Rabu, 04 Juni 2008

107 Tahun Soekarno

Soekarno, Pancasila, dan Pluralisme
Oleh : Fatkhul Anas*)
Hari ini, hari bersejarah kembali bergema. Hembusan angin yang telah mengubur jasad seorang pahlawan, berhembus kembali, membongkar dan menghadirkan sang pahlawan dihadapan kita. Namun, yang kali ini dibawa oleh sang angin bukanlah jasad pahlawan itu, melainkan "ruh (baca spirit)"-nya. Ya, ruh yang telah lama bersemayam, hari ini tepat 6 Juni ruh itu didatangkan dan diajak melihat kita. Serta diajak untuk menyatu dalam jiwa setiap manusia Indonesia. Inilah hari dimana seorang pendekar bangsa dahulu dilahirkan. Dari rahim seorang Ibu, ia lahir dikala fajar menyingsing. Praktis sebutan Sang Putra Fajar menjadi nama akrabnya.
Inilah tanggal dimana Soekarno dahulu dilahirkan. Dari sebuah dusun di kota Blitar, Soekarno pertamakali membuka matanya. Mata hitam dan bersih yang belum sedikitpun terbelenggu dosa, tiba-tiba harus menjadi saksi untuk sebuah drama kejam bernama "kolonialisme". Kelahiran Soekarno adalah kelahiran pilu. Lahir bersama penderitaan, kekejaman, serta ambisi yang membabi buta dari kaum kolonial. Ialah yang harus menanggung derita akibat drama kekejaman kolonial selama berabad-abad. Hanya saja ia sedikit tertolong karena dalam tubuhnya mengalir darah bangsawan. Sehingga dikala masa dewasanya tiba, ia bisa menikmati detik-detik pencerahan yang bernama pendidikan.
Masa pendidikannya inilah yang menjadi babak pertama dalam hidupnya untuk mencipta karakter kritis. Soekarno yang lahir dari rahim Indonesia adalah sosok manusia kritis, pemberani, keras, teguh dalam prinsip, cerdas serta toleran dan kasih sayang dengan semua golongan. Penduduk dari elit atas, petani, buruh, pejabat, agamawan, politisi, cendekiawan, semua digauli dengan intim oleh Soekarno. Keintiman itu melahirkan suasana kerukunan dan persatuan. Dan pada akhinya mengantarkan ia menjadi pejuang revolusioner, peraih kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah.
Adalah Soekarno, Bapak Bangsa yang telah berhasil mengantarkan Indonesia menuju pintu gerbang kemerdekaan. Ditemani seorang ahli ekonomi bernama Hatta, Soekarno membacakan teks proklamasi kemerdekaan tepat tertanggal 17 Agustus 1945. Praktis sejak itu sorak-sorai kegembiraan serta tangis kebahagiaan menyelimuti bumi Indonesia. Seluruh rakyat dari anak-anak, pemuda, dewasa, laki-laki, perempuan, serta orang-orang jompo, menjadi saksi lahirnya babak baru di bumi Indonesia, babak kebebasan. Abad pencerahan pun segera dimulai. Tatanan kehidupan yang porak-poranda segera dibenahi, ditata, serta direformasi. Indonesia mulai menampakkan diri sebagai sebuah bangsa ditengah bangsa-bangsa yang lain. Ke-eksisan-nya mulai kokoh meski disana-sini mendapat goncangan.
Dalam hidup Soekarno hal yang begitu dicintai ialah tanah airnya. Ia tak ragu-ragu menyebut Indonesia sebagai Ibu. Kecintaannya tergambarkan dalam berbagai pidato-pidatonya. Bahkan tak segan-segan Soekarno berkata bahwa Tuhan bersama Indonesia. Ini tercermin dalam pidatonya " Bukan saya berkata Tuhan adalah Indonesia, tetapi Tuhan bagiku tercermin pula dalam Indonesia" (artikel Bambang Noorsena: 2001). Begitu dalam kecintaannya terhadap tanah air, H. Agus Salim dan A. Hassan menghawatirkan jika kecintannya itu akan berubah menjadi musyrik. Namun, itulah watak Soekarno yang rasa nasionalismenya telah menyatu dengan darah dan dagingnya. Baginya, tanah air adalah segalanya sehingga ia rela mengorbankan kepentingan apapun termasuk untuk keluarganya.
Watak khas Soekarno lainnya, bahwa ia berjiwa pluralis tinggi. Ini tercermin pertama dari gagasan nasakom-nya. Nasakom (Nasionalis-Agama-Komunis) menjadi jiwa Soekarno saat memegang kepemimpinan Indonesia. Gagasan ini lahir mengingat kondisi bangsa terdiri dari beragam suku, agama, budaya, ras serta kepercayaan. Untuk merangkul semua itu butuh wadah yang memadai. Lewat nasakom inilah semua perbedaan dapat ditampung. Meski belum seutuhnya. Untuk lebih menambah daya tampung, Soekarno melahirkan gagasan baru yang bernama Pancasila. Gagasan kedua dari jiwa pluralis Soekarno ini menjadi wadah paling efektif untuk merangkai perbedaan. Tak urung, gagasan ini menjadi dasar negara Indonesia.
Lewat Pancasila, Soekarno mengajarkan bahwa perbedaan yang ada bukanlah alat pemecahan. Perbedaan adalah bahan-bahan persatuan. Layaknya pelangi, perbedaan yang ditata dengan rapi menjadi indah dan sedap dipandang. Itulah sesungguhnya yang diinginkan Soekarno. Lewat perbedaan janganlah dijadikan alasan untuk tidak bersatu bahkan memberontak. Apa yang dilakukan RMS, Andi Aziz, DI/TII, dan aksi separatisme lain ditindak tegas oleh Soekarno karena ia tidak menginginkan hal itu. Ia ingin agar semua perbedaan menjadi satu dalam persatuan, bukan berpisah dengan jalan pemberontakan. Sebab bangsa ini adalah bangsa besar dan akan selalu besar dalam wadah persatuan.
Disinilah betapa menariknya gagasan Soekarno. Lewat pluralisme dalam Pancasila-nya ia mengajarkan pesan kasih sayang dan perdamaian. Seandainya saja Soekarno terlalu kaku dan fanatik, barangkali bangsa ini bukan bernama Indonesia dan bukan pula tercipta sebagai negara kesatuan yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Itulah gagasan Soekarno yang sangat prinsipil dan menarik. Namun, akan lebih menarik tentunya jika mampu dikontekskan dengan kondisi bangsa saat ini. Pluralisme serta rasa toleransi sekarang begitu mahal harganya. Harus dibayar dengan luka dan kepedihan. Apa yang dialami anggota AKKBB (Aliansi Kebangsaan Untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) 1 Juni 2008 kemarin, adalah bukti bahwa pluralisme sangatlah mahal. Mereka harus terluka setelah mendapat pukulan dari anak-anak bangsa yang terlalu inklusif memegang prinsip sehingga menjadi garang.
Anak bangsa yang bersemayam dibawah baju Font Pembela Islam (FPI), tega memukuli sesama anak bangsa lainnya atas nama perbedaan. Mereka begitu fanatik sehingga "buta" dalam melakukan sesuatu. Sama sekali tidak tahu konteks. Kebencian terhadap Ahmadiyah semestinya janganlah dijadikan "dalil" untuk melukai anggota AKKBB. Toh, belum terbukti sepenuhnya bahwa AKKBB mendukung Ahmadiyah. Kalau FPI hendak mencegah AKBB janganlah dengan kekersan. Dekatilah dengan baik, dialog dengan mesra, dan selesaikanlah dengan perdamaian. Itu pula yang dulu dijarkan oleh Bapak bangsa ini. Perbedaan memang selalu ada, karenanya sikapilah dengan penuh kearifan. Begitulah kira-kira inti pesan pluralisme Soekarno kepada anak-anak Indonesia. Singkat dan bermakna.
Sejak dahulu Bapak Bangsa telah mengajakan etika pluralisme. Perbedaan: dirangkai dalam kebersamaan, dirajut dengan cinta kasih serta diikat dengan perdamaian.
*)Penulis adalah pengamat sosial pada Hasyim Asy’ari Institute .
HP 085292843110
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

Opini Lingkungan Hidup

Manusia Sejati Dalam Ekologi
Oleh : Fatkhul Anas*)

Tanggal 5 Juni seluruh warga di dunia memperingati hari lingkungan hidup. Momen urgen ini semoga mampu membuka kembali ingatan tentang pentingnya menjaga lingkungan. Semoga pula mampu menghadirkan perasaan kesadaran ekologis dalam diri setiap penduduk dunia ditengah carut-marutnya kehidupan. Tujuannya tak lain demi kehidupan lebih baik. Mengingat betapa morat-maritnya tatanan ekologis, setiap manusia yang hidup saat ini dituntut untuk mampu menjaga keseimbangan ekologis. Sistem ekologi bumi yang semakin tak teratur dan kacau-balau, janganlah ditambah dengan kerusakan yang menyebabkan bumi semakin menderita.
Saat ini sistem ekologi sudah mencapai titik rawan. Adanya bencana yang tak terduga terjadinya, wabah penyakit baru yang bermunculan, perubahan cuaca yang sulit diprediksi, adalah sebagian contoh betapa tatanan ekologi semakin kacau. Lebih-lebih munculnya global warming sebagai fenomena alam baru, menjadi bukti kuat bahwa ekologi harus segera diselamatkan. Sudah waktunya lingkungan menjadi perhatian utama dalam kehidupan. Lingkungan bukan hal sekunder yang pemenuhannya menunggu kebutuhan primer. Lingkungan saat ini harus menjadi hal primer sehingga menjadi aspek yang diutamakan.
Mengenai upaya penyelamatan lingkungan, banyak jalan yang dapat ditempuh. Tergantung pada posisi apa manusia itu. Jika ia pemilik perusahaan misalnya, maka penyaluran limbah, penggunaan bahan bakar maupun pemenuhan bahan-bahan dasar haruslah tepat. Prinsipnya, janganlah kegiatan perusahaan mengganggu keseimbangan lingkungan. Begitu juga dengan berbagai kegiatan manusia yang beraneka-ragam. Janganlah kegiatan itu mengganggu keseimbangan lingkungan meski dalam jumlah minim. Sedikit saja kegiatan mereka mengacaukan lingkungan-misalnya menimbulkan pencemaran, polusi udara, hutan gundul dan sebagainya-bisa dipastikan keseimbangan lingkungan semakin semrawut.
Kacaunya keseimbangan ekosistem atau lingkungan akan berakibat fatal bagi kehidupan mendatang. Sebagai contoh di Indonesia sendiri bencana banjir, tanah longsor, tsunami, gempa bumi begitu banyak bermunculan akhir-akhir ini. Survei yang dilakukan Wahana Lingkungan Hidup Manusia (WALHI) menyatakan bahwa % kawasan Indonesia merupakan rawan bencana, seperti gempa, bumi tsunami, gunung api maupun bencana akibat dari ulah manusia. Data ini semakin menjadi bukti bahwa lingkungan kita semakin menderita. Belum lagi masalah polusi, pencemaran lingkungan, wabah penyakit, serta kekeringan. Kalau semua kerusakan itu dihitung, betapa menderitanya alam Indonesia ini. Itu pun baru Indonesia. Bagaimana dengan negara-negara lain terutama negara maju? Sudah bisa dipastikan bahwa kerusakan alam mereka lebih "gawat" dari pada Indonesia.
Dari semua fakta diatas semakin memberi gambaran bahwa kita sejak saat ini sudah semestinya bahkan merupakan keharusan untuk menanamkan kesadaran ekologis. Memang hal ini sudah berkali-kali digembar-gemborkan. Tetapi sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang maksimal. Untuk wilayah Indonesia misalnya, masih banyaknya penebangan hutan secara liar, pembuangan limbah sembarangan, serta pengotoran lingkungan, menjadi bukti bahwa kesadaran ekologis belum benar-benar terbangun. Masalah lagi, pola-pola kehidupan materialisme semakin banyak yang menggandrungi. Pola ini secara tidak sadar ternyata membawa dampak yang buruk terhadap lingkungan.
Dikalangan masyarakat Amerika sebagai masyarakat yang paling menggandrungi materialisme, efek buruk dari pola kehidupan ini begitu terasa. Michael Brower dan Warren Leon (2000) menyebutkan bahwa keluarga yang hidupnya serba materialisme-memiliki mobil, steak di alat pemanggang daging, peralatan rumah tangga yang tak terhingga jumlahnya-membuat dampak buruk bagi atmosfir, perairan pesisir, sungai, hutan, serta tanah. Pola ini (hidup materialisme) semakin membuat ekosistem tidak berimbang. Kalau pola ini malah semakin digandrungi masyarakat Indonesia sudah tentu alam Indonesia semakin terjaring dalam keterpurukan.
Untuk mengatasinya tentu membutuhkan perangkat tandingan. Perangkat tersebut tak lain adalah kesadaran ekologis. Sikap inilah yang selalu menjadi jiwa dalam gerak manusia. Jadi kemanapun ia melangkah berarti ia harus menyelamatkan lingkungan. Memang begitu sulit sikap ini diterapkan. Terlebih berhadapan dengan sikap manusia yang selalu serakah, individualis, serta semau sendiri dalam bertindak. Manusia tidak semakin menyadari bahwa kehidupan mendatang sangat ditentukan oleh sikapnya saat ini. Semakin kita brutal dengan lingkungan, semakin rusak tatanan kehidupan. Semakin kita serakah, semakin habis kekayaan alam.
Jika kita mau menyadari dengan sepenuh hati bahwa nafas kehidupan generasi mendatang ada ditangan kita, tentu segala tindakan terhadap lingkungan tidaklah brutal dan semaunya sendiri. Ingatlah bahwa satu kesalahan terhadap lingkungan bararti satu nyawa manusia siap melayang. Bukankah sangat sadis dan tak berperikemanusiaan diri kita ini jika berbuat nakal terhadap lingkungan. Kita sama saja dengan hewan. Artinya kita harus merubah mau sikap. Jika kita merasa "manusia sejati", maka menyelamatkan lingkungan lebih diutamakan sebelum lingkungan membunuh kita. Memang terdengar aneh jika mengatakan bahwa lingkungan "membunuh". Betul, tapi coba amati dengan seksama bukankah banjir, tanah longsor, gempa bumi, polusi udara, racun, dapat menghilangkan nyawa manusia? Ini artinya lingkungan setiap saat mempunyai potensi untuk membunuh manusia.
Maka sebelum kita terbunuh siapkan senjatanya untuk pertahanan. Senjata itu tak lain adalah kesadaran ekologis itu sendiri. Ini memang senjata ampuh untuk menjaga diri dari kepunahan akibat "amukan" lingkungan. Jadi, lagi-lagi penulis katakan bahwa sudah saatnya kesadaran ekologis ditingkatkan serta dipraktekkan. Masih banyak nyawa manusia yang harus diselamatkan. Jangan biarkan hembusan nafas mereka padam karena keteledoran kita.
Jadilah manusia sejati dalam ekologi. Yaitu manusia yang senantiasa menjaga lingkungannya dari kerusakan.
*)Penulis adalah pengamat lingkungan pada Hasyim Asy’ari Institute Yogyakarta.
HP 085292843110
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas


Bersepeda Untuk Penyelamatan Lingkungan
Oleh : Fatkhul Anas*)

Tanggal 5 Juni ditengarai sebagai hari lingkungan hidup sedunia. Pada hari ini, lingkungan akan menjadi bahan perbincangan dari berbagai pihak. Pasti akan banyak isu-isu lingkungan yang mencuat dan diperbincangkan. Terlebih keadaan lingkungan yang semakin hari semakin rusak. Kerusakan itu tentu karena ulah manusia. Manusialah yang mempunyai potensi untuk merusak lingkungan sekaligus merawatnya. Potensi itu tumbuh karena manusia dibekali oleh Tuhan dengan akal. Dengan adanya akal ini manusia akan mampu melakukan apapun terhadap lingkungannya. Idealnya memang manusia dicipta untuk melestarikan lingkungan. Tetapi faktanya manusia banyak melakukan pengrusakan.
Kasus-kasus di Indonesia misalnya, Menurut data Bank Dunia tahun 2007, Indonesia termasuk Negara terbesar ketiga (US, China dan Indonesia) penghasil emisi gas rumah kaca yang menjadi sumber penyebab pemanasan global. Pemanasan global terjadi akibat lapisan atmosfer yang tertutup oleh lapisan gas rumah kaca seperti CO2, CH4, N2O sehingga menyebabkan panas sinar matahari tidak dapat di pantulkan kembali ke atmosfer yang pada akhir menyebabkan suhu permukaan bumi meningkat. Radiasi yang dipancarkan matahari akan berubah menjadi panas saat menyentuh permukaan Bumi.
Sebagian panas ini kemudian diserap Bumi, sebagian lagi dipantulkan kembali ke angkasa dalam bentuk sinar infra merah atau energi panas. Karena adanya selubung gas rumah kaca, sebagian panas yang dipantulkan oleh permukaan bumi tidak mampu menembus atmosfer dan dipantulkan kembali ke permukaan. Akibatnya, temperatur bumi pun meningkat dan timbul apa yang disebut efek rumah kaca. Kenaikan suhu global ini diprediksi mencapai 1,8 oC sampai 4oC pada tahun 2100 dan berpotensi mengubah iklim dan cuaca secara ekstrem.
Ini baru persoalan kenaikan suhu udara. Belum masalah-masalah pencemaran air, deforestasi hutan, rusaknya habitat pesisir serta laut, dan masih banyak persoalan lingkungan yang terus melanda negri ini. Jika diibaratkan manusia, alam Indonesia telah dihinggapi dengan berbagai penyakit berbahaya. Sakitnya telah membentuk komplikasi. Dari ujung kepala sampai ujung kaki telah dihinggapi dengan berbagai penyakit. Kalau diteliti dengan mikroscope sudah tentu banyak sekali kuman dan virusnya. Bukankah sangat mengerikan?
Kalau itu terjadi pada kita manusia, sudah tentu kita begitu takut. Jangan-jangan nyawa sebentar lagi akan pisah dari raga. Pastinya kita tidak akan tinggal diam. Setidaknya akan mencari dokter atau paranormal atau dukun jika memang kepepet, untuk dimintai tolong menyembuhkan penyakit yang kita derita. Tidak jauh beda dengan lingkungan. Lingkungan yang telah sakit juga butuh disembuhkan. Ia akan meronta jika terus-menerus dibiarkan sakit. Bahkan sesekali waktu bisa marah. Kalau sedang marah ia begitu berbahaya. Satu sapuan angin puting beliung saja mampu menghancurkan beratus-ratus rumah serta menewaskan berpuluh-puluh manusia. Apalagi ditambah dengan banjir, gempa bumi, tsunami, pasti akan sangat mengerikan.
Karena itu sebelum amukan lingkungan terjadi, maka lingkungan sesegera mungkin disembuhkan penyakitya. Hal mudah yang mampu dilakukan semua orang adalah dengan penghematan BBM. Caranya beralihlah kebiasaan berkendaraan kita dengan bersepeda. Dengan cara ini kitan akan mampu mengontrol kondisi udara. Jika setiap orang mampu mengurangi gas emisi beracun satu persen saja perhari, maka dalam satu bulan sudah tiga puluh persen berkurangnya. Itu baru satu orang, kalau sepuluh orang, seratus, bahkan seribu orang, tentu dapat diprediksi betapa banyaknya zat emisi di udara yang berkurang.
Dengan bersepeda ini selain mengurangi emisi gas beracun di udara, juga menyehatkan tubuh kita. Badan yang terus bergerak akan menggerakkan otot-otot di dalamnya. Ini menyebabkan kelancaran proses metabolisme tubuh sehingga tubuh selalu sehat. Dari pada kita hanya duduk berdiam di mobil atau motor, selain memperlambat proses metabolisme juga rawan dengan penyakit. Pasalnya, kita menghirup udara kotor. Lalu udara itu masuk ke tubuh dan disana udara tidak difilter dengan baik karena proses metabolismenya lambat. Akhirnya peyakit mudah menjalar. Dengan bersepeda penyakit akan difilter secara sempurna karena proses metabolisme tubuh lancar sehigga kecil kemungkinannya penyakit menjalar di tubuh.
Mengingat betapa pentingnya bersepeda, tidak ada salahnya jika kita mulai melakukannya dari sekarang. Memulai tentunya dari hal yang kita mampu. Misalnya dengan memilih situasi yang tepat untuk bersepeda. Situasi itu misalnya: Pertama, situasi santai. Jika hendak pergi bermain ke tempat kawan atau rekresi alam yang menempuh jarak atara dua sampai lima kilometer maka cukup menggunakan sepeda. Jalan-jalan sore menikmati pemandangan cukup pula dengan bersepeda. Kedua, jarak yang dekat. Jika tempat kerja kita tidak begitu jauh dari rumah cukuplah dengan bersepeda untuk kesana. Jangan memanjakan diri memakai kendaraan bermotor kecuali jika sangat dibutuhkan. Pergi ke warung makan dekat rumah misalnya, juga cukup dengan bersepeda atau malah jalan kaki. Toh, lebih menyenangkan dan menyehatkan.
Setelah kita memilih situasi santai dalam keseharian, lakukanlah kegiatan bersepeda ini. Ingatlah bahwa hal itu penting untuk kelestarian lingkungan. Lingkungan yang kita diami ini jangan sampai kita rusak apalagi dihancurkan. Akan kemana manusia nantinya jika bumi ini rusak? Apakah akan ke planet Mars? Jelas Tidak mungkin. Satu-satunya planet yang indah, asri, dan berpotensi bagi keberlangsungan kehidupan hanyalah planet bumi. Planet-planet yang lain masih diragukan apakah memungkinkan untuk kehidupan atau tidak. Dari ini maka kita dituntut agar mampu menjaga kelestarian bumi.
Masa depan dan keberlangsungan bumi ada di tangan kita. Berbuatlah apa yang mampu kita lakukan karena bumi harus diselamatkan.
*)Penulis adalah pengamat lingkungan pada Hasyim Asy’ari Institute Yogyakarta.
HP 085292843110
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

Opini : FPI

FPI dan Sindrom Ekstase Kekerasan
Oleh : Fatkhul Anas*)

Geger kekerasan kembali menggema di bumi Indonesia. Tepatnya 1 Juni 2008, ketika Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) memperingati hari lahir Pancasila, Front Pembela Islam (FPI) menggelar aksi brutalnya yang premanistik. Para korban akri brutral FPI banyak yang mengalami cidera, baik ringan mapun berat setelah mendapat pukulan dari massa FPI. Sedikitnya tercatat ada 12 orang yang mengalami luka-luka.
Insiden FPI untuk kesekian kali ini secara langsung memberikan bukti kuat bahwa FPI adalah organisasi ekstrim yang setiap saat bisa bertindak main hakim sendiri. Hanya persoalan perbedaan keyakinan harus dibayar dengan kekerasan. Tindakan destruktif FPI yang hanya beralasan perbedaan paham ini merupakan tindakan ngawur dan tidak dapat dibenarkan, baik secara kemanusiaan maupun agama. Apalagi tindakan kekerasan telah yang dilakukan berkali-kali. Jelas tidak dapat dibenarkan dalam konteks apapun. Kecuali, tindakan FPI mempunyai dasar yang logis. Mengenai tindakan FPI kemarin (1 Juni 2008) alasannya hanyalah kecurigaan akan pendukungan AKKBB terhadap Ahmadiyah (Kompas, 2/6). Padahal itu masih perkiraan. Ini berarti tindakan FPI tidak memiliki dasar yang logis.
Melihat aksi FPI yang selalu diwarnai dengan kekerasan sangat menarik jika dilihat dalam kacamata Transpolitika-nya Yasraf A. Piliang (2005). Ia menuturkan tentang adanya sindrom ekstasi kekerasan. Suatu tindakan kekerasan yang dilakukan berkali-kali sampai sang pelaku merasa sangat senang dan mengalami ekstasi itulah yang dinamakan ekstasi kekerasan. Erich Fromm (1973) mendefinisikan kondisi ekstasi sebagai suatu keadaan mental atau spiritual yang mencapai keadaan puncak tatkala jiwa secara tiba-tiba naik menuju tingkat pengalaman yang jauh melampaui kenyataan sehari-hari, sehingga mencapai puncak kemampuan diri dan kebahagiaan yang luar biasa, diiringi oleh trance, dan kemudian pencerahan. Salah satu ciri orang mencapai ekstasi adalah bahwa ia merasa tidak lagi menjadi dirinya.
Jika teori ekstasi kekerasan dikontekskan dengan FPI, maka bisa dikatakan bahwa FPI saat ini telah sampai pada masa ekstasi kekerasan. Terbukti, mereka sangat bahagia ketika mampu melakukan tindak kekerasan. Meski itu dilakukan berkali-kali. Mereka merasa telah menemukan pencerahan dalam dirinya. Apalagi dengan menyandang atribut "Islam", tindakan mereka semakin mantap. Apa yang mereka rasakan saat melakukan kekerasan seolah itu bukan diri mereka sendiri. Ada sebuah kekuatan pendorong yang membuat diri mereka tidak sadar. Kekuatan itu tak lain adalah sikap fanatisme sempit. Fanatisme inilah yang seringkali menjadi dasar FPI dalam bertindak. Mereka tak sadar akan hal ini. Lalu dengan bangga memberi atribut "Islam" dalam setiap tindakannya.
Aksi atau tindakan penentangan memang dibolehkan. Namun bukan dengan kekerasan. Tindakan penentangan bisa dilakukan dengan protes, dialog, debat, demonstrasi, dan tindakan penentangan tanpa anarkisme. Yang dilakukan FPI jauh lebih dari kekerasan. Mereka telah melakukan apa yang diusebut Michel Seres sebagai hyper-violence atau melampaui kekerasan disebabkan seringnya kekerasan dilakukan. Kalau memang kekerasan itu dilakukan demi kebenaran dan kemaslahatan tak mengapa. Tapi jika kekerasan itu berbuntut pada kesengsaraan seperti yang dialami para anggota AKKBB kemarin, apakah hal itu bisa dibenarkan? Bukankah rasa kemanusiaan juga agama melarang adanya kekerasan? Mengapa FPI yang mengatas namakan gerakan agama malah berbuat kekerasan.
Kalau sudah begini kasusnya, mau tak mau harus dicarikan jalan tengah sebagai solusi. Artinya FPI dengan aksi kekerasannya tidak boleh dibiarkan begitu saja. Jika mengacu pada pendapat Michel Seres (1990) bahwa kekerasan dan kejahatan selamanya tidak akan dapat dilenyapkan. Yang mampu dilakukan adalah mencegahnya agar tidak menjalar. Cara mencegahnya jikalau mengacu pada paham agama islam adalah dengan konsep "dialog", bukan kekerasan. Konsep ini selanjutnya mengacu pada paham pluralisme agama. Yang penulis maksud disini bahwa sudah saatnya FPI melakukan "dialog" untuk menemukan penyelesaian. Jadi, setiap persoalan tidak ditangani dengan kekerasan.
FPI sudah saatnya menyadari bahwa hidup di dunia ini berhadapan dengan berbagai macam karakter manusia dari berbagai suku, agama, ras, bahasa, serta warna kulit. Pluralisme ini dicipta Tuhan dengan berbagai maksud. Dari kacamata islam, tujuan pluralitas manusia ada empat macam: pertama, sebagai simbol atau tanda kebesaran Tuhan (QS al-Rum/30:20), kedua, sebagai sarana berinteraksi dan berkomunikasi antara sesama manusia (QS Al-Hujurat/49:13), ketiga, sebagai ujian dan sarana manusia dalam berlomba menuju kebaikan dan prestasi (QS al-Maidah/5:48), keempat, sebagai motivasi beriman dan beramal saleh (QS al-Baqarah/2:60) (Nur Ahmad: 2001). Dari keempat tujuan ini, dapat disimpulkan bahwa Tuhan tidak menghendaki adanya kekerasan terhadap sesama manusia. Jikalau ada konflik maka selesaikanlah dengan damai.
Aksi FPI sudah jelas sangat jauh dari damai. Mereka malah mengajak bertikai. Sikap ini tak pernah ada dalam ajaran islam. Islam sangat melarang pertikaian. Ini menandakan bahwa modus operandi atau motif tindakan FPI bukan persoalan agama, melainkan pemenuhan terhadap sikap fanatisme. Selain tentu saja ada motif politik. Karena itu, FPI sesegera mungkin menghentikan segala tindakan ektasi kekerasan yang dilakukannya.
Banyak cara menyelesaikan suatu perkara tanpa melalui kekerasan. Adanya perbedaan paham misalnya, disikapi dengan sikap legowo. Perbedaan itu adalah sunnatullah, tidak perlu diperdebatkan. Apalagi dimusuhi. Perbedaan itu harus dirangkai agar tampak indah seindah pelangi di angkasa. Terlebih ditengah carut-marutnya kondisi bangsa, perbedaan harus mampu saling menyapa agar tercipta kerukunan. Dan pada gilirannya menumbuhkan sikap saling tolong-menolong.
Sudah saatnya kekerasan diakhiri. Tata nilai peradaban Indonesia mengajarkan untuk berdamai dengan penuh khidmat.
*)Penulis adalah pengamat sosial pada Hasyim Asy’ari Institute Yogyakarta.
HP 085292843110
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

Resensi Postkolonialisme Indonesia

Spirit Perlawanan dalam Sastra Postkolonial

Judul buku : Postkolonialisme Indonesia; Relevansi Sastra
Penulis : Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, SU
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : I, Februari 2008
Tebal : xii + 450 halaman
Peresensi : Fatkhul Anas*)

Membuka kembali ragam file ingatan tentang zaman kolonialisme di Indonesia sungguh merupakan hal yang "berani". Sekali membuka berarti siap dengan kisah-kisah dramatis seputar penderitaan bangsa. Kelaparan, kerja paksa, pembodohan massal, penganiayaan, pembunuhan secara sadis adalah pemandangan yang lazim. Perbudakan, gundik, serta pemungutan pajak secara paksa tak luput pula menjadi sejarah yang memilukan. Kekalahan bangsa Indonesia memaksa mereka tunduk dalam kekejaman, menikmati kesengsaraan, dan terpenjara dalam kebodohan. Tidak sedikitpun bangsa ini dibiarkan menikmati indahnya kehidupan, kecuali hanya segelintir orang. Orang-orang itu adalah mereka yang patuh dengan pemerintahan kolonial Hindia-Belanda.
Zaman kolonialisme memanglah menjadi "abad penggelapan" bagi bangsa ini. Abad ini memaksa bangsa Indonesia mengadakan pembelaan diri dengan melakukan perlawanan. Dari aspek fisik, bangsa ini melakukan serangan balasan dengan model peperangan. Meski dengan bersenjatakan bambu runcing, para nenek moyang Indonesia tak sedikitpun gentar menghadapi penjajah. Kendala apapun diterjang. Harta benda bahkan nyawa menjadi taruhannya. Orang-orang yang terdidik atau kaum intelektual mendirikan organisasi sebagai wadah penggalangan ide. Organisasi-organisasi seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, adalah sebagian dari organisasi yang setia meneriakkan semangat anti kolonialisme. Tidak ketinggalan para sastrawan Indonesia juga turut mewarnai perjuangan. Dengan karya sastra postkolonialisme-nya, mereka menyulut api perlawanan secara berkobar-kobar.
Semangat sastrawan postkolonialisme untuk menandingi kolonialisme akan dibahas tuntas dalam buku ini. Buku dengan judul Postkolonialisme Indonesia; Relevansi Sastra karya Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, SU membeberkan secara rinci serta memberikan analisis mendalam seputar karya sastra postkolonial. Dilihat dari istilah "postkolonial", ini berarti terjadi setelah zaman kolonial. Postkolonial atau pasca kolonial memberikan pemahaman bahwa masa ini adalah masa serangan balik terhadap kolonial. Kalau kolonial banyak mengeksploitasi tentang Indonesia, postkolonial memberikan umpan balik dengan melawan kolonial. Dalam kaitannya dengan sastra, sastra postkolonial adalah sastra perlawanan terhadap kolonial.
Sastra-sastra postkolonial di Indonesia banyak jumlahnya. Dalam buku ini disebutkan, ada dua kategori untuk mengklasifikasi karya sastra postkolonial. Pertama, karya sastra sebelum perang. Masa ini dibagi ke dalam empat periodisasi : sastra melayu rendah (Tionghoa), sastra Hindia Belanda, sastra Balai Pustaka, serta sastra Pujangga Baru. Kedua, masa sesudah perang (setelah Pujangga Baru). Masa ini tidak dibagi kedalam periodisasi dengan pertimbangan telah berakhirnya kolonialisme (hal 261). Karya sastra postkolonialisme sebelum perang dalam buku ini berjumlah delapan. Diantaranya: Cerita Nyai Dasima (G. Francis, 1896), Cerita Nyai Paina (H. Kommer, 1900), Max Havelaar (Multatuli, 1860, 1972), Manusia Bebas (Suwarsih Djojopuspito, 1940, 1975), Siti Nurbaya (Marah Rusli, 1922), Salah Asuhan (Abdoel Moeis, 1928), Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisjahbana, 1937), serta Belenggu (Armijn Pane, 1940).
Sastra postkolonial sesudah perang berjumlah lima buah; Ateis (Achdiat Karta Miharja, 1949), Pulang (Toha Mochtar, 1958), Bumi Manusia (Promoedya Ananta Toer, 1981), Burung-Burung Manyar (Y.B. Mangunwijaya, 1981), serta Para Priayi (Umar Kayam, 1992). Dari keseluruhan karya sastra postkolinialisme ini, Bumi Manusia-lah yang ditengarai memiliki citra perlawanan tinggi. Karya sastra hasil kreatifitas Pram ini, memiliki banyak aspek perlawanan didalamnya. Sesuai analisis pendek Prof Dr. Nyoman, ada banyak perlawanan yang diteriakkan Pram terhadap praktik kolonialisme lewat Bumi Manusia-nya. Pram mengkritik praktek pengucilan terhadap bangsa Indonesia. Ini disimbolkan Pram lewat tokoh Nyai Ontosoroh. Ontosoroh dalam versi Pram adalah perempuan berkualitas. Perempuan ini berhati keras, disiplin, serta pemberani. Meski ia tidak mengenyam pendidikan namun cerdas berkat pembelajaran otodidaknya (hal 334).
Ontosoroh memiliki semangat baja sebagai akibat perlakuan tidak pantas terhadap dirinya, sebagai gundik, bahkan dijual sebagai budak. Berkat keberaniannya, ia berhasil menyelamatkan perusahaan suaminya sehingga pada zamannya perusahaan tersebut terbesar di surabaya. Disini Pram memberikan gambaran bahwa sesuungguhnya bangsa Indonesia adalah bangsa yang berkualitas, pemberani, dan pantang menyerah. Tidak boleh bangsa ini dianggap rendah oleh bangsa penjajah. Penjajahlah yang semestinya merasa berdosa telah mengeksploitasi Indonesia secara besar-besaran. Mengenai eksploitasi, Pram juga memberikan sindiran keras di dalam Novel Bumi Manusia-nya. Pram menulis sebuah kalimat "Ingat-ingat ini: Eropa yang menelan pribumi sambil menyakiti secara sadis. E-ro-pa.....Hanya kulitnya yang putih,"ia mengumpat," hatinya bulu semata." (Bumi Manusia, 2006:489-490).
Kalimat ini adalah sindiran sekaligus hinaan yang keras seorang Pram terhadap para kolonialis. Pram hendak menyampaikan bahwa praktik kolonialisme harus dihentikan. Apa yang dilakukan Pram di dalam karya sastranya merupakan bentuk perlawanan nyata terhadap kolonialisme. Termasuk juga dengan karya sastra lainnya. Karya-karya Multatuli, Suwarsih Djojopuspito, Marah Rusli, Abdoel Moeis, Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Achdiat Karta Miharja, Toha Mochtar, Y.B. Mangunwijaya, Umar Kayam, serta lainnya merupakan karya-karya penentangan. Karya-karya tersebut membawa misi perlawanan serta penolakan terhadap kolonialisme. Melalui karya-karya ini, bangsa Indonesia diajari bagaimana seharusnya bersikap terhadap kolonialisme. Tak sekedar dikecam, tetapi kolonialisme harus dilawan. Dan pada akhirnya praktik kolonialisme harus dihentikan dari bumi pertiwi maupun di seluruh dunia.
Memang saat ini praktik kolonialisme sudah lenyap. Namun, jiwa-jiwa kolonialis masih bersarang ditubuh orang-orang Barat. Jiwa-jiwa itu sekarang berubah menjadi imperialisme. Praktek kolonialisme dalam bentuknya yang halus ini masih menyelimuti bumi Indonesia. Untuk mencegahnya diperlukan energi yang cukup. Tidak mungkin imperialisme dapat dicegah jika perangkat SDM bangsa masih lemah. Dengan mengambil semangat perlawanan pada postkolonialisme, semoga bangsa ini segera mampu menghentikan praktik imperialisme.
*) Peresensi adalah staf pada Hasyim Asy’ari Institute Yogyakarta
HP 085292843110
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

Resensi Tibet

Revolusi Buram di Bumi Tibet

Judul buku : Revolusi Tibet; Fakta, Intrik, dan Politik Kepentingan Tibet-China-Amerika Serikat
Penulis : Nurani Soyomukti
Penerbit : Garasi, Yogyakarta
Cetakan : I, Mei 2008
Tebal : 136 halaman
Peresensi : Fatkhul Anas*)

Delapan puluh enam hari yang lalu, tepatnya 10 Maret 2008, dunia Internasional digemparkan oleh "geger Tibet". Sebuah peristiwa ekstrim tiba-tiba terjadi di Tibet tanpa pernah disangka. Berawal dari long march yang dilakukan oleh sekitar 300 biarawan Tibet yang berjalan dari Biara Drepung menuju ke pusat kota Lhasa. Long marc dilakukan dalam rangka mengenang Hari Ulang Tahun Tibet terhadap invasi China pada 10 Maret 1959. Juga sebagai peringatan hari kegagalan pemerintah China menundukkan Tibet serta pengusiran atas Dalai Lama, pemimpin spiritual Budha Tibet, ke pengungsian di tahun 1959.
Kompas (11/3/2008) memberitakan, para biarawan itu melakukan perjalanan menuju Istana Potala di pusat kota untuk menuntut dilepaskannya para rahib yang ditawan pada Oktobert 2007 lalu, saat Dalai Lama menerima Medali Emas di Washington dari kongres Amerika. Pemberian Medali itu rupanya membuat pihak China kecewa. Praktis kejadian long marc itu menjadikan pemerintah Cina bertindak secara sepihak. Pemerintah China mengutus para Polisi mengelilingi biara di dalam dan disekitar kota Lhasa setelah long marc ini dimulai. Karena merasa dilecehkan, parta rahib pun membawa peristiwa ini menjadi berbuntut panjang. Demonstrasi serta aksi-aksi massa tiba-tiba bermunculan. Kesimpang-siuran berita terjadi dimana-mana. Terdengar kabar mengenai keinginan Tibet untuk merdeka, tetapi China tetap mempertahankan Tibet sekuat tenaga. Suasana sungguh semakin memanas. Apa yang terjadi sesungguhnya?
Buku Revolusi Tibet; Fakta, Intrik, dan Politik Kepentingan Tibet-China-Amerika Serikat karya Nurani Soyomukti ini mengupas tuntas mengenai fakta-fakta dibalik peristiwa 10 Maret 2008 di Tibet. Buku ini membedah dari berbagai sisi. Mulai dari sejarah, geografis, politik, maupun intervensi asing, segalanya dibahas tuntas. Mengenai bagaimana keretakan antara Cina dan Tibet, dalam buku ini jelas disebutkan bahwa hal itu terjadi mulai abad ke-19. Sebelum abad itu Tibet masih setia di bawah China. Setelah adanya intervensi Inggris pada abad 19 dan munculnya revolusi tahun 1911 yang menghancurkan dinasti Qing, maka China berubah menjadi negara republik dari semula berbentuk dinasti. Sepanjang periode Republik (1911-1949) situasi politik China tak menentu. Akibatnya Tibet tidak mendapat prioritas perhatian (hal 42).
Setelah perang sipil di China dimenangkan Partai Komunis China (PKC), Mao Zedong dan para pimpinan PKC mulai mempersiapkan tindakan "Pembebasan Untuk Tibet". Pada tanggal 6 Agustus 1949, Mao memberikan instruksi pada Peng Dehuai, Komandan Pasukan Utama dari Tentara Pembebasan Rakyat (People Liberation Army/PLA) untuk mempersiapkan gerakan pembebasan Tibet. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya sejak 10 Maret 1959, perjuangan pembebasan Tibet semakin nyata. Rapat akbar dan aksi-aksi massa diselenggarakan di Lhasa dengan menghasilkan tuntutan agar China secepat mungkin meninggalkan Tibet dan menyusun rencana untuk kemerdekaan Tibet. Sebelumnya yaitu tahun 1957, Tibet juga telah mempersiapkan tentara gerilyawannya.
Mengenai penyiapan tentara gerilyawan ini, terungkap bahwa didalamnya ada sekelompok bangsa asing yang membantu Tibet baik dalam hal pasokan senjata maupun melatih para tentara. Bangsa tersebut tak lain adalah Amerika. Melalui CIA-nya Amerika memberikan pasokan senjata serta mengkarantina pasukan Tibet untuk dilatih mengenai dasar-dasar kemiliteran, inteligen, taktik perang gerilya, pengenalan senjata modern, serta cara komunikasi dengan radio pemancar dua arah (hal 95). Mereka melatih tentara Tibet selama enam bulan di Pangkalan Angkatan Laut AS di Saipan. Entah ada motif apa Amerika membantu Tibet. Apakah bermaksud menjadikan Tibet sebagai antek-anteknya atau ada maksud lain, belum begitu jelas.
Yang bisa dijadikan prediksi sebagaimana terungkap dalam buku ini, bahwa Amerika membantu Tibet adalah untuk meraup kekayaan mineral dan kandungan minyak yang tersembunyi dibalik keindahan pegunungan Himalaya. Pegunungan yang memiliki ketinggian 4000 m diatas permukaan laut ini, menyimpan kekayaan yang melimpah. Keindahan alamnya juga begitu mempesona. Apalagi didalamnya terletak Mount Everest, pegunungan yang puncaknya tertinggi di dunia dengan ketinggian mencapai 8,8 km. Ini jelas merupakan daya tarik tersendiri bagi Amerika. Tak lain pula dengan China. Sikap mempertahankan Tibet dibawah "kaki"-nya adalah karena Tibet kaya dengan berbagai pesona, baik pesona alamnya maupun tambang minyak serta mineralnya.
Peristiwa 10 Maret 2008 lalu sebenarnya tak lepas dari sekenario Amerika. Dengan mengatasnamakan kesucian, para rahib disetir untuk turun jalan memberontak terhadap pemerintahan China. Mereka digiring untuk melakukan aksi demi memperoleh kemerdekaan. Padahal sesungguhnya aksi mereka bertentangan dengan ajaran agama budha. Agama budha yang mereka anut tidak mengejarkan aksi kekerasan. Sedang mereka melakukan kekerasan dengan menjarah maupun membakar toko-toko warga China yang bukan keturunan Tibet. Disini jelas terlihat adanya sekenario dari pihak lain. Dan pihak itu tak lain adalah Amerika. Didukung pula oleh pemberitaan media internasional yang luar biasa. Media membeberkan kasus Tibet besar-besaran. Mereka menggambarkan aksi Tibet adalah aksi positif. Sedang China telah melakukan kesalahan, karenanya di sudutkan dan dipermalukan (hal 119).
Pemberitaan ini dilakukan Amerika tentu untuk menjelekkan China dimata internasional. Terlebih China saat ini mengalami kemajuan yang luar biasa. Pertumbuhan ekonomi yang begitu pesat akan semakin mudah menyaingi Amerika. Agar hal itu tidak terjadi, maka dibuatlah sekenario kecil yang kemudian dibesar-besarnya hingga tingkat International. Tujuannya agar Amerika tidak ada saingannya sehingga tetap menjadi raja dunia dan selamanya menyandang gelar "negara super power". Amerika tak ingin tertandingi dan tak ingin di cap buruk. Meski ia sendiri sudah demikian buruk. Aksi eksploitasi terhadap Iran dan Afganistan sudah jelas-jelas melanggar HAM, tetapi dikatakan demi membasmi teroris. Adapun Cina yang hanya persoalan kecil dibeberkan secara internasional. Seolah menjadi bumerang.
Kalau sudah seperti ini persoalannya, maka muncul sebuah persepsi bahwa revolusi Tibet merupakan "revolusi yang buram". Masalahnya, jikalau Tibet ingin merdeka dan lepas dari China, Amerika dan sekutunya pasti tidak akan tinggal diam. Mereka akan menyetir Tibet dan menjadikannya lahan eksploitasi yang empuk. Tak jauh beda dengan China. Demi mendukung pertumbuhan ekonominya, Tibet tentu tidak akan dilepas begitu saja. Upaya penjajahan kembali dalam segala bentuknya tidak bisa dihindari nantinya. Itu memberi gambaran jelas bahwa revolusi Tibet merupakan revolusi yang masih buram. Kapankah ini akan berakhir? Biarkan waktu yang berbicara.
*) Peresensi adalah staf pada Hasyim Asy’ari Institute
HP 085292843110
Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas