Rabu, 04 Juni 2008

Resensi Postkolonialisme Indonesia

Spirit Perlawanan dalam Sastra Postkolonial

Judul buku : Postkolonialisme Indonesia; Relevansi Sastra
Penulis : Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, SU
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : I, Februari 2008
Tebal : xii + 450 halaman
Peresensi : Fatkhul Anas*)

Membuka kembali ragam file ingatan tentang zaman kolonialisme di Indonesia sungguh merupakan hal yang "berani". Sekali membuka berarti siap dengan kisah-kisah dramatis seputar penderitaan bangsa. Kelaparan, kerja paksa, pembodohan massal, penganiayaan, pembunuhan secara sadis adalah pemandangan yang lazim. Perbudakan, gundik, serta pemungutan pajak secara paksa tak luput pula menjadi sejarah yang memilukan. Kekalahan bangsa Indonesia memaksa mereka tunduk dalam kekejaman, menikmati kesengsaraan, dan terpenjara dalam kebodohan. Tidak sedikitpun bangsa ini dibiarkan menikmati indahnya kehidupan, kecuali hanya segelintir orang. Orang-orang itu adalah mereka yang patuh dengan pemerintahan kolonial Hindia-Belanda.
Zaman kolonialisme memanglah menjadi "abad penggelapan" bagi bangsa ini. Abad ini memaksa bangsa Indonesia mengadakan pembelaan diri dengan melakukan perlawanan. Dari aspek fisik, bangsa ini melakukan serangan balasan dengan model peperangan. Meski dengan bersenjatakan bambu runcing, para nenek moyang Indonesia tak sedikitpun gentar menghadapi penjajah. Kendala apapun diterjang. Harta benda bahkan nyawa menjadi taruhannya. Orang-orang yang terdidik atau kaum intelektual mendirikan organisasi sebagai wadah penggalangan ide. Organisasi-organisasi seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, adalah sebagian dari organisasi yang setia meneriakkan semangat anti kolonialisme. Tidak ketinggalan para sastrawan Indonesia juga turut mewarnai perjuangan. Dengan karya sastra postkolonialisme-nya, mereka menyulut api perlawanan secara berkobar-kobar.
Semangat sastrawan postkolonialisme untuk menandingi kolonialisme akan dibahas tuntas dalam buku ini. Buku dengan judul Postkolonialisme Indonesia; Relevansi Sastra karya Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, SU membeberkan secara rinci serta memberikan analisis mendalam seputar karya sastra postkolonial. Dilihat dari istilah "postkolonial", ini berarti terjadi setelah zaman kolonial. Postkolonial atau pasca kolonial memberikan pemahaman bahwa masa ini adalah masa serangan balik terhadap kolonial. Kalau kolonial banyak mengeksploitasi tentang Indonesia, postkolonial memberikan umpan balik dengan melawan kolonial. Dalam kaitannya dengan sastra, sastra postkolonial adalah sastra perlawanan terhadap kolonial.
Sastra-sastra postkolonial di Indonesia banyak jumlahnya. Dalam buku ini disebutkan, ada dua kategori untuk mengklasifikasi karya sastra postkolonial. Pertama, karya sastra sebelum perang. Masa ini dibagi ke dalam empat periodisasi : sastra melayu rendah (Tionghoa), sastra Hindia Belanda, sastra Balai Pustaka, serta sastra Pujangga Baru. Kedua, masa sesudah perang (setelah Pujangga Baru). Masa ini tidak dibagi kedalam periodisasi dengan pertimbangan telah berakhirnya kolonialisme (hal 261). Karya sastra postkolonialisme sebelum perang dalam buku ini berjumlah delapan. Diantaranya: Cerita Nyai Dasima (G. Francis, 1896), Cerita Nyai Paina (H. Kommer, 1900), Max Havelaar (Multatuli, 1860, 1972), Manusia Bebas (Suwarsih Djojopuspito, 1940, 1975), Siti Nurbaya (Marah Rusli, 1922), Salah Asuhan (Abdoel Moeis, 1928), Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisjahbana, 1937), serta Belenggu (Armijn Pane, 1940).
Sastra postkolonial sesudah perang berjumlah lima buah; Ateis (Achdiat Karta Miharja, 1949), Pulang (Toha Mochtar, 1958), Bumi Manusia (Promoedya Ananta Toer, 1981), Burung-Burung Manyar (Y.B. Mangunwijaya, 1981), serta Para Priayi (Umar Kayam, 1992). Dari keseluruhan karya sastra postkolinialisme ini, Bumi Manusia-lah yang ditengarai memiliki citra perlawanan tinggi. Karya sastra hasil kreatifitas Pram ini, memiliki banyak aspek perlawanan didalamnya. Sesuai analisis pendek Prof Dr. Nyoman, ada banyak perlawanan yang diteriakkan Pram terhadap praktik kolonialisme lewat Bumi Manusia-nya. Pram mengkritik praktek pengucilan terhadap bangsa Indonesia. Ini disimbolkan Pram lewat tokoh Nyai Ontosoroh. Ontosoroh dalam versi Pram adalah perempuan berkualitas. Perempuan ini berhati keras, disiplin, serta pemberani. Meski ia tidak mengenyam pendidikan namun cerdas berkat pembelajaran otodidaknya (hal 334).
Ontosoroh memiliki semangat baja sebagai akibat perlakuan tidak pantas terhadap dirinya, sebagai gundik, bahkan dijual sebagai budak. Berkat keberaniannya, ia berhasil menyelamatkan perusahaan suaminya sehingga pada zamannya perusahaan tersebut terbesar di surabaya. Disini Pram memberikan gambaran bahwa sesuungguhnya bangsa Indonesia adalah bangsa yang berkualitas, pemberani, dan pantang menyerah. Tidak boleh bangsa ini dianggap rendah oleh bangsa penjajah. Penjajahlah yang semestinya merasa berdosa telah mengeksploitasi Indonesia secara besar-besaran. Mengenai eksploitasi, Pram juga memberikan sindiran keras di dalam Novel Bumi Manusia-nya. Pram menulis sebuah kalimat "Ingat-ingat ini: Eropa yang menelan pribumi sambil menyakiti secara sadis. E-ro-pa.....Hanya kulitnya yang putih,"ia mengumpat," hatinya bulu semata." (Bumi Manusia, 2006:489-490).
Kalimat ini adalah sindiran sekaligus hinaan yang keras seorang Pram terhadap para kolonialis. Pram hendak menyampaikan bahwa praktik kolonialisme harus dihentikan. Apa yang dilakukan Pram di dalam karya sastranya merupakan bentuk perlawanan nyata terhadap kolonialisme. Termasuk juga dengan karya sastra lainnya. Karya-karya Multatuli, Suwarsih Djojopuspito, Marah Rusli, Abdoel Moeis, Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Achdiat Karta Miharja, Toha Mochtar, Y.B. Mangunwijaya, Umar Kayam, serta lainnya merupakan karya-karya penentangan. Karya-karya tersebut membawa misi perlawanan serta penolakan terhadap kolonialisme. Melalui karya-karya ini, bangsa Indonesia diajari bagaimana seharusnya bersikap terhadap kolonialisme. Tak sekedar dikecam, tetapi kolonialisme harus dilawan. Dan pada akhirnya praktik kolonialisme harus dihentikan dari bumi pertiwi maupun di seluruh dunia.
Memang saat ini praktik kolonialisme sudah lenyap. Namun, jiwa-jiwa kolonialis masih bersarang ditubuh orang-orang Barat. Jiwa-jiwa itu sekarang berubah menjadi imperialisme. Praktek kolonialisme dalam bentuknya yang halus ini masih menyelimuti bumi Indonesia. Untuk mencegahnya diperlukan energi yang cukup. Tidak mungkin imperialisme dapat dicegah jika perangkat SDM bangsa masih lemah. Dengan mengambil semangat perlawanan pada postkolonialisme, semoga bangsa ini segera mampu menghentikan praktik imperialisme.
*) Peresensi adalah staf pada Hasyim Asy’ari Institute Yogyakarta
HP 085292843110
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

Tidak ada komentar: