Rabu, 12 Desember 2007

resensi buku gender

Gender Untuk Kemerdekaan Perempuan

Judul : Gender dan Inferioritas Perempuan
Penulis : Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : I, September 2007
Tebal : xiv + 351 halaman
Peresensi : Fatkhul Anas*)


Kaum perempuan dalam pandangan publik masih saja menempati posisi inferior dibanding kaum laki-laki. Perempuan masih dijadikan objek “nomor dua” setelah laki-laki baik dalam ranah domestik maupun publik. Peran perempuan juga belum banyak diangkat ke wilayah tata kehidupan baik ekonomi, politik, pendidikan, maupun sosial. Perempuan masih menjadi kaum marginal yang hanya dijadikan pekerja dalam wilayah domestik. Sama sekali belum menemukan kebebasan berekspresi untuk menempati posisi strategis yang mampu dilakukan perempuan. Terutama dalam ranah publik.
Hal ini salah satunya disebabkan karena inferioritas kaum perempuan. Mereka dianggap makhluk yang lemah dalam segala hal. Mereka butuh dilindungi dan dikendalikan. Disinilah perempuan mencapai titik stagnasi ketika mau berperan dalam wilayah publik. Karena lagi-lagi mereka diangap tidak mampu. Berbeda dengan kaum laki-laki sebagai kaum superior merasa bahwa merekalah yang berhak menentukan segalanya. Sehingga kaum laki-laki banyak mendominasi peran-peran strategis baik dalam wilayah domestik maupun publik. Merekalah yang banyak menentukan kebijakan.
Berawal dari adanya dominasi kaum laki-laki terhadap perempuan, lahirlah konsep gender sebagai alat pembelaan terhadap perempuan. Dalam buku yang berjudul Gender dan Inferioritas Perempuan inilah gender akan dibahas. Akan tetapi dalam buku ini bahasan gender lebih dititik beratkan pada pembahasan kekerasan terhadap perempuan. Baik kekerasan dalam wilayah domestik maupun publik.
Pemahaman terhadap gender sangat berbeda dengan jenis kelamin. Kalau jenis kelamin adalah suatu kodrat Tuhan kepada manusia apakah ia berjenis kelamin laki-laki atau perempuan. Adapun gender adalah dampak proses dikotomis yang dibuahkan dari peniadaan persamaan dan perkenaan berlebih terhadap perbedaan (hal 10). Gender bukanlah apa yang kita miliki (alat kelamin) melainkan apa yang kita lakukan dan apa yang kita tampilkan. Misalnya perempuan kebanyakan berjalan berlenggak-lenggok, laki-laki berjalan tegak, dan karakter lainnya yang melekat pada diri kita. Gender sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempat manusia dilahirkan. Karena itu bentukannya pun berbeda antara satu orang dengan orang lain.
Bagi perempuan karena terbiasa terkonstruk dengan budaya ke-perempuan-an maka ia pun akan menjadi seperti apa yang ada dalam budaya tersebut. Sebagai contoh perempuan tidak lazim menjadi pemimpin. Maka ketika ada perempuan menjadi pemimpin hal ini sangat dikecam. Disinilah letak konstruk budaya yang tidak memihak kepada perempuan. Padahal kalau diperhatikan dengan cermat, konstruk budaya semacam ini adalah dibentuk oleh manusia itu sendiri. Manusia itulah yang mengkonstruk bahwa perempuan tidak pantas menjadi pemimpin. Sehingga selamanya perempuan tidak boleh menjadi pemimpin. Sendainya saja perempuan dipandang sebagai makhluk yang mampu tentu saja bukan masalah ketika perempuan menjadi pemimpin. Toh dalam kenyataannya banyak perempuan yang jiwa kepemimpinannya jauh melebihi laki-laki.
Konstruk budaya semacam inilah yang sering menjadi belenggu bagi perempuan untuk memainkan peranan mereka baik di wilayah domestik maupun publik. Mereka selalu menjadi kaum marginal yang hanya menjadi bawahan lelaki. Keadaan inilah yang banyak melahirkan kekerasan terhadap perempuan. Baik kekerasan fisik maupun psikis. Karenanya perempuan selalu menjadi sereotip “kaum lemah”. Sehingga laki-laki berwenang melakukan apapun terhadap perempuan.
Mengenai kekerasan terhadap perempuan, ada beberapa poin dalam hal ini. Yaitu bahwa kekerasan terhadap perempuan sesungguhnya dapat dibagi menjadi dua hal. diantaranya kekerasan domestik dan kekerasan publik. Kekerasan domestik mencakup wilayah kekerasan fisik, kekerasan emosional dan kekerasan ekonomi. Kekerasan fisik yang dialami perempuan banyak macamnya. Misalnya dipukul, ditendang, ditampar, serta kekerasan lain yang menciderai terhadap fisik perempuan. Kalau perempuan dicampakkan dalam soal nafkah, misalnya tidak diberi nafkah oleh suami berarti hal tersebut masih dalam kekerasan ekonomi. Sedang kekerasan emosional lebih ditekankan pada keputusan sepihak yang dilakukan oleh kaum laki-laki. Misalnya dalam rumah tangga segala kebijakan yang menetukan adalah laki-laki sedang perempuan tidak berhak mencampuri. Disinilah ada unsur emosi yang cenderung mementingkan diri laki-laki tersebut. Termasuk juga dalam hubungan seksual yang hanya ditentukan oleh kaum laki-laki sehingga berakibat kekerasan psikis. Semua itu termasuk dalam kekerasan emosional yang menguntungkan ego laki-laki.
Adapun dalam wilayah publik, kekerasan terhadap perempuan dapat dikategorisasi menjadi dua macam pula yaitu kekerasan seksual dan nonseksual (hal 203). Kekerasan seksual meliputi pelecehan seksual seperti menggoda wanita, bersiul ketika melihat wanita, meraba, maupun perkosaan, pencabulan, dan sebagainya. Sedang kekerasan nonseksual banyak macamnya mulai dari kekerasan fisik seperti memukul, membunuh, maupun kekerasan emosional seperti dilecehkan, dihina, dianggap tak berguna dan sebagainya.
Berbagai macam kekerasan terhadap perempuan tersebut lagi-lagi terjadi karena faktor inferioritas perempuan. Karena itu sudah saatnya perempuan dimerdekakan dari segala kekerasan. Melalui gerakan gender inilah kaum laki-laki dituntut menghargai perempuan baik dalam wilayah domestik maupun publik. Perempuan sudah saatnya berkiprah sebagaimana kaum laki-laki. Mereka jangan hanya dijadikan kaum marginal dan dibelenggu dengan stereotip lemah. Karena sesungguhya mereka mampu melakukan seperti apa yang dilakukan laki-laki. Walaupun tentu saja tidak semua hal. Sebab perempuan pun mempunyai kelemahan secara kodrati. Namun justru karena kelemahan itulah kaum laki-laki dituntut menghargai perempuan. Bukan malah berbuat seenaknya sendiri dengan dalih bahwa lelaki adalah kaum superior. Sudah saatnya perempuan diangkat kiprahnya bersama kaum laki-laki untuk membangun tata kehidupan yang lebih baik.
Tata kehidupan tersebut yaitu hidup tenteram dan damai yang merupakan dambaan semua orang. Karena itu sangatlah penting bagi kaum laki-laki dikenalkan dengan konsep gender agar mereka mau memahami posisi perempuan. Tentu saja agar laki-laki tidak semaunya sendiri dalam melakuan sesuatu. Melalui buku inilah kita akan berkenalan dengan konsep gender tersebut. Dengan referensi yang mumpuni seperti Masour Fakih serta tokoh-tokoh gender lain seperti Judith Butler, menjadikan buku ini semakin menarik dan asyik untuk dibaca. Semoga buku ini mampu memberikan sumbangsih nyata bagi kemerdekaan perempuan dari penindasan


*) Penulis adalah pustakawan Pusaka Yogyakarta
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta a.n Fatkhul Anas
HP 085292843110

Tidak ada komentar: