Rabu, 07 November 2007

opini Hari Pahlawan

Refleksi Hari Pahlawan 10 November
Pahlawan dan Semangat Perjuangan Bangsa
Oleh : Fatkhul Anas*)
Momentum 10 November merupakan momentum bersejarah bagi bangsa Indonesia. Sebab peristiwa 10 November adalah peristiwa agung dimana diabadikan sebagai Hari Pahlawan oleh bangsa Indonesia. Hal ini memanglah tidak berlebihan mengingat kegigihan perjuangan arek-arek Surabaya melawan Sekutu yang mencoba menapakkan kakinya kembali, ingin merebut bangsa ini. Padahal bangsa Indonesia saat itu telah memproklamirkan kemerdekaannya. Disaat itulah perjuangan arek-arek Surabaya dengan segenap jiwa, raga, harta, darah, dan nyawa, ditumpahkan demi tegaknya NKRI.
Perjuangan arek-arek Surabaya boleh dikatakan merupakan perjuangan total. Banyak sekali rentetan peristiwa yang saling sambung-menyambung membentuk mata rantai yang tiada putus dalam perjuangan mereka. Starting point-nya adalah peristiwa Insiden Bendera di Hotel Yamato pada Rabu wage, 19 September 1945. Saat itu adalah masa kedatangan sekutu dan Belanda yang tergabung dalam Mastiff Carbolic, merupakan salah satu organisasi Anglo Dutch Country Saction (ADCS) yang bergerak di bidang spionase. Dengan memakai kedok Petugas/Organisasi Palang Merah Internasional (PMI) Belanda dan sekutu beroperasi di Surabaya dan mengunjungi Markas Besar Tentara Jepang yang berkedudukan di Surabaya. Pada saat yang sama bendera Belanda (merah-putih-biru) dikibarkan di sebelah kanan (Utara) Gapura Hotel Yamato oleh beberapa anggota dari Komite Kontak Sosial.
Hal ini tentu mengundang kemarahan dari para pejuang dan masyarakat Surabaya. Sebab secara tidak langsung mereka akan merebut kembali bangsa Indonesia dan ingin mendirikan pemerintahan kolonial Belanda. Resimen Sudirman akhirnya turun tangan. Beliau mendatangi sekutu dan meminta untuk menurunkan bendera tersebut. Hal ini tidak diindahkan malah Sudirman ditodong dengan pistol revolver oleh salah seorang Belanda. Tentu hal ini semakin memanaskan suasana terutama bagi rakyat Surabaya. Sehingga muncullah perkelahian massal yang tidak seimbang antara 20 orang sekutu/Belanda berhadapan dengan massa – rakyat/pemuda Surabaya yang berasal dari Genteng, Embong Malang, Praban dan sekitarnya. Buntut dari perkelahian ini adalah disobeknya bendera berwarna biru oleh pemuda Surabaya. Meskipun rakyat Surabaya kehilangan 4 pahlawan yaitu Sidik, Mulyadi, Hariono, dan Mulyono yang gugur sebagai kusuma bangsa.
Pasca Insiden 19 September 1945 tersebut, semangat rakyat Surabaya untuk mempertahankan NKRI semakin berkobar-kobar. Hal ini dibuktikan dengan penyerbuan terhadap gedung Kenpetai pada tanggal 2 Oktober 1945. Gedung Kenpetai adalah tempat penyiksaan para pejuang arek-arek Surabaya. Ditempat itulah para pejuang dan arek-arek Surabaya disiksa habis-habisan oleh tentara Jepang. Hal inilah yang menjadikan motif penyerbuan terhadap gedung Kenpetai. Dan tepat pada 2 Oktober 1945 arek-arek Surabaya dengan gagah berani mengepung Gedung Kenpetai dan terjadilah pertempuran yang berakhir pada pukul 16.00 setelah para pejuang melihat Bendera Jepang Hinomaru diturunkan sendiri oleh Takahara, komandan Kenpetai. Dari pertempuran ini rakyat Surabaya berhasil melucuti sejumlah kurang lebih 22.887 senjata. Belum termasuk alat persenjataan dari Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Adapun prestasi lain adalah direbutnya gedung Kenpetai oleh rakyat Surabaya yang merupakan bukti kemenangan besar.
Sampai disini perlawanan rakyat Surabaya masih belum berakhir. Bangsa Belanda ternyata masih menapakkan kakinya di bumi Surabaya. Tentu hal ini semakin memanaskan api kebencian rakyat. Sehingga perlawanan pun terus dilakukan meski nyawa taruhannya. Dan pada 30 Oktober 1945 sebuah peristiwa besar terjadi yaitu terbunuhnya Brig. Jend. Mallaby di dekat Jembatan Merah. Peristiwa ini tentu tidak terjadi begitu saja. Ada kronologis kejadian yang saling berantai.
Diawali dengan diadakannya pertemuan antara Presiden Sukarno, Wapres Moh. Hatta, Menpen Amir Syarifuddin, Gubernur Soerjo, residen Soedirman dengan Mayjen D.C. Hawthorn, pimpinan tentara Sekutu di Jakarta pada 30 Oktober 1945. Salah satu hasil pertemuan itu adalah dibentuknya Kontak Komisi, yang diharapkan dapat memudahkan hubungan kedua belah pihak juga disetujui agar tembak-menembak antar kedua belah pihak dihentikan. Namun faktanya tembak-menembak terus berlangsung. Sehingga diputuskan agar para anggota Kontak Komisi turun ke lapangan diantaranya dengan mengunjungi daerah Jembatan Merah. Disitu terletak gedung Internatio, yang merupakan markas Pasukan Komandan Brigade ke-49 Inggris, yang bertugas di Surabaya.
Sampai di Jembatan merah ternyata gencatan senjata terjadi. Hal ini karena arek-arek Surabaya telah menanti anggota Kontak Komisi yang diantaranya adalah Brig. Jend. Mallaby. Tepat sekitar pukul 20.30 mobil yang ditumpangi Brig. Jend. Mallaby meletus dan Mallaby pun tewas. Peristiwa ini tentu saja semakin membuat rakyat Surabaya optimis bahwa mereka akan menang. Namun bagi Sekutu hal ini merupakan pukulan luar biasa. Sebab harga diri mereka semakin terinjak-injak. Sehingga melihat hal ini, Mayjen E.C. Mansergh, panglima tentara Sekutu di Jawa Timur pengganti Brig. Jend. Mallaby mengeluarkan sebuah ultimatum pada 9 November 1945 agar pihak Indonesia di Surabaya meletakkan senjata selambat-lambatnya jam 06.00 tanggal 10 November 1945.
Namun Ultimatum itu ditolak oleh bangsa Indonesia. Sehingga pada pukul 06.00 pagi tanggal 10 November 1945 tentara Inggris menggempur kota Surabaya dari darat, laut, dan udara dengan menggunakan kapal perang, pesawat udara, serta pasukan yang bergerak dari Tanjung Perak menuju tengah kota. Para pejuang Indonesia mengambil siasat mengundurkan diri dari dalam kota Surabaya dan memilih meneruskan perjuangan dari luar kota.
Intulah sederetan kronologis historis yang mengilhami lahirnya Hari Pahlawan yang diperingati setiap 10 November. Dari peristiwa ini sesungguhnya banyak makna yang mampu kita petik dan kita tanamakan dalam kehidupan saat ini. Kegigihan perjuangan dan pengorbanan yang tulus merupakan sebuah contoh yang mampu kita jadikan referensi bagi kehidupan berbangsa. Ditengah carut-marutnya tatanan negri dan semakin hilangnya semangat perjuangan, kita buka kembali pintu kesadaran tinggi untuk berjuang menata negri dari ke-chaos-an menuju tatanan kosmik yang teratur, tertata, dan terarah. Perjuangan yang tulus ikhlas, tanpa banyak tuntutan dan kepentingan, itulah yang sangat dibutuhkan saat ini. Belajarlah dari para pahlawan kusuma bangsa yang senantiasa tulus dengan segenap jiwa raga membela tanah air. Mereka tidak memandang kepetingan golongan, tidak mengaharapkan imbalan, serta tidak banyak menunutut. Perjuangan mereka semata-mata demi kehormatan bangsa dan demi tetap tegaknya NKRI. Semoga momentum Hari Pahlawan kali ini benar-benar membawa angin segar bagi para penerus bangsa.
*) Penulis adalah staf pada Pusat Studi Agama Dan Kebudayaan (Pusaka) Yogyakarta
HP 085292843110
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas


Refleksi Hari Pahlawan 10 November
Melawan Diri Sendiri
Oleh : Fatkhul anas*)

Tanggal 10 November memiliki makna berarti bagi bangsa Indonesia. Tanggal itu adalah waktu dimana babak peristiwa bersejarah dimulai. Tepatnya tanggal 10 November 1945 di Surabaya. Sebuah pertempuran sengit antara rakyat Surabaya melawan Sekutu dan kroni-kroninya sedang digelar. Pertempuran yang mengorbankan beribu nyawa terutama dari rakyat Surabaya yang digempur dari darat, laut, dan udara, merupakan peristiwa besar yang terjadi di negri ini. Nyawa yang melayang, jiwa yang hilang, adalah bukti kegigihan rakyat Surabaya berjuang mempertahankan kemerdekaan RI dari rong-rongan penjajah. Sebuah prestasi yang sungguh tak mampu digantikan dengan apapun. Hanya untaian doa yang mampu kita haturkan bagi para pejuang.
Itulah peristiwa 10 November 1945 yang saat ini kita peringati sebagai Hari Pahlawan. Kali ini peringatan Hari Pahlawan kembali menyapa rakyat Indonesia terutama para generasi penerus bangsa. Hari Pahlawan adalah sebuah momentum reflektif bagi para generasi penerus bangsa untuk kembali memikirkan bangsa Indonesia. Para generasi penerus bangsa yang selama ini disibukkan dengan berbagai hal ditegur kembali dengan sapaan hangat dari para pahlawan kusuma bangsa lewat momentum hari pahlawan ini. Itulah sesungguhnya makna yang hendak disampaikan oleh Hari Pahlawan. Hanya saja kita tak mampu menangkap makna-makna itu. Kita telah lama terkurung oleh budaya materialisme, hedonisme, pragmatisme, bahkan egoisme. Sehingga celah kesadaran kita semakin tertutup. Kita hanya memikirkan hal-hal yang serba material-fisikal saja. Jabatan, kedudukan, uang, harta, dan segala sesuatu yang mendatangkan kesenangan diri, itulah yang menjadi fokus dan perhatian kita.
Diri kita saat ini memang betul-betul diambang ke-chaos-an. Berbagai problematika bangsa dari kemiskinan, anak-anak terlantar, pengangguran, korupsi, aksi penggusuran, serta berbagai problematika lain, sungguh semakin meresahkan bangsa. Tetapi kita masih sibuk membangun kemewahan dan kejayaan diri (self glory). Kita semakin lalai akan kepentingan umat, bangsa dan negara, namun semakin sibuk dengan kepentingan diri sendiri. Rakyat kecil semakin semrawud karena semakin banyaknya problem kehidupan. Mereka semakin sesak dengan kondisi zaman yang tidak memberikan ruang kenyamanan. Sementara para pemimpin rakyat ribut antara satu sama lain. Ribut mempersoalkan gaji, kepentingan politik, jabatan yang tak kunjung naik, korupsi yang ditutup-tutupi, kekayaan yang kurang melimpah, serta berbagai hal yang sesungguhnya tidak perlu diperselisihkan. Itu adalah fakta yang terjadi dalam kehidupan ini. Dan itulah musuh yang harus kita hadapi.
Kalau dahulu para pahlawan melawan penjajah yang datangnya dari luar, tetapi saat ini kita melawan penjajah yang datang dari dalam. Musuh kita saat ini adalah diri kita sendiri yaitu nafsu-nafsu kita. Saat ini kita semakin terbengkelai oleh keinginan-keinginan nafsu. Kita semakin sibuk mengejar keinginan diri. Sudah kaya ingin bertambah kaya, maka korupsi, menindas hak orang lain, akhirnya menjadi pilihan hidup. Jabatan kita sudah tinggi, tetapi ingin lebih tinggi lagi. Akhirnya kita saling menjatuhkan, saling memfitnah, serta saling menuding satu sama lain. Itulah sederetan hal yang cukup mewakili tujuan nafsu-nafsu kita. Sesungguhnya masih tersimpan banyak keinginan-keinginan yang hendak kita utarakan. Namun saat ini keinginan itu masih berada dalam relung nafsu yang pada saatnya keinginan itu harus kita penuhi. Maka jangan heran kalau ke-chaos-an terus melanda nengri ini. Apa yang dikatakan Emha dalam puisianya "sesudah ditindas kita mempersiapkan diri untuk menindas" barangkali memang benar adanya. Sebab bisa kisa kita prediksi bagaimana buruknya nasib bangsa ini meski beberapa kali beganti tampuk kepemimpinan.
Bangsa Indonesia memang telah merdeka sejak 1945. Namun itu hanyalah merdeka secara lahiriah dan secara hukum. Adapun sesungguhnya kita adalah bangsa yang sakit. Sejak era Orde Lama bergulir, disambut dengan Orde baru, disambut pula dengan era Reformasi, bangsa ini masih saja dirudung duka. Belum ada perubahan signifikan yang mampu dinikmati bangsa ini. Meski pun ada, disisi lain ada saja keburukan yang harus diterima. Seolah antara perbaikan dan kebrobrokan memiliki hubungan mutualisme. Memang antara kebaikan kan keburukan adalah dua hal yang saling berpasangan dimanapun. Tetapi kebaikanlah yang harus selalu dimenangkan. Karena kebaikan memiliki nilai lebih dibanding keburukan. Namun bangsa ini tidak demikian. Bukanlah kebaikan yang diterima tetapi kebrobrokan yang semakin disanding. Mungkin kita mengira dengan memiliki gedung-gedung megah kita telah mengatakan bahwa pembangunan berhasil. Kita tidak berfikir berapa banyak angka kemiskinan yang melilit bangsa ini serta berapa pula manusia yang haknya tertindas atas pembangunan itu. Itu hanya salah satu contoh sebagai gambaran bahwa negri ini semakin sakit. Negri yang seharusnya sudah tinggal landas malah tinggal kandas.
Itu semua terjadi sebagaimana dikatakan dalam puisi Emha bahwa kita telah mempersiapkan penindasan berikutnya setelah kita sebelumnya ditindas. Kita tidak berfikir bagaimana agar era tindas-menindas itu segera berakhir. Itu artinya kita semakin diperbudak oleh nafsu dan tidak berfikir bagaimana menjadikan nafsu sebagai budak kita. Sudah saatnya kita kembali membuka cakrawala kesadaran hati nurani. Semangat juang yang tulus ikhlas tanpa pamrih harus kita warisi dari para pahlawan kusuma bangsa. Mereka adalah orang-orang terbaik pilihan bangsa. Pengorbanan nyawa, harta, darah, adalah bukti ketulusan perjuangan. Mereka berjuang bukan karena kepentingan diri sendiri, bukan pula karena kejayaan diri. Tetapi mereka berjuang demi kejayaan bangsa dan negara. Setelah merdeka mereka pun tidak menuntut balas kepada para penjajah yang dahulu menindas. Karena mereka menginginkan keadilan, bukan menuruti hawa nafsu.
Jiwa-jiwa seperti merekalah yang harus kita jadikan referensi dalam setiap perjuangan. Bukan omongan-omongan bualan yang mengatas namakan kepentingan bangsa tetapi ujungnya adalah kepentingan pribadi. Sudah saatnya kita lawan diri (baca:nafsu) kita. Segelintir perasaan yang ingin menang sendiri, acuh tak acuh pada yang lain, serta ingin membangun kejayaan sendiri harus segera kita tampik. Jadikan diri kita sebagai pahlawan tangguh yang mampu menjadi majikan nafsu. Mental kita bukan mental kacangan yang mengalah begitu saja dan mau menjadi budak nafsu. Kita adalah ksatria baja yang lahir untuk membangun babak pencerahan bagi bangsa ini. Pola-pola lama yang masih memberlakukan adat penindasan segera kita runtuhkan dan segera kita rubah menjadi adat keadilan. Tentu semua itu adalah demi kemajuan dan kejayaan bangsa ini. Dan semoga momentum Hari Pahlawan kali ini benar-benar membawa angin segar bagi para penerus bangsa.
*) Penulis adalah staf pada Pusat Studi Agama Dan Kebudayaan (Pusaka) Yogyakarta
HP 085292843110
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

1 komentar:

Irham Sya'roni mengatakan...

terus berkarya Bos!!!!