. Apalagi Raja Mangkunegara IV memiliki pribadi yang luhur. Keluhuran beliau diantanya yaitu beliau adalah orang yang giat bekerja. Beliau juga menganjurkan agar kaum priyayi (keluarga raja) bekerja, tidak hanya berpangku tangan dan meminta gaji dari rakyat. Raja Mangkunegara IV juga merupakan raja yang dekat dengan rakyat. Beliau tak segan-segan berkunjung kepada rakyatnya untuk mengetahui kondisi mereka.
Selain keluhuran kepribadiannya, Raja Mangkunegara IV juga memiliki pemikiran yang cemerlang mengenai perdagangan. Beliau memandang perdagangan adalah sektor yang penting bagi kesejahteraan rakyat. Karenanya, perdagangan pada masanya menjadi hal yang digalakkan. Pandangan beliau mengenai perdagangan banyak mengarah kepada cara-cara menarik minat pembeli atau bagaimana agar orang mau membeli barang dagangan si pedagang. Beliau menganjurkan agar pedagang bersikap baik atau hormat dan peduli terhadap apa saja (hal 200). Hal ini didasarkan pada keteraturan secara hierarkis dalam masyarakat Jawa dalam semua hubungannya. Masyarakat Jawa begitu mementingkan etika dalam pergaulannya maupun dalam bermasyarakat. Sikap ini pun berdampak pada etos dagang mereka. Sikap saling menghormati merupakan manifestasi dari adanya etika yang luhur. Karena itu masyarakat Jawa tidak mau meninggalkannya, sekalipun dalam berdagang.
Selain menganjurkan agar bersikap baik atau hormat pada apa saja, Raja Mangkunegara IV juga menganjurkan agar bersikap rukun dan peduli terhadap sesama manusia (hal 245). Lagi-lagi dalam hal ini Raja Mangkunegara IV menempatkan etika kemanusiaan sebagai sendi perdagangan. Hal ini pun tak lain lahir karena kesetiaan masyarakat Jawa berpegang pada etika kemanusiaan. Masyarakat Jawa tidaklah terbiasa hidup individualis. Mereka dari dahulu memiliki kebudayaan gotong-royong yang diwariskan turun-temurun. Kehidupan guyub rukun sudah mendarah daging. Karenanya, sikap individualis sangat ditentang oleh masyarakat Jawa yang masih setia memegang etika kejawaan.
Etika kejawaan inilah yang sesungguhnya menjadi pondasi perdagangan Jawa. Pada intinya etika kejawaan bertumpu pada ”pandangan numinus” masyarakat Jawa. Pandangan numinus merupakan konsep kesatuan antara manusia, alam, alam metempiris (ghaib) yang merupakan bagian dari ke-Esaan Tuhan. Jadi dalam segala hal masyarakat Jawa tidak pernah melepaskan dari Ketuhanan. Karenanya, kita sering menjumpai masyarakat Jawa melakukan slametan. Hampir dalam segala hal, seperti kelahiran, kematian, khitanan, menanam padi, bahkan sampai kenaikan jabatan. Segalanya diadakan slametan. Tujuan slametan sebenarnya sepele. Masyarakat Jawa hanya ingin menjaga keseimbangan kosmos antara alam, manusia, alam metempiris (ghaib) dan Tuhan. Masyarakat Jawa tidak ingin terjadi ketimpangan dalam hubungan keempatnya. Karenanya pilar-pilar kebudayaan masyarakat Jawa banyak bertumpu pada usaha keselarasan antara keempat unsur tersebut, termasuk juga dalam perdagangan. Wajar jika dalam masyarakat Jawa sangat jarang dikenal monopoli perdagangan. Meskipun ada juga pihak yang melakukannya.
Konsep ”pandangan muninus” masyarakat Jawa terhadap perdagangan, itulah sesungguhnya yang dikehendaki oleh Raja Mangkunegara IV. Karenanya segala kebijakan Beliau dalam perdagangan lebih mementingkan aspek kemanusiaannya dari pada bisnis. Meski pun hal tersebut untuk saat ini dimana perdagangan telah modern kurang tepat, namun sistem tersebut mampu memberikan solusi tepat dalam perdagangan masyarakat Jawa. Terbukti saat itu perekonomian maju.
Itulah etos-etos dagang orang Jawa yang berhasil dibangun oleh Raja Mangkunegara IV yang ditulis dalam buku ini. Semoga dengan membaca buku ini, pembaca menjadi tergugah kesadarannya untuk mempelajari dan mengetahui etos dagang masyarakat Jawa. Selain itum buku ini juga membuktikan bahwa masyarakat Jawa perbah mengalami kemajuan dalam perdagangannya.
*) Penulis adalah pustakawan Pusaka Yogyakarta
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

filosofi blangkon

Filosofi Blangkon
Oleh : Fatkhul Anas*)


Saat-saat anda berlibur, sekali-kali cobalah berkunjung ke Yogyakarta. Sampai di Yogyakarta anda bisa jalan-jalan ke Malioboro. Disana anda akan menjumpai berbagai macam warna kehidupan. Salah satu yang unik adalah tentang delman. Keunikannya terletak pada pengemudi delman tersebut alias kusir. Di Malioboro kusir delman rata-rata memakai pakaian adat Jawa. Mulai dari blangkon, pakaian adat, serta celana hitam, masih melekat erat di badan sang kusir delman. Betul-betul khas jawa atau kalau anak muda sekarang menyebut “jawa banget”. Disinilah salah satu sisi keunikan Malioboro. Bagi kita, hal tersebut bisa saja dimaklumi. Mengingat Malioboro masih dekat dengan peradaban Kraton yaitu Kraton Yogyakarta. Apalagi sampai saat ini Sri Sultan masih bertahta disana, tepatnya Sri Sultan Hamengkubuwana IX. Jadi, wajar jika kebudayaan Jawa masih tetap lestari. Dan harapan kita semoga malah abadi. Tidak sirna terlindas zaman.
Berbicara mengenai pakaian adat, ada hal yang sangat menarik. Terutama tentang blangkon. Bagi anda masyarakat Jawa, tentu saja blangkon tidaklah asing. Sebab blangkon merupakan bagian dari pakaian adat masyarakat Jawa. Dalam masyarakat Jawa kuno, blangkon malah merupakan pakaian keseharian atau bahkan boleh dibilang pakaian wajib. Apalagi kalau ada ritual seperti upacara adat dan lain sebagainya, blangkon tak pernah lepas dari kepala. Memang dari segi bentuk, blangkon tidaklah begitu menarik. Apalagi bila dibandingkan dengan topi. Blangkon hanyalah sekedar penutup kepala yang terbuat dari kain. Warnyanya pun biasa, tak banyak berfariasi. Selain itu, mode atau bentuk blangkon juga permanen seperti itu. Namun, justru karena kelihatan sederhana itulah sisi menarik blangkon. Sebab sesederhana apapun yang namanya blangkon, ia mempunyai makna filosofi tinggi. Blangkon tak sedikitpun lepas dari pemaknaan tentang dirinya. Tidak seperti topi yang paling hanya sekedar sebagai penutup kepala sekaligus hiasan.
Bagi blangkon, makna filosofi yang tersirat pada dirinya itulah yang merupakan keunggulannya. Karena itu, dengan mengetahui makna filosofi blangkon kita akan mampu menilai bahwa sesungguhnya blangkon bukanlah sesuatu yang sederhana, tetapi berharga. Makna filosofi blangkon sesungguhnya terdiri dari dua hal. Pertama terkait dengan sesuatu yang transendental. Blangkon dibagian belakang pasti mempunyai dua ujung kain. Ini merupakan simbol dari sendi-sendi agama terutama agama islam. Dua ujung tersebut merupakan simbol dari shahadat yaitu shahadat Tauhid dan shahadat Rasul. Agar supaya kedua sendi tersebut bersatu, maka diikatlah kedua ujung kain tersebut dan jadilah syahadatain. Kalau ingin lebih jelas silakan anda bisa melihat sendiri sisi belakang blangkon, asal bukan blangkon yang tali belakangnya digulung.
Setelah kedua ujung blangkon diikat, kemudian blangkon tersebut dipakai. Pemakaian blangkon pun dikepala, bukan pada anggota tubuh yang lain. Ini mengisyaratkan bahwa shahadat merupakan sendi utama agama islam. Karena itu harus ditempatkan paling atas. Shahadat tidak boleh diletakkan dibawah sebab itu akan merusak agama. Selain itu, penempatan blangkon dikepala merupakan anjuran agar segala pemikiran yang dihasilkan dari kepala tersebut selalu membawa nilai-nilai keislaman. Dalam artian sebebas apapun pemikiran yang dihasilkan oleh otak, agama islam selalu menjadi mainstream. Jadi, segala pemikirannya akan berguna bagi orang banyak, tidak malah menyengsarakan. Juga berguna bagi seluruh alam sebagaimana islam yang rahmatan lil’alamin.
Makna filosofi blangkon yang kedua yaitu blangkon sebagai simbol pertemuan antara jagad alit (mikrokosmos) dengan jagad gede (makrokosmos). Blangkon merupakan isyarat jagad gede karena nilai-nilai transendentalnya. Sedangkan kepala yang ditumpanginya merupakan isyarat jagad alit. Ini terkait dengan tugas manusia sebagai khalifatullah fi al-ardi yang membutuhkan kekuatan Tuhan. Karena itu, agar manusia mampu melaksanakan tugasnya dibutuhkan kekuatan Tuhan yang disimbolkan dengan blangkon. Setelah manusia mendapat kekuatan tersebut, resmilah ia sebagai khalifatullah fi al-ardi yang tugasnya mengurus alam sesisinya. Maka tak heran jika zaman dahulu orang-orang Jawa banyak yang memakai blangkon karena mereka sadar bahwa mereka selain sebagai hamba Tuhan juga merupakan khalifah di bumi.
Makna filosofi blangkon seperti diatas merupakan versi orang Jawa terutama jawa-islam. Makna tersebut tercipta pada periode penyebaran islam di pulau Jawa. Para penyebar agama islam yang kemudian dikenal sebagai wali songo menggunakan simbolisasi blangkon sebagai media dakwah. Terutama sunan Kalijaga. Beliaulah orang yang kreatif memakai simbol-simbol kebudayaan sebagai sarana dakwah. Tak heran jika islam mampu diterima secara efektif oleh masyarakat Jawa saat itu sebab banyak memakai adat setempat sebagai medium dakwah.
Itulah makna filosofi blangkon yang sangat luas. Meski blangkon merupakan sesuatu yang sederhana, namun mampu memberikan mata air kearifan yang luhur. Ini menandakan bahwa para pendahulu masyarakat Jawa tidak pernah main-main dalam memaknai hidup. Mereka juga merupakan ahli pikir yang handal. Terbukti mereka mampu menciptakan sesuatu yang sederhana tetapi syarat makna. Itu merupakan hal yang luar biasa dan sulit ditiru. Boleh dikatakan bahwa mereka adalah para intelektual yang mampu menghasilkan karya-karya agung (magnum opus). Karya mereka bersifat abadi, bukan sementara. Buktinya sampai sekarang makna blangkon tetap memiliki relevansi dengan zaman. Meski blangkon tercipta berabad-abad lalu, namun maknanya masih segar sampai saaat ini.
Hanya saja sangat disayangkan saat ini blangkon tidak lagi menjadi sesuatu yang istimewa. Ia hanyalah sekedar hiasan dan sekedar warisan leluhur. Terlebih, jarang orang yang tahu akan makna yang tersirat dalam blangkon. Sehingga mereka tak mampu mewarisi tradisi kearifan para pendahulunya. Terbukti saat ini masyarakat jawa-islam sedikit demi mengalami pergeseran nilai. Kalau dahulu masyarakat Jawa begitu setia memegang agama meski mereka hanya tahu sedikit. Sedangkan\
saat ini nilai-nilai agama semakin hilang dari masyarakat Jawa. Apalagi masyarakat Jawa yang hidup di perkotaan dan jauh dari muara keislaman seperti masjid, mushalla maupun tempat-tempat untuk mendalami islam. Mereka semakin disibukkan dengan dunia kerja, kehidupan glamor, hura-hura, serta pesta-pesta fantasi. Budaya individual juga bukan lagi sesuatu yang asing. Hedonisme pun sudah biasa mereka jalani.
Itulah dampak globalisasi yang semakin lama semakin mengikis kearifan lokal (local wisdom). Untungnya, kita masih bisa bersyukur karena ada komunitas delman Malioboro yang masih setia memakai blangkon. Kita berharap semoga mereka tak hanya memakai blangkon saja, tetapi mampu mengamalkan nilai-nilai filosofisnya. Dan bagi kita generasi saat ini yang kurang mengenal blangkon dan enggan memakainya, semoga kita mampu mengamalkan nilai-nilai filosofisnya. Itu semua demi kehidupan dimasa mendatang agar lebih baik.

*) Penulis adalah pengamat kebudayaan pada pusat Studi agama dan Kebudayaan (Pusaka) Yogyakarta
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

Selasa, 22 Januari 2008

opini pendidikan islam

Pembaruan Pendidikan Islam di Tingkat Desa
Oleh : Fatkhul Anas*)

Pendidikan islam dahulu kala mampu menjadi raja. Tepatnya ketika islam memegang tampuk peradaban dunia. Saat itu islam adalah lokomotif peradaban yang menelorkan pemikiran-pemikiran maju. Beragam keilmuan mulai dari ilmu agama, filsafat, matematika, kimia, kedokteran, sejarah, dan berbagai macam ilmu lainnya berkembang pesat didunia islam. Para pakar keilmuan diberbagai bidang pun tak terhitung jumlahnya. Sebut saja seperti Ibnu Rusyd, Al-Gazali, Ibnu Sina, Al-Farabi, Al-Kindi, Al Khawarizmi, Ibnu Khaldun, Ikhwanus Syafa' dan masih berderet nama-nama intelektual islam dari berbagai bidang keilmuan. Universitas-universitas islam serta perpustakaan keilmuan juga tak terhitung jumlahnya. Tak heran jika sejarawan agung Arnold J. Toynbee menyebut peradaban islam sebagai oikumene (peradaban dunia) islam. Hal ini karena islam mampu menjadi peradaban dunia. Terbukti islam mampu memberikan sumbangan besar bagi keilmuan serta kemajuan dunia. Karena kemajuan peradaban itulah banyak bangsa-bangsa di sekitar islam belajar kepada islam, termasuk bangsa Barat.
Salah satu faktor keberhasilan yang menjadikan islam menjadi peradaban besar adalah karena watak kosmopolitanisme islam. Islam saat itu terbuka bagi segala peradaban. Hal ini menjadikan banyaknya keilmuan datang dari peradaban-peradaban lain. Seperti Yunani, Romawi, Persi, India, serta Cina. Adanya keilmuan yang masuk kedalam islam tidak serta merta ditolak, akan tetapi dikaji dan dikembangkan. Dari hal inilah islam mampu menjadi kiblat keilmuan yang dianut diseluruh dunia. Berbagai karya-karya para intelektual islam banyak dipelajari oleh bangsa-bangsa non-islam serta dijadikan referensi.
Akan tetapi kemajuan peradaban islam dengan segala aspek pendidikannya yang begitu gemilang, saat ini hanyalah tinggal nama. Pasca kekalahan islam dalam perang salib, islam mengalami kemunduran luar biasa dalam berbagai bidang. Kemunduran islam yang dirasa sangat menonjol adalah dalam bidang keilmuan terutama sains dan teknologi. Umat islam saat ini masih sangat gagap terhadap sains dan teknologi. Seolah kedua hal itu adalah momok yang menakutkan. Belum lagi aspek dikotomi keilmuan yang memisahkan antara keilmuan dunia dan akhirat. Hal ini sangat fatal dan memperburuk suasana. Karena keilmuan dunia dianggap tidak penting. Sehingga prioritas utama umat islam hanyalah keilmuan akhirat. Sedangkan ilmu yang bersifat dunia diabaikan.
Menanggapi hal ini seharusnya pendidikan islam turun tangan. Sebab pendidikanlah yang mampu menciptakan generasi-generasi handal dan berkualitas. Pendidikan islam tidak bisa diam apalagi berpangku tangan. Sudah semestinya dan menjadi kewajiban pendidikan islam untuk terus mencetak generasi-generasi islam yang bermutu. Generasi islam yang bermutu adalah generasi yang memiliki keilmuan lintas disipliner (islam-umum) menguasai sains serta teknologi, dan mampu memberikan sumbangsih bagi kemajuan islam. Generasi islam bukanlah generasi ortodoks. Namun mampu berpacu dan kuat dalam menghadapi pergolakan zaman. Untuk menunjang hal ini tentu saja peran pendidikan islam harus ditingkatkan. Setidaknya pendidikan islam mampu membekali anak didiknya dengan keilmuan modern, tak hanya ilmu agama.
Namun sayangnya sampai saat ini, diakui maupun tidak, pendidikan islam masih mengalami keterbelakangan dibanding pendidikan lainnya. Meskipun hal itu tidak seluruhnya, namun hampir sebagian besar. Pendidikan islam pada umumnya belum mampu membekali anak didiknya dengan keilmuan modern. Namun masih terus berkutat pada ilmu agama semata. Selain itu, anak didik yang dihasilkan juga belum mampu menjadi generasi yang handal. Mereka masih saja gagap menghadapi realitas yang terus bergulir. Sehingga sebagian besar anak didik yang dihasilkan dari pendidikan islam hanya mampu bekerja pada sektor agama semata. Atau hanya mampu mengurus persoalan agama.
Apalagi menghadapi arus globalisme yang terus melaju, pendidikan islam semakin kehilangan relevansinya. Pendidikan islam seolah hanyalah pelengkap, bukan utama. Abd. Rachman Assegaf (2004) menyebut pendidikan islam telah mengalami intellectual deadlock. Diantara indikasinya adalah: Pertama, minimnya upaya pembaharuan, kalau toh ada, kalah cepat dengan perubahan sosial, politik, dan kemajuan iptek. Kedua, praktik pendidikan islam sejauh ini masih memelihara warisan lama dan tidak banyak melakukan pemikiran kreatif, inovatif, dan kritis terhadap isu-isu aktual. Akibatnya ilmu-ilmu yang dipelajari adalah ilmu-ilmu klasik, sementara ilmu-ilmu modern nyaris tidak tersentuh sama sekali.
Ketiga, model pembelajaran agama islam terlalu menekankan pada pendekatan intelektual verbalistik dan menegasikan pentingnya interaksi edukatif dan komunikasi humanistik antara guru dan murid. Pembelajarannya menjadi bersifat transfer of knowledge atau learning to know dengan perlakuan bahwa guru diidealkan dengan pihak yang lebih tahu. Sedangkan murid dipandangnya sebagai pihak yang kurang tahu. Keempat, orientasi pendidikan islam menitik beratkan pada pembentukan ‘abd atau hamba Allah dan kurang seimbang dengan pencapaian karakter manusia muslim sebagai khalifah fi al-ard. Konsekuensinya pendidikan islam berjalan kearah peningkatan daya spiritual atau teo-sentris semata.
Keempat indikasi tersebut tampaknya cukup mewakili terhadap apa yang dialami pendidikan islam dewasa ini. Karena itu diperlukan upaya pembaruan (tajdid) terhadap pendidikan islam mulai saat ini. Meskipun sesungguhnya sudah sekian lama upaya pembaruan ini dilakukan. Berbagai kritik dan masukan dari para pakar juga sudah bertumpuk. Namun sampai saat ini upaya pembaruan tak kunjung datang. Terutama pada wilayah pedesaan maupun pelosok. Daerah-daerah inilah yang jarang dirambah oleh para intelektual dan pakar-pakar islam. Sehingga meskipun beribu pemikiran maupun beribu artikel dikucurkan, tetap saja pendidikan islam di pedesaan masih terbelakang sebab mereka belum mampu dirambah. Inilah hal yang perlu menjadi menjadi titik perhatian utama para pakar pendidikan islam saat ini. Setidaknya mereka mau mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk membantu pendidikan pedesaan atau pelosok.
Hal ini tentu agar pendidikan islam di pedesaan atau pelosok tersentuh upaya pembaruan. Selain itu sumbangan ide dari para pakar pendidikan islam merupakan mata air kesejukan yang sangat berharga mengingat betapa minimnya keilmuan yang dimiliki oleh penyelenggara pendidikan islam di desa atau pun pelosok.


*) Penulis adalah santri PPM Hasyim Asy’ari serta staf pada Pusat Studi Agama dan Kebudayaan (Pusaka) Yogyakarta
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI cabang UGM Yogyakarta a.n. Fatkhul Anas




Membangun Pendidikan islam Berbasis Kebangsaan
Oleh : Fatkhul Anas*)

Bangsa Indonesia tanpa terasa telah memasuki tahun 2008. Kalau dihitung dari prespektif kebangkitan nasioanal, usia kebangkitan nasional Indonesia telah genap seabad (1908-2008). Berbagai macam perubahan telah menyertai bangsa ini. Mulai dari sektor ekonomi, pendidikan, politik, sosial, kebudayaan, serta seni. Bangsa ini lambat laun semakin mengalami kedewasaan. Dari yang semula ortodoks menjadi berkembang. Semua itu tak lain karena gigihnya para pendiri bangsa dalam membangun bangsa Indonesia, serta upaya yang terus dilakukan oleh para penerus bangsa untuk membangun bangsa ini. Tentu saja upaya untuk meneruskan pembangunan bangsa bukanlah sebuah usaha yang mudah. Karena itu perlu terus ditingkatkan dari generasi ke generasi.
Adanya upaya regenerasi sebagaimana yang dilakukan oleh generasi tua kepada generasi muda sesunguhnya merupakan langkah positif. Hal ini mengingat generasi muda-lah yang akan meneruskan cita-cita generasi tua. Karena itu sangatlah tak pantas jika generasi muda dibiarkan begitu saja. Begitu juga sebaliknya, generasi muda jangan terus-menerus manja apalagi bermalas-malasan. Mentang-mentang sudah ada generasi tua, lalu generasi muda dengan mudahnya berpangku tangan. Pemikiran seperti inilah yang harus dicabut dari ranah pemikiran kaum muda. Pemikiran seperti ini adalah racun yang dapat membunuh mental-mental kaum muda. Sehingga mental mereka menjadi mental lemah, minder, serta tidak mempunyai pendirian. Maunya bersikap egois dan menangnya sendiri serta acuh terhadap sesama.
Mental-mental seperti inilah yang harus dihindari betul. Sebab mental seperti ini merupakan mental yang akan menghancurkan bangsa. Sudah saatnya generasi muda bangkit menyingsingkan lengan baju, bahu-membahu membangun bangsa. Apalagi menghadapi era globalisasi yang tak terelakkan. Generasi muda harus membekali diri dengan keilmuan yang luas, sains serta teknologi canggih. Generasi muda tidak boleh gagap terhadap kemajuan zaman. Apalagi hanya menjadi penonton saja. Semestinya generasi muda mampu berperan dalam kemajuan bangsa. Bukan malah menjadi beban. Generasi muda yang seperti inilah yang selalu diharapkan bangsa. Sebab, mereka adalah generasi berkualitas tinggi yang tak mudah putus asa menghadapi tantangan zaman.
Mencari pemuda berkualitas seperti ini tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi untuk saat-saat ini. Mengingat begitu banyak generasi muda Indonesia yang telah teracuni penyakit mental. Mereka telah terjebak kedalam alam fantasi yang bersifat halusinasi. Narkoba; budaya hedonis, materialis, individualis; serta beragam halusinasi yang menjebak mereka kedalam lembah egoisme adalah penyakit berbahaya yang saat ini telah meracuni kaum muda Indonesia. Akibatnya mental kaum muda menjadi lemah dan moral mereka menjadi amburadul. Lihat bagaimana watak pemuda kita saat ini. Mereka telah terlatih bersikap egois dan bertindak semaunya sendiri. Apa yang mereka senangi itulah yang akan dilakukan. Tak peduli apakah akan merugikan orang lain atau tidak, yang terpenting senang.
Melihat kondisi riil kaum muda Indonesia saat ini telah begitu berbahaya bagi kemajuan bangsa, sudah saatnya para pemikir-pemikir bangsa, pemerintah, serta lembaga pendidikan turun tangan. Tak terkecuali pendidikan islam. Apalagi selama ini pendidikan islam dikenal sebagai basis pendidikan moral (akhlak). Karena itu pendidikan islam tak boleh berdiam diri. Pendidikan islam harus mau berperan dalam menyelamatkan generasi muda bangsa.
Untuk merealisasikan hal ini tentu saja paradigma pendidikan islam harus dirubah. Kalau selama ini pendidikan islam lebih banyak digunakan bagi kepentingan islam semata, maka mulai saat ini pendidikan islam juga mulai memikirkan kepentingan bangsa. Atau dengan istilah lain ‘pendidikan islam berbasis kebangsaan’. Hal ini sebagai upaya bagi pembentukan generasi bangsa yang handal serta memiliki moral yang luhur. Melalui pendidikan yang berbasis kebangsaan ini diharapkan generasi-generasi islam menjadi generasi yang peduli dengan bangsanya, tidak hanya agama islam semata. Apalagi mengingat sebagian besar pemuda Indonesia beragama islam.
Membangun pendidikan islam berbasis kebangsaan tentu saja membutuhkan upaya serius. Selain merubah tujuan pendidikan yaitu tidak hanya berorientasi menjadi generasi islam yang handal, tetapi juga menjadi generasi bangsa yang bermutu dan mau memikirkan bangsanya. Tentu saja upaya ini juga harus diimbangi dalam hal teknis. Seperti adanya mata pelajaran sejarah, wawasan kebangsaan, maupun Pancasila. Meski hal ini sudah diberikan, namun terkadang kurang dihayati dan kurang dipentingkan. Sehingga siswa kurang mampu menyerap mata pelajaran tersebut. Akibatnya rasa kebangsaan mereka minim. Selain itu, adanya upacara bendera maupun upacara peringatan Hari-Hari Besar Nasional juga semestinya dilaksanakan secara serius. Ini sebagai upaya membangun kesadaran berbangsa dan bertanah air dikalangan pelajar islam.
Yang lebih ditekankan lagi adanya upaya pembangunan mental serta moral. Ini berarti ajaran-ajaran agama islam harus benar-benar mampu dipahami, dihayati serta dipraktekkan. Tidak hanya sekedar menjadi bahan bacaan atau hanya sekedar pelajaran sambil lalu. Kenyataan dilapangan yang banyak terjadi yaitu para anak didik islam malah jauh dari nilai-nilai islam. Terkadang malah kalah dengan anak didik yang notabene non-islam. Kalau sudah begini apa sesungguhnya yang salah dengan pendidikan islam? Itulah yang harus direnungi oleh para pakar pendidikan islam. Barangkali selama ini pendidikan islam terlalu menekankan pada simbol-simbol semata tanpa menemukan esensinya. Sehingga umat islam tidak mampu menangkap pesan-pesan keislaman. Namun hanya sekedar dipelajari.
Inilah PR bagi para pakar-pakar pendidikan islam bagaimana agar pendidikan islam benar-benar mampu menjadi pendidikan bermutu yang beguna bagi agama, nusa dan bangsa. Tentunya ini juga sebagai persiapan bagi para generasi muda islam untuk menghadapi tantangan zaman yang akan datang. Serta untuk menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran.

*) Penulis adalah santri PPM Hasyim Asy’ari serta staf pada Pusat Studi Agama dan Kebudayaan (Pusaka) Yogyakarta
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI cabang UGM Yogyakarta a.n. Fatkhul Anas

Senin, 07 Januari 2008

opini demokrasi

Demokrasi Bukan Kebebasan Tanpa Batas
Oleh : Fatkhul Anas*)

Sungguh menarik menyaksikan aksi-aksi para pemimpin kita ketika berbicara kepentingan rakyat. Apalagi saat ini menjelang pemilu 2009 yang tinggal setahun lagi, tentu saja banyak para calon pemimpin kita yang saat ini berkoar-koar menawarkan konsep demokrasinya. Semua berdalih "demi kepentingan rakyat". Berbagai macam tawaran pun dilakukan. Sekolah gratis, kesejahteraan rakyat meningkat, kesehatan gratis, pengangguran terbebas, bantuan bagi warga miskin, dan seabreg agenda yang ditawarkan oleh para calon pemimpin kita. Semuanya berdalih demi kepetingan rakyat. Tak ada mereka yang berani menyatakan "ini bagi kepentingan diri saya dan golongan saya". Karena hal itu jelas akan menghukum diri mereka. Sudah pun begitu masih ditambah-tambah dengan dalih penegakan demokrasi. Bahwa rakyat harus diutamakan karena rakyatlah pemimpin sesungguhnya.
Itulah realitas yang setiap hari bermain di bumi bangsa ini. Semua orang begitu bebas berbicara kepentingan rakyat, berbicara keadilan, kesejahteraan rakyat, dan kemerdekaan rakyat. Mereka seolah tak punya beban dan dengan mudah berbicara panjang lebar dengan dalih "ini adalah negara demokrasi dimana setiap warganya bebas berbicara". Namun apa kenyataan yang terjadi saat ini? Toh ternyata negara ini masih begini-begini saja. Warga miskin dimana-mana, pendidikan mahal, akses kesehatan mahal, pengangguran meraja lela, rakyat tambah sengsara. Apakah ini upah yang harus dibayar dari sebuah negara demokrasi? Bukankah demokrasi tercipta untuk menyelamatkan rakyat?
Memang amatlah pedih ketika harus berbicara demokrasi. Berbagai teori dikeluarkan, beribu artikel dituliskan, dan beribu orang berbicara. Namun toh hasilnya seperti ini saja, tak ada perubahan signifikan dinegri ini. Dari hari ke hari jerit tangis kesedihan selalu terdengar dari masyarakat miskin di desa, pinggiran kota, maupun dipelosok. Barangkali kita tak mendengar karena kita telah buta dengan realitas. Kita hanya pandai berteori namun tak mampu berbuat. Lalu apa yang bisa kita banggakan dari diri kita? Apakah teori kita yang muluk-muluk sampai-sampai terkadang orang sulit memahami? Itukah yang harus kita banggakan. Apalagi ketika orang memuji-muji kita, betapa senangnya dan betapa kita menganggap diri kita berharga.
Namun, apakah semua itu akan terus kita banggakan setelah tahu bahwa teori kita tidak mempam bagi pemakainya. Nyatanya bangsa ini masih seperti ini terus. Padahal sudah seratus tahun kebangkitan nasional bergulir (1908-2008). Itu tandanya bahwa kita masih sering bermain-main dengan teori. Kita bangga telah menjadi agen teori namun kita lupa bahwa adanya teori adalah untuk dipraktekkan. Teori tidak serta merta memiliki kemerdekaan sebagai sebuah teori ansich namun perlu dimanifestasikan dalam tindakan sebagai perwujudan.
Begitulah semestinya teori yang setiap saat kita suguhkan. Termasuk juga teori demokrasi. Teori itu bukanlah hanya sekedar teori namun perlu dipraktekkan. Kita tidak semudahnya berbicara namun harus berbuat. Barangkali selama ini teori kita kurang ampuh karena kita yang menciptakan teori enggan melaksanakan teori kita sendiri. Diakui maupun tidak, kita sering melakukan hal ini, termasuk juga diri saya. Berkali-kali kita menulis artikel tentang berbagai hal mulai dari politik, pendidikan, kesehatan, demokrasi, kebudayaan, ekonomi, dan berbagai macam hal, namun kita enggan melakukan teori kita. Terbukti kita cuek-cuek saja ketika melihat ketimpangan disekitar kita. Ada pula sampel sebagaimana pengalaman saya. Ada orang berseminar tentang Indonesia, begitu keluar seminar ada pengemis di pintu masuk meminta-minta. Masih untung orang itu mau memberi sedekah meski seribu rupiah, bahkan memandang pun tidak? Apakah itu yang kita banggakan selama ini?
Itulah sulitnya hidup di negara yang katanya demokrasi. Akan tetapi demokrasi ternyata telah dimaknai sebagai "kebebasan tanpa batas". Orang bebas melakukan apapun sesuai kehendak hatinya. Orang bebas mengeluarkan teori apapun semaunya karena tak ada yang melarang. Dan orang pun bebas bersikap apapun terhadap orang lain, termasuk cuek dengan sesama. Kalau sudah begini, apakah masih bisa kita namakan sebagai demokrasi? Bagi saya ini bukan demokrasi tetapi "demoralisasi". Mengapa? Karena saat ini orang bukanlah mengandalkan "moral" sebagai nalar berpikir namun lebih pada keinginan kebebasan tanpa batas. Orang mengeluarkan teori adalah demi kebebasan bagi dirinya sendiri. Bebas melakukan apapun dan bebas berkehendak apapun. Tak peduli orang lain mau rugi, mau sengsara, atau menderita karena teori kita. Yang terpenting kita telah mengekspresikan "kebebasan" diri kita. Dan ketika ada orang yang mengkritik, kita namai itu sebagai sebuah kesempurnaan teori. Bukan malah kita ambil sebagai sebuah "peringatan" karena jangan-jangan teori kita telah menyengsarakan orang lain.
Sudah begitu, generasi-generasi muda kita saat ini masih banyak yang meniru. Mereka masih saja bersikap sama dengan para generasi dahulu yang berteori tanpa arti. Mereka lebih senang membaca buku, berdiskusi, berwacana, ketika ada tetangganya yang sengsara. Boleh-boleh saja kita berdiskusi, berwacana, baca buku malah itu "wajib" bagi generasi muda. Tetapi kita juga punya kewajiban menolong tetangga ketika sedang kesusahan. Kalau kita menolong berarti kita telah memanifestasikan teori kita. Bukankah kita sering mengatakan kepentingan rakyat harus diutamakan? Menolong tetangga adalah kepentingan rakyat jadi harus diutamakan. Toh kita masih punya banyak waktu untuk berdiskusi maupun baca buku. Itu artinya bahwa kebebasan diri kita akan terwujud manakala kita mampu berguna bagi orang lain. Tidak sekedar bagi diri sendiri. Kalau hanya berguna bagi diri sendiri sampai kapan pun negri ini tak akan berubah. Padahal masih banyak orang yang membutuhkan uluran tangan kita.
Barangkali itulah sikap yang harus kita ambil untuk menghadapi tantangan zaman. Bangsa ini sudah saatnya butuh orang-orang yang mau bergerak tidak sekedar berwacana. Pola-pola kita dalam memaknai demokrasi sedikit demi sedikit pun kita rubah. Demokrasi bukanlah kebebasan tanpa batas. Tetapi demokrasi adalah konsep membahagiakan orang lain tanpa harus menyengsarakan diri kita. Semoga ditahun 2008 ini bangsa ini akan segera membaik dan menemukan kedamaian bagi setiap warganya.

*) Penulis adalah pengamat demokrasi para Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta (LKKY)
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

opini tahun baru hijriyah 1429 H

Refkeksi Tahun Baru Hijriyah 1429 H
Rekonstruksi Keberagamaan Umat Islam
Oleh : Fatkhul Anas*)
Bertepatan pada tanggal 10 Januari 2008 umat islam merayakan tahun baru Hijriyah 1429 H. Bagi umat islam ini adalah momen penting untuk kembali berefleksi diri (muhasabah) merenungi dosa-dosa maupun kesalahan-kesalahan selama setahun lamanya. Umat islam kembali diingatkan oleh Allah akan kekhilafan dirinya. Selain itu momen tahun baru hijriyah datang sebagai tahun rekonstruksi bagi keberagamaan umat islam. Apakah umat islam masih berpegang pada Al-quran maupun sunnah sebagai pedoman hidup ataukah telah jauh dari nilai-nilai yang terkandung di dalam keduanya? Disinilah betapa pentingnya peringatan tahun baru hijriyah.
Apalagi baru saja kemarin sebagian umat islam pulang dari menunaikan ibadah haji di tanah suci. Adalah sebuah kebahagiaan yang begitu dalam karena umat islam telah mampu melaksanakan rukun islam yang kelima itu. Pergi ke tanah suci adalah sebuah impian setiap umat islam. Karena ibadah ini begitu istimewa. Tak heran jika setiap orang berkeinginan untuk melaksanakannya. Mulai dari petani, pedagang kaki lima, buruh, pegawai, pejabat, bahkan artis sinetron sekalipun berlomba-lomba untuk dapat menunaikan ibadah haji. Mereka begitu gigih ingin melaksanakan ibadah tersebut.
Namun, jika melihat realita yang ada kita akan menghadapi sesuatu yang paradoks. Begitu banyak umat islam yang pergi haji namun setelah pulang dari Makkah mereka tidak menunjukkan sedikit pun perubahan. Bagi yang semula ibadahnya kurang taat setelah pulang haji pun tetap seperti itu, yang semula tidak berjibab juga tetap tidak berjilbab. Begitu pula yang semula cuek dengan sesama, kembali dari ibadah haji juga masih demikian. Dan masih banyak ketimpangan-ketimpangan yang kita temukan dari orang-orang yang pulang dari ibadah haji. Apalagi dikalangan artis. Tetap saja mereka mengumbar aurat ketika bergaya di televisi. Kalau sudah begini, siapa yang salah? Apakah Allah berbohong kepada kita bahwa kalau kita melakukan ibadah haji maka hidup kita akan lebih baik?
Itulah yang perlu kita renungi. Satu hal yang mampu kita jawab yaitu bahwa semua itu bukan salah Tuhan kita, akan tetapi salah kita sendiri. Tuhan tidak mungkin berbohong sebab Ia tidak punya sifat dusta. Tuhan adalah Maha Benar. Hanya kita saja sebagai manusia yang belum mampu memaknai kebenaran Tuhan. Sehingga ketika terjadi ketimpangan dimana ketika di dalam realitas ditemukan hal yang tak sesuai dengan firman Tuhan, seolah-olah kita berkata bahwa Tuhanlah yang salah. Seperti dikalangan orang-orang yang beribadah haji ini. Barangkali kita pun akan menyalahkan Tuhan karena ternyata orang-orang yang beribadah haji tetap saja masih senang melanggar larangan Tuhan. Padahal semua itu adalah salah manusia itu sendiri.
Fenomena seperti saat ini memang sedang menjalar. Tidak hanya dikalangan orang-orang yang melaksanakan ibadah haji, tetapi dikalangan umat islam umumnya. Saat ini orang lebih senang melakukan sesuatu bagi dirinya tanpa mau peduli dengan orang lain. Termasuk dalam urusan ibadah. Maka ketika ada tetangga yang kelaparan misalnya mereka tak peduli. Mereka malah menyibukkan diri dengan ibadah bagi dirinya sendiri seperti ritual dzikir yang dilaksanakan dengan menyepi (menjauh dari kehidupan masyarakat), termasuk juga ibadah haji. Giliran mereka yang mau membantu sesamanya malah dilakukan demi mencari simpati dan dukungan. Itulah kenyataan yang ada saat ini.
Memang benar apa yang dikatakan Rasulullah bahwa suatu masa umat islam itu banyak jumlahnya tetapi mereka bagai buih. Namanya buih pastilah mudah hancur. Sebab buih hanyalah menang dari segi kuantitas namun sangat miskin dalam kualitas. Itulah kenyataan yang terjadi saat ini. Umat islam berjumlah banyak namun kualitasnya diragukan. Tak heran jikalau keagamaan kita hanya sampai pada taraf kulit, belum masuk ke tahap isi. Umat islam belum mampu memaknai ritual-ritual keagamaan seperti shalat, zakat, maupun haji. Umat islam juga belum mampu pula menjadikan islam sebagai pribadinya, namun sebatas pelengkap hidup. Karena itu wajar jika umat islam bertingkah laku jauh dari nilai-nilai agama islam.
Kalau dalam kacamata Holloway, umat islam saat ini berada dalam masa split of religiousity (kerobekan religiusitas). Ini menurut Holloway terjadi karena pelajaran keagamaan yang disampaikan hanya terbatas pada simbol-simbol tanpa mengerti esensi. Apa yang dikatakan Holloway memang dapat dibenarkan. Sebab umat islam saat ini memang banyak dikenalkan dengan simbol-simbol maupun ritual-ritual keagamaan (syari’ah) tanpa diberikan esensinya. Oleh karenanya umat islam hanya mampu memahami islam dari kuilitnya saja, tapi tak tahu isinya.
Prediksi Holloway dapat dikatakan sebagai sebuah jawaban atas fenomena umat islam saat ini. Akan tetapi sesungguhnya umat islam sudah jauh-jauh diprediksi oleh Rasulullah saw berabad-abad lalu yaitu dengan perumpamaan buih. Ini artinya umat islam tak mampu menangkap pesan-pesan Rasuluulah saw. Umat islam tidak sadar dengan apa yang terjadi pada dirinya sehingga tidak mampu menilai dirinya. Malah orang lain yang menilainya. Biar pun begitu, sesungguhnya baik prediksi Rasulullah saw maupun Holloway adalah sebuah pelajaran bagi umat islam saat ini. Apakah umat islam akan memperbaiki ke-agamaan-nya atau tetap seperti ini dimana umat yang mengaku sebagai umat islam malah jauh dari nilai-nilai islam.
Momen tahun baru hijriyah ini semoga mampu menjadi refleksi bagi umat islam untuk memperbaiki ke-islaman-nya. Setidaknya umat islam mampu menjadikan islam sebagai kepribadiannya, bukan sekedar simbol. Apalagi untuk melegitimasi kebenaran. Umat islam setidaknya mau keluar dari realitas yang ada dimana saat ini realitas yang bergulir adalah realitas duniawi akibat setiran kapitalisme. Meskipun umat islam harus terasing dari dunia umumya. Bukan berarti terasing dari lingkungan, tetapi terasing dari pandangan hidup kapitalisme. Umat islam tak perlu khawatir akan keselamatannya. Bukankah rasul pernah bersabda bahwa islam datang dari sebuah realitas yang asing dan akan pergi dalam keadaan asing pula. Itu berarti bahwa orang yang berpegang teguh kepada islam dianggap asing oleh realita. Meskipun itu menyakitkan tetapi itu harus dihadapi. Bukankah rasul berpesan pula bahwa diakhir zaman orang yang berpegang kepada agama bagai memegang bara api? Itu artinya sepahit apapun kenyataan yang dihadapi kita harus tetap berpegang pada nilai-nilai islam demi keselamatan kita. Semoga tahun baru hijriyah ini umat islam ini menemukan nilai-nilai islam yang sesungguhnya agar mampu menjadi generasi islam yang berkualitas.

*) Penulis adalah pengamat agama dari Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta (LKKY)
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

Sabtu, 05 Januari 2008

opini glokalisasi jogja

Glokalisasi Kebudayaan Yogyakarta
Oleh : Fatkhul Anas*)
Yogyakarta selama ini dikenal dengan predikat kota kebudayaan. Beragam kebudayaan kuno yang sarat dengan local wisdom masih mengakar kuat di Yogyakarta. Ibarat Jogja sebagai perpustakaan dan kebudayaan sebagai bukunya, maka dapat dibayangkan betapa luas perpustakaan tersebut yang diisi dengan berbagai macam buku. Sehingga setiap orang bebas memilih buku mana yang hendak ia baca. Setiap orang juga akan merasakan mata air pencerahan dari perpustakaan tersebut. Itulah Yogyakarta yang selama ini menjadi lokomotif kebudayaan Indonesia. Namun, apakah saat ini kondisi tersebut masih mampu bertahan? Tampaknya hal itu perlu dipertanyakan kembali.
Memang selama ini banyak pengamat menganalisis bahwa Yogyakarta telah jauh dari predikat sebagai kota kebudayaan. Hal ini disandarkan karena betapa banyaknya kebudayaan Jogja yang musnah. Selain itu, serakahnya dunia Industri telah menggerus nilai-nilai local wisdom yang menjadikan kebudayaan lokal sedikit demi sedikit mengalami kepunahan. Memang itulah realitas yang terjadi di Yogyakarta. Namun, kalau diamati lebih cermat sesungguhnya Jogja belum begitu parah. Sebab Yogyakarta masih memiliki kantong-kantong budaya yang masih tersisi penuh. Kraton serta masyarakat pedesan yang masih setia pada local wisdom-nya, adalah kantong kebudayaan Yogyakarta yang masih bertahan dengan alam kebudayaannya. Mereka adalah benteng budaya yang terus melindungi Yogyakarta dari serangan globalisasi kebudayaan.
Heterogenitas kultural yang berbasis pada local wisdom masih mampu bertahan karena adanya kantong budaya tersebut. Sehingga upaya globalisasi yang akan membentuk homogenitas kultural mampu ditepis. Namun nampaknya kantong-kantong budaya tersebut sebentar lagi akan hancur. Ini didasarkan atas semakin cepatnya laju globalisasi yang ditumpangi oleh kapistalisme. Semakin lama tanpa disadari kebudayaan Yogyakarta hilang ditanahnya sendiri tergantikan oleh kebudayaan global. Sebab local wisdom nampaknya tak mampu membendung arus globalisasi. Ini jelas, karena kekuatan globalisasi merupakan kekuatan super power. Globalisasi mampu membentuk dunia sesuai dengan mindset pemilik globalisasi tersebut (Barat). Dengan dukungan market, globalisasi begitu mudah menjadi raja yang menjadi panutan dalam segala ranah kehidupan baik politik, ekonomi, pendidikan, budaya, maupun sosial.
Ini adalah kenyataan yang tak mampu kita hindari. Sehingga jikalau homogenitas kultural terjadi, kita pun tak mampu mengelak. Salah satu jalan kita terhindar dari homogenitas kultural adalah mengawinkan antara kebudayaan lokal dengan kebudayaan global atau apa yang disebut Roland Robertson sebagai “glokalisasi”. Glokalisasi ini akan menjadi jembatan penghubung antara kebudayaan lokal dan global. Sehingga kita tidak kehilangan kebudayaan lokal. Glokalisasi sebenarnya telah tampak pada kebudayaan kita. Sebagai contoh dalam kesenian musik, fashion, bahasa, film, maupun bentuk-bentuk ekspresi simbolik lainnya. Dalam berbagai hal tersebut telah ada perpaduan antara budaya lokal dan budaya global. Sehingga tampak jelas adanya glokalisasi.
Glokalisasi bagaimanapun juga memiliki dampak signifikan. Setidaknya ada dua macam dampak dari glokalisasi. Dari sisi negatif, glokalisasi akan sedikit menghilangkan kemurnian kebudayaan lokal. Ini jelas karena kebudayaan lokal harus berpadu dengan kebudayaan global. Sebagai contoh musik tradisional. Saat ini musik tradisional baik di Yogyakarta maupun di Indonesia telah banyak dipadukan dengan instrumen modern seperti gitar, orgen, bass, drum, piano, maupun alat musik modern lain. Secara tidak langsung warna musik tradisional tidak terlihat jelas karena harus berpadu. Namun, perpaduan ini bukanlah hal yang buruk asalkan mampu diharmonikan dengan serasi. Malah akan semakin menambah daya tarik. Apalagi saat-saat ini kebudayaan lokal tidak lagi banyak diminati masyarakat. Dengan adanya glokalisasi ini diharapkan masyarakat Yogyakarta maupun Indonesia secara umum akan kembali tertarik dengan kebudayaannya sendiri.
Sedang dari sisi positif, budaya lokal tidak hilang sepenuhnya serta akan menumbuhkan budaya baru yaitu “kreolasi” dari budaya lokal dan global. Kreolasi ini akan semakin memperkaya kebudayaan kita tanpa harus kita tolak sebab kreolasi masih mengandung unsur local wisdom. Selain itu, kreolasi ini akan semakin memperkuat heterogenitas kultural yang akan mengeluarkan dari cengkeraman globalisasi. Sebab kalau tidak demikian, globalisasi akan terus menggerus kebudayaan lokal sehingga akan tercipta homogenitas kultural. Tentu saja kita tidak mungkin tunduk begitu saja. Sebab pada hakikatnya budaya bersifat heterogen. Karena itu tawaran glokalisasi merupakan salah satu titik terang untuk mempertahankan kebudayaan lokal.
Selain dua kemungkinan dampak glokalisasi, ada kemungkinan lain yang barangkali sangat urgen. Kemungkinan ini yaitu sejauhmana glokalisasi mampu bertahan? Apakah tidak ada unsur kebudayaan dominan yang akan jadi pemenang dalam glokalisasi? Ini yang perlu dipikirkan kembali. Kalau glokalisasi telah dimenangkan oleh salah satu pihak kebudayaan, berarti glokalisasi akan hancur. Bagi kita tidak masalah jika yang mendominasi adalah kebudayaan lokal kita. Sebab glokalisasi akan berubah menjadi kebudayaan lokal kembali. Tetapi jika kebudayaan global yang dominan dan kita kehilangan kebudayaan lokal, tentu itu sangat berbahaya. Apalagi bagi Yogyakarta yang selama ini sebagai lokomotif budaya. Untuk mengatasi hal ini tentu diperlukan kecermatan dan keseriusan. Setidaknya para pelaku budaya (orang-orang yang terlibat dalam kebudayaan) sadar betul bahwa kebudayaan lokal harus dipertahankan. Mereka tidak boleh terlena dengan kebudayaan global. Kebudayaan global hanyalah sebagai bumbu, bukan menu utama.
Hal ini boleh dikatakan memang sangat sulit. Namun jika didasari dengan sikap sadar budaya, setidaknya hal itu bukan masalah. Apalagi sadar bahwa budaya lokal terutama kebudayaan Yogyakarta merupakan kebudayaan agung yang memiliki nilai-nilai luhur. Maka mempertahankan kebudayaan lokal berarti bertindak sebagai pahlawan kebudayaan. Dan sudah sepatutnya jika orang-orang seperti ini mendapatkan penghargaan. Karena merekalah orang-orang yang mampu mempertahankan Yogyakarta sebagai kota kebudayaan. Kalau kesadaran budaya ini tetap eksis, maka predikat Yogyakarta sebagai kota budaya kemungkinan besar mampu bertahan lama.
*) Penulis adalah pengamat kebudayaan pada Pusat Studi Agama dan Kebudayaan (Pusaka) Yogyakarta
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI cabang UGM Yogyakarta a/n Fatkhul Anas