Rabu, 04 Juni 2008

107 Tahun Soekarno

Soekarno, Pancasila, dan Pluralisme
Oleh : Fatkhul Anas*)
Hari ini, hari bersejarah kembali bergema. Hembusan angin yang telah mengubur jasad seorang pahlawan, berhembus kembali, membongkar dan menghadirkan sang pahlawan dihadapan kita. Namun, yang kali ini dibawa oleh sang angin bukanlah jasad pahlawan itu, melainkan "ruh (baca spirit)"-nya. Ya, ruh yang telah lama bersemayam, hari ini tepat 6 Juni ruh itu didatangkan dan diajak melihat kita. Serta diajak untuk menyatu dalam jiwa setiap manusia Indonesia. Inilah hari dimana seorang pendekar bangsa dahulu dilahirkan. Dari rahim seorang Ibu, ia lahir dikala fajar menyingsing. Praktis sebutan Sang Putra Fajar menjadi nama akrabnya.
Inilah tanggal dimana Soekarno dahulu dilahirkan. Dari sebuah dusun di kota Blitar, Soekarno pertamakali membuka matanya. Mata hitam dan bersih yang belum sedikitpun terbelenggu dosa, tiba-tiba harus menjadi saksi untuk sebuah drama kejam bernama "kolonialisme". Kelahiran Soekarno adalah kelahiran pilu. Lahir bersama penderitaan, kekejaman, serta ambisi yang membabi buta dari kaum kolonial. Ialah yang harus menanggung derita akibat drama kekejaman kolonial selama berabad-abad. Hanya saja ia sedikit tertolong karena dalam tubuhnya mengalir darah bangsawan. Sehingga dikala masa dewasanya tiba, ia bisa menikmati detik-detik pencerahan yang bernama pendidikan.
Masa pendidikannya inilah yang menjadi babak pertama dalam hidupnya untuk mencipta karakter kritis. Soekarno yang lahir dari rahim Indonesia adalah sosok manusia kritis, pemberani, keras, teguh dalam prinsip, cerdas serta toleran dan kasih sayang dengan semua golongan. Penduduk dari elit atas, petani, buruh, pejabat, agamawan, politisi, cendekiawan, semua digauli dengan intim oleh Soekarno. Keintiman itu melahirkan suasana kerukunan dan persatuan. Dan pada akhinya mengantarkan ia menjadi pejuang revolusioner, peraih kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah.
Adalah Soekarno, Bapak Bangsa yang telah berhasil mengantarkan Indonesia menuju pintu gerbang kemerdekaan. Ditemani seorang ahli ekonomi bernama Hatta, Soekarno membacakan teks proklamasi kemerdekaan tepat tertanggal 17 Agustus 1945. Praktis sejak itu sorak-sorai kegembiraan serta tangis kebahagiaan menyelimuti bumi Indonesia. Seluruh rakyat dari anak-anak, pemuda, dewasa, laki-laki, perempuan, serta orang-orang jompo, menjadi saksi lahirnya babak baru di bumi Indonesia, babak kebebasan. Abad pencerahan pun segera dimulai. Tatanan kehidupan yang porak-poranda segera dibenahi, ditata, serta direformasi. Indonesia mulai menampakkan diri sebagai sebuah bangsa ditengah bangsa-bangsa yang lain. Ke-eksisan-nya mulai kokoh meski disana-sini mendapat goncangan.
Dalam hidup Soekarno hal yang begitu dicintai ialah tanah airnya. Ia tak ragu-ragu menyebut Indonesia sebagai Ibu. Kecintaannya tergambarkan dalam berbagai pidato-pidatonya. Bahkan tak segan-segan Soekarno berkata bahwa Tuhan bersama Indonesia. Ini tercermin dalam pidatonya " Bukan saya berkata Tuhan adalah Indonesia, tetapi Tuhan bagiku tercermin pula dalam Indonesia" (artikel Bambang Noorsena: 2001). Begitu dalam kecintaannya terhadap tanah air, H. Agus Salim dan A. Hassan menghawatirkan jika kecintannya itu akan berubah menjadi musyrik. Namun, itulah watak Soekarno yang rasa nasionalismenya telah menyatu dengan darah dan dagingnya. Baginya, tanah air adalah segalanya sehingga ia rela mengorbankan kepentingan apapun termasuk untuk keluarganya.
Watak khas Soekarno lainnya, bahwa ia berjiwa pluralis tinggi. Ini tercermin pertama dari gagasan nasakom-nya. Nasakom (Nasionalis-Agama-Komunis) menjadi jiwa Soekarno saat memegang kepemimpinan Indonesia. Gagasan ini lahir mengingat kondisi bangsa terdiri dari beragam suku, agama, budaya, ras serta kepercayaan. Untuk merangkul semua itu butuh wadah yang memadai. Lewat nasakom inilah semua perbedaan dapat ditampung. Meski belum seutuhnya. Untuk lebih menambah daya tampung, Soekarno melahirkan gagasan baru yang bernama Pancasila. Gagasan kedua dari jiwa pluralis Soekarno ini menjadi wadah paling efektif untuk merangkai perbedaan. Tak urung, gagasan ini menjadi dasar negara Indonesia.
Lewat Pancasila, Soekarno mengajarkan bahwa perbedaan yang ada bukanlah alat pemecahan. Perbedaan adalah bahan-bahan persatuan. Layaknya pelangi, perbedaan yang ditata dengan rapi menjadi indah dan sedap dipandang. Itulah sesungguhnya yang diinginkan Soekarno. Lewat perbedaan janganlah dijadikan alasan untuk tidak bersatu bahkan memberontak. Apa yang dilakukan RMS, Andi Aziz, DI/TII, dan aksi separatisme lain ditindak tegas oleh Soekarno karena ia tidak menginginkan hal itu. Ia ingin agar semua perbedaan menjadi satu dalam persatuan, bukan berpisah dengan jalan pemberontakan. Sebab bangsa ini adalah bangsa besar dan akan selalu besar dalam wadah persatuan.
Disinilah betapa menariknya gagasan Soekarno. Lewat pluralisme dalam Pancasila-nya ia mengajarkan pesan kasih sayang dan perdamaian. Seandainya saja Soekarno terlalu kaku dan fanatik, barangkali bangsa ini bukan bernama Indonesia dan bukan pula tercipta sebagai negara kesatuan yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Itulah gagasan Soekarno yang sangat prinsipil dan menarik. Namun, akan lebih menarik tentunya jika mampu dikontekskan dengan kondisi bangsa saat ini. Pluralisme serta rasa toleransi sekarang begitu mahal harganya. Harus dibayar dengan luka dan kepedihan. Apa yang dialami anggota AKKBB (Aliansi Kebangsaan Untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) 1 Juni 2008 kemarin, adalah bukti bahwa pluralisme sangatlah mahal. Mereka harus terluka setelah mendapat pukulan dari anak-anak bangsa yang terlalu inklusif memegang prinsip sehingga menjadi garang.
Anak bangsa yang bersemayam dibawah baju Font Pembela Islam (FPI), tega memukuli sesama anak bangsa lainnya atas nama perbedaan. Mereka begitu fanatik sehingga "buta" dalam melakukan sesuatu. Sama sekali tidak tahu konteks. Kebencian terhadap Ahmadiyah semestinya janganlah dijadikan "dalil" untuk melukai anggota AKKBB. Toh, belum terbukti sepenuhnya bahwa AKKBB mendukung Ahmadiyah. Kalau FPI hendak mencegah AKBB janganlah dengan kekersan. Dekatilah dengan baik, dialog dengan mesra, dan selesaikanlah dengan perdamaian. Itu pula yang dulu dijarkan oleh Bapak bangsa ini. Perbedaan memang selalu ada, karenanya sikapilah dengan penuh kearifan. Begitulah kira-kira inti pesan pluralisme Soekarno kepada anak-anak Indonesia. Singkat dan bermakna.
Sejak dahulu Bapak Bangsa telah mengajakan etika pluralisme. Perbedaan: dirangkai dalam kebersamaan, dirajut dengan cinta kasih serta diikat dengan perdamaian.
*)Penulis adalah pengamat sosial pada Hasyim Asy’ari Institute .
HP 085292843110
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

Tidak ada komentar: