Senin, 10 Maret 2008

Mengenang Gus Zainal

Catatan Satu Tahun Kematian KH Zainal Arifin Thaha
Gus Zainal dan Revitalisasi Kaum Santri
Oleh : Fatkhul Anas*)
14 Maret 2007 jagad Yogyakarta kehilangan seorang cendekiawan dan budayawan muda kharismatik. Dialah KH Zainal Arifin Thaha, cendekiawan kelahiran kediri, 5 Agustus 1972. Dalam usianya yang ke-35 KH Zainal Arifin Thaha mangkat menuju kehadirat Ilahi dengan meninggalkan istri tercinta, 5 orang putra serta para santri Pondok Pesantren Mahasiswa (PPM) Hasyim Asy’ari. Gus Zainal panggilan akrab bagi KH Zainal Arifih Thaha, adalah sosok manusia istimewa. Beliau selain dikenal sebagai cendekiawan juga merangkum budayawan, penyair, dosen, seniman, bahkan Kyai. Disinilah kepribadian yang luar biasa terangkum dalam diri Gus Zainal. Hanya saja belum sempat melanjutkan cita-cita luhurnya, beliau harus pulang kehadiran Ilahi dalam usia muda.
Gus Zainal selama ini dikenal sebagai orang yang selalu enerjik. Hal ini mendorong beliau menjadi motivator ulung. Dimanapun dan kapanpun beliau mampu memberikan motivasi. Dalam seminar-seminar beliau selalu tampil semangat dan mampu menghipnotis peserta. Terhadap perbedaan paham beliau bersikap hormat. Tidak mempergujingkan paham tertentu, apalagi fanatik. Rumah beliau terbuka lebar untuk siapapun. Mulai dari intelektual, penyair, budayawan, doktor, mahasiswa, masyarakat desa, bahkan pengemis pun beliau layani dengan ramah. Beliau juga tidak pernah merasa lelah menghadapi berbagai persoalan hidup. Malah segala persoalan beliau jadikan hikmah. Dimanapun dan kapanpun beliau selalu membawa mata air pencerahan ditengah tandusnya jagad kehidupan. Tak ayal, pasca kepergian Gus Zainal, jagad Yogyakarta benar-benar merasa kehilangan.
Kiprah maupun pemikiran Gus Zainal banyak difokuskan untuk menggodok kalangan generasi islam terutama para santri. Gus Zainal menginginkan para santri mampu mewarnai jagad Indonesia melalui tulisan-tulisan di berbagai media massa. Karenanya beliau mendirikan Pesantren Mahasiswa (PPM) Hasyim Asy’ari sekitar tahun 2004 sebagai implikasi dari pemikirannya. Disana para mahasiswa yang nyantri digodok menjadi penulis berbagai bidang. Mulai dari kolom, artikel poluler (opini), puisi, esay, cerpen, maupun novel, dijadikan kurikulum. Para santri juga digodok menjadi santri mandiri. Keinginan Gus Zainal sederhana, yaitu ingin agar pemikiran para santri mampu dipandang positif diranah publik. Selain itu, budaya tulis menulis dikalangan para santri sebagaimana dilakukan oleh para Funding Father pesantren juga tidak mandeg.
Fokus Gus Zainal tidak hanya terpusat pada PPM Hasyim Asy’ari. Beliau juga banyak memberikan pelatihan tulis-menulis di berbagai pesantren maupun lembaga pendidikan. Selain di Yogyakarta sendiri, mulai wilayah Jawa Timur, Madura, serta Jawa Tengah, juga telah dirambah. Beliau sangat antusias dalam memberikan ilmu tulis-menulis tersebut. Beliau juga sering diminta menjadi pembicara dalam berbagai seminar. Disanalah Gus Zainal menuangkan berbagai ide dan gagasan-gagasan cemerlangnya. Selain juga ditulis dalam berbagai buku mulai dari Kenyelenehan Gus Dur: Gugatan Kaum Muda NU dan Tantangan Kebudayaan; Runtuhnya Singgasana Kyai: NU, Pesantren dan Kekuasaan, Pencarian Tak Kunjung Usai; Eksotisme Seni Budaya Isam: Khazanah dari Serambi Pesantren, Membangun Biudaya Kerakyatan; serta berbagai antologi puisi dan buku-buku yang lain.
Pandangan Gus Zainal
Pandangan tajam Gus Zainal terfokus pada keadaan kemandegan kreatifitas dikalangan umat islam terutama para santri. Gus Zainal melihat para santri masih sering gagap dalam mengahadapi modernitas. Kiprah mereka tidak banyak terekam dalam ranah publik. Mereka juga masih dipandang sebelah mata. Ini bisa dikatakan wajar karena selama ini santri sering mengisolasi diri di alam pesantrennya tanpa mau berdialektika dengan lingkungan luar. Mereka tidak mau tanggap terhadap realitas sekitar. Agama bagi mereka masih sering dimaknai “agama untuk agama”, bukan agama demi kemaslahatan sosial. Karenanya kiprah para kaum santri kurang terlihat dalam ranah publik.
Dari hal ini, Gus Zainal menginginkan para santri bangkit. Sebagaimana dalam bukunya Eksotisme Seni Budaya Isam, Gus Zainal banyak mengekspos masa kejayaan islam dahulu. Gus Zainal berbicara panjang lebar seputar kejayaan islam. Mulai dari kemajuan ilmu pengetahuan, seni, sastra, serta kemajuan peradaban, banyak diperbincangkan. Bagi Gus Zainal hal ini bukanlah untuk evoria sejarah, tetapi digunakan sebagai motivasi bagi para generasi muda islam terutama santri. Diharapkan para santri tergugah kesadarannya untuk kembali merebut kejayaan islam. Para santri digugah agar mencari ilmu secara holistik-komprehensif, bukan sekedar paradigmatik. Gus Zainal juga menginginkan para santri mampu menjadi intelektual-ensiklopedik yang menguasai berbagai keilmuan. Sebagaimana dahulu para intelektual islam lahir, saat ini ditengah modernitas diharapkan intelektual islam lahir kembali.
Meski tetap mempertahankan tradisinya, diharapkan santri tetap mampu memberikan kontribusi positif terutama di ranah publik. Santri jangan hanya sekedar berperan di tingkat desa. Apalagi sekedar dalam dunia politik. Santri menurut Gus Zainal, semestinya mampu mewarnai berbagai sudut kehidupan. Ini paralel dengan gagasan Nur Cholis Majdid yang juga menginginkan umat islam mampu mewarnai kehidupan. Selain itu, santri juga semestinya mampu berjalan dibarisan paling depan sebagai panutan. Bukan seperti saat ini, mayoritas santri masih tertatih-tatih menghadapi modernitas. Malah sebagian ada yang masih terbelakang.
Gagasan Gus Zainal sebagian telah mampu terealisasi. Terbukti Gus Zainal mampu membimbing para generasi muda terutama para santri untuk menjadi penulis handal yang mewarnai berbagai media. Tercatat nama-nama seperti Muhammadun AS, Gugun El-guyanie, Salman Rusydi Anwar, BJ Sujipto, Mahwi Air Tawar, M Yunus BS, dan masih banyak nama yang lain mampu mewarnai media dengan tulisan-tulisan mereka. Mulai dari kolom, puisi, cerpen, esai, telah mereka kuasai dan mampu dituangkan di berbagai media. Namun, lagi-lagi kita prihatin. Sebab belum sempat gagasan Gus Zainal terlaksana sepenuhnya, beliau harus berpulang ke Rahmatullah. Tetapi mau bagaimana lagi. Hal ini tidak bisa dipungkiri karena telah menjadi suratan takdir Allah. Saat ini kita hanya bisa berharap kepada para santri yang ditinggalkan, putra-putri beliau serta istri tercinta beliau, agar mampu meneruskan risalah Gus Zainal. Apa yang selama ini digagas Gus Zainal semoga terus berlanjut serta tidak terputus ditengah jalan. Dan bagi Gus Zainal semoga Allah senantiasa memaafkan dosa-dosanya dan menempatkan beliau ditaman surganya, allahummaghfirlahu warkhamhu wa‘aafihi wa’ fu’anhu, amin.
*) Penulis adalah Staf pada Pusat Studi Agama Dan Kebudayaan (Pusaka) Yogyakarta
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

Tidak ada komentar: