Minggu, 11 November 2007

opini sekolah bebas korupsi

Dukung Sekolah Bebas Korupsi
Oleh : Fatkhul Anas*)

Menarik ketika membicarakan ide HM Zaki Sierrad tentang pendirian sekolah bebas korupsi yang disampaikan saat sosialisasi pendidikan anti korupsi di sekolah-sekolah di wilayah Yogyakarta. Koordinator Forum Pemantau Independen (FORPI) Pakta Integritas Kota Yogyakarta ini boleh dikatakan memiliki ide yang cukup cermerlang mengingat begitu maraknya aksi korupsi di Indonesia. Apalagi setelah PBB mengeluarkan pernyataannya bahwa Presiden Soeharto menduduki nomor wahid sebagai manusia terkorup di dunia. Dalam gugusan 10 besar manusia terkorup di dunia, Suharto memang menduduki derajat tertinggi dalam korupsinya yang mencapai 15-35 miliar dolar AS. Ia mampu mengalahkan 9 orang lainnya. Diantaranya Ferdinand E Marcos, Filiphina (1972-1986), 5-10 miliar dolar AS; Mobutu Sese Seko, Kongo (1965-1997), 2-5 miliar dolar AS; Sani Abacha, Nigeria (1993-1998), 2-5 miliar dolar AS; Slobodan Milosovic, Serbia/Yugoslavia (1989-2000), 1 miliar dolar AS; Claude Duvalier, Haiti ( 1971-1986), 300-800 juta dolar AS; Alberto Fujimuri, Peru (1990-2000), 600 juta dolar AS; Pavlo Lazarenko, Ukraina (1996-1997), 114-120 juta dolar AS; Arnoldo Elemen, Nikaragua (1997-2000), 100 juta dolar AS; Josep Estrada, Filipina (1998-2001), 78-80 juta dolar AS.
Nama-nama itu adalah daftar para penjahat kemanusian kelas kakap yang dihimpun PBB melalui data Transparansi Internasional (TI) yang pernah dituangkan dalam Global Corruption Report 2004. Melihat beragam nama yang terpampang dalam data tersebut tidaklah salah jika korupsi dipandang sebagai kejahatan kemanusiaan (Crime Against humanity), tidak hanya sekedar kejahatan luar biasa (extraordinary cryme) sebagaimana diungkapkan Sekjen PBB, Ban Ki-moon. Di Indonesia sendiri kejahatan korupsi juga dinaikkan lefelnya oleh Komisi Yudisial. Dari lefel kejahatan luar biasa (extraordinary cryme) menjadi kejahatan melawan kemanusiaan dan peradaban (kompas, 27 September 2007). Hal ini mengindikasikan bahwa korupsi merupakan hal yang luar biasa berbahaya bagi kemanuasian. Juga merupakan hal yang harus segera diberantas.
Upaya pemberantasan korupsi tentu saja membutuhkan usaha serius. Sebab korupsi bukanlah hal remeh-temeh yang bisa diatasi dengan mudah. Ia adalah makhluk penggerogot hak-hak kemanusiaan yang bengis dan mematikan. Lihat saja berapa banyak uang rakyat yang mestinya didapat tetapi harus hilang dibawa kabur para maling. Kalau begini terus bisa-bisa rakyat habis. Selain itu, korupsi Indonesia juga telah masuk pada tingkat sistemik kalau dipandang menurut kacamata Mark Robinson. Tingkat ini adalah tingkat paling berbahaya dibanding dua tingkat sebelumnya; tingkat insidental atau individual dan tingkat institusional. Pada tingkat sistemik, korupsi telah menyerang seluruh masyarakat dan sistem kemasyarakatan. Jadi tidak hanya pribadi maupun institusi. Lihat saja fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini. Korupsi telah menjalar diseluruh lapisan masyarakat baik organisasi kemasyarakatan, LSM, Parpol, lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif, bahkan Depertemen Agama sekalipun. Korupsi juga telah tersistem rapi sehingga sulit untuk mendikte apakah itu korupsi atau bukan.
Penanganan serius terhadap korupsi tidak cukup hanya dengan penegakan hukum (law invocement). Namun diperlukan solusi lain yang saling mendukung. Apa yang digagas Zaki Sierrad tentang pendirian sekolah bebas korupsi di wilayah Yogyakarta menurut hemat penulis merupakan usaha tepat. Sebab melalui institusi pendidikan manusia akan digodog sejak usianya yang masih belia (TK/Play Group) sampai menginjak dewasa (Perguruan Tinggi). Meskipun untuk langkah awal sekolah tersebut baru diterapkan untuk SMA dan rencananya akan dimulai akhir tahun 2007. Akan tetapi yang perlu menjadi catatan besar adalah apakah sekolah tersebut benar-benar akan terwujud? Jangan-jangan hanya sebatas wacana. Kalau cuma sebatas wacana tentu rencana itu tidak akan berguna. Ia hanya sekedar bualan bak angin lalu. Padahal solusi penanganan korupsi melalui institusi pendidikan adalah sangat dibutuhkan.
Hal ini mengingat pentingnya institusi pendidikan dalam membangun karakter manusia. Kalau berpacu pada teori empiris dalam psikologi, tentu rencana tersebut tergolong tepat. Sebab perkembangan manusia menurut teori tersebut dipengaruhi oleh keadaan luarnya seperti lingkungan. Disinilah institusi pendidikan terutama sekolah dituntut mampu memainkan peranannya dalam membentuk karakter anak bangsa yang bebas korupsi. Lingkungan pendidikan sejak TK/Play Group sampai Perguruan Tinggi merupakan lahan subur untuk menanamkan nilai-nilai anti korupsi kepada setiap anak didik. Mereka sejak dini diajarkan bagaimana bertindak jujur, adil, serta bertanggung jawab. Selain itu mereka diajari pula rasa malu dan takut ketika hendak melakukan kejahatan. Malu kepada diri sendiri, kepada orang lain maupun malu kepada Tuhan. Kalau setiap anak didik mempunyai rasa malu untuk melakukan kejahatan tentu segala perbuatan mereka berorientasi pada kebaikan.
Untuk menanamkan nilai-nilai tersebut juga tidak gampang. Apalagi nilai merupakan hal yang tidak nampak. Ia hanya dapat dirasakan dan dinikmati oleh orang yang menjalankannya. Untuk itu diperlukan langkah yang tepat. Apalagi di lingkungan pendidikan. Salah satu hal yang dekat dengan nilai adalah agama. Sebab ia mengajarkan berbagai macam norma yang harus dipatuhi oleh pemeluknya. Norma-norma inilah yang akan membentuk nilai yang dapat dijalankan atau diamalkan oleh manusia. Karena itu sejak saat ini pelajaran agama sebaiknya ditambah alokasi waktunya terutama di sekolah/institusi pendidikan non–agama. Kalau dalam satu minggu misalnya dialokasikan waktu 2 jam pelajaran untuk mata pelajaran agama, maka ditambah lagi menjadi 4 jam atau lebih. Terus yang terpenting adalah bagaimana pelajaran agama tersebut benar-benar merasuk di hati para anak didik. Tidak hanya sekedar pelajaran untuk dipahami. Hal ini agar anak didik benar-benar mampu mengamalkan ajaran-ajaran agamanya dimanapun berada.
Fenomena yang banyak terjadi adalah agama hanya diambil kulit luarnya saja. Dalam artian ia hanya sebatas untuk dipelajari dan bukan untuk diamalkan. Selain itu telah terjadi pula apa yang disebut Holloway sebagai split of religiousity (kerobekan religiusitas). Agama hanya dimaknai secara simbolis dan formalis. Agama islam misalnya, ia yang memakai kopyah, sarung, mukena, dikatakan orang yang taat beragama. Sepintas memang ya, tapi nanti dulu. Dilihat dulu bagaimana akhlaknya, sikapnya sehari-hari, jiwanya, apakah memang benar-benar agamis atau tidak. Kalau ternyata ia masih saja suka menyakiti orang lain, tidak tertib lingkungan, suka menindas hak orang lain, mengambil harta yang bukan miliknya, ia tidak bisa dikatakan taat beragama. Ia hanya bersembunyi dibalik kedok simbolisme agamanya agar dicap sebagai orang taat. Tetapi sesungguhnya ia sama saja dengan orang yang tak taat beragama.
Inilah yang harus disadari sebelum semuanya terlambat. Dan yang terpenting saat ini adalah upaya pendirian sekolah bebas korupsi harus betul-betul diwujudkan dan pengajaran agama harus benar-benar diprioritaskan. Agama harus benar-benar merasuk dalam sanubari setiap anak didik. Sehingga saat dewasa kelak, mereka mampu mengamalkan nilai-nilai agamanya dimanapun berada. Mereka memiliki mental kuat untuk melawan segala kejahatan. Rasa malu kalau akan melakukan kejahatan juga senantiasa mereka pegang. Dan pada saatnya mereka pun akan malu melakukan korupsi.

*) Penulis adalah Koordinator Kajian Ilmu Pedidikan Kontemporer (KIPK) Yogyakarta
HP 085292843110
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

Tidak ada komentar: