Minggu, 09 Desember 2007

opini global warming

Revolusi Sepeda Untuk Keselamatan Dunia
Oleh : Fatkhul Anas*)


Sekilas membaca judul artikel tersebut barangkali kita berpikir ini adalah artikel lelucon. Pasalnya, ada sebuah hubungan inkonsistensi dalam judul tersebut yaitu sepeda dengan dunia. Kita mungkin berkata “masa dunia disandingkan dengan sepeda?”. Sungguh dua hal yang sangat berbeda jauh. Dunia yang begitu luas dibandingkan dengan sepeda yang kecil dan bukan barang mewah. Apakah hal itu bukanlah keanehan?
Bolehlah kita menganggap ini adalah semacam lelucon. Akan tetapi jikalau kita mau berpikir jauh barangkali kita akan mencapai sebuah titik temu. Sehingga kita bisa saja menyetujui gagasan tersebut. Apalagi mengingat isu global warming yang mengejutkan dunia bahkan menjadi misteri yang menakutkan. Bayangkan saja dalam sekejap dunia berubah total. Suhu udara naik, es di Kutub Utara dan Selatan mulai mencair, serta permukaan air laut semakin tinggi. Sepanjang abad 21 para ahli memperkirakan suhu permukaan bumi meningkat sebesar 1,1-6,4 derajat celcius. Begitu juga kalangan meteorolog percaya bahwa pemanasan global mengakibatkan es di Kutub Utara dan Selatan mencair sehingga permukaan air laut naik. Pada tahun 1993 saja peningkatan permukaan air laut telah mencapai 3,1 milimeter per tahun berdasarkan perhitungan satelit Poseidon Amerika Serikat. Apalagi sekarang telah mencapai abad 21. Tentu saja peningkatan permukaan air laut semakin tinggi melebihi 3,1 milimeter.
Jika permukaan air laut tersebut terus menerus mengalami peningkatan tentu saja pulau-pulau kecil di dunia akan hilang dengan sendirinya. Sebagaimana perkiraan para pakar bahwa peningkatan permukaan air laut tahun 2100 mencapai 280-340 milimeter. Hal ini akan mengakibatkan kota-kota seperti New York, Semenanjung Florida, Manhattan, Tokyo, Hongkong, serta kota-kota di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, serta Semarang akan tenggelam. Begitu pula pulau-pulau kecil lainnya yang tingginya setara dengan pulau-pulau tersebut akan lenyap. Seperti Maladewa, Solomon, dan Fiji.
Melihat fenomena yang begitu mengerikan akibat pemanasan global ini, tentu harus diupayakan bagaimana cara untuk mengatasinya. Kita berterimakasih kepada Jepang, Jerman, serta Belanda. Ketiga negara tersebut patut kita jadikan contoh. Sebab mereka telah mulai merintis usaha untuk mengatasi global warming. Jepang saat ini sedang merancang kebun algae seluas satu juta hektar di perairan laut dangkal Yamatotai. Kebun ini diharapkan mampu menghasilkan 5,3 miliar gallon bioetanol per tahun. Ini untuk menyubstitusi 33 persen kebutuhan bahan bakar minyak Jepang. Jerman membangun pusat pembangkit listrik tenaga matahari terbesar dunia. Adapun Belanda tengah membangun deretan kincir angin raksasa di laut utara.
Tiga negara tersebut adalah proyek percontohan bagi negara-negara lainnya. Namun yang menjadi permasalahan adalah bagaimana dengan negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia? Untuk meniru langkah ketiga negara tersebut tentu sangat sulit. Hal ini karena memakan biaya yang besar. Sedang Indonesia bukan negara kaya raya. Disinilah sulitnya posisi Indonesia maupun negara-negara berkembang lainnya. Akan tetapi sesulit apapun harus tetap diupayakan sebuah usaha untuk mengatasi pemanasan global ini. Misalnya dengan melakukan reboisasi maupun reforestasi (penghutanan kembali). Selain itu langkah yang mungkin dapat diupayakan adalah menghimbau rakyat untuk melakukan revolusi sepeda. Rakyat mulai diberlakukan bersepeda disela-dela aktifitas mereka. Sebab dengan bersepeda selain menyehatkan jasmani juga bisa mengurangi konsentrasi karbondioksida karena sepeda murni tanpa bahan bakar.
Namun tentu saja bersepeda dalam hal ini adalah ketika situasi kita sedang santai, tidak dikejar dengan tuntutan kerja, dan jarak tempuhnya pun dekat. Tidak mungkin kita memakai sepeda untuk jarak tempuh jauh karena hal itu tidak efektif. Dinegara maju terkadang malah lebih efektif memakai sepeda atau berjalan kaki dari pada naik kendaraan. Sebab dengan bersepeda atau jalan kaki mereka lebih cepat sampai pada tujuan. Kalau naik kendaraan seringkali mengalami kemacetan sehingga lambat. Di Jerman misalnya orang lebih banyak memilih berjalan kaki atau bersepeda ketika menempuh perjalanan dengan jarak tiga kilometer. Perbandingannya 55% berjalan kaki, 30% bersepeda, sedang 15%-nya memakai kendaraan pribadi (GTZ & ITDP 2000). Begitu pula di Kanada, keinginan masyarakat untuk berjalan kaki dan bersepeda sangat tinggi dengan perbandingan 48% bersepeda sedang 85% berjalan kaki (Environics 1998). Tak kalah pula Amsterdam, 47% penduduknya memilih berjalan kaki dan bersepeda dibanding menaiki mobil (34%) serta angkutan umum (16%) (Adonis 2001).
Dengan melihat negara-negara diatas setidaknya dapat kita jadikan acuan untuk menggalakkan program bersepeda bagi penduduk Indonesia. Namun tentu saja hal ini tidak bisa lepas peran pemerintah. Adanya dukungan serta fasilitas jalan bagi sepeda sangatlah diutamakan. Selain itu pemerintah juga dapat melakukan pembatasan penggunaan kendaraan bermotor di dalam kota. Belanda dan Jerman dalam hampir dua dekade telah melakukan hal tersebut. Selain itu mereka juga mengintervensi desain urban yang lebih berpihak pada pejalan kaki dan pengendara sepeda. Pembatasan penggunaan sepeda motor di dalam kota serta penegakan hukum yang melindungi pejalan kaki dan pengendara sepeda (Cholis Aunurrahman, 2007). Kalau hal ini bisa diterapkan di Indonesia siapa tahu program penggunaan sepeda akan berjalan efektif. Sehingga secara tidak langsung kita telah menyelamatkan dunia dari ancaman global warming melalui revolusi sepeda.



*) Penulis adalah pemerhati lingkungan serta staf pada Pusat Studi Agama dan Kebudayaan (Pusaka) Yogyakarta
Nomor HP 085292843110
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

Tidak ada komentar: