Jumat, 07 Maret 2008

ritual rebo wekasan

Upacara Rebo Wekasan dan Sejarahnya
Oleh : Fatkhul Anas*)
Tanggal 3 Maret 2008 kemarin di Yogyakarta, tepatnya di Desa Wonokromo, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Yogyakarta telah dilaksanakan upacara rebo wekasan. Bagi masyarakat Yogyakarta, ritual ini bukanlah hal yang asing karena dilaksanakan tiap tahunnya. Adapun harinya jatuh pada hari rabu tepatnya malam rabu terakhir bulan sapar. Padatnya pengunjung merupakan fenomena yang lazim disana. Ini karena sebelum upacara dilaksanakan, telah dibuka pasar malam. Apalagi ketika upacara yang berupa kirab lemper berlangsung, para pegunjung berjejal-jejalan berebut lemper. Setelah itu, upacara biasanya dututup dengan doa bersama dan pengajian akbar sebagaimana dalam upacara kemarin (3 Maret 2008).
Itulah sekilas tentang ritual rebo wekasan yang dilaksanakan di desa Wonokromo, Yogyakarta. Ritual ini merupakan bagian penting dari masyarakat Yogyakarta dan telah mendarah daging. Entah darimana asal muasalnya, yang jelas ritual ini telah menjadi hal yang wajib dilaksanakan tiap tahunnya. Memang ada berbagai mitos yang konon merupakan cikal bakal upacara rebo wekasan tersebut. Gatut Murniatno (1977) menyebut upacara rebo wekasan tersebut berasal dari kisah pertemuan antara Sri Sultan Hamengku Buwana I dengan Kyai Faqih Usman. Kisah ini mempunyai dua versi yang berbeda. Salah satunya menyebutkan sebagai berikut :
Rebo wekasan telah ada sejak tahun 1784. Konon zaman itu hidup seorang Kyai bernama Faqih Usman atau Mbah Faqih Usman. Beliau tinggal di desa Wonokromo. Kyai Faqih atau dikenal juga Kyai Welir adalah seorang Kyai yang pandai dalam hal ilmu agama sekaligus ketabiban atau penyembuhan penyakit. Karena kepandaiannya itu, beliau terkenal dimata semua orang terutama masyarakat Wonokromo dan sekitarnya. Mereka sangat yakin bahwa Kyai Faqih mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit.
Masa itu di daerah Wonokromo dan sekitarnya sedang terjadi pageblug (wabah penyakit) yang mengancam keselamatan banyak orang. Masyarakat kebingungan mencari obat apa yang mampu menyembuhkan penyakit tersebut. Akhirnya mereka berbondong-bondong mendatangi Kyai Faqih karena mereka tahu bahwa Kyai Faqih orang yang sakti. Kyai Faqih dengan penuh kesabaran melayani masyarakat yang datang untuk meminta obat. Cara Kyai Faqih mengobati sederhana. Beliau hanya memakai air putih lalu disuwuk (dibacakan ayat-ayat Al-qur’an). Kemudian air tersebut diminumkan kepada pasien. Terbukti para pasien Kyai Faqih sembuh dari penyakitnya.
Dari hal ini, ketenaran Kyai Faqih semakin tersebar ke pelosok daerah. Tak heran jika yang datang berobat semakin banyak. Lama kelamaan pelataran masjid Kyai Faqih dipenuhi oleh para pedagang yang menjajakan dagangannya kepada para pasien Kyai Faqih. Suasana seperti itu ternyata mengganggu kesucian masjid dan merepotkan jamaah yang akan melaksanakan shalat. Mengetahui hal tersebut, Kyai Faqih mencoba membuat ide baru agar pengobatan berjalan efektif tanpa mengganggu kegiatan masjid. Akhirnya beliau menemukan ide kreatif yaitu menyuwuk telaga di pertempuran Kali Opak dan Kali Gajahwong yang berada disebelah timur desa Wonokromo. Disanalah para pasien Kyai Faqih dapat mengambil air maupun mandi untuk menghilangkan penyakitnya.
Berkat ketenaran Kyai Faqih, lama kelamaan sampai pula ke telinga Sri Sultan Hamengku Buwana I. Untuk membuktikan berita tersebut, Sri Sultan mengutus empat orang prajuritnya supaya membawa Kyai Faqih menghadap ke Kraton dan memperagakan ilmunya. Sampai di Kraton ternyata Kyai Faqih memang benar-benar mampu memperagakan ilmunya. Terbukti banyak masyarakat sembuh. Kyai Faqih bahkan mendapat sanjungan dari Sri Sultan.
Sepeninggal Kyai Faqih masyarakat lalu meyakini bahwa mandi di pertempuran Kali Opak dan Kali Gajahwong dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan mendatangkan ketentraman. Sehingga setiap hari rabu wekasan masyarakat berbondong-bondong mencari berkah dengan mandi dipertempuran itu yang dimaksudkan untuk bersuci atau "wisuh" untuk menghilangkan kotoran yang melekat pada tubuh. Namun sebagian masyarakat ada yang mengartikan lain. Bahwa "wisuh" atau mandi diartikan "misuh" atau berkata kotor. Ini adalah kepercayaan yang datang masyarakat luar desa Wonokromo. Sedangkan masyarakat Wonokromo sendiri tidak menganggap demikian karena orang-orangnya memegang kuat agama islam dan menghindari syirik.
Itulah salah satu cerita sejarah yang melatarbelakangi upacara rebo wekasan di desa Wonokromo Yogyakarta. Sampai saat ini upacara tersebut tetap lestari karena tingginya kesadaran masyarakat di sana untuk melestarikan budaya peninggalan nenek moyang. Apalagi sejak tahun 1990 upacara rebo wekasan mulai dikoordinir oleh aparat desa dan sebagai ketua panitia adalah Kepala Desanya. Kemudian seksi-seksi dibantu aparat dan tokoh masyarakat. Mengenai pembiayaan dahulu hanya pribadi-pribadi dan hanya untuk sekedar jualan lemper dan membeli bunga tabur. Namun, setelah upacara ini dikelola oleh pemerintah desa, maka pendanaan juga dimintakan dari Dinas Pariwisata dan swadaya masyarakat.
Makna Transedental dan Humanis
Upacara rebo wekasan selain sebagai sebuah ritual rutin, sesungguhnya memiliki dimensi luas. Selain tentu saja makna transedental sebagai wujud rasa syukur atas berkah Tuhan. Masyarakat Yogyakarta yang melaksanakan ritual rebo wekasan bukan sekedar hura-hura, namun ada ungkapan syukur kepada Allah atau tasyakuran. Meski dalam beberapa hal terkesan hura-hura seperti pasar malam, namun sesungguhnya hal itu hanya sebagai penyemarak saja. Adapun secara substansi upacara tersebut berada pada kirab lemper dengan diakhiri doa bersama sekaligus pengajian akbar. Ini merupakan bukti dari implikasi keislaman masyarakat wonokromo khususnya dan Yogyakarta secara umum. Meski masyarakat Yogyakarta masih kental dengan ciri khas "kejawaannya", namun mereka tidak meniggalkan keislaman karena keislaman juga merupakan bagian dari kejawaan mereka.
Selain itu, sisi humanis dalam upacara tersebut banyak kita temukan. Adanya gotong royong dari masyarakat untuk bersama-sama nyengkuyung (bekerjasama) melaksanakan upacara akan menciptakan kerukunan masyarakat. Ditengah-tengah arus globlalisasi yang terus mengikis nilai-nilai kemanusiaan, masyarakat wonokromo Yogyakarta masih bertahan dengan tradisi sosialnya. Gotong royong yang selama ini banyak diinggalkan masyarakat, tetap mampu dijaga dengan lestari. Pagar-pagar individualisme benar-benar mampu dirobohkan dan diganti dengan pagar sosial. Ini tentu saja merupakan hal yang patut dibanggakan karena telah melestarikan kepribadian bangsa yang "adilihung".
Namun apakah tradisi ini akan terus mampu bertahan? Tampaknya itulah pertanyaan yang selalu menjadi titik tegang. Apalagi tekanan arus globalisasi dengan serangan monokuturalismenya semakin menerobos lapisan-lapisan terkecil masyarakat dunia. Bisa jadi dan kemungkinan akan menerobos pula pada masyarakat Wonokromo. Karenanya sedari saat ini harus mulai dipikirkan bersama-sama bagaimana agar upacara rebo wekasan tidak sirna ditelan zaman sebagaimana tradisi-tradisi Jawa lainnya. Sehingga generasi-generasi mendatang mampu mengetahui dan menikmati upacara rebo wekasan.
*) Penulis adalah pengamat kebudayaan pada Hasyim Asy'ari Institute
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

Tidak ada komentar: