Selasa, 06 November 2007

khasanah budaya

Musik Janeng Diambang Kematian
Oleh : Fatkhul Anas*)

Memahami tradisi Jawa membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menganalisisnya. Pasalnya, tradisi Jawa begitu kompleks dan luas. Sampai-sampai Niels Mulder (1983) dalam penelitiannya mengenai kebudayaan Jawa menyimpulkan bahwa tradisi kejawen adalah sangat kaya dan mencakup suatu kepustakaan luas yang meliputi paling kurang seribu tahun, dari yang paling kuno berupa sumber-sumber yang sangat berbau Sansekerta lewat laporan-laporan sejarah dan setengah sejarah, seperti misalnya Pararaton dan Nagarakertagama serta Babad Tanah Jawi yang berjilid-jilid banyaknya, lewat risalah mistik dan keagamaan yang tak terhitung jumlahnya dimana pengaruh islam secara bertahap menjadi semakin nyata, sampai ke Serat Centhini dan karya-karya abad sembilan belas lainnya oleh pujangga-pujangga keraton seperti Ranggawarsita, Wedhatama, terus ke karya-karya dari para pemikir abad ke-20 seperti Ki Hajar Dewantara dan Ki Ageng Soerjomentaram dan tulisan dari pengarang-pengarang novel masa kini. Dengan kata lain, tradisi kejawen merupakan tradisi yang berkesinambungan yang sepenuhnya hidup (lihat Pribadi dan Masyarakat Jawa, hal.16).
Melihat tradisi Jawa yang begitu kompleksnya, belum mengenai seni wayang, musik, tari, dan sebagainya, tak heran jika tradisi tersebut hingga sampai hari ini masih eksis. Janeng adalah salah satu contohnya. Ia adalah sejenis kesenian musik Jawa bernuansa agama islam. Janeng saat ini masih dapat ditemukan di daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta meski pun bertahan didaerah pinggiran dan pedesaan. Musik ini tergolong menarik dan langka. Yang mampu bermain dalam kesenian ini rata-rata para orang tua atau sesepuh. Peralatan yang dipakai sederhana. Hanya beberapa alat pukul seperti beduk kecil, rodad, dan calung. Senandung lagu yang dibawakan adalah lagu-lagu sholawat dengan lirik lagu Jawa kuno. Musik ini enak dinikmati saat malam hari. Sebab lagu-lagunya bernadakan lagu-lagu sendu dan klasik, bukan bernuansa pop atau rok seperti sekarang. Biasanya musik ini ditemukan ditempat orang yang mempunyai hajat misalnya mantenan, sunatan, atau selametan lainnya.
Musik Janeng merupakan musik Jawa yang boleh dikatakan memiliki “keotentikan” tersendiri. Pasalnya, musik Janeng tetap bertahan dalam nuansa klasiknya tanpa adanya intervensi dari musik modern. Berbeda dengan campur sari yang telah mengalami untervensi dari musik modern. Penggunaan instrumen modern seperti gitar, orgen, drum, telah mewarnai musik campur sari. Nada lagu-lagunya pun banyak yang bernuansa pop, dangdut, dan aliran lainnya. Didi Kempot sebagai ikon campur sari modern banyak mengusung lagu-lagu maupun nada-nada campur sari modern dengan berbagai modelnya. Selain itu campur sari pun telah mampu dipopulerkan melalui dunia pertelevisian bahkan terkadang ramai dibicarakan dalam media massa. Berbeda dengan Janeng yang tetap bertahan dengan alat musik rodad, beduk kecil, dan calung. Betul-betul steril dari instrumen modern. Publikasinya pun terbatas. Hanya orang-orang disekitar kelompok kesenian tersebut yang mampu menikmatinya. Atau orang-orang yang sengaja mengundang kelompok Janeng pada acara selametannya.
Disinilah hal yang menarik untuk dikaji. Meski dihantam dengan berbagai perubahan zaman, musik Janeng tetap berdiri dengan idealismenya tanpa sedikitpun goyah oleh perguliran zaman. Ditengah orang-orang yang ramai memikirkan materialisme, hedonisme, dimana segala sesuatu diukur dengan uang, musik Janeng tak sedikitpun tergores dengan hal semacam itu. Meski para pemainnya tidaklah dibayar atau hanya ala kadarnya saat mereka mentas dan hanya diberikan makan dan minum secukupnya, mereka tetap mementaskan Janeng-nya dengan senang hati. Pertimbangan mereka bukalah materi, namun bagaimana agar orang yang mengundang dan pendengarnya merasa puas menikmatinya. Atau dengan kata lain bukanlah hal material-fisikal yang ingin mereka peroleh namun unsur nilai-nilai baik nilai keindahan, kenyamanan, kepuasan, maupun nilai keluhuran budaya yang mereka junjung. Mereka betul-betul puas dengan segala nilai itu. Jadi tak perlu ada tuntutan lainnya.
Fenomena tersebut merupakan sebuah sikap keluhuran luar biasa yang patut dihargai. Jarang manusia di abad postmodern ini peduli dengan hal-hal semacam itu. Saat ini segalanya harus dapat diukur dengan rasio dan materi. Hal-hal yang tidak dapat dirasio dianggap tidak penting. Nilai adalah hal yang tidak dapat dirasio sebagaimana pendapat Max Scheler bahwa manusia memahami suatu nilai bukan dengan berpikir mengenai nilai itu, melainkan dengan mengalami dan mewujudkan nilai itu. Karena itu nilai dianggap sesuatu yang tak penting. Disinilah kebrobrokan manusia modern. Mereka hanya percaya dengan kekuatan rasionya dan meninggalkan aspek hati nurani. Akhirnya kejumudanlah yang didapat seperti saat ini. Manusia semakin kehilangan arah. Mereka mengalami krisis eksistensi diri. Yang maju semakin dibuat pusing dengan kemajuannya, sementara yang terbelakang semakin ruwet karena keterbelakangannya. Dunia semakin hancur akibat teknologi yang disalah gunakan. Efek pemanasan global semakin mengincar setiap detik kehidupan makhluk dimuka bumi. Boleh dikatakan sekali kita salah melangkah maka selesai hidup kita.

Perlu Dirombak
Sekilas musik Janeng memang mampu membawa kebanggaan terutama bagi masyarakat Jawa sebab ia masih menampilkan keotentikan budaya Jawa. Namun diteropong lebih jauh, kita akan terkaget-keget menyaksikan bagaimana arah terjang musik Janeng. Saat ini musik Janeng benar-benar berada diambang kematian. Pasalnya, jarang yang berminat dengan musik ini. Apalagi generasi masa kini, mendengar namanya saja tidak tahu apalagi menikmatinya. Inilah salah satu titik perhatian yang harus dipikirkan. Kalau hal ini terus dibiarkan maka tidak lama lagi musik ini akan hengkang dari tanah Jawa. Karena itu diperlukan langkah strategis untuk menopang keberadaan musik Janeng ini. Seperti adanya upaya pelestarian. Tentu saja hal ini dilakukan bersama-sama yaitu antara generasi tua atau sesepuh dengan generasi masa kini sebagaimana dalam pelestarian wayang kulit. Upaya pembublikasian baik dimedia cetak, elektronik, maupun masyarakat luas setidaknya juga dilakukan. Ini agar musik Janeng dapat dikenal dikhalayak ramai dan tidak terus-menerus termarjinalkan.
Yang lebih penting adalah bagaimana merombak musik Janeng agar mampu disukai oleh generasi masa kini. Pasalnya jarang generasi masa kini yang menyukai musik tersebut. Anggapan mereka Janeng adalah musik kuno yang ketinggalan zaman. Hal ini dapat dibenarkan pasalnya Janeng betul-betul murni musik klasik yang hanya memakai peralatan sederhana dan lagu-lagu kuno. Maka Janeng perlu dirombak dari setingnya yang semula. Misalnya dikolaborasikan dengan instrumen modern sebagaimana campur sari. Meski pun disalah satu sisi masyarakat Jawa akan kehilangan keotentikan budaya peninggalan nenek moyang. Namun hal ini menurut penulis tidak masalah. Asalkan perombakan tersebut tidaklah melebihi batas artinya Janeng tidak kehilangan jati dirinya dan masih tetap disebut Janeng, hal itu bukan persoalan. Dari pada masyarakat Jawa kehilangan musik Janeng, hal itu malah akan bermasalah. Sebab masyarakat Jawa tidak memiliki kebanggaan lagi. Paling-paling hanya wayang, campur sari atau yang lain. Kalau Janeng tetap mampu bertahan meskipun dengan bentuk yang baru berarti khasanah budaya Jawa akan semakin bertambah.

*) Penulis adalah Pengamat Agama dan Kebudayaan pada Pusat Studi Agama Dan Kebudayaan (Pusaka) Yogyakarta
HP 085292843110
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

Tidak ada komentar: