Rabu, 04 Juni 2008

Resensi Tibet

Revolusi Buram di Bumi Tibet

Judul buku : Revolusi Tibet; Fakta, Intrik, dan Politik Kepentingan Tibet-China-Amerika Serikat
Penulis : Nurani Soyomukti
Penerbit : Garasi, Yogyakarta
Cetakan : I, Mei 2008
Tebal : 136 halaman
Peresensi : Fatkhul Anas*)

Delapan puluh enam hari yang lalu, tepatnya 10 Maret 2008, dunia Internasional digemparkan oleh "geger Tibet". Sebuah peristiwa ekstrim tiba-tiba terjadi di Tibet tanpa pernah disangka. Berawal dari long march yang dilakukan oleh sekitar 300 biarawan Tibet yang berjalan dari Biara Drepung menuju ke pusat kota Lhasa. Long marc dilakukan dalam rangka mengenang Hari Ulang Tahun Tibet terhadap invasi China pada 10 Maret 1959. Juga sebagai peringatan hari kegagalan pemerintah China menundukkan Tibet serta pengusiran atas Dalai Lama, pemimpin spiritual Budha Tibet, ke pengungsian di tahun 1959.
Kompas (11/3/2008) memberitakan, para biarawan itu melakukan perjalanan menuju Istana Potala di pusat kota untuk menuntut dilepaskannya para rahib yang ditawan pada Oktobert 2007 lalu, saat Dalai Lama menerima Medali Emas di Washington dari kongres Amerika. Pemberian Medali itu rupanya membuat pihak China kecewa. Praktis kejadian long marc itu menjadikan pemerintah Cina bertindak secara sepihak. Pemerintah China mengutus para Polisi mengelilingi biara di dalam dan disekitar kota Lhasa setelah long marc ini dimulai. Karena merasa dilecehkan, parta rahib pun membawa peristiwa ini menjadi berbuntut panjang. Demonstrasi serta aksi-aksi massa tiba-tiba bermunculan. Kesimpang-siuran berita terjadi dimana-mana. Terdengar kabar mengenai keinginan Tibet untuk merdeka, tetapi China tetap mempertahankan Tibet sekuat tenaga. Suasana sungguh semakin memanas. Apa yang terjadi sesungguhnya?
Buku Revolusi Tibet; Fakta, Intrik, dan Politik Kepentingan Tibet-China-Amerika Serikat karya Nurani Soyomukti ini mengupas tuntas mengenai fakta-fakta dibalik peristiwa 10 Maret 2008 di Tibet. Buku ini membedah dari berbagai sisi. Mulai dari sejarah, geografis, politik, maupun intervensi asing, segalanya dibahas tuntas. Mengenai bagaimana keretakan antara Cina dan Tibet, dalam buku ini jelas disebutkan bahwa hal itu terjadi mulai abad ke-19. Sebelum abad itu Tibet masih setia di bawah China. Setelah adanya intervensi Inggris pada abad 19 dan munculnya revolusi tahun 1911 yang menghancurkan dinasti Qing, maka China berubah menjadi negara republik dari semula berbentuk dinasti. Sepanjang periode Republik (1911-1949) situasi politik China tak menentu. Akibatnya Tibet tidak mendapat prioritas perhatian (hal 42).
Setelah perang sipil di China dimenangkan Partai Komunis China (PKC), Mao Zedong dan para pimpinan PKC mulai mempersiapkan tindakan "Pembebasan Untuk Tibet". Pada tanggal 6 Agustus 1949, Mao memberikan instruksi pada Peng Dehuai, Komandan Pasukan Utama dari Tentara Pembebasan Rakyat (People Liberation Army/PLA) untuk mempersiapkan gerakan pembebasan Tibet. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya sejak 10 Maret 1959, perjuangan pembebasan Tibet semakin nyata. Rapat akbar dan aksi-aksi massa diselenggarakan di Lhasa dengan menghasilkan tuntutan agar China secepat mungkin meninggalkan Tibet dan menyusun rencana untuk kemerdekaan Tibet. Sebelumnya yaitu tahun 1957, Tibet juga telah mempersiapkan tentara gerilyawannya.
Mengenai penyiapan tentara gerilyawan ini, terungkap bahwa didalamnya ada sekelompok bangsa asing yang membantu Tibet baik dalam hal pasokan senjata maupun melatih para tentara. Bangsa tersebut tak lain adalah Amerika. Melalui CIA-nya Amerika memberikan pasokan senjata serta mengkarantina pasukan Tibet untuk dilatih mengenai dasar-dasar kemiliteran, inteligen, taktik perang gerilya, pengenalan senjata modern, serta cara komunikasi dengan radio pemancar dua arah (hal 95). Mereka melatih tentara Tibet selama enam bulan di Pangkalan Angkatan Laut AS di Saipan. Entah ada motif apa Amerika membantu Tibet. Apakah bermaksud menjadikan Tibet sebagai antek-anteknya atau ada maksud lain, belum begitu jelas.
Yang bisa dijadikan prediksi sebagaimana terungkap dalam buku ini, bahwa Amerika membantu Tibet adalah untuk meraup kekayaan mineral dan kandungan minyak yang tersembunyi dibalik keindahan pegunungan Himalaya. Pegunungan yang memiliki ketinggian 4000 m diatas permukaan laut ini, menyimpan kekayaan yang melimpah. Keindahan alamnya juga begitu mempesona. Apalagi didalamnya terletak Mount Everest, pegunungan yang puncaknya tertinggi di dunia dengan ketinggian mencapai 8,8 km. Ini jelas merupakan daya tarik tersendiri bagi Amerika. Tak lain pula dengan China. Sikap mempertahankan Tibet dibawah "kaki"-nya adalah karena Tibet kaya dengan berbagai pesona, baik pesona alamnya maupun tambang minyak serta mineralnya.
Peristiwa 10 Maret 2008 lalu sebenarnya tak lepas dari sekenario Amerika. Dengan mengatasnamakan kesucian, para rahib disetir untuk turun jalan memberontak terhadap pemerintahan China. Mereka digiring untuk melakukan aksi demi memperoleh kemerdekaan. Padahal sesungguhnya aksi mereka bertentangan dengan ajaran agama budha. Agama budha yang mereka anut tidak mengejarkan aksi kekerasan. Sedang mereka melakukan kekerasan dengan menjarah maupun membakar toko-toko warga China yang bukan keturunan Tibet. Disini jelas terlihat adanya sekenario dari pihak lain. Dan pihak itu tak lain adalah Amerika. Didukung pula oleh pemberitaan media internasional yang luar biasa. Media membeberkan kasus Tibet besar-besaran. Mereka menggambarkan aksi Tibet adalah aksi positif. Sedang China telah melakukan kesalahan, karenanya di sudutkan dan dipermalukan (hal 119).
Pemberitaan ini dilakukan Amerika tentu untuk menjelekkan China dimata internasional. Terlebih China saat ini mengalami kemajuan yang luar biasa. Pertumbuhan ekonomi yang begitu pesat akan semakin mudah menyaingi Amerika. Agar hal itu tidak terjadi, maka dibuatlah sekenario kecil yang kemudian dibesar-besarnya hingga tingkat International. Tujuannya agar Amerika tidak ada saingannya sehingga tetap menjadi raja dunia dan selamanya menyandang gelar "negara super power". Amerika tak ingin tertandingi dan tak ingin di cap buruk. Meski ia sendiri sudah demikian buruk. Aksi eksploitasi terhadap Iran dan Afganistan sudah jelas-jelas melanggar HAM, tetapi dikatakan demi membasmi teroris. Adapun Cina yang hanya persoalan kecil dibeberkan secara internasional. Seolah menjadi bumerang.
Kalau sudah seperti ini persoalannya, maka muncul sebuah persepsi bahwa revolusi Tibet merupakan "revolusi yang buram". Masalahnya, jikalau Tibet ingin merdeka dan lepas dari China, Amerika dan sekutunya pasti tidak akan tinggal diam. Mereka akan menyetir Tibet dan menjadikannya lahan eksploitasi yang empuk. Tak jauh beda dengan China. Demi mendukung pertumbuhan ekonominya, Tibet tentu tidak akan dilepas begitu saja. Upaya penjajahan kembali dalam segala bentuknya tidak bisa dihindari nantinya. Itu memberi gambaran jelas bahwa revolusi Tibet merupakan revolusi yang masih buram. Kapankah ini akan berakhir? Biarkan waktu yang berbicara.
*) Peresensi adalah staf pada Hasyim Asy’ari Institute
HP 085292843110
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

Tidak ada komentar: