Rabu, 19 Maret 2008

Esei Kompangan

Kompangan dan Spirit Dakwah Kaum Santri
Oleh : Fatkhul Anas*)

Kita tentu masih ingat bagaimana Clifford Geertz memberikan kategorisasi terhadap keagamaan masyarakat Jawa. Geertz mengkategorikan masyarakat Jawa kedalam tiga golongan, yaitu kaum abangan, santri, dan priyayi. Penggolongan ini memang efektif untuk memberikan kategorisasi masyarakat Jawa yang beraneka warna baik pemahaman agama, tradisi, tingkah laku, upacara adat, serta simbol-simbol yang nampak. Dari segi tradisi, masing-masing golongan ini memiliki corak perbedaan yang sangat menonjol. Kaum abangan lebih dekat kepada mistisisme Jawa yang memiliki corak kental hindu-budha. Kaum santri memiliki tradisi keislaman kuat yang berbasis pada keislaman Timur Tengah sebagaimana yang diajarkan oleh pembawa islam ke pulau Jawa. Sedang kaum priyayi lebih condong pada tradisi sistim feodalisme yang mengunggulkan derajat dan pangkat.
Khusus kaum santri yang memiliki ketaatan kuat terhadap islam, upaya penghidupan tradisi islam telah menjadi bagian dari hidup mereka. Semaraknya kaum santri ketika memperingati maulid misalnya, merupakan sebuah fenomena yang hampir selalu kita jumpai setiap momen maulid nabi tiba. Cara mereka menyemarakkan maulid beraneka macam. Ada yang menyelenggarakan pengajian akbar, pembacaan kitab Albarjanji, Maulid Dziba’, serta kegiatan keagamaan lainnya yang mendukung semarak maulid nabi. Masing-masing daerah juga berbeda-beda. Di daerah Jawa Tengah, khususnya Kabupaten Kebumen cara penyambutan maulid dengan memukul kompang untuk mengiringi solawat nabi yang selanjutnya disebut kompangan. Kompangan merupakan kegiatan kaum santri klasik ( santri dalam kategorisasi Geertz).
Dalam kegiatan ini alat yang dipukul berupa kompang yaitu sejenis rebana namun lebih besar dan lebih kuat. Rangka serta kulitnya lebih besar dari rebana biasa. Suaranya juga lebih nyaring. Adapun mengenai kapan dimulainya tradisi ini, sampai saat ini penulis belum menemukannya. Tetapi yang jelas kompangan adalah tradisi masyarakat santri Jawa Tengah (masyarakat kuno). Kompang ditabuh bersamaan dengan solawat, biasanya solawat Albarjanji. Pada saat srakal (suasana jamaah berdiri) kompang ini ditabuh secara nyaring. Selain untuk mengiringi solawat Albarjanji, kompang juga ditabuh pada saat iring-iringan kuda dalam rangka Khotmil Al-qur’an baik di mushola maupun masjid-masjid kampung. Kompang ditabuh sepanjang jalan sampai iring-iringan selesai.
Terkadang kompang juga ditabuh untuk menyambut kedatangan seorang kyai yang akan mengisi pengajian maulid nabi atau isra’ mi’raj. Perbedaan antara kompang dengan rebana selain dari segi ukuran alatnya, jumlah alat kompang juga sedikit. Kompang untuk satu grup biasanya hanya empat buah ditambah satu jidur. Terkadang malah tidak memakai jidur. Jidur dipakai hanya saat iring-iringan Khotmil Qur’an. Lagu-lagu yang dibawakan adalah lagu-lagu sholawat dengan lirik klasik. Karenanya, kompang biasanya hanya dimainkan oleh orang-orang tua.

Spirit Dakwah Kaum Santri

Kompangan selain sebagai ritual klasik untuk menyambut maulid nabi, sesungguhnya memiliki dimensi luas bagi kehidupan para kaum santri di daerah pedesaan. Kompangan adalah bukti spirit dakwah kaum santri pada masyarakat Jawa untuk senantiasa menghidupkan tradisi keislaman. Ditengah kompleksitas kehidupan duniawi, masyarakat santri masih memiliki etos tinggi untuk menjunjung nilai keislaman. Meski keberadaan mereka di alam pedesaan yang banyak bersinggungan dengan kaum abangan, kaum santri tetap dengan semaraknya menghidupkan ukhuwah islamiyah. Diterpa pula oleh keterbatasan ekonomi, wawasan, pendidikan, serta informasi, namun hal tersebut tidak menjadikan kaum santri menyerah begitu saja.
Hal ini merupakan tindakan yang boleh dikatakan luar biasa. Apalagi secara sosio-historis masyarakat Jawa Tengah lebih banyak berhaluan abangan serta memiliki paham sinkretisme islam yang kuat. Ini bisa dimaklumi karena penyebaran islam ke pulau Jawa adalah melalui daerah pantai terutama pantai utara. Karenanya daerah Jawa Tengah kurang tersentuh. Koentjaraningrat dalam bukunya Kebudayaan Jawa (1984) menyebut bahwa islam masuk pulau Jawa mula-mula mempengaruhi kota-kota pelabuhan pantai utara pulau Jawa. Kota-kota tersebut selang beberapa waktu membentuk “peradaban pesisir” yang tumbuh subur bersamaan dengan kekuatan politik yang mampu menumbangkan kerajaan Hindu-Budha Majapahit yang berpusat di daerah Delta sungai Brantas. Kemudian agama islam menyebar sepanjang pantai timur-laut pulau Jawa sampai abad 16 Kerajaan Panarukan di Jawa Timur menghalangi penyebaran ke arah timur lebih lanjut.
Sementara daerah pedalaman Jawa Tengah serta Jawa Timur masih memiliki tradisi hindu-budha yang kuat. Hal ini menghalangi penyebaran islam selama kurang lebih dua abad. Didukung pula oleh melemahnya kekuatan kota-kota pantai utara serta berkurangnya kemakmuran karena kekuasaan orang-orang Eropa, maka perkembangan islam sangat lamban di daerah Jawa Tengah. Tak heran jika Jawa Tengah memiliki perbedaan menonjol dengan daerah pesisir utara pulau Jawa. Daerah Jawa Tengah masih banyak terdapat kaum abangan terutama di daerah pelosok serta memiliki mistisisme kuat, bahkan sampai sekarang. Sedang daerah pesisir pantai utara islamnya lumayan kuat.
Dari sosio-historis ini semakin jelas bahwa islam masuk Jawa Tengah dalam posisi belakangan. Karenanya, bisa dimaklumi jika posisi kaum santri di Jawa Tengah sangatlah rentan dengan berbagai persoalan. Selain dengan kaum abangan, kaum santri juga harus berhadapan dengan paham mistisisme Jawa yang masih kental. Ilmu-ilmu seperti santet, pelet, kekebalan ala Jawa, dan lainnya masih banyak terdapat di Jawa Tengah. Kehadiran kaum santri dalam hal ini benar-benar menjadi lokomotif utama bagi penyebaran umat islam disana. Setidaknya melalui kompangan inilah para kaum santri mampu menunjukkan kegigihanya dalam rangka memperluas ajaran keislaman. Sedikit demi sedikit masyarakat dibangun baik dalam hal ilmu keislaman maupun paham keagamaanya. Dan hasilnya sampai saat ini bisa kita lihat, islam di Jawa Tengah berkembang begitu pesat. Kalau masih ada paham-paham mistisisme Jawa, hal itu merupakan dinamika kehidupan yang memang sulit dihilangkan.
Prestasi kaum santri lewat kompangan ini sudah semestinya dihargai dan sedapat mungkin dilanjutkan. Sayangnya, tradisi kompangan saat ini sudah hampir sirna dan sulit ditemukan lagi. Ini tentu saja karena serangan globalisasi yang semakin deras. Serangan globalisasi telah meruntuhkan sendi-sendi kearifan lokal (local wisdom). Tradisi-tradisi lokal tidak lagi mempunyai tempat dalam masyarakat. Mereka telah terbiasa dengan kebudayaan baru yang dianggap lebih menarik. Hanya disayangkan budaya baru tersebut adalah budaya Barat yang dalam beberapa hal bertentangan dengan kebudayaan bangsa. Budaya Barat yang lahir dari spirit kebebasan (freedom) telah melahirkan individualisme personal. Sistim persaudaraan ataupun sistim kekerabatan telah hilang dan berubah menjadi egoisme. Dari sinilah kemudian melahirkan materialisme, hedonisme, pragmatisme, serta varian lain dari budaya Barat yang kita sebut sebagai kebudayaan modern.
Saat ini budaya-budaya tersebut begitu kuat merongrong kebudayaan adiluhung bangsa. Karena itu, usaha pelestarian kebudayaan bangsa termasuk juga pelestarian terhadap kompangan merupakan hal yang tidak bisa tidak untuk dilakukan. Mulai dari masyarakat kemudian merambah kepada pemerintah, usaha pelestarian terhadap kebudayaan bangsa tersebut harus segera dipikirkan dan dilaksanakan betul-betul. Sebelum globalisasi menggerus total kebudayaan bangsa, segeralah kita selamatkan warisan para nenek moyang bangsa ini. Jangan sampai kekayaan bangsa yang tinggi nilainya sirna ditelan zaman sehingga para generasi pewaris bangsa tidak mampu mengetahui apalagi menikmati khazanah kebudayaan bangsa. Semoga ditengah ramainya hiruk-pikuk kehidupan, kompangan masih mampu dilestarikan oleh masyarakat Jawa Tengah lebih-lebih dalam rangka menyambut maulid nabi ini.


*) Penulis adalah pangamat budaya pada Hasyim Asy’ari Institute
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

Tidak ada komentar: