Rabu, 23 April 2008

Pethetan

Pethetan, Tradisi Penghormatan Kelahiran Anak

Oleh : Fatkhul Anas*)

Agama islam memandang persoalan anak sebagai persoalan penting dan menjadi prioritas. Islam mengajarkan bahwa setiap anak manusia lahir dalam keadaan fitrah. Islam tidak mengajarkan dosa warisan atau dosa turunan. Seorang anak menurut islam tidaklah menanggung dosa orang tuanya. Dosa orang tua akan ditanggung oleh orang tua itu sendiri. Tidak ada sangkut pautnya dengan anak. Islam menjamin setiap anak terlahir dalam keadaan bersih ibarat kertas putih yang tidak ada coretannya. Itulah kemulyaan islam di dalam memandang anak-anak.

Bagi anak-anak sebagai generasi penerus, sudah semestinya mereka dirawat, dijaga dengan baik, dibina, dididik, dan diarahkan secara bijak. Anak-anak tidak boleh ditelantarkan, dibiarkan begitu saja, dicemooh, apalagi ditindas. Anak-anak benar-benar dibina, baik mental maupun jasmaninya agar sehat seutuhnya. Dalam hal pembinaan, islam sangat bijak dalam mengajarkan bimbingan terhadap anak. Dalam hadis riwayat Aisyah ra dijelaskan bahwa “hak seorang anak atas orang tuanya adalah mendapat nama yang baik, pengasuhan yang baik, serta meperoleh pendidikan yang baik”. Hadis ini jelas-jelas menerangkan bahwa pendidikan atau pembinaan terhadap anak begitu penting bahkan merupakan hak setiap anak.

Mulai dari pemberian nama, islam mengajarkan agar anak-anak diberi nama yang baik. Nama bagi umat islam adalah doa. Sebagai doa atau permohonan tentu saja keinginan baik yang hendak ditujukan pada Tuhan. Sehingga logis jika islam mengajarkan agar umatnya memberi nama yang baik bagi setiap anak. Harapannya, anak-anak itu akan tumbuh dengan sehat, pintar, memiliki iman islam kuat dan kelak besar nanti bisa menjadi orang berguna seperti cita-cita yang tertera dalam namanya itu. Soal pemberian nama ini, biasanya umat islam akan memberi nama pada anaknya setelah tujuh hari kelahirannya. Tepatnya bersamaan dengan aqiqah atau menyembelih kambing. Jika anak laki-laki maka kambingnya dua dan jika perempuan maka kambingnya satu. Lalu daging kambing itu dimasak dan dibagi-bagikan kepada masyarakat sekitar.

Dalam prosesi pemberian nama ini, sebagian umat islam ada yang menyelenggarakannya bersama dengan perayaan semacam selametan. Mereka mengundang para tetangga, kerabat, sanak saudara, handai tualan, maupun kawan-kawan untuk berkumpul lalu berdoa bersama mendoakan si anak. Upacara atau perayaan ini ada yang menyebutnya dengan istilah pethetan. Ini adalah perayaan pemberian nama yang dilakukan oleh masyarakat islam tradisional di daerah Jawa Tengah maupun Jawa pada umumnya. Upacara ini jatuh pada hari ketujuh setelah kelahiran anak. Biasanya juga bersamaan dengan aqiqah. Namun kebanyakan tidak, mengingat minimnya biaya.

Ini sudah hal yang maklum. Kita sendiri juga telah tahu bahwa sebagian besar penganut atau lebih tepatnya pelaksana islam tradisional adalah masyarakat agraris yang tinggal di pedesaan. Kondisi ekonomi mereka jelas pas-pasan. Terkadang malah kurang sehingga tidak mampu menyekolahkan anak. Tetapi untuk urusan pethetan sebagian besar telah dipersiapkan. Ini karena bagaimanapun anak wajib diberi nama. Sesusah apapun orang tua akan berusaha mencari dana untuk sang anak tercinta. Meski terkadang harus dicarikan hutangan. Itu tidak terlalu menjadi masalah bagi masyarakat agraris di pedesaan. Selain karena kerukunan mereka masih terpelihara erat, rasa solidaritas yang tinggi juga masih mengakar kuat. Tetapi coba bandingkan dengan masyarakat kota yang sebagian besar adalah masyarakat industri dan teknologi. Sikap individualisme serta egoisme berlebihan sangat melekat dan telah menjadi prinsip hidup.

Masih tentang pethetan, rata-rata masyarakat di Jawa Tengah lebih khusus di Kabupaten Kebumen akan mengundang para tetangga, sanak saudara, serta kerabat dekat sebelum pethetan berlangsung. Saat hari pelaksanaan tiba, tepatnya tujuh hari setelah kelahiran bayi, mereka akan berdoa bersama yang dimulai dengan pembacaan tahlil yang dipimpin oleh kyai, lalu dilanjutkan dengan solawat al-Barzanji. Pada saat srakal atau saat para jamaah berdiri untuk mendendangkan solawat nabi, si anak digendong oleh ayah di bawa mengelilingi jamaah sambil dicukur rambutnya. Pihak yang mencukur biasanya kyai, para sesepuh, kerabat atau orang-orang suci.

Berdasarkan keterangan masyarakat sebagaimana yang penulis ketahui di Kabupaten Kebumen, si anak yang dibawa dalam gendongan ayah lalu mengelilingi para jamaah pada saat solawat adalah agar anak tersebut mendapat pancaran cahaya (nur) dari Nabi Muhammad saw yang saat itu hadir karena solawat dibacakan. Nur inilah yang diharapkan akan selalu memancar dari dalam diri anak sehingga sampai dewasa nanti tetap teguh memegang iman dan islam. Ia tidak modah terombang-ambing oleh derasnya arus kehidupan yang sering sekali menelantarkan iman. Bahkan bertentangan dengan iman. Ia pun akan tetap gagah dan berani menghadapi segala problematika kehidupan yang setiap saat mampu menjerumuskan manusia dalam lembah kesesatan.

Inilah tradisi pethetan yang mengandung makna sangat dalam dan luar biasa. Kalau ditarik dalam cakrawala luas, pethetan mengandung iklim perlawanan terhadap kebudayaan global. Pethetan merupakan symbol dari adanya budaya masjid. Yang jelas akan melawan budaya global yaitu budaya pasar. Mengapa dikatakan budaya masjid? Ini tidak terlepas dari apa yang didefinisikan Kuntowijoyo mengenai masjid dalam Budaya dan Masyarakat. Pendefinisian itu terinspirasi oleh hadis Nabi bahwa sebaik-baik tempat adalah masjid dan seburuk-buruk tempat adalah pasar. Masjid menurutnya adalah lingkaran makna yang akan mempersatukan konfigurasi budaya umat islam, mempersatukan aspek-aspek budaya menjadi satuan yang koheren. Masjid tidak sekedar tempat ibadah, tetapi menujuk pada makna luas, yaitu kebudayaan islam secara umum. Dalam hal ini pethetan adalah budaya islam tradisional karenanya termasuk budaya masjid.

Lalu mengenai sisi perlawanannya, adalah jelas karena dizaman yang serba modern ini masih ada masyarakat yang bertahan dengan ritual keagamaan. Jika dipandang dari sisi modern, seharusnya tidak perlu melaksanakan pethetan. Lebih baik happy-happy di mall, pesta ulang tahun besar-besaran dan penuh glamour, hiburan di diskotik, cafe, dan segala macam aktifitas hedonis yang dilakukan manusia modern. Anak-anak cukup dititipkan saja ke tempat penitipan anak, disekolahkan di sekolah vaforit meski dengan jalan nyogok uang, dan tidak perlu didoa-doakan seperti itu. Tetapi lain bagi masyarakat di pedesaan sana yang masih bertahan dengan local wisdom semacam pethetan ini. Mereka masih teguh memegang nilai-nilai agama, bercengkrama dengan para kerabat, memelihara kerukunan, dan saling menyambangi satu sama lain. Disilah kita menemukan keindahan kehidupan yang saat ini mulai sirna.

Memang itulah kehidupan islam tradisional di pedesaan yang masih guyub rukun dan adem ayem lan tata tentrem. Hanya, akankah tradisi pethetan ini akan sirna? Jelas bisa sirna dan bisa juga tidak. Selama masyarakat pedesaan masih memegang kuat tradisi ini dan tidak terpengaruh gengsi sosial para manusia abad-21, maka kemungkinan tradisi ini masih tetap bertahan beberapa tahun lagi. Tetapi jika sebaliknya, kita pun harus menerima kenyataan bahwa tradisi ini akan sirna sebagaimana sirnanya tradisi-tradisi yang berbasis local wisdom lainnya. Kalau saat ini memang belum ada indikator kepunahan sebagaimana di Kabupaten Kebumen. Juga belum ada perubahan nilai yang mencolok. Semua masih tetap utuh sebagaimana tradisi para nenek moyang islam dahulu di tanah Jawa. Kita berharap semoga keutuhan ini tetap mampu dipelihara dengan hati-hati agar para generasi yang akan datang bisa menimba pengetahuan dan belajar kearifan.

*)Penulis adalah pengamat kebudayaan pada Hasyim Asy’ari Institute

Nomor Rekening 0112531627 Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Fatkhul Anas

HP 085292843110